remy

Obituari: Remy Sylado

Lahir dengan nama Japi Panda Abdiel Tambajong, Remy Sylado adalah sastrawan Indonesia yang penting dan unik sejak awal 1970-an.

Pada 1972 ia memperkenalkan Puisi Mbeling. Remy memelopori genre puisi ini melalui majalah Aktuil, sebuah majalah musik dan budaya pop yang terbit di Bandung. Puisi Mbeling saat itu adalah sebuah gangguan atau interupsi bagi sejarah sastra Indonesia modern, khususnya langgam puisi lirik yang mendominasi sejak sebelum Kemerdekaan. Bagi Remy dan penyair mbeling saat itu, puisi hadir sebagai segala sesuatu yang tidak indah, dengan tema dan bahasa yang rendahan, banal, nakal, humoris, jorok pun bisa.

Dengan humor, gerakan Puisi Mbeling memberikan alternatif penting bagi puisi (lirik) berbahasa Indonesia yang cenderung serius, cenderung selektif dalam pemilihan kosakata dan monoton dalam gaya.

“Remy Sylado (dan Gerakan Puisi Mbeling) datang untuk memperkarakan keseriusan dan ketinggian puisi Indonesia. Bagi dia dan para penyair Puisi Mbeling, puisi harus kembali ke tengah keramaian, merengkuh segala derau dan kotoran yang diingkari kaum priyayi, borjuis dan segala kaum mapan lain. Buat mereka, penyair bukanlah makhluk istimewa: artinya, semua orang bisa jadi penyair,” sebagaimana dinyatakan dalam argumentasi dewan juri Penghargaan Achmad Bakrie 2013 untuk Kesusastraan—salah satu penghargaan sastra yang pernah diterima Remy Sylado.

Sebagai sebuah selaan, Puisi Mbeling terbilang gerakan sastra yang berhasil. Puisi Mbeling menjadi wabah penciptaan sastra pada era 1970-an dengan semangat meledek otoritas sastra Indonesia dan mendesakkan cara pandang pascamodernis melalui sastra—jauh sebelum gerakan pascamodernisme merebak pada 1990-an. Puisi Mbeling juga melahap budaya pop dan meleburkan batas-batas antara budaya tinggi dan budaya rendah dalam produksi kebudayaan kontemporer.

Banyak penyair muda dan bergaya mbeling yang muncul dari Aktuil dan Top. Meskipun berlangsung pada sekitar lima dasawarsa silam, semangat Puisi Mbeling yang penuh humor dan ledekan serta slengekan itu sendiri masih menjadi bagian dari perpuisian Indonesia hari ini, termasuk dalam puisi-puisi Joko Pinurbo dan penyair  lainnya.

Dengan Puisi Mbeling, Remy Sylado dan kawan-kawan memperluas cakupan sastra—sesuatu yang selama ini tidak dilakukan oleh puisi lirik yang menjadi tolok ukur kepenyairan di Indonesia saat itu. Puisi Mbeling juga bisa disebut sebagai gerakan kebudayaan yang mendahului gerakan dan pemikiran seni yang menentang elitisme serta mengusung pluralisme dan demokratisasi seni di Indonesia, seperti Gerakan Seni Rupa Baru (1975) dan Sastra Kontekstual (1982).

Remy Sylado dilahirkan di Makassar, Sulawesi Selatan, pada masa pendudukan Jepang, 12 Juli 1945. Ia menempuh kariernya dalam banyak bidang, mulai dari wartawan, penulis, dosen, pelukis, sutradara teater, aktor film, penggubah lagu dan penyanyi hingga ahli bahasa Indonesia dan organisator gerakan kebudayaan. Profesinya sebagai wartawan dan sastrawan dibangunnya di Bandung, setelah ia menghabiskan masa kecil dan remajanya di Makassar, Semarang dan Solo. Di Bandung, selain menjadi redaktur majalah Aktuil, ia juga mengelola majalah Top yang sama-sama membuka ruang untuk genre Puisi Mbeling.

Puisi-puisi mbeling Remy Sylado dikumpulkan dalam buku Puisi Mbeling Remy Sylado (2004)—yang lain dalam Kerygma dan Martyria (2004). Adapun novel-novelnya, antara lain, adalah Gali Lobang Gila Lobang (1977), Ca Bau Kan (1999, kemudian difilmkan dengan sutradara Nia Dinata), Kerudung Merah Kirmizi (2002, memperoleh Khatulistiwa Literary Award), Parijs van Java (2003) dan Namaku Mata Hari (2010). Sebagian besar novelnya berkonsentrasi kepada fiksi sejarah, terutama masa kolonial Belanda, dan cerita detektif.

Sebagai pemikir bahasa Remy memberikan sumbangan penting pada segi kesejarahan bahasa Indonesia modern. Ia menelaah bukan hanya sejarah kata-kata dan frasa yang khas dalam bahasa Indonesia, tetapi juga mengajukan watak kosmopolitanisme dan eklektisisme bahasa Indonesia modern. “Sembilan dari sepuluh kata bahasa Indonesia berasal dari bahasa asing,” begitu argumen Remy, sebagaimana diuraikannya dalam bukunya 9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia Adalah Asing (1996).

Yang cukup unik dari kerja kepenulisan Remy Sylado adalah ia memproduksi sejumlah buku dan tulisan dalam pelbagai nama samaran, antara lain, Juliana C. Panda, Dova Zila, Alif Danya Munsyi. Berbeda dari para penulis generasi tua yang bisa beradaptasi kepada teknologi komputer, Remy masih menuliskan seluruh pemikirannya dengan mesin tik manual. Ia mengoleksi tidak kurang dari 50 mesin tik tua di rumahnya.

Selamat jalan, Remy Sylado.

 

 

putriminang

Dari Cinta hingga Maut

Nama Chairil Anwar tidak pernah lepas dari pembahasan sastra Indonesia hingga hari ini. Tepat pada seratus tahun setelah kelahiran Chairil, Siniar Salihara pada musim kedua hadir dengan tajuk Ngomong-ngomong Soal: Aku dan Chairil. Pada episode pertama dengan narasumber Putri Minangsari, seorang penari Bali dan penulis, berbicara tentang pertemuan-pertemuannya dengan karya Chairil. Siniar ini mencoba mengembalikan pembahasan Chairil pada karya-karyanya secara utuh dan lebih dekat. 

Siniar berdurasi 30 menit ini, Ibam (Ibrahim Soetomo) bertindak sebagai pemandu atau host siniar. Obrolan-obrolan mengalir melalui tanya jawab persoalan Chairil dan karyanya. Pembicaraan ini mengupas pengalaman Putri sebagai pembaca karya Chairil. 

Jembatan Waktu 

Ibam, selaku pemandu siniar memulai dengan melontarkan pertanyaan tentang bagaimana awal perjumpaan Putri dengan puisi, khususnya dengan sajak-sajak Chairil Anwar. Sajak Chairil berjudul “Aku” menjadi jalan pembuka bagi masa anak-anak Putri untuk mengenal puisi. Umumnya di bangku Sekolah Dasar, sajak “Aku” kerap dijadikan salah satu contoh puisi Indonesia. 

Putri yang masih anak-anak merasakan adanya gumpalan emosi besar pada bait-bait puisi “Aku”. Kesan marah, emosi meluap yang diutarakan secara jujur tergambar pada masa kecil Putri ketika berhadapan dengan puisi “Aku”. Putri seperti tengah menyeberangi jembatan waktu yang melewati masa anak-anaknya dan bertumbuh remaja, jembatan waktu yang berupa bait-bait puisi Chairil. Ingatannya pada “Kalau sampai waktuku, ‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu. Tidak juga kau.” menumbuhkan perasaan memberontak pada diri remajanya. Hidup sebagai anak sulung dari empat bersaudara membuat Putri merasa kehilangan ruang kebebasannya. Bait puisi “Aku” memberikan inspirasi pada Putri untuk melepas batas-batas posisinya sebagai anak sulung untuk lebih bisa mengutarakan gagasan dan pilihan-pilihannya. Puisi “Aku” kemudian mengantar Putri pada gerbang-gerbang tulisan sastra yang lain, baik karya-karya penulis dalam negeri maupun luar negeri. 

Menyoal Cinta dan Maut Pada Sajak Putih, Sia-Sia, Taman dan Doa

Narasumber pada siniar kali ini memilih tiga hingga empat puisi karya Chairil untuk kemudian dibahas bersama. Putri memilih empat puisi Chairil yang kebanyakan ditulis pada tahun 1943, yaitu “Sia-Sia”, “Taman”, “Doa”, dan “Sajak Putih” (1944). Pilihan-pilihan puisi ini didasari oleh rasa penasaran Putri pada tema-tema cinta yang terasa pada bait-baitnya. Tiga puisi di antara yaitu “Sia-Sia”, “Taman”, dan “Sajak Putih”, terasa memiliki penyampaian rasa cinta yang begitu kuat, entah cinta soal kisah-kisah asmara manusia maupun cinta pada lalu-lalang suasana manusia-manusia pada era Chairil saat itu. Pada puisi “Doa”, menyoal cinta tidak terlalu kentara, bagi Putri bait-bait puisi tersebut lebih menyampaikan persoalan hubungan manusia dengan harapan atau lebih tepatnya pada kepasrahan hidup. Menyoal cinta pada puisi Chairil, seperti mendapat tawaran tentang relasi cinta yang tidak terkesan rumit.  Bagi Putri, relasi manusia pada hari ini terasa penuh dengan kerumitan. Puisi Chairil hadir membawa angin yang lebih sederhana. menggambarkan hubungan yang terasa tidak menuntut banyak hal yang kemudian menimbulkan berbagai persoalan. 

Jika dibawa pada masa sekarang, sajak-sajak Chairil masih begitu relevan terutama tentang jalinan hubungan antar manusia. Meski sajak-sajak itu ditulis pada masa-masa Indonesia membangun jalan kemerdekaannya, namun Chairil seperti menatap tajam bagaimana zaman berjalan. Bagaimana antar manusia saling berhubungan di masa lalu dan justru masih terasa memiliki hubungan dengan masa sekarang. Ketelitian Chairil dalam membaca suasana hari-hari di tengah-tengah masyarakatnya dan menuangkannya pada bait-bait puisi, membuat pembacanya akan merasa barangkali Chairil justru tak pernah mati. Ia juga turut hidup hingga kini, melihat bagaimana kelelahan sekaligus harapan menempel pada tubuh manusia. 

Tak hanya menyoal cinta, Chairil juga seperti dengan sengaja menghadap-hadapkan cinta dengan perkara maut. Seperti pada puisi “Sajak Putih”:

Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah

Bagi Putri, Chairil seolah ingin berbicara pada kita bahwa persoalan cinta dan maut adalah hal yang tidak bisa kita hindari. Keduanya bisa kapan saja saling berhadap-hadapan dan menyerang. Rasa luka tak jadi soal ketika dihadapi bersamaan dengan cinta. 

Pencarian Jati Diri

Pada obrolan ini Putri berbagi bagaimana kemudian ia dari dunia tari menuju ke dunia sastra dan bersama kawan-kawannya menciptakan ruang pembacaan puisi yang diberi nama Unmasked Poetry. Sastra bagi Putri juga memiliki kesinambungan dengan tari, pencarian gerak dalam tari tradisi Bali yang ia geluti seringkali mendapat inspirasi dari bait-bait puisi yang ia baca. Tari dan puisi memiliki kaitan erat dalam meluapkan emosi dalam diri, emosi yang lama tersembunyi dan tak terbahasakan dengan istilah yang terikat. 

Penghujung obrolan ini sampai pada kenapa karya-karya Chairil begitu penting? Putri menyampaikan bahwa membaca karya Chairil seperti menyelami pencarian jati diri sebuah bangsa. Pada sajak-sajaknya, banyak bentuk-bentuk baik emosi maupun keadaan masyarakat yang digambarkan saat itu dapat menjadi referensi pembacaan ulang bagaimana mulanya manusia Indonesia berpikir dan menyelesaikan masalah-masalahnya. Dikemas dengan kemampuan cerdik mengatur diksi yang tak pernah padam oleh zaman. Chairil sekali lagi seolah tak pernah mati, ia betul-betul hidup seribu tahun lagi. 

Dengarkan obrolan lengkapnya tentang Chairil dan karyanya di Siniar Salihara Ngomong-Ngomong Soal: Aku dan Chairil episode 01.

blog-bpupki

Yang Ada dalam Risalah

Risalah Sidang BPUPKI berisi notulensi rapat persiapan Kemerdekaan Indonesia, yang dihadiri oleh tokoh-tokoh pendiri bangsa. Nama-nama tokoh yang muncul, seperti Abdul Abbas, Oto Iskandardinata, Abdul Kadir, Hatta, Radjiman, dan juga ada Soekarno sebagai salah satu anggota. Soekarno adalah tokoh yang muncul sebagai simbol dan sebagai personifikasi dari nilai-nilai politik yang diperjuangkan oleh bangsa Indonesia. Salah satunya adalah tokoh yang identik dengan rumusan Pancasila sebagai Dasar Negara Indonesia. 

Pada 1 Juni 1945, Pancasila pertama kali disebut oleh Soekarno dalam sebuah pidato panjangnya tentang Dasar Negara Indonesia, melalui rapat sidang BPUPKI. Rumusan tersebut muncul setelah melalui proses diskusi dan perdebatan yang panjang oleh tokoh-tokoh penting Indonesia, di antaranya Muhammad Yamin, Soeroso, dan Soepomo.  

“Kedaulatan rakyat Indonesia dan Indonesia Merdeka adalah berdasar perikemanusiaan yang universeel berisi humanisme dan internasionalisme bagi segala bangsa.” 

Muh. Yamin dalam Rapat Besar, 29 Mei 1945

 

Dalam notulensi Risalah Sidang BPUPKI, proses pembentukan Dasar Negara Indonesia dimulai pada 28 Mei hingga 1 Juni 1945. Di dalam notulensi tersebut memuat panorama pemikiran, perasaan, dan ketetapan hati para pelopor kemerdekaan. Impian dan harapan, gambaran hari lalu dan visi masa depan juga mendapat tempat dalam usaha mendirikan sebuah negara yang merdeka dan berdaulat. 

Lantas bagaimana suasana dan perdebatan para tokoh pendiri bangsa dalam menentukan berdirinya bangsa Indonesia? Ikuti Membaca Kitab yang “Hilang” : Risalah BPUPKI untuk membaca kembali dan melihat bagaimana perjalanan sejarah terbentuknya bangsa Indonesia. Daftar di sini.

Dikutip dan disarikan berdasarkan buku kumpulan Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI),  Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta 1998.

Mengapa Sutan Takdir Alisjahbana

Mengapa Sutan Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane Berpolemik?

Sutan Takdir Alisjahbana (STA) adalah sastrawan yang lahir tahun 1908. Pada tahun 1933, STA menjadi salah satu sastrawan yang menerbitkan majalah sastra Poedjangga Baroe. Di penghujung masa pemerintahan kolonial Belanda, STA menjadi tokoh penting dalam pencarian identitas Indonesia. Ia menulis esai Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru yang diterbitkan Poedjangga Baroe tahun 1935. 

Jiwa yang melahirkan Borobudur yang luhur itu tidak ada sangkut pautnya dengan semangat menyala-nyala dalam dada para penganjur cita-cita keindonesiaan dalam abad kedua puluh ini.

Paragraf dari esai STA yang mewakili pemikirannya tentang masyarakat Indonesia seharusnya membawa nilai-nilai kemajuan dan modernitas ala Barat. Sanusi Pane salah satu sastrawan angkatan Poedjangga Baroe, tidak setuju dengan pemikiran STA. Ketidaksepakatan Sanusi Pane ditulis dalam esai Persatuan Indonesia tahun 1935. 

Zaman sekarang ialah kelanjutan dari zaman sebelumnya. Manusia tidak mampu menciptakan kekinian yang baru sama sekali.

Dalam esainya, ia menyatakan bahwa pemikiran STA justru menentang semangat kedaerahan. Tulisan STA dan Sanusi Pane menjadi awal masuknya perdebatan pendapat dalam menentukan orientasi kebudayaan Indonesia. Perdebatan ini tidak hanya antara STA dan Sanusi Pane, tapi juga menyulut tokoh lainnya untuk ikut berpendapat, salah satunya Ki Hadjar Dewantara. Perdebatan inilah yang memicu Polemik Kebudayaan hingga muncul pandangan identitas Indonesia yang ala Barat atau ala Timur. 

Kenapa polemik ini menjadi ramai dan penting untuk dibicarakan? Dengarkan perbincangan lengkapnya di Siniar Salihara, Ngomong-ngomong Soal Polemik Sastra dan Seni episode 01. 

 

Ditulis oleh: Udiarti

syafii

Obituari: Ahmad Syafii Maarif

Ahmad Syafii Maarif (Nagari Calau, Sumatra Barat, 31 Mei 1935-Yogyakarta, 27 Mei 2022) yang akrab dengan panggilan Buya Syafii, adalah cendekiawan Indonesia yang membawa nilai-nilai pluralisme dan toleransi. Ia juga sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah sepanjang 1998-2005. Buya Syafii dikenal dengan membawa pemikiran Islam Modern.

Pada 1942 Buya Syafii mengawali pendidikannya di Sekolah Rakyat (SR) Sumur Kudus. Lulus dari SR pada 1947 tidak langsung membuat Buya Syafii meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi. Ia sempat berhenti sekolah selama beberapa tahun karena kondisi ekonomi keluarganya. Pada 1950, ia melanjutkan sekolah di Madrasah Muallimin Muhammadiyah Balai Tangah.

Buya Syafii mulai merantau ke Jawa pada 1953. Ia sempat menjadi pimpinan redaksi majalah Sinar, majalah pelajar Muallimin di Yogyakarta. Ia sempat berkuliah di Universitas Cokroaminoto dan pada 1964 memperoleh gelar sarjana muda. Sebagai mahasiswa, Buya Syafii bergabung dengan Himpunan Mahasiswa Islam. Buya Syafii mendapatkan gelar doktornya dari Universitas Chicago, Amerika Serikat, pada Program Studi Bahasa dan Peradaban Timur Dekat.

Pemikirannya yang terbuka dan mendukung nilai-nilai pluralisme ia bagikan melalui tulisan-tulisannya. Di antaranya yang terangkum dalam buku Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah; Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara, dan Membumikan Islam. Jasanya yang begitu besar dalam mengajak untuk terus menjaga sikap toleransi, membuat Buya Syafii kerap disebut sebagai Guru Bangsa.

Buya Syafii mendapat banyak penghargaan. Di antaranya penghargaan People of The Year 2020 kategori Lifetime Achievement pada 2020 dan penghargaan Ramon Magsaysay dari pemerintah Filipina pada 2008. Ia juga pernah menjadi presiden World Conference on Religion and Peace (WCRP), sebuah forum tokoh-tokoh lintas agama dunia di New York. Pada 2020, ia mendirikan Maarif Institute sebagai bentuk komitmennya pada nilai-nilai keislaman, kemanusiaan, dan keindonesiaan.

Di Indonesia sangat jarang tokoh intelektual yang dengan sungguh-sungguh menanamkan nilai-nilai pluralisme dan toleransi. Buya Syafii hadir dengan pandangannya yang lebih netral terhadap Islam. Pemikiran yang berusaha untuk tidak menghakimi satu sama lain. Pandangan seorang tokoh Buya Syafii sangat kita butuhkan di tengah kondisi kita yang lebih sering terombang-ambing oleh hal-hal yang belum jelas kebenarannya. Selamat jalan, Buya Syafii. Karya dan pemikiranmu menjadi teladan bangsa ini.

richard

Obituari: Richard Oh

Richard Oh (Tebing Tinggi, 30 Oktober 1959 – Jakarta, 7 April 2022) adalah perpaduan yang jarang bagi dunia sastra dan film Indonesia. Ia berangkat dari bisnis periklanan, masuk dunia sastra dan film sebagai hobi yang kemudian jadi serius. Namanya mulai dikenal publik ketika mendirikan toko buku berbahasa Inggris QB World Books pada 1999. Indonesia baru saja mengalami kerusuhan dan Reformasi, gerai yang bertempat di jalan Sunda, Jakarta Pusat—di lantai dasar gedung yang sama dengan lokasi Bakmi GM—ini menawarkan kafe dan toko buku yang nyaman dan mentereng, yang waktu itu belum jamak. Sebelum mal jadi lazim, bisa dibilang Richard Oh adalah orang yang memperkenalkan paduan intelektualitas dan gaya hidup gemerlap perkotaan.

Tapi, kecintaannya pada sastra bukan cuma permukaan. Sejak kecil sebenarnya ia suka mengarang. Pendidikannya adalah penulisan kreatif di University of Wisconsin, Madison, dan University of California, Berkeley. Ia bekerja di periklanan dan berbisnis sebelum memutuskan untuk ikut berkiprah di dunia sastra dan film. Dekade awal 2000-an adalah periode optimistisnya di dunia sastra. QB World Books membuka gerai baru, ia membuat penerbit Metafor—salah satu buku pertamanya adalah Goenawan Mohamad: Sajak-Sajak Lengkap 1961-2001, bekerja sama dengan Metro TV dalam program Book Review. Bahkan, melalui penerbit yang sama, ia menerbitkan majalah Jakarta Review of Books—meski hanya bertahan beberapa nomor. Pada 2001 ia melahirkan Khatulistiwa Literary Award, hadiah sastra tahunan dengan nilai seratus juta rupiah, yang penyerahannya dilakukan di Atrium Plaza Senayan. Meski berubah nama dan beberapa tahun belakangan ini nilai hadiahnya menurun jauh, Kusala Sastra Khatulistiwa tetap menjadi penghargaan sastra yang bergengsi dan dinanti.

Masa cemerlang toko buku kafe mulai redup dengan pergantian ke zaman digital. Tak sampai sepuluh tahun, QB World Books menutup gerai-gerainya. Richard dikenang membiarkan para pecinta buku, yang kebanyakan tak punya uang, mengambil buku-buku tanpa jaminan melunasi. Ia kemudian membuka Reading Room di Kemang Timur, tempat orang bisa menikmati perpustakaan dan kafe, ikut diskusi atau nonton film bersama. Bahkan, setelah Reading Room tutup, ia masih berniat membuka ruang yang sama di kawasan Bumi Serpong Damai.

Richard mengarang dan membuat film—baik sebagai produser, sutradara, penulis naskah, maupun pemain. Novel pertamanya, The Pathfinders of Love (2000). Film pertamanya—ia menjadi penulis dan sutradara—adalah Koper (2006). Tapi, karya layar lebarnya—juga sebagai penulis naskah dan sutradara—yang paling dinanti publik barangkali adalah Perburuan (2019), adaptasi dari novela Pramoedya Ananta Toer. Di antara itu, ia ringan bermain sebagai aktor pembantu di banyak film, antara lain Yowis Ben (1), 2, dan 3.

Tidak semua karya Richard Oh dibicarakan orang, tidak semua usahanya berhasil. Tapi, di dalam jatuh-bangun hidup dan bisnisnya ia tidak pernah berhenti berkarya atau menciptakan ruang-ruang bagi bertumbuhnya sastra dan film. Itu semua justru menunjukkan cinta dan dedikasinya yang luar biasa pada sastra dan film. Selamat jalan, Richard Oh! Selamat beristirahat, teman!

 

Sumber foto: Instagram/@richard0h._

soedarsono

Obituari: Srihadi Soedarsono

Srihadi Soedarsono Adhikoesoemo (Solo, 4 Desember 1931一Bandung, 26 November 2022) adalah salah satu tokoh dan seniman penting dalam khazanah seni rupa Indonesia. 

Ia mulai gemar menggambar sejak usia dini. Pada masa pendudukan Belanda, ia senang melihat karya para pelukis Belanda di majalah d’Orient. Sementara pada masa pendudukan Jepang, ia telah menjumpai lukisan S. Sudjojono, Basoeki Abdullah dan lainnya di majalah Djawa Baroe.

Pada akhir pendudukan Jepang dan awal kemerdekaan, Srihadi Soedarsono bergabung secara sukarela dengan Ikatan Pelajar Indonesia (IPI). Dalam komunitas itu, ia ikut dalam kegiatan pembuatan poster-poster, grafiti, hingga menulis slogan-slogan perjuangan di dinding-dinding kota dan gerbong-gerbong kereta. 

Ia juga terlibat sebagai wartawan pelukis yang meliput peristiwa-peristiwa militer dan peperangan untuk dokumentasi, ulang-alik dari Solo dan Yogyakarta. Di tahun-tahun itu pula, rombongan Seniman Indonesia Muda (SIM, 1947) pindah ke kota Solo dan menempati sebuah gedung bekas bioskop, tidak jauh dari rumahnya. Ia berkenalan dengan S. Sudjojono, bergabung dengan SIM dan menjadi anggota termuda di perkumpulan itu, setelah sebelumnya gelar itu digenggam pelukis Kartono Yudhokusumo.

Srihadi Soedarsono melanjutkan pendidikan ke Balai Pendidikan Universiter Guru Seni Rupa FTUI Bandung (sekarang Institut Teknologi Bandung) pada tahun 1952. Di sana ia mendapatkan pengalaman dan ilmu yang sepenuhnya baru. Perjumpaannya dengan Ries Mulder membawanya kepada corak seni lukis baru, yaitu seni abstrak dan kubisme. Ia kemudian melanjutkan studi ke Ohio State University (OSU). Di sana ia berjumpa dan berkarya di satu gedung seni rupa bersama Roy Lichtenstein, pelukis Amerika Serikat yang mengembangkan Pop Art di era 1960-an.

Dari pengalaman itulah Srihadi Soedarsono membaurkan berbagai gaya seni lukis. Ia memiliki gaya abstraksi yang khas. Salah satu tema yang paling ditekuninya adalah “horison”. Melalui esensi garis dan warna, ia membagi tegas mana yang langit dan mana yang bumi. Karya yang bisa merepresentasikan ini adalah seri Borobudur. Sedangkan kecenderungan abstrak figuratif dapat ditemukan di lukisannya yang bertemakan tarian. Meskipun demikian, ia tak melulu menempuh seni abstrak itu. Ada pula periode kritik sosial dalam karya-karyanya, seperti seri lukisan Lapar dan Kemiskinan (1960-an), misalnya.

Srihadi Soedarsono senantiasa melukis sepanjang hidupnya. Baginya “lukisan adalah alat untuk menyampaikan buah pikiran, mengungkap rasa dan kalbu.” Baginya kehidupan ini secara keseluruhan adalah perjalanan spiritual. Kini, Srihadi Soedarsono telah berpulang, namun karya-karyanya abadi. 

Istirahat dalam damai, Srihadi Soedarsono. Indonesia berduka dan kehilangan.

Cerita Residensi - Wildan

Cerita Residensi: Wildan Indra Sugara

Pada akhir tahun 2019 saya berkesempatan untuk menjadi seniman residensi di Zentrum für Kunst und Urbanistik (ZK/U) Berlin, sebuah lembaga seni rupa dan hal-hal yang menyangkut kota dan manusia. Koridor dan kertertarikan personal dalam karya saya一saya sengaja tidak merencanakan bentukan karya akhir yang akan saya presentasikan一adalah hubungan antara manusia dan obyek konsumsi.

Sesampainya di Berlin, saat berjalan menuju ZK/U untuk pertama kali, saya tak menyangka bahwa kondisi akses pedestrian yang sebetulnya nyaman kadang dipenuhi oleh tumpukan obyek hasil konsumsi masyarakat setempat. Benda habis pakai seperti furnitur, elektronik, bahkan otomotif tergeletak bahkan menumpuk di sisi trotoar atau ujung taman. Hal tersebut menjadi poin menarik untuk saya angkat sebagai karya selama residensi di ZK/U.

ZK/U sendiri memiliki program seniman OPENHAUS yang diadakan tiap dua bulan sekali secara berkala dalam satu tahun. Menuju OPENHAUS pada bulan Januari, para seniman residensi ZK/U melakukan beberapa kali diskusi, sehubungan dengan konsep besar yang bertepatan dengan Transmediale 2020, rangkaian festival seni dan budaya digital. Tahun itu mengangkat tema “network”. Para seniman residensi sepakat menerjemahkan “network” sebagai hubungan-jejaring, entah itu hubungan antar manusia, manusia dan memorinya, manusia dan benda, dan lainnya.

Selama proses berkarya, saya menggunakan flaneur sebagai metoda berkarya. Saya menelusuri pedestrian di sekitaran Moabit dan beberapa sudut kota Berlin untuk meriset keberadaan obyek-obyek bekas pakai yang ditinggalkan. Beberapa obyek yang saya temukan kemudian saya bubuhi dengan teks kata kerja lampau yang berelasi dengan setiap obyek. Persentase keberadaan obyek yang dianggap obsolet di area publik lebih besar di area yang berdekatan atau berada di daerah pemukiman warga, sedangkan di luar itu yang ditemukan hanya sisa-sisa konsumsi produk-produk harian seperti residu pangan dan sejenisnya.

Budaya menumpuk benda obsolet seolah lumrah di kota itu. Padahal menurut kabar dari masyarakat setempat sebetulnya ada regulasi dari pemerintah yang mengatur tentang hal ini. Masyarakat yang ingin membuang benda bekas pakai seharusnya menghubungi dinas kebersihan setempat untuk mengadakan kesepakatan waktu dan biaya angkut yang harus mereka tanggung. Tapi lebih banyak dari mereka abai karena menghindari tanggungan biaya. Mereka membiarkannya sampai kurang lebih dua minggu sampai ada pihak yang bertugas mengambilnya atau menjadi target vandal masyarakat urban lainnya.

Kegiatan program residensi di ZK/U selain OPENHAUS adalah presentasi mingguan, kunjungan kurator, seniman, ahli dan open studio. Presentasi mingguan diadakan tiap senin, dengan menghadirkan dua seniman residensi sebagai pemateri presentasi. Materi presentasi tidak dibatasi pada satu tema atau bahasan. Pemateri dapat memaparkan karya-karya sebelumnya, proyek yang sedang dilakukan, membedah karya, atau bahkan melakukan performans.

Di sela-sela program residensi saya pun mengunjungi beberapa museum, pameran, presentasi, performans, dan studio visit. Di antaranya adalah Hamburger Bahnhof – Museum für Gegenwart, ACUD Macht Neu, CTM Festival 2020, KW Institute for Contemporary Art, Haus der Kulturen der Welt, Transmediale 2020, DDR museum, MMK museum of modern art Frankfurt, Ambiente 2020 dan lain sebagainya. Sembari melakukan kunjungan ke tempat tersebut saya lebih banyak berjalan kaki dengan tujuan sekaligus mengamati kondisi keberadaan benda-benda yang ditinggalkan di area publik.

Kunjungan ke beberapa tempat tersebut membuka cakrawala baru bagi saya baik dalam hal kemutakhiran bentuk kekaryaan yang memanfaatkan kemajuan teknologi atau mengapresiasi karya-karya seniman idola seperti Joseph Beuys atau Robert Rauschenberg secara langsung. Saya juga berjejaring dengan seniman-seniman yang berkarya di Berlin atau seniman Indonesia yang berkarya di Berlin.

 

Cerita Residensi - Argya

Cerita Residensi: Argya Dhyaksa

Pada awal residensi saya diperkenalkan pada seniman keramik bernama Eiair. Ia menyewakan tungkunya untuk saya pakai membuat keramik. Ia juga memberitahu di mana lokasi-lokasi membeli material keramik yang saya butuhkan. Karya-karya keramik yang ia buat sangatlah kecil, bahkan saya masih heran bagaimana ia bisa sesabar itu membuat keramik berukuran tidak lebih besar dari satu buku jari. Karya-karyanya mengajak untuk lebih menyadari keberadaan sesuatu yang tidak jarang luput oleh pandangan mata. Ketika saya berada Bangkok, Thailand, Eiair sedang menyiapkan karya-karya untuk pameran di Ceramic Art London yang sayangnya harus batal karena wabah yang menimpa ini.

Karya saya dari hasil residensi selama di Bangkok berjudul Sacred Admirer dan berikut catatan selama saya berada di Bangkok yang mungkin melatarbelakangi lahirnya karya tersebut.

Selama melakukan residensi, hal-hal yang membuat saya tertarik adalah keberadaan benda-benda mistis yang dipercaya memiliki kekuatan supranatural. Benda-benda itu beredar di masyarakat, bahkan mereka diberikan kebebasan untuk memeluk berbagai macam bentuk kepercayaan. Mereka pun diperbolehkan mengagungkan figur-figur yang keberadaannya dipercaya berdampak bagi kehidupan mereka. Karya saya merupakan perujudan dari hal tersebut. Saya meminjam visual dari hal-hal yang dianggap sakral dan dipuja di masyarakat, misalnya jimat-jimat dan tato “Sak Yant”. Saya memberikan sentuhan dari karakter budaya populer yang mengafirmasi kekuatan tersebut dengan syarat tertentu.

“Jika kamu menyimpan karya ini kamu bisa menjadi kebal peluru, dengan syarat kamu juga memakai rompi kebal peluru atau tidak keluar rumah dan menghindari peluru. Jika kamu memajang karya ini maka kamu bisa menjadi kaya raya, dengan syarat kamu bekerja dengan giat dan tidak memiliki pengeluaran terlalu banyak.”

Jimat-jimat dan benda-benda berbau mistis di Thailand diperjualbelikan secara legal dan terbuka. Bahkan ada tempat khusus yang melayani hasrat klenik atau kebutuhan untuk menuju jalan pintas kemudahan dalam berkehidupan dengan cara-cara supranatural. Amulet Market yang lokasinya sangat berdekatan dengan istana kerajaan menjual barang-barang klenik yang dipercaya berkhasiat untuk mempermudah orang-orang dalam menjalani kehidupan. Hampir semua benda berbau mistis seperti jimat kebal peluru, kesaktian, pelet sampai pesugihan bisa dicari di tempat ini. Saya suka melihat bentuk-bentuknya karena saya menaruh minat pada action figure. Tetapi saya menganggap obyek-obyek ini seperti benda-benda koleksi, ketimbang untuk kebutuhan untuk menuju jalan pintas.

Setelah itu saya mengamati proyek keramik yang diinisiasi oleh Wasinburee Supanichvoraparch. Mereka berkolaborasi dengan seniman muda dari sembilan universitas. Mereka menggabungkan dan mengembangkan motif-motif yang merupakan kearifan lokal dan warisan budaya dengan seni kontemporer. Mereka merefleksikan nilai dari desain untuk komunitas dan perubahan gaya hidup seiring berjalannya waktu.

Kegiatan lainnya, saya berkeliling Bangkok menaiki tuk-tuk, alat transportasi yang mirip dengan bajaj di Indonesia. Saya mengunjungi pembukaan pameran-pameran di sejumlah galeri yang diadakan rutin tiap tahun. Acara yang bertajuk Galleries Night itu digelar hanya dua hari saja dengan rute yang berbeda. Pameran yang membuat saya tertarik adalah pameran keramik di La Lanta Fine Art  dan WTF Gallery.

Thailand merupakan negara di mana filosofi Buddha bercampur dengan mistis dan supranatural. Hal pertama yang membuat saya tertarik ketika berada di sana adalah San Phra Phum atau rumah pemujaan roh/dewa pelindung. Para penduduk membuat sebuah miniatur rumah untuk dewa(?) atau roh(?) pelindung yang dipercaya bisa memberikan keberuntungan. Setiap pagi mereka mempersembahkan berbagai makanan dan minuman, biasanya fanta rasa stroberi karena warna merahnya menyimbolkan darah sebagai perujudan dari kehidupan dan kematian. Mereka hendak mengusir energi jahat di lingkungan San Phra Phum itu berada.

Saya berkunjung di rangkaian acara Bangkok Design Week. Salah satu pameran yang diminati orang banyak adalah pameran Hundred Years Between yang memamerkan karya-karya fotografi dari Thanpuying Sirikitiya Jensen. Beberapa pameran dari Bangkok Design Week ini menarik karena diadakan di sebuah bangunan tua, sehingga hanya beberapa pengunjung saja yang diperbolehkan berada di dalam ruangan.

Terakhir, saya berkunjung ke pameran Spectrosynthesis II- Exposure of Tolerance: LGBTQ in Southeast Asia di Bangkok Art and Culture Centre. Yang menarik perhatian saya adalah karya dari Ramesh Mario Nithiyendran seniman keramik yang berdomisili Australia. Ia kerap membahas isu seksualitas serta simbol-simbol mitos pada alat genital yang dituangkan ke dalam karya-karya keramiknya.

Cerita Residensi - Andrita

Cerita Residensi: Andrita Yuniza

Ketika saya melewati masa residensi di Gyeonggi Creation Center, Korea Selatan, ada pengalaman yang membuat saya terpesona kepada sebuah ide, di mana sesuatu yang abstrak punya andil kendali besar atas sesuatu yang tampak berjarak dengannya. Seperti halnya free will atau kehendak bebas seseorang dapat mengubah lingkungan kehidupannya. Kehendak bebas atau intensi (keinginan) seyogyanya memang tidak berbentuk, namun berdampak. Internet sebenarnya terbuat dari radiasi elektromagnetik—tidak berbentuk tetapi menyimpan banyak sekali informasi. Maka saya membuat beberapa karya eksperimental untuk menelusuri ide ini. Yang pertama adalah tentang hubungan antara Korea Selatan dengan Cina, yang ditautkan laut dan angin. Yang kedua membahas tentang gubahan gen atau DNA manusia; dan yang ketiga membahas tentang realitas hibrida (hybrid reality).

Korea Selatan dan Cina saling mempengaruhi satu sama lain secara tidak langsung dengan perantaraan alam. Kekuatan alam mempengaruhi ekosistem lingkungan, seperti bagaimana gelombang lautan datang silih berganti, atau bagaimana angin membawa partikel-partikel dari bagian bumi lain. Gyeonggi Creation Center terletak dekat dengan Haesolgil Track, dengan beting yang menghadap Laut Kuning, yang tersibak dua kali sehari setiap surut. Laut Kuning menghubungkan Korea Selatan dengan Cina, maka saya pun menganggap bahwa gelombang lautan pasti membawa ombak yang pernah menyentuh kedua daratan. Gelombang terjadi karena bulan mempengaruhi bumi. Dari pengamatan ini, saya menyadari bahwa pasang surut di area saya mirip dengan gelombang beta pada otak kita, yang menunjukkan keterjagaan otak kita di sebuah titik waktu. Hal ini terjadi ketika kita larut dalam sebuah aktivitas atau percakapan, seperti halnya hubungan antara Korea Selatan dan Cina. Tak hanya lautan, angin pun membawa serta debu kuning, atau kabut beracun yang timbul dari limbah industri. Hampir kasat mata tetapi dampaknya sungguh besar.

Melalui observasi ini, muncul ide untuk merekam gelombang sebagai karya cetak, atau print, mirip detektor gelombang seismik gempa bumi. Saya menggunakan etching, sebuah teknik cetak di mana cairan asam (acid) digunakan untuk menggerus pelat logam, dan apa yang tersisa dari reaksi kimia tersebut digunakan untuk membuat jejak gambar. Saya terpikir untuk menggunakan air laut alih-alih cairan kimia asam untuk menggerus logam. Tetapi air laut tidak sekeras air asam, sehingga hanya meninggalkan karat. Maka karya ini tidak selesai karena bagian yang terkorosi tidak cukup dalam untuk membuat cetakan, kecuali kalau saya ingin mencetak karat-karat tersebut. Tetapi saya tidak mau melakukannya.

Saya kemudian berpikir bagaimana saya dapat menciptakan bentuk angin, dan akhirnya memutuskan untuk menggunakan bebunyian. Saya meminta orang-orang tua dan muda untuk mengutarakan pemikiran mereka tentang “damai” dan harapan masa depan, dengan cara berbisik. Orang akan berbisik pada salah satu dari dua kondisi berikut: ketika sedang berbagi rahasia, atau ketika sedang berdoa. Saya menggunakan bisikan untuk menggubah suara angin. Saya ingin menyampaikan ajakan: mengapa kita tidak mengirimkan sesuatu yang baik, seperti doa atau harapan baik? Jangan kirimkan kabut beracun atau hal-hal yang merusak.

Sudah beberapa tahun saya memperhatikan perihal operasi plastik di Korea Selatan tetapi saya tidak tahu bahwa DNA pun dapat digubah. Saya tidak membahas mengenai operasi plastik tetapi saya kira sangat menarik bagaimana kita dapat mengubah bentuk/tampilan kita dengan mengatur sesuatu yang ukurannya mikroskopis, yaitu DNA. Ide ini mendorong saya untuk menelusuri kemungkinan adanya makhluk buatan atau artifisial di dunia pasca-manusia. Maka, saya menelusuri lebih jauh perihal biomaterial seperti biopolimer, untuk menciptakan makhluk baru.

Kali pertama saya mendengar tentang hybrid reality adalah ketika saya menghadiri simposium yang diadakan di MMCA Seoul. Di sana, seorang peneliti menjelaskan bahwa sekarang ini ada banyak ruang publik, dan salah satunya adalah internet. Kita mendiami dua alam, realita (kenyataan) dan realita internet (kenyataan maya). Sebagai seorang seniman yang dahulu banyak bekerja di ruang terbuka, ide ini tentu menantang pemahaman tentang konsep/ide ruang yang selama ini saya pegang. Maka, saya membuat sebuah proyek eksperimental dengan mencetak poster berisi kalimat-kalimat yang saya ambil dari Twitter. Biasanya kita mengunggah hal-hal dari realita kita ke internet. Sekarang, bagaimana jika hal-hal dalam internet itu kita bawa kembali pada realita, entah sebagai teks biasa atau sebagai angka biner?

Secara keseluruhan, saya gunakan waktu senggang untuk mengunjungi 25 pameran, 3 open-studio yang diadakan seniman residensi lain, lebih dari 10 museum seni, dan berbagai acara budaya. Saya takjub mengetahui ada begitu banyak art platform dan ruang seni di Korea Selatan; di Gyeonggi-do saja ada cukup banyak. Ada yang merupakan ruang milik negara, ada juga ruang milik pribadi atau perusahaan. Banyak perusahaan besar memiliki galeri seni. Maka, selalu ada hal untuk dilihat, selalu ada pembukaan pemeran untuk dihadiri, dan selalu ada kesempatan bertemu dengan seniman residensi lainnya. Saya jadi tahu lebih banyak mengenai bagaimana lanskap seni Korea Selatan kini menjadi sebuah destinasi bagi seniman internasional, karena begitu banyaknya program and seminar yang mengundang penggiat seni mancanegara. Negara ini juga melestarikan budaya tradisional mereka dengan tepat, sehingga menarik untuk dipelajari dan disaksikan. Saya menonton pertunjukan shaman yang berlangsung dua malam suntuk di sebuah teater tradisional di depan sebuah istana; sangat melelahkan tetapi sangat menarik.

Saya belum pernah mengikuti sebuah program residensi di tempat yang mempunyai program setahun penuh seperti di Gyeonggi Creation Center. Mereka memiliki program residensi satu tahun penuh khusus untuk seniman Korea Selatan. Pesertanya dipilih dari ratusan pemohon yang masuk; yang terpilih diberikan dana untuk berkarya. Maka ada lebih dari dua puluh seniman berkumpul di satu tempat. Terkadang, kami bersama-sama pergi mencari makan malam, menghadiri pembukaan pameran, atau ikut serta dalam bengkel seni yang diadakan seniman yang mengajar di institusi itu. GCC juga memiliki program pendidikan di mana seniman mengampu kelas atau bengkel seni bagi anak kecil atau lansia.