nano-obi

Obituari Norbertus (Nano) Riantiarno

Norbertus “Nano” Riantiarno (Cirebon, 6 Juni 1949-Jakarta, 20 Januari 2023) adalah salah satu pembaharu teater Indonesia modern. Bersama Teater Koma yang ia dirikan pada 1977, Nano mengukuhkan tradisi teater realis yang semula ia serap ketika belajar di Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) dan Teater Populer pimpinan Teguh Karya. Dengan gaya kritik dan banyolan di sana-sini, Teater Koma menjadi salah satu kelompok teater yang kuat pada masa Orde Baru dan sesudahnya.

Nano menunjukkan bagaimana teater dapat hadir sebagai tontonan yang bukan hanya menghibur tetapi juga kritis. Di tangannya, kritik terhadap penguasa yang korup, kemiskinan, ketidakadilan hingga nafsu kuasa dapat muncul di atas panggung tanpa disadari oleh penonton bahwa semua itu telah mengetuk kesadaran atas kenyataan yang tengah terjadi di sekitar mereka. Sementara, manajemen Teater Koma memperlihatkan bagaimana ketelatenan membina penonton dari berbagai kalangan dalam waktu bertahun-tahun adalah soal penting yang tidak sembarang kelompok teater bisa melakukannya.

Naskah-naskah lakon yang ditulis Nano, semisal trilogi Bom Waktu, Opera Kecoa, Opera Julini, menjadi korpus naskah teater realis yang istimewa dalam tradisi penulisan lakon berbahasa Indonesia. Bahkan naskah-naskah lakonnya yang mengambil pendekatan tonil atau teater Tiongkok menjadi perbendaharaan tersendiri yang belum ada tandingannya.

Di Salihara, ia pernah menghadirkan produksi ke-120 Teater Koma yang bertolak dari ancaman mematikan HIV/AIDS berjudul Rumah Pasir (2010). Setahun sebelumnya, ia menyajikan drama romantika lewat lakon Tanda Cinta (2009) yang dimainkan berdua dengan Ratna Riantiarno. Pada masa pandemi lalu, ia adalah salah satu pembicara yang membagikan pengetahuannya dalam seri diskusi Pertumbuhan Teater Modern (di) Indonesia dengan tajuk Komedi/Tonil: Eksotisme Timur dan Fantasi yang ditaja Komunitas Salihara.

Nano adalah seorang seniman yang lengkap. Ia adalah aktor, sutradara teater dan film, penulis naskah teater, skenario film dan televisi, novel, cerpen, tinjauan teater, dosen hingga wartawan. Kepiawaiannya dalam menulis lakon telah diganjar dengan sejumlah penghargaan melalui Sayembara Menulis Naskah Drama Dewan Kesenian Jakarta. Begitu juga skenario film dan televisi besutannya.  

 Nano meninggalkan warisan pengetahuan yang berharga bagi kesenian Indonesia. Ia sadar untuk tidak jauh meninggalkan seni tradisi sekaligus konsisten meniupkan nafas kebaharuan pada karya-karyanya. Di saat yang sama, semangat sekaligus ketangguhannya bergulat merawat teater adalah teladan penting bagi siapa saja yang hendak menekuni seni pertunjukan di Indonesia.

 Selamat jalan, Nano Riantiarno.

blog-lakon

Mendalami Logika Pertunjukan melalui Kelas Menulis Lakon

Dalam upaya merawat kesenian bahkan di masa pandemi, Komunitas Salihara rutin mengadakan Kelas Menulis Lakon yang aktif dimulai sejak 2021. Kelas ini bertujuan untuk melatih para peserta dari berbagai latar belakang untuk bisa berpikir kreatif serta kritis dalam membangun sebuah naskah pementasan teater. Melalui kelas yang diadakan secara daring di setiap awal tahun ini, peserta akan dibawa untuk menulis langsung naskah ciptaan mereka. Selain itu peserta juga akan diminta untuk presentasi bahkan bersikap kritis lewat sesi diskusi atau bedah naskah yang dipandu oleh penulis naskah lakon dan aktor, Joned Suryatmoko.

Tidak hanya menyelami bagaimana cara membuat naskah yang baik, peserta akan diperkenalkan ke berbagai bentuk atau genre pementasan dan konteksnya. Lewat perkenalan tersebut, peserta diharapkan bisa menentukan mana yang sesuai dengan gaya penulisan mereka. Dalam kelas ini, peserta juga diarahkan untuk bisa membangun sebuah adegan terstruktur yang melibatkan lebih dari satu karakter.

Di kelas ini, pengampu juga akan mengenalkan logika-logika yang terjadi dalam membangun sebuah pertunjukan serta membedakan bagaimana logika dalam membuat naskah teater akan berbeda dengan naskah film, sinetron, dan juga webseries.

 

2023 Siap Menyapa secara Luring

Pada 2023 Kelas Menulis Lakon hadir dengan program hibrida, di mana peserta bisa merasakan pengalaman kelas secara luring. Ini menjadi sebuah kesempatan yang langka sebab kelas ini memang diprogram untuk daring. Lewat pengalaman luring yang tersedia selama dua sesi di Komunitas Salihara, peserta dapat memanfaatkan suasana tersebut untuk membangun diskusi yang lebih intim baik dengan pengampu maupun dengan sesama peserta lain.

Bagi para peserta di luar Jakarta tetap akan mendapatkan manfaat yang sama lewat interaksi yang bisa dibangun secara digital. Diskusi mengenai membangun naskah yang baik tetap bisa berlanjut di luar jam kelas lewat sesi coffee break atau asistensi via surel.

 

Melahirkan Peserta dengan Karya Gemilang

Di akhir kelas, peserta akan menyelesaikan satu naskah drama yang menerapkan baik kaidah penulisan yang baik dan benar, treatment dialog yang sesuai, serta logika panggung yang baik. Setelah itu, para peserta bisa menerapkan ilmu dari kelas ini sesuai dengan kebutuhan masing-masing yang berhubungan dengan menulis kreatif.

Di antara para alumni yang hadir dari berbagai latar belakang, banyak yang hadir dengan kabar yang membanggakan di antaranya adalah Yessy Natalia dengan karya Tuhan, Tolong Bunuh Emak menjadi Pemenang Rawayan Award oleh Dewan Kesenian Jakarta 2022 sebagai Naskah Terbaik. Ada juga Rizal Iwan dengan naskah berjudul Pindah sebagai pemenang Naskah Potensial pada sayembara yang sama, Rawayan Award. Keduanya merupakan peserta Kelas Menulis Lakon gelombang pertama (2021). Lalu ada I.B. Uttarayana Rake Sandjaja, dengan karya Muspra, Jong Santiasa Putra, Manik Sukadana dengan naskah Panen Anak, Udiarti dengan naskah Dari Dalam Tubuh dan Wulan Dewi Saraswati yang terpilih untuk dibukukan oleh Kalabuku pada program Lelakon 2022, nama-nama tersebut menghasilkan naskah yang dikembangkan dalam Kelas Menulis Lakon maupun yang tidak ditulis selama kelas. Kelima orang ini merupakan peserta Kelas Menulis Lakon gelombang dua (2022).

Kami percaya bahwa penghargaan ini bukanlah salah satu tolok ukur keberhasilan para peserta, karena implementasi dari Kelas Menulis Lakon bisa beragam dan menjadi berhasil apabila para peserta merasakan dan mendapatkan manfaat yang nyata dari kelas ini sesuai kebutuhan yang mereka cari. Bentuk apresiasi dan pengakuan terhadap para peserta dari pihak-pihak luar merupakan bonus yang tentunya menyenangkan serta diharapkan dapat memotivasi calon peserta lain untuk bersama memelihara dan mengembangkan seni teater Indonesia terutama di bidang penulisan naskah lakon.

sidang PPKI 2 (1)

Menemukan Sejarah dari Kitab yang Hilang

Sepanjang Oktober hingga Desember 2022 setiap Selasa dan Kamis, Komunitas Salihara telah menyelenggarakan program Membaca Kitab yang “Hilang”: Risalah BPUPKI. Sebuah program yang berkolaborasi dengan Teater Ghanta, mengajak publik yang luas untuk membaca, mendiskusikan, dan memaknai apa-apa yang terjadi pada bulan-bulan sebelum Indonesia terbentuk. Peserta akan sama-sama membaca dengan memilih tokoh mana yang ingin diperankan. Pembacaan ini juga dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana pergulatan ideologi dan gagasan para tokoh pendiri bangsa untuk membentuk undang-undang, pembagian kewilayahan hingga siapa saja yang bisa disebut sebagai warga negara Indonesia. 

Teks notulensi sidang BPUPKI yang digunakan adalah teks pada Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) yang diterbitkan pada 1998 dan disusun oleh Muh. Yamin. Penyusunan notulensi sidang yang dilakukan oleh Muh. Yamin adalah sebuah kerja penting yang pada masa kini hingga masa ke depan menjadi sumber sejarah tentang semua perdebatan hingga fakta yang muncul pada suasana-suasana sidang pembentukan negara. Program ini memberikan kita kesempatan untuk membaca ulang bagaimana negara Indonesia ini bisa berdiri. 

Usai pembacaan, para peserta, tim Salihara dan teater Ghanta saling berdiskusi untuk mengutarakan analisis mereka tentang teks BPUPKI. Banyak pertanyaan dan kecurigaan muncul dari hasil pembacaan tersebut. Kecurigaan tentang aslikah teks yang dikumpulkan oleh Muh. Yamin hingga membayangkan bagaimana jika beberapa gagasan tokoh dalam sidang yang ditolak justru disepakati hingga hari ini. 

Sidang BPUPKI yang berlangsung pada akhir Mei hingga Agustus 1945 ini diketuai oleh Radjiman Wedyodiningrat dengan anggota di antaranya adalah Soekarno, Muh. Yamin, Hatta, Agoes Salim, Parada Harahap hingga Dahler. Dalam program Membaca Kitab yang “Hilang”: Risalah BPUPKI pembacaan dibagi dalam 25 sesi. Setiap sesi menampilkan konflik yang beragam dan muncul dari pidato beberapa tokoh yang mengutarakan gagasannya. 

 

Ketegangan Pada Setiap Sesi

Sesi pertama pada pembacaan ini dibuka dengan pembicaraan tentang Dasar Negara Indonesia dan diawali dengan pidato dari Muh. Yamin. Dalam pidatonya, Yamin  menguraikan poin-poin penting yang perlu dimasukkan ke dalam Dasar Negara. Poin-poin tersebut di antaranya adalah Peri- Kebangsaan, Peri- Kemanusiaan, Peri- ke-Tuhanan, Peri- Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat. Yamin menyampaikan bahwa bentuk Negara Indonesia yang merdeka berdaulat ialah suatu Republik Indonesia yang tersusun atas paham unitarisme. Yamin dengan tegas mempersembahkan lampiran suatu rancangan sementara berisi perumusan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. 

Apa yang diutarakan Yamin kemudian berlanjut pada tanggapan-tanggapan anggota lainnya pada sesi kedua hingga kelima dengan pembahasan tentang Dasar Negara Indonesia. Misalnya, pada sesi kedua Ki Bagoes Hadikoesoemo menyampaikan pendapatnya yang terkesan konservatif. Ia mengatakan bahwa Negara Indonesia baru yang akan datang itu berdasarkan agama Islam dan akan menjadi negara yang tegak dan teguh serta kuat dan kokoh, pernyataan ini berbeda dengan keinginan Yamin yang cenderung memandang masa depan Indonesia sebagai negara  dengan paham unitarisme. Terlebih lagi, Ki Bagoes mengutarakan pendapatnya dengan gaya yang meyakinkan dan cukup provokatif. Kemudian pada sesi-sesi berikutnya, gaya Ki Bagoes ini juga turut membakar semangat anggota yang lain untuk teguh dengan pendapatnya masing-masing. 

Ketegangan lainnya juga muncul pada pembacaan sesi ketiga yang banyak menyampaikan pendapat-pendapat dari Soepomo. Ada tiga poin penting yang disampaikan oleh Soepomo, tentang perhubungan negara dan agama, cara bentukan pemerintahan, perhubungan negara dan kehidupan ekonomi. Soepomo seperti hendak merespon apa yang disampaikan Ki Bagoes dengan menyetujui apabila negara juga berjalan beriringan dengan norma-norma yang ada pada agama.  Selain itu hal penting lainnya dari pendapat Soepomo bahwa negara hanya bisa adil, jikalau negara itu menyelenggarakan rasa keadilan rakyat dan menuntun rakyat kepada cita-cita yang luhur. 

Pembicaraan tentang bentuk negara pun masuk pada sesi keenam dan ketujuh. Muncullah tokoh-tokoh lainnya seperti Sanoesi, Soeroso, Dasaad, juga anggota perempuan Nyonya Soenardjo. Kemudian sesi kedelapan dan kesembilan memasuki pembahasan tentang wilayah negara. Pembahasan tentang wilayah negara ini juga tidak terhindar dari perdebatan dan ketegangan. Misalkan perdebatan tentang apakah Papua masuk dalam wilayah Indonesia atau bukan hingga muncul keputusan sementara bahwa daerah yang masuk pada Indonesia merdeka adalah Hindia Belanda, ditambah dengan Malaya, Borneo Utara, Papua, Timor-Portugis, dan pulau-pulau sekitarnya.

 

Hak Individu dalam Undang-Undang

Penyusunan rancangan Undang-Undang Dasar dan panitia perancang Undang-Undang Dasar dibahas pula pada pembacaan sesi ke-10 hingga sesi ke-23. Dalam penyusunan ini salah satu hal yang menarik adalah pernyataan Soekarno tentang tidak perlunya menaungi soal hak-hak individu dalam Undang-Undang Dasar. Soekarno menolak adanya falsafah individualisme dalam negara yang memicu adanya persaingan antar individu sehingga memunculkan kapitalisme dan imperialisme bahkan peperangan. 

Apa yang dikemukakan oleh Soekarno kemudian dijawab oleh Hatta. Hatta pun tidak sependapat dengan adanya falsafah individualisme, namun Hatta memberikan tawaran bahwa penting bagi sebuah negara untuk mendengar dan menampung suara rakyat. Rakyat memiliki hak individu untuk mengeluarkan suara dan pendapat. Hatta membayangkan Indonesia kelak akan menjadi negara yang didirikan sebagai negara pengurus dan tidak menjadi negara kekuasaan dan negara penindas. 

Pada akhir sesi pembacaan yaitu sesi 25, segala pendapat-pendapat para tokoh pun telah sampai pada Rancangan Undang-Undang Dasar Sementara dan Piagam Jakarta. Membaca ulang jejak penting dalam sejarah melalui Membaca Kitab yang “Hilang”: Risalah BPUPKI adalah juga menyaksikan bagaimana terjadinya transfer pengetahuan para tokoh pendiri bangsa kepada publik yang lebih luas.

sri-astari

Obituari: Sri Astari Rasjid (1953-2022)

Sri Astari Rasjid mulai diperbincangkan di kancah seni rupa ketika menjadi ketua penyelenggara Biennale Seni Rupa Jakarta IX (1993-1994), sebuah pameran seni rupa kontemporer Indonesia. Biennale IX adalah perhelatan besar dan sempat menimbulkan kontroversi sepanjang sejarah TIM (Taman Ismail Marzuki) setelah Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (1975). Biennale IX dikuratori oleh Jim Supangkat dan mengusung gagasan seni rupa pascamodern, perhelatan ini menjadi salah satu peristiwa yang sangat berpengaruh dalam menumbuhkan gagasan, praktik, dan wacana seni rupa Indonesia kontemporer.

 Astari memiliki peran penting dalam tata kelola seni, ia setara dengan peran perupa dan kurator.

 Astari adalah seorang perupa yang melahirkan banyak karya dengan pelbagai media dan ungkapan. Ia merambahi mulai dari seni lukis, fotografi, patung, objek, dan instalasi, sebagaimana yang pernah diperlihatkannya dalam Pameran 10 Perupa Perempuan di Galeri Salihara pada April 2009. Ia banyak mempercakapkan tentang perempuan dalam sebuah gambaran kontradiksi yang tak selesai-selesai di tengah modernisme. Ungkapan-ungkapan visual berupa kebaya dan simbol-simbol tradisi Jawa ditata bersamaan dengan simbol-simbol produk bermerek masa kini, dua dunia yang berjarak sekaligus bertaut.

Luasnya cakupan media yang dipakai oleh Astari sebagaimana terjadi pada seni rupa kontemporer, memungkinkan pelbagai gagasan baru muncul dalam karya-karyanya. Ia berhasil menyusupkan potret dirinya di antara simbol-simbol dan objek lain dalam karya-karya berbasis fotografi dan juga dalam lukisannya, terutama yang muncul pada 2000-an. Dalam karyanya hal definitif tentang lelaki dan perempuan saling mengaburkan bentuk dan karakter masing-masing. Seniman yang lahir di Jakarta, 26 Maret 1953 ini memang tampak berupaya keras beradaptasi dengan berbagai media dan keterampilan.

Pada 13 Januari 2016 di tengah penjelajahan seni rupa yang jauh dari selesai, ia didapuk menjadi Duta Besar RI untuk Bulgaria, Albania, dan Makedonia. Di tengah-tengah tugas yang tidak hanya berat tapi memerlukan adaptasi dan irama tersendiri pula, ia tetap berkarya dan berpameran. Hanya berjarak sebulan dari penunjukannya sebagai duta besar, ia bahkan menyelenggarakan pameran tunggal Yang Terhormat Ibu di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Di Bulgaria ia berhasil melobi museum terbesar dan bergengsi yaitu Museum Nasional Sofia, untuk memamerkan keragaman dan jenis-jenis kain—sebagian koleksi pribadinya, serta karya-karya seni rupa kontemporer perempuan Indonesia. Ia percaya bahwa seni dan budaya dapat menjadi pintu diplomasi yang baik. Kesungguhan dan reputasinya dalam dunia diplomasi itu pun mendapat pengakuan. Pada 25 Juni 2020, Presiden Bulgaria Rumen Radev memberi penghargaan Madara Horseman First Degree padanya.

Menjelang akhir jabatan sebagai duta besar pada 2020, ia sempat menulis dan menerbitkan buku Art Diplomacy. Alumni Sastra Inggris UI yang pernah belajar seni lukis di University of Minnesota dan Royal College of Art,  London ini telah menerjemahkan buku tersebut dalam bahasa Indonesia sebagai karya terakhirnya.

Sri Astari Rasjid meninggal dunia di Farrer Park Hospital, Singapura, pada 11 Desember 2022.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

             

 

remy

Obituari: Remy Sylado

Lahir dengan nama Japi Panda Abdiel Tambajong, Remy Sylado adalah sastrawan Indonesia yang penting dan unik sejak awal 1970-an.

Pada 1972 ia memperkenalkan Puisi Mbeling. Remy memelopori genre puisi ini melalui majalah Aktuil, sebuah majalah musik dan budaya pop yang terbit di Bandung. Puisi Mbeling saat itu adalah sebuah gangguan atau interupsi bagi sejarah sastra Indonesia modern, khususnya langgam puisi lirik yang mendominasi sejak sebelum Kemerdekaan. Bagi Remy dan penyair mbeling saat itu, puisi hadir sebagai segala sesuatu yang tidak indah, dengan tema dan bahasa yang rendahan, banal, nakal, humoris, jorok pun bisa.

Dengan humor, gerakan Puisi Mbeling memberikan alternatif penting bagi puisi (lirik) berbahasa Indonesia yang cenderung serius, cenderung selektif dalam pemilihan kosakata dan monoton dalam gaya.

“Remy Sylado (dan Gerakan Puisi Mbeling) datang untuk memperkarakan keseriusan dan ketinggian puisi Indonesia. Bagi dia dan para penyair Puisi Mbeling, puisi harus kembali ke tengah keramaian, merengkuh segala derau dan kotoran yang diingkari kaum priyayi, borjuis dan segala kaum mapan lain. Buat mereka, penyair bukanlah makhluk istimewa: artinya, semua orang bisa jadi penyair,” sebagaimana dinyatakan dalam argumentasi dewan juri Penghargaan Achmad Bakrie 2013 untuk Kesusastraan—salah satu penghargaan sastra yang pernah diterima Remy Sylado.

Sebagai sebuah selaan, Puisi Mbeling terbilang gerakan sastra yang berhasil. Puisi Mbeling menjadi wabah penciptaan sastra pada era 1970-an dengan semangat meledek otoritas sastra Indonesia dan mendesakkan cara pandang pascamodernis melalui sastra—jauh sebelum gerakan pascamodernisme merebak pada 1990-an. Puisi Mbeling juga melahap budaya pop dan meleburkan batas-batas antara budaya tinggi dan budaya rendah dalam produksi kebudayaan kontemporer.

Banyak penyair muda dan bergaya mbeling yang muncul dari Aktuil dan Top. Meskipun berlangsung pada sekitar lima dasawarsa silam, semangat Puisi Mbeling yang penuh humor dan ledekan serta slengekan itu sendiri masih menjadi bagian dari perpuisian Indonesia hari ini, termasuk dalam puisi-puisi Joko Pinurbo dan penyair  lainnya.

Dengan Puisi Mbeling, Remy Sylado dan kawan-kawan memperluas cakupan sastra—sesuatu yang selama ini tidak dilakukan oleh puisi lirik yang menjadi tolok ukur kepenyairan di Indonesia saat itu. Puisi Mbeling juga bisa disebut sebagai gerakan kebudayaan yang mendahului gerakan dan pemikiran seni yang menentang elitisme serta mengusung pluralisme dan demokratisasi seni di Indonesia, seperti Gerakan Seni Rupa Baru (1975) dan Sastra Kontekstual (1982).

Remy Sylado dilahirkan di Makassar, Sulawesi Selatan, pada masa pendudukan Jepang, 12 Juli 1945. Ia menempuh kariernya dalam banyak bidang, mulai dari wartawan, penulis, dosen, pelukis, sutradara teater, aktor film, penggubah lagu dan penyanyi hingga ahli bahasa Indonesia dan organisator gerakan kebudayaan. Profesinya sebagai wartawan dan sastrawan dibangunnya di Bandung, setelah ia menghabiskan masa kecil dan remajanya di Makassar, Semarang dan Solo. Di Bandung, selain menjadi redaktur majalah Aktuil, ia juga mengelola majalah Top yang sama-sama membuka ruang untuk genre Puisi Mbeling.

Puisi-puisi mbeling Remy Sylado dikumpulkan dalam buku Puisi Mbeling Remy Sylado (2004)—yang lain dalam Kerygma dan Martyria (2004). Adapun novel-novelnya, antara lain, adalah Gali Lobang Gila Lobang (1977), Ca Bau Kan (1999, kemudian difilmkan dengan sutradara Nia Dinata), Kerudung Merah Kirmizi (2002, memperoleh Khatulistiwa Literary Award), Parijs van Java (2003) dan Namaku Mata Hari (2010). Sebagian besar novelnya berkonsentrasi kepada fiksi sejarah, terutama masa kolonial Belanda, dan cerita detektif.

Sebagai pemikir bahasa Remy memberikan sumbangan penting pada segi kesejarahan bahasa Indonesia modern. Ia menelaah bukan hanya sejarah kata-kata dan frasa yang khas dalam bahasa Indonesia, tetapi juga mengajukan watak kosmopolitanisme dan eklektisisme bahasa Indonesia modern. “Sembilan dari sepuluh kata bahasa Indonesia berasal dari bahasa asing,” begitu argumen Remy, sebagaimana diuraikannya dalam bukunya 9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia Adalah Asing (1996).

Yang cukup unik dari kerja kepenulisan Remy Sylado adalah ia memproduksi sejumlah buku dan tulisan dalam pelbagai nama samaran, antara lain, Juliana C. Panda, Dova Zila, Alif Danya Munsyi. Berbeda dari para penulis generasi tua yang bisa beradaptasi kepada teknologi komputer, Remy masih menuliskan seluruh pemikirannya dengan mesin tik manual. Ia mengoleksi tidak kurang dari 50 mesin tik tua di rumahnya.

Selamat jalan, Remy Sylado.

 

 

putriminang

Dari Cinta hingga Maut

Nama Chairil Anwar tidak pernah lepas dari pembahasan sastra Indonesia hingga hari ini. Tepat pada seratus tahun setelah kelahiran Chairil, Siniar Salihara pada musim kedua hadir dengan tajuk Ngomong-ngomong Soal: Aku dan Chairil. Pada episode pertama dengan narasumber Putri Minangsari, seorang penari Bali dan penulis, berbicara tentang pertemuan-pertemuannya dengan karya Chairil. Siniar ini mencoba mengembalikan pembahasan Chairil pada karya-karyanya secara utuh dan lebih dekat. 

Siniar berdurasi 30 menit ini, Ibam (Ibrahim Soetomo) bertindak sebagai pemandu atau host siniar. Obrolan-obrolan mengalir melalui tanya jawab persoalan Chairil dan karyanya. Pembicaraan ini mengupas pengalaman Putri sebagai pembaca karya Chairil. 

Jembatan Waktu 

Ibam, selaku pemandu siniar memulai dengan melontarkan pertanyaan tentang bagaimana awal perjumpaan Putri dengan puisi, khususnya dengan sajak-sajak Chairil Anwar. Sajak Chairil berjudul “Aku” menjadi jalan pembuka bagi masa anak-anak Putri untuk mengenal puisi. Umumnya di bangku Sekolah Dasar, sajak “Aku” kerap dijadikan salah satu contoh puisi Indonesia. 

Putri yang masih anak-anak merasakan adanya gumpalan emosi besar pada bait-bait puisi “Aku”. Kesan marah, emosi meluap yang diutarakan secara jujur tergambar pada masa kecil Putri ketika berhadapan dengan puisi “Aku”. Putri seperti tengah menyeberangi jembatan waktu yang melewati masa anak-anaknya dan bertumbuh remaja, jembatan waktu yang berupa bait-bait puisi Chairil. Ingatannya pada “Kalau sampai waktuku, ‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu. Tidak juga kau.” menumbuhkan perasaan memberontak pada diri remajanya. Hidup sebagai anak sulung dari empat bersaudara membuat Putri merasa kehilangan ruang kebebasannya. Bait puisi “Aku” memberikan inspirasi pada Putri untuk melepas batas-batas posisinya sebagai anak sulung untuk lebih bisa mengutarakan gagasan dan pilihan-pilihannya. Puisi “Aku” kemudian mengantar Putri pada gerbang-gerbang tulisan sastra yang lain, baik karya-karya penulis dalam negeri maupun luar negeri. 

Menyoal Cinta dan Maut Pada Sajak Putih, Sia-Sia, Taman dan Doa

Narasumber pada siniar kali ini memilih tiga hingga empat puisi karya Chairil untuk kemudian dibahas bersama. Putri memilih empat puisi Chairil yang kebanyakan ditulis pada tahun 1943, yaitu “Sia-Sia”, “Taman”, “Doa”, dan “Sajak Putih” (1944). Pilihan-pilihan puisi ini didasari oleh rasa penasaran Putri pada tema-tema cinta yang terasa pada bait-baitnya. Tiga puisi di antara yaitu “Sia-Sia”, “Taman”, dan “Sajak Putih”, terasa memiliki penyampaian rasa cinta yang begitu kuat, entah cinta soal kisah-kisah asmara manusia maupun cinta pada lalu-lalang suasana manusia-manusia pada era Chairil saat itu. Pada puisi “Doa”, menyoal cinta tidak terlalu kentara, bagi Putri bait-bait puisi tersebut lebih menyampaikan persoalan hubungan manusia dengan harapan atau lebih tepatnya pada kepasrahan hidup. Menyoal cinta pada puisi Chairil, seperti mendapat tawaran tentang relasi cinta yang tidak terkesan rumit.  Bagi Putri, relasi manusia pada hari ini terasa penuh dengan kerumitan. Puisi Chairil hadir membawa angin yang lebih sederhana. menggambarkan hubungan yang terasa tidak menuntut banyak hal yang kemudian menimbulkan berbagai persoalan. 

Jika dibawa pada masa sekarang, sajak-sajak Chairil masih begitu relevan terutama tentang jalinan hubungan antar manusia. Meski sajak-sajak itu ditulis pada masa-masa Indonesia membangun jalan kemerdekaannya, namun Chairil seperti menatap tajam bagaimana zaman berjalan. Bagaimana antar manusia saling berhubungan di masa lalu dan justru masih terasa memiliki hubungan dengan masa sekarang. Ketelitian Chairil dalam membaca suasana hari-hari di tengah-tengah masyarakatnya dan menuangkannya pada bait-bait puisi, membuat pembacanya akan merasa barangkali Chairil justru tak pernah mati. Ia juga turut hidup hingga kini, melihat bagaimana kelelahan sekaligus harapan menempel pada tubuh manusia. 

Tak hanya menyoal cinta, Chairil juga seperti dengan sengaja menghadap-hadapkan cinta dengan perkara maut. Seperti pada puisi “Sajak Putih”:

Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah

Bagi Putri, Chairil seolah ingin berbicara pada kita bahwa persoalan cinta dan maut adalah hal yang tidak bisa kita hindari. Keduanya bisa kapan saja saling berhadap-hadapan dan menyerang. Rasa luka tak jadi soal ketika dihadapi bersamaan dengan cinta. 

Pencarian Jati Diri

Pada obrolan ini Putri berbagi bagaimana kemudian ia dari dunia tari menuju ke dunia sastra dan bersama kawan-kawannya menciptakan ruang pembacaan puisi yang diberi nama Unmasked Poetry. Sastra bagi Putri juga memiliki kesinambungan dengan tari, pencarian gerak dalam tari tradisi Bali yang ia geluti seringkali mendapat inspirasi dari bait-bait puisi yang ia baca. Tari dan puisi memiliki kaitan erat dalam meluapkan emosi dalam diri, emosi yang lama tersembunyi dan tak terbahasakan dengan istilah yang terikat. 

Penghujung obrolan ini sampai pada kenapa karya-karya Chairil begitu penting? Putri menyampaikan bahwa membaca karya Chairil seperti menyelami pencarian jati diri sebuah bangsa. Pada sajak-sajaknya, banyak bentuk-bentuk baik emosi maupun keadaan masyarakat yang digambarkan saat itu dapat menjadi referensi pembacaan ulang bagaimana mulanya manusia Indonesia berpikir dan menyelesaikan masalah-masalahnya. Dikemas dengan kemampuan cerdik mengatur diksi yang tak pernah padam oleh zaman. Chairil sekali lagi seolah tak pernah mati, ia betul-betul hidup seribu tahun lagi. 

Dengarkan obrolan lengkapnya tentang Chairil dan karyanya di Siniar Salihara Ngomong-Ngomong Soal: Aku dan Chairil episode 01.

blog-bpupki

Yang Ada dalam Risalah

Risalah Sidang BPUPKI berisi notulensi rapat persiapan Kemerdekaan Indonesia, yang dihadiri oleh tokoh-tokoh pendiri bangsa. Nama-nama tokoh yang muncul, seperti Abdul Abbas, Oto Iskandardinata, Abdul Kadir, Hatta, Radjiman, dan juga ada Soekarno sebagai salah satu anggota. Soekarno adalah tokoh yang muncul sebagai simbol dan sebagai personifikasi dari nilai-nilai politik yang diperjuangkan oleh bangsa Indonesia. Salah satunya adalah tokoh yang identik dengan rumusan Pancasila sebagai Dasar Negara Indonesia. 

Pada 1 Juni 1945, Pancasila pertama kali disebut oleh Soekarno dalam sebuah pidato panjangnya tentang Dasar Negara Indonesia, melalui rapat sidang BPUPKI. Rumusan tersebut muncul setelah melalui proses diskusi dan perdebatan yang panjang oleh tokoh-tokoh penting Indonesia, di antaranya Muhammad Yamin, Soeroso, dan Soepomo.  

“Kedaulatan rakyat Indonesia dan Indonesia Merdeka adalah berdasar perikemanusiaan yang universeel berisi humanisme dan internasionalisme bagi segala bangsa.” 

Muh. Yamin dalam Rapat Besar, 29 Mei 1945

 

Dalam notulensi Risalah Sidang BPUPKI, proses pembentukan Dasar Negara Indonesia dimulai pada 28 Mei hingga 1 Juni 1945. Di dalam notulensi tersebut memuat panorama pemikiran, perasaan, dan ketetapan hati para pelopor kemerdekaan. Impian dan harapan, gambaran hari lalu dan visi masa depan juga mendapat tempat dalam usaha mendirikan sebuah negara yang merdeka dan berdaulat. 

Lantas bagaimana suasana dan perdebatan para tokoh pendiri bangsa dalam menentukan berdirinya bangsa Indonesia? Ikuti Membaca Kitab yang “Hilang” : Risalah BPUPKI untuk membaca kembali dan melihat bagaimana perjalanan sejarah terbentuknya bangsa Indonesia. Daftar di sini.

Dikutip dan disarikan berdasarkan buku kumpulan Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI),  Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta 1998.

Mengapa Sutan Takdir Alisjahbana

Mengapa Sutan Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane Berpolemik?

Sutan Takdir Alisjahbana (STA) adalah sastrawan yang lahir tahun 1908. Pada tahun 1933, STA menjadi salah satu sastrawan yang menerbitkan majalah sastra Poedjangga Baroe. Di penghujung masa pemerintahan kolonial Belanda, STA menjadi tokoh penting dalam pencarian identitas Indonesia. Ia menulis esai Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru yang diterbitkan Poedjangga Baroe tahun 1935. 

Jiwa yang melahirkan Borobudur yang luhur itu tidak ada sangkut pautnya dengan semangat menyala-nyala dalam dada para penganjur cita-cita keindonesiaan dalam abad kedua puluh ini.

Paragraf dari esai STA yang mewakili pemikirannya tentang masyarakat Indonesia seharusnya membawa nilai-nilai kemajuan dan modernitas ala Barat. Sanusi Pane salah satu sastrawan angkatan Poedjangga Baroe, tidak setuju dengan pemikiran STA. Ketidaksepakatan Sanusi Pane ditulis dalam esai Persatuan Indonesia tahun 1935. 

Zaman sekarang ialah kelanjutan dari zaman sebelumnya. Manusia tidak mampu menciptakan kekinian yang baru sama sekali.

Dalam esainya, ia menyatakan bahwa pemikiran STA justru menentang semangat kedaerahan. Tulisan STA dan Sanusi Pane menjadi awal masuknya perdebatan pendapat dalam menentukan orientasi kebudayaan Indonesia. Perdebatan ini tidak hanya antara STA dan Sanusi Pane, tapi juga menyulut tokoh lainnya untuk ikut berpendapat, salah satunya Ki Hadjar Dewantara. Perdebatan inilah yang memicu Polemik Kebudayaan hingga muncul pandangan identitas Indonesia yang ala Barat atau ala Timur. 

Kenapa polemik ini menjadi ramai dan penting untuk dibicarakan? Dengarkan perbincangan lengkapnya di Siniar Salihara, Ngomong-ngomong Soal Polemik Sastra dan Seni episode 01. 

 

Ditulis oleh: Udiarti

syafii

Obituari: Ahmad Syafii Maarif

Ahmad Syafii Maarif (Nagari Calau, Sumatra Barat, 31 Mei 1935-Yogyakarta, 27 Mei 2022) yang akrab dengan panggilan Buya Syafii, adalah cendekiawan Indonesia yang membawa nilai-nilai pluralisme dan toleransi. Ia juga sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah sepanjang 1998-2005. Buya Syafii dikenal dengan membawa pemikiran Islam Modern.

Pada 1942 Buya Syafii mengawali pendidikannya di Sekolah Rakyat (SR) Sumur Kudus. Lulus dari SR pada 1947 tidak langsung membuat Buya Syafii meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi. Ia sempat berhenti sekolah selama beberapa tahun karena kondisi ekonomi keluarganya. Pada 1950, ia melanjutkan sekolah di Madrasah Muallimin Muhammadiyah Balai Tangah.

Buya Syafii mulai merantau ke Jawa pada 1953. Ia sempat menjadi pimpinan redaksi majalah Sinar, majalah pelajar Muallimin di Yogyakarta. Ia sempat berkuliah di Universitas Cokroaminoto dan pada 1964 memperoleh gelar sarjana muda. Sebagai mahasiswa, Buya Syafii bergabung dengan Himpunan Mahasiswa Islam. Buya Syafii mendapatkan gelar doktornya dari Universitas Chicago, Amerika Serikat, pada Program Studi Bahasa dan Peradaban Timur Dekat.

Pemikirannya yang terbuka dan mendukung nilai-nilai pluralisme ia bagikan melalui tulisan-tulisannya. Di antaranya yang terangkum dalam buku Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah; Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara, dan Membumikan Islam. Jasanya yang begitu besar dalam mengajak untuk terus menjaga sikap toleransi, membuat Buya Syafii kerap disebut sebagai Guru Bangsa.

Buya Syafii mendapat banyak penghargaan. Di antaranya penghargaan People of The Year 2020 kategori Lifetime Achievement pada 2020 dan penghargaan Ramon Magsaysay dari pemerintah Filipina pada 2008. Ia juga pernah menjadi presiden World Conference on Religion and Peace (WCRP), sebuah forum tokoh-tokoh lintas agama dunia di New York. Pada 2020, ia mendirikan Maarif Institute sebagai bentuk komitmennya pada nilai-nilai keislaman, kemanusiaan, dan keindonesiaan.

Di Indonesia sangat jarang tokoh intelektual yang dengan sungguh-sungguh menanamkan nilai-nilai pluralisme dan toleransi. Buya Syafii hadir dengan pandangannya yang lebih netral terhadap Islam. Pemikiran yang berusaha untuk tidak menghakimi satu sama lain. Pandangan seorang tokoh Buya Syafii sangat kita butuhkan di tengah kondisi kita yang lebih sering terombang-ambing oleh hal-hal yang belum jelas kebenarannya. Selamat jalan, Buya Syafii. Karya dan pemikiranmu menjadi teladan bangsa ini.

richard

Obituari: Richard Oh

Richard Oh (Tebing Tinggi, 30 Oktober 1959 – Jakarta, 7 April 2022) adalah perpaduan yang jarang bagi dunia sastra dan film Indonesia. Ia berangkat dari bisnis periklanan, masuk dunia sastra dan film sebagai hobi yang kemudian jadi serius. Namanya mulai dikenal publik ketika mendirikan toko buku berbahasa Inggris QB World Books pada 1999. Indonesia baru saja mengalami kerusuhan dan Reformasi, gerai yang bertempat di jalan Sunda, Jakarta Pusat—di lantai dasar gedung yang sama dengan lokasi Bakmi GM—ini menawarkan kafe dan toko buku yang nyaman dan mentereng, yang waktu itu belum jamak. Sebelum mal jadi lazim, bisa dibilang Richard Oh adalah orang yang memperkenalkan paduan intelektualitas dan gaya hidup gemerlap perkotaan.

Tapi, kecintaannya pada sastra bukan cuma permukaan. Sejak kecil sebenarnya ia suka mengarang. Pendidikannya adalah penulisan kreatif di University of Wisconsin, Madison, dan University of California, Berkeley. Ia bekerja di periklanan dan berbisnis sebelum memutuskan untuk ikut berkiprah di dunia sastra dan film. Dekade awal 2000-an adalah periode optimistisnya di dunia sastra. QB World Books membuka gerai baru, ia membuat penerbit Metafor—salah satu buku pertamanya adalah Goenawan Mohamad: Sajak-Sajak Lengkap 1961-2001, bekerja sama dengan Metro TV dalam program Book Review. Bahkan, melalui penerbit yang sama, ia menerbitkan majalah Jakarta Review of Books—meski hanya bertahan beberapa nomor. Pada 2001 ia melahirkan Khatulistiwa Literary Award, hadiah sastra tahunan dengan nilai seratus juta rupiah, yang penyerahannya dilakukan di Atrium Plaza Senayan. Meski berubah nama dan beberapa tahun belakangan ini nilai hadiahnya menurun jauh, Kusala Sastra Khatulistiwa tetap menjadi penghargaan sastra yang bergengsi dan dinanti.

Masa cemerlang toko buku kafe mulai redup dengan pergantian ke zaman digital. Tak sampai sepuluh tahun, QB World Books menutup gerai-gerainya. Richard dikenang membiarkan para pecinta buku, yang kebanyakan tak punya uang, mengambil buku-buku tanpa jaminan melunasi. Ia kemudian membuka Reading Room di Kemang Timur, tempat orang bisa menikmati perpustakaan dan kafe, ikut diskusi atau nonton film bersama. Bahkan, setelah Reading Room tutup, ia masih berniat membuka ruang yang sama di kawasan Bumi Serpong Damai.

Richard mengarang dan membuat film—baik sebagai produser, sutradara, penulis naskah, maupun pemain. Novel pertamanya, The Pathfinders of Love (2000). Film pertamanya—ia menjadi penulis dan sutradara—adalah Koper (2006). Tapi, karya layar lebarnya—juga sebagai penulis naskah dan sutradara—yang paling dinanti publik barangkali adalah Perburuan (2019), adaptasi dari novela Pramoedya Ananta Toer. Di antara itu, ia ringan bermain sebagai aktor pembantu di banyak film, antara lain Yowis Ben (1), 2, dan 3.

Tidak semua karya Richard Oh dibicarakan orang, tidak semua usahanya berhasil. Tapi, di dalam jatuh-bangun hidup dan bisnisnya ia tidak pernah berhenti berkarya atau menciptakan ruang-ruang bagi bertumbuhnya sastra dan film. Itu semua justru menunjukkan cinta dan dedikasinya yang luar biasa pada sastra dan film. Selamat jalan, Richard Oh! Selamat beristirahat, teman!

 

Sumber foto: Instagram/@richard0h._