Sanggarbambu terbentuk pada 1 April 1959 di Yogyakarta, di tengah masa penuh pergolakan sosial-politik Indonesia. Ia tumbuh dari semangat idealisme seniman muda yang ingin menjembatani seni dengan masyarakat. Di bawah kepemimpinan Soenarto Pr., sanggar ini tak hanya menjadi ruang berkarya, tapi juga sebagai simbol cara baru untuk “menjadi seniman Indonesia” di antara tekanan ideologi dan kemiskinan bangsa yang baru merdeka.
Pada 1950 hingga 1960-an, kesenian di Indonesia tak lepas dari arus politik besar. Negara tengah membangun konsep “Demokrasi Terpimpin”, sementara dunia seni ditarik-tarik oleh dua kutub politik: Partai Komunis Indonesia (PKI), yang menyokong Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), berhasil menempatkan diri sebagai salah satu partai politik terbesar (dan terkuat) hingga 1965 dan partai-partai “sayap kanan” berbasis agama membentuk sanggar-sanggar atau kegiatan seni bahkan organisasi seni budaya, misalnya Lesbumi (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia), yang berpayung Nahdlatul Ulama.
Dalam situasi itu, Sanggarbambu menegaskan diri sebagai wadah yang “nonpolitik, independen, dan nonpartai”. Sikap netral ini bukan berarti pasif, sikap ini justru lahir dari kesadaran bahwa seni harus berpihak pada kemanusiaan dan pendidikan rakyat, bukan berpihak pada kekuasaan mana pun. Sikap tersebut ditunjukkan dalam kegiatan atau program-program yang mereka gelar. Salah satunya Sanggarbambu aktif melakukan pameran keliling ke berbagai kota, seperti Semarang, Pekalongan, Tegal, Madiun, hingga Madura, dengan cara sederhana, bahkan “gerilya”. Dana terbatas tidak menjadi halangan; yang terpenting adalah menjangkau masyarakat di luar pusat kebudayaan. Pameran sering disertai ceramah seni, demonstrasi melukis, lomba menulis, dan pertunjukan teater. Bagi Soenarto Pr. dan kawan-kawan Sanggarbambu, kegiatan itu adalah bagian dari “mission sacre” atau misi suci untuk menumbuhkan kesadaran estetika dan mempertebal rasa cinta tanah air.
Baca juga: Sanggarbambu: Seni dari Rakyat untuk Rakyat
Pertemuan Besar I Sanggarbambu pada Desember 1963 menjadi tonggak penting. Di sana disusun “Ikrar Sanggarbambu”, yang menegaskan bahwa seni dan seniman adalah “manusia sekaligus bangsa” serta pengabdi pada kemerdekaan jiwa. Ikrar itu lahir saat suasana politik Indonesia memanas, setahun sebelum G30S 1965. Di tengah persaingan ideologi yang tajam, Sanggarbambu berusaha menjaga jarak dari fanatisme politik. Mereka menganggap revolusi sejati bukanlah perebutan kekuasaan, melainkan “revolusi mental” yang memerdekakan manusia dari kebodohan dan kemiskinan. Semangat ini sejalan dengan gagasan Ki Ageng Suryomentaram tentang enam “sa” (sakbutuhe, sakperluhe, sakcukupe, sakbenere, sakmestine, sakpenake) atau hidup secukupnya, sewajarnya, sejujurnya, yang menjadi pedoman moral bagi seniman Sanggarbambu.
Kecenderungan apolitis Sanggarbambu dapat pula dibaca sebagai bentuk resistensi terhadap doktrin “politik sebagai panglima” yang saat itu mendominasi wacana seni. Mereka menolak tunduk pada ideologi, tetapi juga tidak menutup diri dari tanggung jawab sosial. Dalam pandangan Soenarto Pr., berkesenian adalah jalan spiritual dan sosial: cara untuk membangkitkan martabat manusia melalui keindahan dan kerja keras. Maka tak heran jika banyak tokoh yang lahir dari lingkungan Sanggarbambu kemudian dikenal luas di berbagai bidang, dari teater, sastra, hingga musik.
Baca juga: The Last Geishas: Menjaga Ingatan atas Tradisi yang Hampir Punah
Di tengah pusaran zaman yang keras, Sanggarbambu bertahan karena kesetiaan pada nilai-nilai kemanusiaan. Mereka menolak menjadi alat propaganda, tetapi tetap percaya bahwa seni punya daya politisnya sendiri: membangun kesadaran, memperhalus rasa, dan menanamkan keberanian berpikir merdeka. Dalam konteks itu, corak politik Sanggarbambu bukanlah ideologi formal, melainkan etika hidup, yakni keberanian untuk tetap bebas dan berpihak pada manusia.
Lebih dari enam dekade sejak kelahirannya, kisah Sanggarbambu tetap relevan. Ia mengingatkan bahwa di masa ketika politik sering menelan kebudayaan, masih ada kelompok seniman yang memilih jalan sunyi: bekerja dalam kesederhanaan, berpegang pada nurani, dan percaya bahwa revolusi yang sejati adalah revolusi kejiwaan. Karya pendiri dan arsip-arsip era keemasan Sanggarbambu dapat ditemukan dalam pameran Di Sini Aku Temukan Kau: Karya dan Arsip Sanggarbambu, yang diselenggarakan pada 04 Oktober hingga 07 Desember 2025 di Galeri Salihara. Beli tiket di sini.
 
								
















