slot

“Sloth Canon” Tampil Perdana di Indonesia: Kolaborasi T.H.E (Singapura) dan Company 605 (Kanada) Hadir di Salihara

Sabtu-Minggu, 28-29 Juni 2025
20:00 WIB | 16:00 WIB
Teater Salihara

 

Jakarta, 26 Juni 2025 – Sebuah kolaborasi kelompok tari antara The Human Expression/T.H.E (Singapura) dan Company 605 (Kanada) akan mempersembahkan karya terbaru mereka dalam pertunjukan Sloth Canon pada 28-29 Juni 2025 mendatang.

Sloth Canon merupakan hasil gagasan dan koreografi dari Anthea Seah (T.H.E) dan Josh Martin (Company 605), dua figur penting dalam dunia tari kontemporer Asia dan Amerika Utara. Bersama lima penari dari berbagai latar belakang—Brandon Lee Alley, Haruka Leilani Chan, Chang En, Billy Keohavong, dan Rebecca Margolick—pertunjukan ini menafsirkan ulang pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang kerja kolektif, tubuh, kecepatan, dan ilusi dalam masyarakat

Koreografi di dalam Sloth Canon menceritakan dunia paralel penuh absurditas yang dimasuki oleh para penari, di mana gerak tubuh menjadi representasi dari “ambisi” yang  mengalami berbagai turbulensi. Ketika gelembung imajinasi mereka mulai mendekati dunia realitas, karya ini mengajak penonton memasuki dunia yang tidak stabil dengan pikiran magis yang kompulsif.

Sebagai kelompok seni asing, Indonesia menjadi negara pertama dalam tur mereka dan menampilkan karya Sloth Canon. Sebelumnya pentas ini perdana dilakukan di negara asal masing-masing kelompok yakni Singapura dan Kanada, Indonesia menjadi negara pertama–di luar negara asal mereka–sekaligus wadah baru dalam mempertunjukkan karya seni lintas-benua ini.

“Ini adalah pertama kalinya saya mengenal istilah Komunitas Salihara. Kami sering menggambarkan tim Sloth Canon sebagai sebuah peradaban mikro, jadi datang ke komunitas Salihara terasa seperti peradaban yang melayang bertemu dengan peradaban lain yang berakar di ruang ini.

Kami benar-benar antusias bisa membawakan Sloth Canon di ruang dan budaya seperti ini, dan yang paling kami tunggu adalah kesempatan untuk berinteraksi langsung dengan komunitas lain yang ada di sini.” ujar Anthea Seah, Koreografer T.H.E dalam merespons pertunjukan mereka di Teater Salihara.

Hal serupa pun juga dirasakan oleh Josh Martin, Koreografer Company 605 saat ditanya bagaimana reaksi kelompok saat akan membawakan karya ini di Salihara. Menurutnya, pengalaman pertama di Indonesia ini membuat ia ingin bersinergi baik dari segi budaya, lingkungan, hingga ruang pertunjukan dalam mempersembahkan apa yang sudah mereka persiapkan untuk pertunjukan nanti.

Sloth Canon akan menemani akhir pekan pengunjung Salihara secara perdana. Untuk bisa menikmati pertunjukan ini, pengunjung bisa melakukan pemesanan tiket di tiket.salihara.org dengan harga Rp110.000 (Umum) dan Rp55.000 (Pelajar). 

 

Tentang Penampil:

The Human Expression (T.H.E) Dance Company didirikan pada 2008 oleh Direktur Artistik Kuik Swee Boon. Berakar kuat di Singapura namun berpandangan universal, karya-karya tari kontemporer T.H.E menjadikan tubuh sebagai medium untuk menjelajahi dan merayakan kondisi manusia. Para seniman tari di T.H.E mendalami metodologi khas perusahaan ini, HollowBody™, yang membimbing mereka untuk mengakses naluri dan dorongan terdalam melalui gerak. Kosakata gerak T.H.E memiliki estetika yang sangat personal dan intens, namun tetap memukau dalam keragamannya. Didorong oleh keinginan tulus untuk menggali dimensi manusia yang rumit, halus, dan sering kali terabaikan, pengamatan tajam T.H.E terhadap kondisi manusia serta karya-karya orisinalnya menjadi cermin penting bagi isu-isu dan irama kehidupan kontemporer.

Company 605 terus menembus wilayah-wilayah baru dan membangkitkan estetika yang segar dan menggugah, bersama-sama membentuk seni tari yang sangat atletis, dengan fisik yang ekstrem dan berakar pada pengalaman manusia. Dipimpin oleh dua Direktur Artistik, Lisa Gelley dan Josh Martin, Company 605 adalah organisasi seni yang berbasis di Vancouver, yang terletak di atas tanah adat yang belum pernah diserahkan secara resmi oleh masyarakat Musqueam, Squamish, dan Tsleil-Waututh. Melalui proses kreatif yang kolektif, mereka menghasilkan beragam proyek tari dan pertunjukan yang menekankan pada penciptaan gerak dan eksplorasi fisik yang menantang. Karya-karya mereka mempertentangkan antara ekspresi mentah dan presisi, serta menonjolkan usaha, risiko, dan keterhubungan.

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________ 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org +62 813-1777-8480 (Cliff)

Teater Petra Akan Membawakan “Les Justes” karya Albert Camus Di Teater Salihara

Sabtu-Minggu, 21-22 Juni 2025
20:00 WIB | 16:00 WIB
Teater Salihara

 

 

Dok. Pribadi Teater Petra

 

Jakarta, 20 Juni 2025 – Komunitas Salihara menghadirkan sebuah pertunjukan klasik karya Albert Camus dengan judul “Les Justes” yang akan dibawakan oleh Teater Petra pada 21 dan 22 Juni 2025 mendatang. Karya ini menyuarakan konflik batin para revolusioner yang dihadapkan pada dilema antara perjuangan politik dan konflik batin antara nilai kemanusiaan dan tirani yang harus diberantas lewat kekerasan.

Drama Les Justes pertama kali ditulis pada 1949 yang berangkat dari peristiwa nyata yakni pembunuhan Adipati Agung Sergei Aleksandrovich, Gubernur Jenderal Moskow, oleh kelompok revolusioner Rusia bernama Partai Sosialis Revolusioner pada tahun 1905. Namun dalam versi Camus, ia lebih menggali sisi psikologis para revolusioner sekaligus “teroris” dalam melakukan berbagai tindakan. Camus mengajak kita melihat lebih dalam: apa yang mereka pikirkan saat harus mengambil keputusan yang tak pernah benar-benar hitam atau putih. 

Secara singkat karya Les Justes menceritakan sekelompok revolusioner yang merencanakan dan melaksanakan pembunuhan terhadap pemimpin tirani demi membebaskan rakyat dari penindasan. Para tokohnya adalah idealis muda yang bergulat antara moralitas pribadi dan keharusan politik. Tokoh utamanya, Ivan Kaliayev, merupakan penyair dan idealis yang percaya pada keadilan, tetapi juga harus menghadapi dilema batin mengenai pembunuhan dan kekerasan sebagai alat perjuangan. Ketika rencana pembunuhan akhirnya terlaksana, Kaliayev ditangkap dan dipenjara.

Di dalam penjara, ia harus menghadapi konsekuensi moral dari tindakannya, termasuk pertemuan yang penuh emosi dengan istri korban, yang menantangnya untuk mempertanyakan motif dan makna sejati dari apa yang dia lakukan. Karya ini merupakan drama lima babak yang cukup sering dibawakan oleh kelompok teater tanah air; Termasuk Teater Petra yang pernah membawakan naskah ini dalam Festival Teater Jakarta 2021.

Dok. Pribadi Teater Petra

 

Teater Petra sendiri merupakan kelompok teater ternama dengan sejumlah prestasi yang membanggakan. Kelompok ini didirikan pada 2016 dan merupakan wadah kreativitas remaja karang taruna dan pemuda yang ada di Kelurahan Galur, Jakarta Pusat. 

Kiprah kreativitas biasa berlangsung di Pusat Kesenian Taman Ismail Marzuki dalam rangka Festival Teater Jakarta. Pada 2022, Teater Petra dinobatkan sebagai grup alumni Festival Teater Jakarta setelah berhasil mendapatkan predikat sebagai grup terbaik selama tiga tahun berturut-turut.

Les Justes versi teater Petra disutradarai oleh Sultan Mahadi Syarif dan akan menemani akhir pekan pengunjung Salihara dengan garapan yang perdana dipentaskan di Teater Salihara. Untuk bisa menikmati pertunjukan ini, pengunjung bisa melakukan pemesanan tiket di tiket.salihara.org dengan harga Rp110.000 (Umum) dan Rp55.000 (Pelajar). 

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________ 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org +62 813-1777-8480 (Cliff)

serampai

“Serampai Selatan-Utara” oleh J Modern Quartet Sukses Mengalun di Teater Salihara

Jakarta, 24 Mei 2025
Sabtu, 20:00 WIB 
Teater Salihara

 

Jakarta, 23 Mei 2025 – Salah satu grup kuartet gesek yang fokus mendedikasikan diri untuk menginterpretasi karya-karya musik abad 20 telah sukses membawakan tiga repertoar di Teater Salihara pada Sabtu, 24 Maret 2025. J Modern Quartet, sebagai grup musik yang terdiri atas empat musisi strings yakni; Glen Afif Ramadan (biola), Saynediva Al Fatah Putra (biola), Galih Yoga Pratama (biola alto) dan Dubertho Christnoval Ngangady (Cello). 

Sebagai grup musik yang aktif sejak 2023–sebelumnya aktif di 2019 dengan nama Bangun Jiwo Quartet—J Modern Quartet hadir sebagai kelompok musik yang didukung oleh beberapa nama besar dalam dunia seni musik seperti Tony Prabowo, Kurator Musik dan Tari Komunitas Salihara, Max Riefer, Konduktor Utama Jakarta Modern Ensemble, dan Martin Jaggi, Dosen di The Yong Siew Toh Conservatory of Music, National University of Singapore.

Dalam pentas yang bertajuk Serampai Selatan-Utara yang dipentaskan di Teater Salihara kemarin, grup ini membawakan tiga repertoar musisi Indonesia hingga mancanegara dalam durasi 60 menit pertunjukan. Ketiga repertoar tersebut adalah: String Quartet No. 1 yang pada mulanya dipilih sebagai percobaan pertama pada awal latihan J Modern Quartet. Karya Béla Bartók memiliki unsur-unsur melodi, ritme, gaya polifoni atau kontrapung yang dikerjakan secara cermat dan kuat. 

Selanjutnya ada String Quartet No. 2 karya Matius Shanboone yang merupakan komposisi yang berangkat dari konsep repetisi dengan materi motif sederhana dan dikembangkan menjadi bentuk kompleksitas yang cukup rumit, ia mengakhiri komposisinya dengan kembali ke motif awal. Terakhir adalah Arangkak yang ditulis secara khusus oleh komponis Adi Darmawan untuk dimainkan oleh J Modern Quartet. Arangkak mencoba menyatukan konsep musik jaz dan yang nonjaz.

“Tiga repertoar pilihan ini merupakan hasil pilihan dari kami dan mentor untuk meningkatkan kemampuan pendengaran dan ensembleship antara satu dan yang lainnya, memasyarakatkan komposisi komponis lokal serta mengangkatnya ke publik.” Ujar Glen Afif Ramadan menjelaskan alasan pemilihan dari tiga repertoar yang dipersembahkan ke penonton.

Sebagai kelompok musisi muda, tampil di panggung Salihara merupakan salah satu tonggak pencapaian baru dari J Modern Quartet. Menjadikan Salihara sebagai wadah berkesenian sudah diangankan oleh kelompok ini sejak sebelum pandemi COVID-19. 

“Kesempatan untuk perform di Salihara merupakan mimpi dari kami dahulu kala sebelum Pandemi Covid. Saat masih kuliah impian itu hanya bagaikan mimpi. Jadi apapun hal yang terjadi, itu sangatlah di luar ekspektasi kami.” tambah Glen.

Tidak hanya J Modern Quartet yang merasa antusias membawakan karya mereka di Salihara, salah satu pengunjung sekaligus pengajar musik, Dorra Farhana membawa beberapa muridnya yang sama-sama fokus di alat musik strings untuk menikmati pertunjukan ini.

“Melihat mereka (murid-murid) senang dan excited bisa melihat kegiatan ini. Salah satu hal yang menarik adalah mereka bisa menyaksikan musisi dari jarak yang dekat.”

Pertunjukan Serampai Selatan–Utara dibawakan dalam format arena di mana jarak antara penonton dan musisi begitu dekat. Penonton bisa menyelami langsung setiap alunan yang dibawakan tanpa jarak seperti batas panggung dan sebagainya. Konser ini menjadi bagian dari program Komunitas Salihara yang senantiasa menghadirkan sajian musik lintas zaman dan disiplin—sebuah ruang bagi eksperimen musikal sekaligus penghargaan dalam mengeksplorasi khazanah musik oleh musisi tanah air.

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________ 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org +62 813-1777-8480 (Cliff)

ghost

Melihat Perjalanan 500 Juta Tahun Evolusi Kita dalam Pertunjukan Tari “Ghost of Hell Creek: Stone Garuda” di Teater Salihara

Jakarta,17-18 Mei  2025
Sabtu, 20:00 WIB | Minggu, 16:00 WIB
Teater Salihara

 

Jakarta,05 Mei 2025 – Prehistoric Body Theater (PBT), sebuah kolektif seni pertunjukan eksperimental berbasis di Jawa Tengah, hadir di Teater Salihara membawakan karya Ghosts of Hell Creek: Stone Garuda pada 17-18 Mei mendatang di Teater Salihara. Pertunjukan ini menjadi panggung pertama Ari Rudenko dan PBT di Teater Salihara.

Karya Ghosts of Hell Creek: Stone Garuda sebelumnya perdana dipentaskan di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta pada 2024 lalu dengan tajuk Ghosts of Hell Creek. Secara garis besar pertunjukan ini mengisahkan perjalanan evolusi selama 500 juta tahun, dimulai dari masa kejayaan dinosaurus hingga munculnya nenek moyang primata manusia melalui perspektif Acheroraptor– jenis raptor berbulu–dan Purgatorius; nenek moyang primata yang berhasil bertahan dari kepunahan massal akibat tumbukan asteroid Chicxulub 66 juta tahun yang lalu.

Pertunjukan ini  menghadirkan narasi yang mendalam tentang asal-usul manusia dan krisis planet yang kita hadapi saat ini melalui penelitian dan kolaborasi yang mendalam antara sang seniman dengan ilmuan paleontologi internasional. Pertunjukan ini membawa kita melihat gerak anatomi, kinetika, dan perilaku dari hewan-hewan pra-sejarah melalui tubuh para penarinya.

Melalui karya ini penonton dapat menemukan pertemuan unik antara ekspresi tubuh yang berakar tradisi dengan imajinasi sains modern. Para penari PBT yang berakar pada tradisi secara kolektif mengembangkan gerak dari makhluk prasejarah lewat berbagai sumber termasuk hasil penelitian dari paleontolog dunia. Dengan demikian, karya ini menjadi jembatan antara seni dengan ilmu paleontologi global.

Ghosts of Hell Creek: Stone Garuda disutradari oleh Ari Dharminalan Rudenko, seorang seniman multidisiplin asal Amerika yang telah bermukim di Indonesia selama lebih dari satu dekade. Ari juga yang menjadi pendiri dari Prehistoric Body Theater dan lewat karya ini ia menghadirkan teater imersif yang menggabungkan antara sains, seni, serta konservasi alam.

Perbedaan antara Ghosts of Hell Creek versi 2024–di ISI Surakarta–dengan Ghosts of Hell Creek: Stone Garuda terletak pada instalasi artistik dan durasi pertunjukan. Sebelumnya, di 2024 pertunjukan ini dibawakan dalam format 90 menit, sedangkan di Salihara akan dibawakan dalam durasi 45 menit. Pertunjukan ini menjadi pertunjukan perdana Ghosts of Hell Creek di Jakarta dan selanjutnya karya ini akan dipentaskan kembali di Amerika Serikat pada Juni mendatang.

Bagi pengunjung yang ingin menyaksikan Ghosts of Hell Creek: Stone Garuda di Salihara dapat melakukan reservasi di tiket.salihara.org dengan harga Rp110.000 (Umum) dan Rp55.000 (pelajar). Pertunjukan tari ini bisa disaksikan oleh pengunjung berusia 12 tahun ke atas. 

 

Tentang Penampil:

Prehistoric Body Theater adalah kelompok pertunjukan seni-ilmiah eksperimental. Studio mereka terletak di tengah hutan Jawa Tengah, Indonesia. Prehistoric Body Theater terdiri dari para penari dan seniman pertunjukan Indonesia, yang semuanya berakar kuat dalam tradisi dan tari ritual dari berbagai penjuru nusantara. Karya-karya Prehistoric Body Theater merupakan sintesis dari teknik tari tradisional dan praktik budaya, panggung eksperimental mutakhir, serta riset kolaboratif yang berkelanjutan. Selain itu, Prehistoric Body Theater juga bekerja sama dengan panel mentor ilmuwan internasional, yang membantu merancang karakter dan narasi tari yang benar-benar didasarkan teori dan temuan paleontologi terkini.

Konsep awal Prehistoric Body Theater digagas oleh koreografer, Ari Dharminalan Rudenko, sekaligus sebagai Direktur Eksekutif dan Artistik. Ari meluncurkan proyek ini pada 2017 di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta bersama kelompok penari. Ari terus mengembangkan Prehistoric Body Theater sembari menempuh studi doktoral (Ph.D.) dalam bidang Penciptaan Tari di ISI, ia menulis disertasi dwibahasa tentang metodologi interdisipliner mengenai proyek pertunjukan pertama bertajuk Ghosts of Hell Creek.

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________ 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

ber3

Teater Gardanalla Kembali ke Teater Salihara Membawakan “Bertiga tapi Berempat”

Jakarta, 10-11 Mei  2025
Sabtu, 20:00 WIB | Minggu, 16:00 WIB
Teater Salihara

 

Jakarta, 30 April 2025 – Salah satu kelompok teater yang pernah mempresentasikan karyanya dalam Work In Progress di SIPFest 2024 lalu; Teater Gardanalla akan kembali hadir di Teater Salihara pada 10-11 Mei mendatang. Membawakan Bertiga tapi Berempat, Teater Gardanalla akan membawakan secara penuh lakon hasil dari pengembangan karya dengan judul Bertiga yang pertama kali dipentaskan pada 2009 silam. 

Joned Suryatmoko, Penulis dan Sutradara dari pentas ini mengatakan bahwa lakon Bertiga tapi Berempat bertumpu pada dua komponen yakni akting berlagak dan metateater (teater dalam teater). 

Dalam produksi Berempat tahun 2025 ini, naskah Bertiga yang hanya terdiri dari tiga karakter dibawakan oleh empat orang secara bergantian. Dengan begitu meta-teater (teater berbingkai) dalam karya ini langsung bisa dilihat ketika empat orang tersebut mengisahkan lakon Bertiga. Singkatnya, Berempat adalah peragaan Bertiga. Naskah Bertiga tidak dimainkan sebagaimana dulu tahun 2009,” jelas Joned.

Bertiga tapi Berempat berkisah tentang 13 tahun setelah sekelompok mahasiswa membakar majalah Gatra di depan Grha Sabha Pramana Kampus UGM Yogyakarta, tiga orang yang secara langsung dan tidak langsung terlibat dalam aksi itu bertemu kembali untuk bercinta bertiga. Sejumlah kisah terbuka di balik pembakaran itu dan masing-masing punya sisi sendiri di tiap kisahnya. Lakon ini juga memberi penonton pengalaman melihat dan mengalami politik lewat teater. 

Joned memilih lakon ini untuk dipentaskan sebab bentuk pemanggungan yang ditampilkan di Salihara nanti akan memberikan pengalaman keaktoran serta pengalaman menonton yang ‘lain’.  Dalam pentas ini, aktor tidak dituntut menjadi karakter melainkan dituntut untuk menjadi kritis lewat peristiwa yang terjadi di panggung.

Joned melanjutkan, “Alasan lain, baik Bertiga tapi Berempat mengajak kita melihat politik sebagai masa lalu, yang seringkali dibicarakan secara nostalgik dan dimanipulasi untuk kepentingan yang berbeda-beda. Dalam lakon ini nostalgia dan manipulasi ini bahkan dilipatgandakan. Setelah kita melewati tahun politik yang panas beberapa tahun terakhir, semoga pementasan ini memberikan ruang reflektif bagi kita melihat dinamika kita berpolitik belakangan ini.”

Tiket pertunjukkan dengan durasi 85 menit ini dapat dipesan melalui tiket.salihara.org dengan harga Rp110.000 (Umum) dan Rp55.000 (Pelajar) dan dikhususkan untuk penonton berusia 18 tahun ke atas. Pengunjung yang tertarik untuk menikmati karya ini tentunya akan mendapatkan pengalaman menonton teater yang menarik sesuai dengan harapan sang sutradara yang diajak untuk menjadi kritis bersama dengan aktor-aktor yang berlaga di atas panggung pada 10-11 Mei mendatang.

 

Tentang Teater Gardanalla

Berhimpun sejak 1997, Teater Gardanalla mulai memfokuskan diri pada pengembangan berbasis realisme dengan dasar kajian kehidupan sehari-hari di awal 2000-an. Lewat pendekatan ini produksi Gardanalla mulai mengeksplorasi model pemanggungan baik di panggung konvensional maupun di ruang publik, teknik akting, juga konflik dan tema lakon. Kekaryaan teater ini dan Joned Suryatmoko banyak difasilitasi Hibah Seni Yayasan Kelola yang memungkinkan Gardanalla bisa meneruskan eksplorasinya secara berkesinambungan. Hibah Seni yang diterima antara lain kategori Hibah Keliling lewat Tiga Dara (2002), dan beberapa Hibah Karya Inovasi seperti Jalur 17 (2005), Jam Sembilan Kita Bertemu (2007), Bertiga (2009), dan Margi Wuta (2013). Gardanalla juga hadir di Helateater Salihara 2014 dengan Sumur Tanpa Dasar karya Arifin C. Noer dan Art Summit 8.0 2016 dengan Margi Wuta #3, Bandung. Teater Gardanalla juga ikut menggagas dan mendukung berdirinya Indonesia Dramatic Reading Festival (IDRF) sejak 2009.

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________ 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

Ignas 1

Berita Acara Penjurian Pemakalah Terpilih

UNDANGAN TERBUKA MEMBACA PARAKITRI T. SIMBOLON DAN MEMBACA IGNAS KLEDEN

 

Pada Senin, 21 Juli 2025, telah berlangsung penjurian secara daring melalui platform Zoom Meeting untuk program Undangan Terbuka Membaca Parakitri T. Simbolon dan Membaca Ignas Kleden, yang akan dipresentasikan dalam Literature and Ideas Festival (LIFEs), 08–16 Agustus 2025. Proses ini dilakukan oleh Dewan Juri, yaitu Ayu Utami & Zen Hae.

Berdasarkan hasil penjurian dan diskusi yang dilaksanakan, Dewan Juri memutuskan dua pemakalah yang terpilih untuk mempresentasikan karya mereka pada 12 Agustus 2025 dalam program Klasik Nan Asyik: Membaca Ignas Kleden, yaitu sebagai berikut:

  • Fajri Siregar

Judul Makalah: Membaca Ignas Kleden: Merayakan Otonomi Keilmuan, Sikap Ilmiah dan Rasio

  • Alexander Aur

Judul Makalah: Sosiologi Keselamatan: Upaya Ignas Kleden Merumuskan Sosiologi Agama Konteks Indonesia 

Adapun pada program Klasik Nan Asyik: Membaca Parakitri T. Simbolon, Dewan Juri memutuskan bahwa tidak ada pemakalah yang terpilih untuk mempresentasikan karya pada 13 Agustus 2025. Keputusan ini diambil karena seluruh makalah yang diterima belum cukup memenuhi kriteria kelayakan yang telah ditetapkan oleh Dewan Juri, baik dari segi substansi, analisis, maupun keterkaitan dengan tema.

Demikian berita acara ini kami sampaikan dengan saksama. 

Keputusan Dewan Juri tidak dapat diganggu gugat.

 

Jakarta, 21 Juli 2025

Dewan Juri,

 

Ayu Utami
Zen Hae

 

les

Les Justes: Bom yang Gemetar di Tangan, Nurani yang Gemetar di Hati

Les Justes, yang dalam terjemahan Arif Budiman menjadi Teroris, adalah salah satu karya teater paling penting yang ditulis oleh Albert Camus, seorang filsuf Prancis yang terkenal dengan gagasan absurdisme dan humanisme. Karya ini bukan hanya sebuah drama panggung yang menegangkan, tetapi juga sebuah perenungan mendalam tentang konflik moral antara idealisme revolusioner dan nilai-nilai kemanusiaan yang paling mendasar. Dengan latar Rusia awal abad ke-20, naskah ini menyoroti sekelompok revolusioner yang hendak menyingkirkan seorang bangsawan tiran demi kebebasan rakyat Rusia. Namun di balik rencana penuh bahaya itu, Camus justru menampilkan dilema-dilema moral yang menggetarkan.

Cerita dimulai di sebuah apartemen sederhana di Moskow, markas para revolusioner. Babak demi babak menampilkan suasana yang tegang: diskusi tentang rencana pembunuhan, debat tentang disiplin partai, dan ketegangan antara semangat kolektif dan kebimbangan pribadi. Para tokoh utama di antaranya Annenkov (pemimpin yang tegas), Dora (sosok perempuan yang kuat tapi juga rapuh), Stevan (revolusioner fanatik yang penuh amarah), Voinov (yang gemetar oleh rasa takut), dan Kaliayev seorang penyair yang kelak menjadi eksekutor utama bom. Yang membuat drama ini hidup bukan hanya rencana aksi mereka, tetapi juga konflik batin yang merobek mereka satu per satu. Camus menghadirkan pertanyaan mendasar tentang apakah demi tujuan besar (keadilan dan kebebasan) seseorang berhak mengorbankan nilai-nilai kemanusiaannya? Pertanyaan ini tidak dijawab secara hitam putih. Drama ini justru memperlihatkan bagaimana setiap tokoh berusaha menegosiasikan idealisme mereka dengan nurani yang tak bisa dibungkam.

Kaliayev menjadi tokoh kunci dalam drama ini. Ia dijuluki “si Penyair” bukan hanya karena kegemarannya menulis sajak, tetapi juga karena jiwanya yang penuh keraguan dan kepekaan. Ketika dia mendapat tugas untuk melemparkan bom ke kereta yang ditumpangi sang bangsawan, dia sudah sangat siap dengan mempelajari jalur kereta, kecepatan kuda, bahkan retak pada kaca lampu kereta. Namun, segalanya berubah saat ia melihat ada anak-anak dalam kereta itu. Seketika itu juga, jiwanya memberontak. Kaliayev menolak melemparkan bom, karena bagi dia membunuh anak-anak adalah sebuah pelanggaran terhadap nilai kemanusiaan yang paling dasar. Momen ini menggambarkan bahwa seorang revolusioner tidak hanya bertempur dengan senjata, tetapi juga dengan hati nuraninya sendiri.

Konflik paling tajam terjadi ketika Stevan menuduh Kaliayev tak setia pada revolusi. Stevan adalah representasi ideologi yang ekstrem: bahwa demi revolusi, semua sah, termasuk membunuh anak-anak, jika perlu. Ia melihat kematian sebagai angka statistik yang tak lebih dari sekadar pengorbanan kecil demi perubahan besar. “Segala yang menghalangi tujuan revolusi harus disingkirkan!” begitu kira-kira argumennya. Stevan percaya bahwa keadilan sosial yang baru hanya bisa lahir melalui kekerasan tanpa ampun. Ini membuat kita sebagai penonton atau pembaca bertanya-tanya: apakah perjuangan keadilan sosial harus sampai menumpahkan darah anak-anak yang tak berdosa? 

Pertentangan antara Kaliayev dan Stevan ini menjadi inti drama: apakah revolusi harus mengabaikan kemanusiaan demi kemenangan? Kaliayev dengan penuh keyakinan menjawab tidak. Baginya, kehormatan manusia adalah satu-satunya harta yang dimiliki rakyat miskin. Ia percaya bahwa revolusi sejati adalah revolusi yang tetap menghargai martabat manusia. Camus, melalui Kaliayev, menegaskan bahwa terorisme yang membunuh anak-anak justru akan menciptakan bentuk tirani baru yang sama menindasnya dengan tirani lama yang hendak mereka gulingkan.

Tokoh Dora juga menambah lapisan emosional yang mendalam dalam drama ini. Sebagai perempuan yang terlibat penuh dalam pembuatan bom dan persiapan aksi, ia bukan hanya figur pendukung. Dora juga merasakan kegamangan yang bercampur aduk dengan kebanggaan, ketakutan, dan rasa cinta yang samar kepada Kaliayev. Dalam percakapannya dengan Kaliayev, Dora mengatakan bahwa mereka harus membunuh agar dunia menjadi lebih baik, tetapi di dalam hatinya dia sadar bahwa bom bukan hanya menghancurkan tiran, tapi juga menghancurkan kepolosan dan nurani mereka sendiri. Dialog antara Dora dan Kaliayev memperlihatkan bahwa dalam revolusi, mereka tidak hanya kehilangan hidup, tetapi juga rasa kemanusiaan yang membuat mereka berharga sebagai manusia.

Camus sendiri menulis drama ini berdasarkan kisah nyata tentang percobaan pembunuhan terhadap Grand Duke Sergei Alexandrovich pada 1905 oleh kelompok Sosialis Revolusioner Rusia. Namun dalam naskahnya, Camus memilih untuk menggali lebih dalam tentang psikologi para teroris itu, tentang apa yang mereka pikirkan, rasakan, dan bagaimana mereka bergulat dengan pilihan moral yang berat. Ia menolak melihat mereka sekadar sebagai “penjahat” atau “pahlawan,” tetapi lebih sebagai manusia biasa yang dilanda dilema. Dalam salah satu dialog paling menggetarkan, Stevan menegaskan bahwa rasa malu hanyalah kemewahan bagi kaum bangsawan, sedangkan bagi rakyat kecil, yang paling penting adalah kemenangan. Kaliayev menolak pandangan ini. Baginya, rasa malu adalah satu-satunya kekayaan yang tersisa bagi orang-orang tertindas. Ini menjadi kritik keras Camus terhadap revolusi yang lupa pada martabat manusia dan hanya mengejar kekuasaan. Camus ingin menegaskan bahwa revolusi yang adil tidak bisa dibangun di atas kejahatan yang sama dengan musuh yang mereka lawan.

Melalui Les Justes, Camus menegaskan pandangannya bahwa keadilan tidak bisa dicapai melalui kekerasan buta yang mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan. Ia menolak ide bahwa “tujuan menghalalkan cara.” Naskah ini bukan hanya kisah tentang bom dan konspirasi, tetapi sebuah pengingat bagi kita semua bahwa perubahan yang sejati tidak boleh melupakan nilai-nilai manusiawi. Kalau revolusi kehilangan belas kasih, ia akan tumbuh menjadi tirani baru.

Terjemahan Arif Budiman berhasil menghidupkan ketegangan dan kedalaman pemikiran Camus dengan bahasa yang mengalir, dialog yang tajam, dan adegan-adegan yang dramatis. Pembaca Indonesia dapat merasakan atmosfer tegang markas revolusioner, keraguan yang menusuk batin, dan ketegangan antara cita-cita dan rasa kemanusiaan. Pada akhirnya, Les Justes bukan hanya sebuah drama tentang para teroris yang ingin menjatuhkan tiran, tetapi juga tentang manusia yang rapuh, yang dihadapkan pada pertanyaan abadi: sampai di mana kita bisa mengorbankan nilai kemanusiaan demi cita-cita besar? Drama ini mengajak kita untuk merenungkan, bahwa sekalipun keadilan itu penting, tetap ada garis merah yang tak boleh dilanggar, yaitu kehormatan manusia.

Les Justes bukan hanya tentang perjuangan, tetapi juga tentang nurani manusia yang bergolak. Di balik ledakan bom yang mereka persiapkan, ada ledakan di hati mereka sendiri yang penuh keraguan, ketakutan, dan keyakinan yang saling bertarung. Pada 21 dan 22 Juni 2025, Teater Petra akan membawakan Les Justes di Komunitas Salihara dan mengajak kita semua untuk ikut merenungkan tentang bagaimana nurani dan revolusi bisa berdamai, atau justru saling menghancurkan? 

 

Parakitri 1

Undangan Terbuka
Membaca Parakitri T. Simbolon

Parakitri T. Simbolon, 30 tahun silam, menerbitkan buku yang monumental Menjadi Indonesia. Karya ini penting terutama karena, pada zamannya, ia menekankan gagasan bahwa Indonesia adalah proses menjadi, bukan identitas yang telah beku. Selanjutnya, judul itu digunakan banyak pihak, termasuk LIFEs yang merayakan 80 tahun kemerdekaan kali ini. Menjadi Indonesia adalah suatu usaha awal menuliskan sejarah Indonesia dengan perspektif yang lebih luas dan kritis di zaman ketika informasi masih sangat terbatas dan pemerintah Indonesia sangat otoriter. Buku ini merupakan bukti sejarah tentang semangat menolak satu versi saja sejarah resmi ala pemerintah. Selain Menjadi Indonesia, Parakitri juga menulis novel dan cerpen, antara lain: Ibu, Si Bongkok, Kusni Kasdut, Tawanan.

Kami mengundang anda untuk membaca kembali karya-karya Parakitri T. Simbolon dan membuat esai kajian mengenainya untuk dipresentasikan dalam Literature and Ideas Festival (LIFEs) 08-16 Agustus 2025.

 

Ketentuan:

  • Karya tulis sebaiknya mengambil fokus dan sudut pandang cukup tajam dan dengan pembacaan dalam, serta kritis pada pilihan karya-karya Parakitri T. Simbolon, baik buku Menjadi Indonesia, novel, cerpen, atau esai-esai lain. Beberapa gugus topik yang potensial, antara lain: perbandingan Menjadi Indonesia dengan buku-buku sejarah Indonesia yang terbit belakangan ini, kritik sastra atas novel atau cerpen Parakitri T. Simbolon.
  • Karya ditulis dalam bahasa Indonesia, diharapkan berbentuk prosa yang elegan (bukan format akademis kaku).
  • Panjang karya tulis berkisar antara 5000-8000 kata, dikirim dalam format docs.
  • Karya tulis dikirim ke email: opencall@salihara.org, tenggat waktu pada 12 Juli 2025, pukul 23:59 WIB.

 

Lain-lain:

  • Peserta terpilih akan diumumkan/dihubungi pada 20 Juli 2025.
  • Peserta terpilih akan diundang untuk membawakan presentasi dalam LIFEs pada Rabu, 13 Agustus 2025, dan mendapatkan honorarium sebesar Rp1.500.000 (sudah dipotong pajak dan termasuk pemuatan di kalamsastra.id). 
  • Keputusan Dewan Juri tidak dapat diganggu-gugat dan tidak menerima surat-menyurat.
Ignas 1

Undangan Terbuka
Membaca Ignas Kleden

Ignas Kleden adalah figur penting dalam tradisi intelektual Indonesia. Tak hanya meneruskan kegigihan berpikir kritis dari cendekiawan era sebelumnya, ia juga memulai kajian sejarah intelektual Indonesia, yang ditulisnya dalam prosa yang indah, melampaui gaya kaku dunia akademik. Sejarah intelektual sangatlah penting untuk mengimbangi “sejarah resmi” Indonesia yang didominasi kepentingan politik dan kekuasaan. 

Kami mengundang anda untuk membaca kembali karya-karya Ignas Kleden dan membuat esai kajian mengenainya untuk dipresentasikan dalam Literature and Ideas Festival (LIFEs) yang berlangsung pada 08-16 Agustus 2025. 

 

Ketentuan:

  • Karya tulis tidak lagi berbicara secara umum, melainkan mengambil fokus dan sudut pandang yang tajam dan dengan pembacaan dalam serta kritis atas pilihan buah pikir Ignas Kleden. Beberapa gugus topik yang potensial, antara lain: tawaran dan persoalan kritik sastranya, gagasannya tentang peran dan tradisi intelektual di Indonesia, pemikiran sosiologis dan filosofisnya dalam pergulatan antara teori-teori Barat dengan konteks Indonesia.
  • Karya ditulis dalam bahasa Indonesia, diharapkan berbentuk prosa yang elegan (bukan format akademis kaku).
  • Panjang karya tulis berkisar antara 5000-8000 kata, dikirim dalam format docs.
  • Karya tulis dikirim ke email: opencall@salihara.org, tenggat waktu pada 12 Juli 2025, pukul 23:59 WIB.

 

Lain-lain:

  • Peserta terpilih akan diumumkan/dihubungi pada 20 Juli 2025.
  • Peserta terpilih akan diundang untuk membawakan presentasi dalam LIFEs pada Selasa, 12 Agustus 2025, dan mendapatkan honorarium sebesar Rp1.500.000 (sudah dipotong pajak dan termasuk pemuatan di kalamsastra.id). 
  • Keputusan Dewan Juri tidak dapat diganggu-gugat dan tidak menerima surat-menyurat. 
patri

Menjadi Indonesia: Proyek Kebangsaan yang Tak Pernah Selesai

Catatan pendek pemikiran Parakitri T. Simbolon.

 

Apa artinya menjadi Indonesia? Pertanyaan ini terdengar sederhana, namun kita masih berhati-hati untuk memberikan jawaban yang pasti. Dalam konteks hari ini, ketika identitas kebangsaan kerap dipertanyakan dan bahkan ditarik-tarik untuk kepentingan politik sesaat, pertanyaan ini kembali penting untuk diajukan. Parakitri T. Simbolon, dalam karyanya Menjadi Indonesia, mengajak kita melihat bahwa Indonesia bukan sesuatu yang “sudah jadi”, melainkan sesuatu yang terus diupayakan. Indonesia adalah sebuah proyek kebangsaan yang dibangun melalui pergulatan ide, bukan sekadar hasil dari geografi atau sejarah politik belaka.

Parakitri T. Simbolon tidak memulai ceritanya dari titik deklaratif seperti Proklamasi 17 Agustus 1945. Ia justru menelusuri proses panjang terbentuknya kesadaran kebangsaan Indonesia, suatu proses yang menurutnya jauh lebih penting daripada sekadar momen-momen monumental. Dalam pandangannya, nasionalisme Indonesia tidak muncul dari kekosongan, melainkan lahir melalui dinamika sosial, budaya, dan intelektual yang terjadi di awal abad ke-20. Ia menunjukkan bahwa menjadi Indonesia adalah sebuah pilihan sadar, bukan sesuatu yang jatuh dari langit atau terbentuk secara otomatis karena adanya penjajahan yang sama. Gagasan bahwa Indonesia adalah sebuah “bangsa yang dibayangkan” bukan hal baru, dan Parakitri T. Simbolon tidak menampik konsep ini yang diperkenalkan oleh Benedict Anderson. Ia melihat bagaimana proses pengimajinasian itu dilakukan secara sadar oleh para intelektual dan pemikir awal bangsa. Tokoh-tokoh seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan lainnya tidak sekadar menjadi pahlawan, tapi mereka adalah konseptor yang aktif merumuskan dan mempertanyakan: bangsa seperti apa yang ingin kita bangun? Apa artinya merdeka? Apa makna keindonesiaan itu sendiri?

Parakitri T. Simbolon menggali cara pikir para pemimpin bangsa dalam membayangkan Indonesia. Ia mengajak pembaca untuk memahami bahwa “Indonesia” adalah hasil dari kompromi gagasan, perdebatan panjang, dan dialog antara banyak kepala yang berbeda latar. Konsep persatuan, misalnya, bukan lahir dari semangat keseragaman, melainkan dari kesadaran bahwa keberagaman adalah keniscayaan yang harus dirawat. Menjadi Indonesia, bagi Parakitri T. Simbolon, bukan berarti meniadakan perbedaan, tetapi justru mencari titik temu di antara keberagaman itu. Inilah yang membuat konsep kebangsaan Indonesia sangat khas, ia tidak dibangun atas dasar satu ras, satu agama, atau satu bahasa ibu. Indonesia justru berdiri sebagai rumah bersama dari ratusan etnis, bahasa daerah, dan identitas lokal yang berbeda-beda. Dalam semangat itulah Pancasila dirumuskan, bukan sebagai alat pemersatu yang memaksa, melainkan sebagai landasan hidup bersama yang inklusif.

Namun, Parakitri T. Simbolon juga tidak romantis. Ia menyadari bahwa proyek kebangsaan ini selalu berada dalam ancaman: dari eksklusivisme identitas, dari pemusatan kekuasaan, hingga dari erosi nilai-nilai kebangsaan itu sendiri. Dalam narasinya, kita melihat bahwa sejarah Indonesia penuh dengan ketegangan antara cita-cita dan kenyataan. Antara impian kemerdekaan dan praktik kekuasaan. Antara nasionalisme yang mengikat dan politik yang membelah. Justru karena itulah, menjadi Indonesia adalah proses yang tidak pernah selesai. Ia bukan status yang bisa diklaim secara pasif, melainkan proses yang terus diperjuangkan. Setiap generasi punya tugasnya sendiri dalam menjaga dan membentuk ulang keindonesiaan sesuai konteks zamannya. Dalam hal ini, sejarah bukan sekadar pelajaran masa lalu, melainkan ruang refleksi dan orientasi ke masa depan.

Parakitri T. Simbolon menyentuh satu hal yang sangat relevan bagi generasi hari ini: pentingnya keterlibatan dalam percakapan kebangsaan. Ia menyayangkan kecenderungan publik yang melihat sejarah dan nasionalisme sebagai hal yang membosankan, milik masa lalu, atau sekadar jargon politik. Padahal, tanpa pemahaman mendalam tentang proses menjadi Indonesia, kita bisa dengan mudah terjebak pada nasionalisme sempit atau bahkan kehilangan orientasi sebagai bangsa. Salah satu kekuatan buku Menjadi Indonesia adalah kemampuannya menjembatani antara sejarah dan pemikiran.Parakitri T. Simbolon tidak hanya menyajikan kronologi, tetapi juga menafsirkan makna di balik peristiwa. Ia menulis dengan gaya reflektif, kadang filosofis, namun tetap membumi. Pendekatannya mengingatkan kita bahwa sejarah bukan hanya tentang siapa berbuat apa dan kapan, tapi tentang ‘mengapa’ hal itu dilakukan dan ‘bagaimana’ ia membentuk masa depan.

Dalam konteks kekinian, ketika masyarakat Indonesia menghadapi tantangan globalisasi, polarisasi politik, hingga krisis identitas, gagasan Parakitri T. Simbolon terasa sangat relevan. Ia mengingatkan bahwa menjadi Indonesia hari ini tidak bisa dilepaskan dari bagaimana kita membaca dan memahami perjalanan menjadi Indonesia sejak dulu. Menjadi Indonesia berarti memelihara semangat perdebatan, menjaga ruang publik yang sehat, dan merawat semangat kebersamaan tanpa menghapus perbedaan. Parakitri T. Simbolon juga menyiratkan bahwa menjadi Indonesia berarti menjaga akal sehat politik. Nasionalisme yang sehat tidak memusuhi perbedaan, tetapi mengakomodasi dan merayakannya. Ia tidak dibangun atas dasar ketakutan terhadap “yang lain”, tetapi atas keyakinan bahwa kita bisa tumbuh bersama dalam perbedaan. Dalam pandangan ini, nasionalisme bukanlah eksklusivitas, tapi keterbukaan terhadap kompleksitas realitas.

Menjadi Indonesia bukan hanya buku sejarah. Ia adalah undangan untuk berpikir ulang tentang siapa kita sebagai bangsa. Ia adalah ajakan untuk melihat Indonesia bukan sebagai warisan mati, tetapi sebagai warisan hidup yang menuntut partisipasi dan komitmen. Dalam dunia yang terus berubah dan penuh tantangan, kesadaran semacam ini menjadi sangat penting. Kita mungkin tidak pernah bisa sepenuhnya ‘selesai’ menjadi Indonesia. Tapi justru dalam ketidaksempurnaan dan pergulatan itulah, makna keindonesiaan kita terus diperbarui. Dan seperti yang diyakini oleh Parakitri T. Simbolon, menjadi Indonesia adalah kerja sejarah yang dilakukan terus-menerus, oleh kita semua.

“Menjadi Indonesia” adalah tajuk LIFEs (Literature and Ideas Festival) 2025 yang akan berlangsung pada 08 hingga 16 Agustus mendatang. LIFEs kali ini akan mengajak publik untuk menelusuri karya-karya dari klasik sampai terkini, dalam diskusi maupun pentas inovatif, yang membincangkan apa itu menjadi sebuah bangsa. Informasi selengkapnya dapat dilihat melalui lifes.salihara.org