swallow

Xu Lizhi dan Kegetiran Buruh dalam Puisi

“I swallowed an iron moon

they called it a screw

I swallowed industrial wastewater and unemployment forms

bent over machines, our youth died young

I swallowed labour, I swallowed poverty

swallowed pedestrian bridges, swallowed this rusted-out life

I can’t swallow any more

everything I’ve swallowed roils up in my throat

I spread across my country

a poem of shame”

19 Desember 2013

Sebuah penggalan puisi karya Xu Lizhi yang diterjemahkan oleh Eleanor Goodman dalam artikelnya di clb.org yang juga organisasi gerakan buruh yang mendukung kesejahteraan pekerja di Tiongkok. Puisi di atas berjudul I Swallowed a Moon Made of Iron, judul yang sama dengan judul pertunjukan musik dan teater karya Njo Kong Kie di Teater Salihara, 17 Maret mendatang. Njo Kong Kie banyak memasukkan elemen-elemen di dalam puisi Xu Lizhi ke dalam karyanya, hingga menjadi sumber inspirasinya dalam pembuatan konser musik dan teater dalam tur Asia Tenggaranya yang diselenggarakan di Singapura, Indonesia, Thailand, dan Malaysia. 

Siapa Xu Lizhi?

September 2014, Xu Lizhi memutuskan untuk mengakhiri hidupnya pada usia 24 tahun, ia meninggalkan sekitar 200 puisi yang tidak terpublikasikan. Saat itu ia bekerja sebagai salah satu buruh di Foxconn, sebuah perusahaan manufaktur yang menghasilkan berbagai perangkat elektronik untuk pembuatan telepon genggam, laptop, dan perangkat digital lainnya. Ratusan puisi yang ia tinggalkan menarasikan kehidupannya sebagai seorang buruh pabrik migran yang dipenuhi oleh rasa sengsara, putus asa, dan rasa kecewa. Tidak hanya menceritakan pengalaman pribadinya, puisi Xu juga menarasikan kehidupan umum para buruh di sana.

Pascakematiannya, puisi dan karya (esai, ulasan film, dan tulisan opini) yang ia tinggalkan menjangkau lebih banyak orang bahkan hingga tingkat mancanegara; memantik berbagai serikat ketenagakerjaan untuk menyuarakan kesejahteraan para pekerja.

Xu lahir di Guangdong, Tiongkok pada 18 Juli, 1990 dari keluarga seorang petani. Ia merupakan bungsu dari tiga bersaudara. Orang tuanya tidak bisa membaca, bahkan tidak ada perpustakaan maupun toko buku di tempat ia tinggal, Xu sendiri juga merasa tidak cocok untuk pekerjaan petani dan mendambakan untuk bisa masuk universitas demi meningkatkan taraf hidupnya. Namun sayang, nasib mujur tidak berpihak pada dirinya. Xu gagal masuk ujian universitas dan dibujuk oleh kedua kakaknya untuk pergi ke kota Shenzhen, setidaknya di sana mereka berpikir Xu akan mendapatkan kehidupan yang lebih layak. 

Xu memulai karirnya di Shenzhen pada 2011. Shenzhen yang dulunya merupakan sebuah desa nelayan kini berubah menjadi kota industri dengan potensi yang menjanjikan akibat pertumbuhan ekonomi yang melaju pesat di wilayah tersebut. Selain menjalani kehidupan sebagai buruh yang bekerja di pabrik dengan lingkungan kerja ekstrim, Xu menemukan ketenangan batin lewat tulisan. Tulisan-tulisan awal Xu terfokus kepada observasinya atas kehidupan para pekerja migran di Foxconn, menggambarkan kehidupan brutal di sana namun dibalut dengan pemilihan diksi dan kata yang begitu indah seperti penggalan puisinya berikut ini yang berjudul “Kuburan Terakhir” atau “The Last Graveyard”:

 

“Output weighs down their age, pain works overtime day and night

Usia mereka berkurang akibat bekerja siang dan malam

In their lives, dizziness before their time is latent

Dalam hidup mereka, sakit kepala bisa terjadi kapan saja

The jig forces the skin to peel

kulit mereka terkelupas oleh mesin-mesin yang bergerak

And while it’s at it, plates on a layer of aluminum alloy

dan tergantikan oleh lembaran logam alumunium

Some still endure, while others are taken by illness

Beberapa bertahan, namun sisanya tumbang oleh penyakit

I am dozing between them, guarding

Saya berbaring di antara mereka, menjaga

The last graveyard of our youth.

Kuburan anak-anak muda kita.”

— 21 December 2011 (Diterjemahkan oleh libcon.org)

Puisi dan Upayanya Mencapai Hidup yang Sejahtera

Xu Lizhi bertahan dalam kondisi hidup yang penuh tekanan di balik tembok-tembok pabrik manufaktur selama 3,5 tahun. Dunia yang Xu tinggali tidak mudah, dilansir dari artikel yang diterbitkan oleh time.com di tempat Xu bekerja sudah ada 17 percobaan bunuh diri dengan 14 yang meninggal pada 2010; satu tahun sebelum Xu bergabung. Alasan kematian mereka tidak terdefinisikan dengan jelas akibat ketatnya keamanan dan kerahasiaan perusahaan. Serikat pekerja lokal mengatakan alasan adanya “badai” bunuh diri tersebut disebabkan oleh jam kerja yang panjang, bayaran yang tidak sesuai, dan pola kerja yang monoton. Untuk bisa bertahan dari situasi yang seperti itu, satu-satunya pelarian yang  Xu Lizhi lakukan adalah dengan menulis puisi. 

Puisi yang ia terbitkan di berbagai media, baik media lokal maupun platform daring dan berteman dengan sesama penulis di wilayahnya. Saat libur, Xu terkadang mengambil rute bus menuju kota di Guangzhou untuk mengikuti seminar atau pertemuan luring dengan sesama rekan penulis lainnya dan kembali lagi menuju Shenzhen setelahnya. Sepanjang 3,5 tahun karirnya Xu merasa hidupnya bukan untuk menjadi buruh, ia ingin menjadi penulis. Berkali-kali ia mencoba melamar di toko buku, atau penerbit setempat namun tidak berhasil sehingga ia masih harus bertahan di balik tembok-tembok pabrik sebagai seorang buruh elektronik.

Juni 2013, ia sempat menulis sebuah puisi tentang kakeknya yang tewas dibunuh oleh tentara Jepang di usia ke 23. Pada saat itu, Xu pun juga berusia 23 dan mengaitkan banyak kesamaan antara dia dengan kakeknya mulai dari ekspresi muka, hobi, temperamen, dan segala hal yang berkaitan lainnya. Apakah dia akan bernasib sama seperti kakeknya, yakni meninggal di usia yang muda? Tulisan ini ia tulis dalam puisi yang berjudul “A Kind of Prophecy” atau “Sebuah Ramalan”.

Awal tahun 2014 Xu sebenarnya sempat mengundurkan diri dari Foxconn dan hijrah menuju Suzhou, sebuah kota yang tidak jauh dari Shanghai untuk menemui pacarnya dan memulai hidup baru. Tidak ada keluarga maupun temannya yang diberitahu tentang hal ini. Namun tetapi, kehidupannya dengan kekasihnya tersebut terlihat tidak berjalan baik, begitu pula dengan karir baru yang ia cari. Karena pada September 2014 ia kembali menandatangani kontrak dengan Foxconn untuk kembali menjadi buruh. Dua hari setelah menandatangani kontrak tersebut yakni 30 September 2014, ia melompat dari lantai 17 sebuah pusat perbelanjaan dan meninggalkan puisi terakhirnya yang direncanakan rilis pada 1 Oktober 2014 dengan judul “A New Day” atau “Awal yang Baru”.

Selepas kematiannya, Karya Xu Lizhi menggema ke berbagai portal-portal berita asing dan menjadi inspirasi bagi para penyair-penyair muda di Tiongkok dari kalangan buruh/pekerja. Kehidupannya pun diangkat menjadi sebuah film dokumenter oleh penyair Tiongkok; Qin Xiaoyu. Karya Xu yang lugas namun puitis dan imajinatif dapat memberikan gambaran yang begitu nyata akan kehidupan mereka yang tersembunyi dan mungkin terlupakan.

Kompetisi Debat Sastra Tingkat SMA 2023

Novel memberi kekayaan psikologis dan perspektif untuk memahami persoalan manusia dan dunia. Membaca dan membandingkan novel Indonesia dan Asing juga menambah pengetahuan.  Komunitas Salihara mendorong kreativitas dan intelektualitas generasi muda dengan kembali mengadakan: Membandingkan novel Nyonya Bovary karya Gustave Flaubert (Prancis) dengan Kerudung Merah Kirmizi karya Remy Sylado (Indonesia) dengan acuan berikut: Kedua novel ini memiliki tokoh utama perempuan, dan dikarang oleh pengarang lelaki.  Meskipun ada jarak sekitar 150 tahun—Nyonya Bovary terbit pada 1857 dan Kerudung Merah Kirmizi tahun 2002—masing-masing ditulis dalam suasana kuatnya sensor negara serta masyarakat yang moralistis dan patriarkal. Fokus perbandingan yang diminta adalah: penggarapan atas tokoh utama perempuan dalam hubungan dengan tokoh-tokoh lainnya, serta bagaimana penggarapan itu merupakan kritik atau justru konfirmasi atas nilai-nilai masyarakat zamannya.

Jadwal Kompetisi

  • Pendaftaran: 16 Maret–17 Agustus 2023
  • Tenggat pengumpulan makalah: 17 Agustus–04 September 2023 (tanggal kirim surat elektronik);
  • Penjurian tahap 1: 05-27 September 2023
  • Pengumuman finalis: 28 September 2023
  • Final: 28 Oktober 2023

 

Hadiah
Juara 1: Rp20.000.000
Juara 2: Rp15.000.000
Tiga makalah favorit (maksimal) masing-masing Rp3.000.000
*pajak ditanggung pemenang

 

Syarat dan Ketentuan

  • Peserta adalah kelompok yang terdiri atas 3 (tiga) siswa dari satu sekolah setingkat SMA. Setiap sekolah boleh mengirimkan lebih dari satu kelompok. Peserta boleh memberi nama kelompoknya secara bebas;
  • Peserta adalah siswa yang masih duduk di bangku SMA atau setara ketika final debat berlangsung pada 28 Oktober 2023;
  • Kelompok dari sekolah yang telah menjadi juara 1 pada tahun sebelumnya tidak diperkenankan mendaftar;
  • Peserta yang telah melengkapi pendaftaran dan menerima karya, tetapi tidak mengumpulkan makalah hingga batas akhir pengumpulan, akan didiskualifikasi pada tahun penyelenggaraan berikutnya;
  • Karya yang ditelaah dapat diunduh setelah menyelesaikan proses pendaftaran (mengisi dan melengkapi formulir);
  • Peserta (atas nama kelompok) membuat telaah (berupa tulisan atau makalah) dalam bahasa Indonesia setelah membaca dan membandingkan karya sastra di atas;
  • Makalah dikirim tanpa mencantumkan identitas di dalam makalah dan tanpa menggunakan sampul (cover) berlogo sekolah atau nama kelompok. Tidak perlu menambahkan lembar persetujuan, lembar ucapan terima kasih maupun kata pengantar;
  • Telaah yang diunggulkan adalah yang menawarkan kedalaman pemahaman dan keluasan perspektif;
  • Format pelaksanaan final akan ditentukan dengan melihat perkembangan kondisi kesehatan (bila diadakan secara langsung di Salihara, Salihara akan menanggung akomodasi dan transportasi kelompok peserta dari luar Jabodetabek);
  • Kirim hasil telaah karya sesuai jadwal yang ditentukan ke alamat surel berikut: edukasi@salihara.org dengan subyek: Kompetisi Debat Sastra Tingkat SMA (nama sekolah/kelompok).

 

Teknis Penilaian

  • Juri Tahap I menilai karya tulis berdasarkan mutu argumen, pendalaman dan penggalian masalah serta ketertiban dan keindahan bahasa Indonesia yang digunakan;
  • Masing-masing kelompok finalis boleh memilih satu wakil untuk presentasi atau mengatur anggota-anggota kelompok berbicara secara bergiliran (gaya presentasi bebas);
  • Juri Tahap II menilai keterampilan peserta dalam menyampaikan gagasan secara lisan dan kekuatan argumen dalam perdebatan;
  • Keputusan juri tidak dapat diganggu gugat.

 

Tentang Nyonya Bovary dan Kerudung Merah Kirmizi 

Kedua karya ini sama-sama mengangkat tokoh perempuan yang berhadapan dengan situasi zaman dan masyarakatnya. Membaca dua karya ini secara berdampingan akan memberi kita kesempatan untuk memahami masalah yang mirip sekaligus berbeda dalam perspektif yang lebih luas dan kaya.

 

Kompetisi Debat Sastra Tingkat SMA 2023:

Didukung oleh 

identikit

Diskursus Tubuh dan Jiwa dalam Pertunjukan “Identikit”

Ditulis oleh Wulansari Rembah

Jailangkung sudah lama dikenal masyarakat nusantara sebagai boneka pemanggil arwah. Mendengar kata “jailangkung” akan mengingatkan kita pada sosok boneka dari kayu dengan kepala dari tempurung kelapa yang berpakaian karung goni, sosok menyeramkan dengan jargon khasnya “datang tak dijemput, pulang tak diantar”. Bagaimana jika jailangkung dihadirkan dalam pentas teater?

SEKAT Studio menampilkan boneka ritus ini sebagai elemen utama dalam pertunjukan berjudul Identikit di Salihara pada Sabtu, 25 Februari 2023. Pertunjukan ini merupakan bagian dari pementasan Helateater yang diadakan tiap dua tahun. Tema tahun ini adalah “teater objek”, memungkinkan para kelompok teater bereksplorasi dengan berbagai objek seperti boneka, wayang, hingga benda keseharian, menjadikannya simbol dan memberikan pemaknaan tertentu dalam kisah yang mereka tuturkan, baik secara verbal maupun nonverbal.

Saat memasuki ruang teater, para penonton disuguhi aroma bunga melati yang semerbak, mengingatkan kita pada aroma mistis nan horor (meskipun ada juga sebagian orang menganggapnya aromaterapi yang menenangkan). Di panggung sudah tertata dua layar dari kain putih besar, jailangkung dan foto seorang perempuan di atas laci, serta susunan boneka modern seperti robot android dari yang kecil hingga jumbo, berukuran lebih besar dari manusia dewasa. Sambil menunggu pentas dimulai, nuansa malam dan sayup jangkrik terdengar dari speaker memenuhi ruang auditorium.

Pertunjukan dibuka dengan bunyi gemerincing lonceng yang dibawa oleh sosok bertopeng berambut putih panjang, yang nantinya kita akan tahu ia bertugas sebagai penata musik di sisi kanan panggung. Kemudian hadirlah dua orang laki-laki, yang satu berperawakan lebih tinggi. Lelaki tinggi melakukan ritual memanggil arwah kekasihnya yang sudah meninggal, sambil memasangkan aksesoris tertentu pada jailangkung. Pada percobaan pertama, tidak ada reaksi apapun sehingga lelaki tinggi kesal dan meninggalkan ruangan. Temannya masih melanjutkan ritual, lalu pergi juga tak lama kemudian. Setelah itu datanglah arwah yang berwujud sosok berbaju putih dan berambut putih, merasuki jailangkung hingga bergerak ke sana kemari. Tak puas menempati wadah kecil, arwah itu pindah merasuki boneka android berukuran sedang. Masih tak puas juga, ia masuk ke wadah android yang lebih besar, hingga akhirnya ia merasuki lelaki kecil dan bertingkah seperti perempuan sang kekasih temannya. Cerita mencapai puncaknya ketika arwah perempuan ini bermaksud mengendalikan tubuh kekasihnya juga.

Dalam penyajian kisahnya, Identikit mengombinasikan teater bayangan dan teater gerak. Tiap adegan diselingi dengan adegan kilas balik yang menggunakan bayangan boneka kertas pada proyektor kain. Dari adegan kilas balik itu, penonton bisa memahami perjalanan cinta antara si lelaki dan kekasihnya yang sudah meninggal. Pergantian adegan di masa lalu dan di masa kini mudah dipahami dengan penanda musik latar yang diisi oleh synthesizer, drum, dan instrumen ritmis lainnya. Musik yang lembut (meski kadang menyisakan nuansa sepi dan horor) menandakan kilas balik, sementara musik menegangkan yang didominasi oleh pukulan simbal drum dan lonceng menunjukkan masa kini. Selain penanda alur waktu, musik juga menjadi tanda peristiwa kesurupan. Gemerincing lonceng dan ringbell beberapa kali terdengar sangat intens untuk menggambarkan roh kekasih yang sudah berhasil merasuki wadah.

Para tokoh dan kru yang muncul di panggung menggunakan topeng dan bercerita pada penonton melalui gerak-gerik mereka, tanpa dialog satu kata pun, sehingga penonton akan menerka-nerka dan menafsirkan sendiri. Untungnya proyeksi bayangan boneka kertas yang dibuat sangat apik dan artistik membantu penonton memahami kisah masa lalu si lelaki dan perasaan cintanya yang dalam terhadap kekasihnya.

 

Makna Simbolik Sisir dan Boneka

Di antara serpihan kilas balik, salah satu yang menarik perhatian adalah gambar sisir yang seringkali muncul. Sisir menjadi benda tak terpisahkan yang menemani perjalanan cinta si tokoh. Mulai dari si lelaki yang memberikan sisir pada perempuan ketika mereka masih belia, sampai adegan  lelaki yang sedang menyisiri rambut perempuan dari belakang. Bahkan adegan tersebut diulang kembali secara nyata di akhir cerita, saat arwah merasuki tubuh lelaki. Bentuk sisir sangat khas menyerupai sisir kuno peninggalan kebudayaan China. Mungkinkah sisir ini memiliki makna khusus?

Di China, sisir disebut “shubi”, alat rias yang menyimpan sejarah sejak ribuan tahun lalu. Tak hanya sebagai aksesoris, sisir juga menunjukkan status sosial pemakainya. Bagi masyarakat China, sisir merupakan simbol kebahagiaan. Sisir menjadi salah satu benda seserahan penting yang diberikan mempelai pria kepada mempelai wanita pada acara lamaran. Sebelum melaksanakan prosesi pernikahan, terdapat tradisi penyisiran yang dilakukan keluarga masing-masing mempelai. Anggota keluarga menyisir rambut mempelai sebanyak tiga kali sambil menyisipkan doa dan harapan.

Mengetahui kedudukan sisir yang ternyata sangat bernilai dalam kebudayaan China, tidak heran jika tokoh lelaki mengungkapkan rasa cintanya dengan menyisir rambut kekasihnya. Ungkapan tersebut mungkin sangat jarang ditemukan pada masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa. Hal inilah yang agak mengaburkan penonton tentang latar kisah ini, apakah di nusantara ataukah di China? Sebab selama ini, jailangkung selalu dikaitkan dengan tradisi orang Jawa.

Rupanya setelah ditelusuri, jailangkung berasal dari China dan diserap di Indonesia melalui interaksi yang terjalin sejak berabad-abad lalu. Di China, ritual pemanggil arwah ini bernama “Cai Lan Gong”, ritual untuk memanggil dewa keranjang yang biasanya dilakukan saat Festival Rembulan berlangsung. Ritual ini dibawa oleh para pedagang dan pendatang dari Tiongkok, hingga akhirnya terakulturasi dengan kebudayaan animisme Jawa. Kepercayaan orang Jawa tentang roh dan makhluk halus diduga menjadi salah satu faktor pendukung bertahannya ritual ini sampai sekarang. Mereka memandang bahwa semua makhluk hidup berdampingan di alam semesta, baik alam nyata maupun alam gaib. Makhluk halus, termasuk arwah nenek moyang dipercaya memiliki kekuatan supranatural, dapat mengontrol dan memengaruhi kehidupan di dunia nyata. Itulah alasannya ketika terjadi gejala alam di luar kendali manusia, masih ada sekelompok orang yang meminta bantuan terhadap makhluk gaib, menyapa dengan sesajen, maupun melakukan ritual pemanggil arwah.

Dalam pertunjukan Identikit, jailangkung menjadi boneka pertama yang dirasuki roh sebelum roh memasuki wadah-wadah lainnya, termasuk manusia. Saat lelaki kecil kesurupan, kita bisa melihat tubuhnya bergerak dikendalikan roh perempuan. Tangan dan kakinya bergerak seperti tungkai boneka kayu. Ia tak ubahnya seperti seonggok tubuh yang bergerak sembarangan. Adegan kerasukan yang terjadi berkali-kali ini membuat kita sekali lagi meyakini bahwa makhluk hidup memiliki elemen tubuh dan jiwa. Tanpa jiwa, tubuh hanyalah gumpalan daging dan tulang yang tak berarti apa-apa. Jiwalah yang membuatnya hidup. Jiwalah yang menjadi identitasnya, sementara tubuh hanya perangkat saja. Diskursus mengenai tubuh dan jiwa ini rupanya menjelaskan arti judul Identikit yang diusung. Dapat kita simpulkan bahwa Identikit adalah gabungan dua kata, identitas dan kit (perangkat).

Dengan bereksplorasi menggunakan objek jailangkung, pertunjukan Identikit telah mengajak kita untuk menelusuri interaksi budaya antara Indonesia dengan China, sekaligus mempertanyakan kembali makna tubuh dan jiwa, sembari mengaktifkan penuh indra penciuman, penglihatan, dan pendengaran kita.   

 

Bacaan dan Tontonan Lebih Lanjut:

Film Cai Lan Gong yang mengungkap asal-usul jailangkung: https://www.fimela.com/entertainment/read/2342220/cai-lan-gong-ungkap-asal-mula-kehidupan-jailangkung

Kepercayaan orang Jawa tentang makhluk halus: https://historia.id/kultur/articles/hak-hidup-makhluk-halus-PRgbJ

Sisir dalam budaya China: https://www.youtube.com/watch?v=oOzz9jS2HIE

 

 

“My Story, Shared History”: LIFEs 2019 dan Sejarah Kita

Catatan pendek My Story, Shared History

Identitas dan sejarah, dua hal yang mampu menyatukan jarak dari orang yang berbeda tempat tinggal, berbeda profesi, bahkan berbeda negara. Kisah tentang sejarah dan identitas kemudian hadir dalam satu ruang yang sama, yaitu hadir dalam sastra. Sejarah adalah cerita dan sastra memberi ruang luas pada keragaman cerita. Sayangnya, sering orang malah berkelahi karena perbedaan versi sejarah. Salah satu masalah besar bangsa ini adalah historiografi yang tertutup dan dogmatis, yang tak memberi ruang pada keragaman. Kita perlu penulisan sejarah yang lebih asyik dan inklusif.

LIFEs (Literature and Ideas Festival) 2019 mengajak penulis dan pembaca untuk merayakan keragaman cerita individu dalam rangka mengisi ruang-ruang kosong dalam sejarah besar bangsa dan antar bangsa. Ini adalah langkah awal untuk memulai penulisan sejarah yang lebih inklusif. Maka, LIFEs 2019 bertema Kisahku, Sejarah Bersama (My Story, Shared History).

LIFEs 2019 memberi tekanan kepada hubungan Indonesia-Belanda. Program istimewanya adalah kolaborasi enam seniman Indonesia dan enam seniman Belanda keturunan Hindia Belanda. Proses kolaborasi ini berawal sebelum Oktober 2019, enam pasangan muda itu telah bertemu, di Indonesia atau di Belanda, untuk saling memperkaya perspektif dan membangun cerita bersama. Tentu, latar sejarah kolonial menjadi konteks bersama. Mereka adalah eksperimen pertama bagi program ini. Pemahaman sejarah yang berawal dari kisah pribadi atau keluarga diharapkan bisa membangun sikap yang lebih terbuka sekaligus kokoh dalam menghadapi perbedaan dan keragaman. Untuk mewujudkan program ini Komunitas Salihara bekerjasama dengan mitra program yaitu Dutch Culture dan Indisch Herinneringscentrum yang mendukung pertukaran seniman Indonesia-Belanda, sehingga pelbagai pertunjukan kolaborasi di LIFEs 2019 bisa tercipta.

Berbagi Masa Lalu, Bertumbuh dengan Karya

My Story, Shared History, menghadirkan penulis dan seniman dari negara yang berbeda, di antaranya adalah Armando Ello (Belanda), Felix K. Nesi (Indonesia, Lala Bohang (Indonesia ) & Lara Nuberg (Belanda), Rizal Iwan (Indonesia) , Dionne Verweij, Francesca Pichel (Belanda), Joshua Allen (Australia), Adrian Mulya (Indonesia), Maria Rey-Lamslag (Belanda ), Robin Block (Belanda), Angelina Enny (Indonesia), dan Jean Tay (Singapura). Sepanjang Oktober 2019, mereka akan saling berkolaborasi dan menampilkan karya mereka, baik berupa pameran fotografi, pembacaan dramatik, musik, hingga diskusi.

Berbeda dengan LIFEs 2017 dengan program pameran seni rupa, LIFEs 2019 hadir dengan pameran fotografi hasil dari kolaborasi penulis Felix K. Nesi dan fotografer Armando Ello. Melalui foto-foto beberapa keluarga di Timor dan Rote, Felix K. Nesi (penulis novel Orang-Orang Oetimu) dan Armando Ello (fotografer Belanda yang Ibunya berasal dari Timor) menceritakan kembali kisah keluarga tersebut di luar sudut pandang yang selama ini kita ketahui dari narasi sejarah Timor. Potret-potret itu juga akan diceritakan kembali dengan gaya teater di layar kompleks Salihara. Felix juga menulis sebuah lirik lagu spesial berdasarkan kisah ini dan menyanyikannya. Selain Felix dan Armando, ada pula pameran gambar bertajuk So Far So Close hasil kolaborasi Adrian Mulya dan Maria Rey-Lamslag. Pada abad ke-20, nenek moyang Adrian Mulya (keluarga Peranakan) dan nenek moyang Rey-Lamslag (keluarga Indo-Belanda) harus melalui kehidupan sehari-hari yang sangat berbeda. Barangkali itu sebabnya leluhur mereka tidak pernah melewati jalan yang sama. Tapi benarkah demikian? So Far So Close menggabungkan gambar-gambar yang berupa fakta dan fiksi berdasarkan arsip pribadi dan anonim. Karya ini mengangkat cerita keluarga Adrian dan Maria di tengah narasi besar sejarah.

Ada pula pembacaan dramatik naskah karya Jean Tay yang dibacakan oleh Indonesia Dramatic Reading Festival (Yogyakarta). Berlatar Asia Tenggara 1997-1998, pembacaan dramatik ini menceritakan krisis ekonomi Asia dan menelanjangi kerentanan negara-negara Asia terhadap ekonomi global yang fluktuatif. Narasi dibangun melalui pembaca berita di Singapura dan perempuan muda di Indonesia yang nasib mereka satu sama lain saling terkait dengan arus informasi dan modal. Naskah karya Jean Tay akan dibacakan oleh Indonesia Dramatic Reading Festival yang diwakili oleh Kelompok Kandang Jaran. Hasil kolaborasi lainnya adalah pementasan Three Fishes Out of One Bowl Trying to find a Common Ground, hasil kolaborasi tiga seniman Rizal Iwan (Indonesia), Francesca Pichel, dan Dionne Verwey (Belanda). Tiga orang yang sangat berbeda asal-usul berkumpul untuk menemukan titik temu sejarah mereka, tapi ternyata persoalan yang muncul tidak semudah yang mereka kira. Pertunjukan ini adalah sebuah karya yang mengeksplorasi perspektif tentang silang identitas–Indonesia, Belanda, Suriname–serta beban sejarah yang kita bawa sepanjang hayat.

Tak hanya menampilkan hasil kolaborasi dari antar seniman dan penulis Indonesia-Belanda, LIFEs 2019 juga menampilkan pertunjukan teater dari Five Arts Centre (Malaysia) dengan pertunjukan bertajuk A Notional History. A Notional History memperkenalkan sebuah kemungkinan penulisan sejarah Malaysia Baharu (New Malaysia) lewat pertunjukan arsip dan dokumentasi. Five Arts Centre melanjutkan serangkaian proyek kreatif yang telah mereka tampilkan sejak 2004 mengenai Malayan Emergency (1948-1960). Karya ini juga memanfaatkan bahan berdasarkan film dokumenter 10 Tahun Sebelum Merdeka (2007), buku-buku sejarah, serta pengalaman para seniman sendiri. A Notional History penting untuk kita mengenal Malaysia lebih jauh, karena pertunjukan ini juga disertai dengan sesi tanya jawab.

Program menarik lainnya dalam LIFEs 2019 adalah Final Kompetisi Debat Sastra Tingkat SMA yang menyuguhkan topik perbandingan novel Sang Raja karya Iksaka Banu dan Memoar Tanah Air Baru, Indonesia karya Hilde Janssen. Membaca kembali sejarah pasca peristiwa 1965 juga dihadirkan dalam lokakarya Membuat Sampul Album Digital dengan pengajar Syaura Qotrunadha. Lokakarya ini mengajak peserta merancang ilustrasi album dan menulis teks penjelasan berdasarkan lagu-lagu berisi kesaksian dan pengalaman ibu-ibu Dialita. Persoalan identitas dan sejarah juga disampaikan melalui ceramah kunci yang dibawakan oleh Hilmar Farid dan Nancy Jouwe (Belanda). My Story, Shared History ditutup dengan malam Dendang Arsip Nusantara yang menghidupkan kembali dan mendekatkan arsip seni rupa, sastra dan musik kepada generasi muda melalui bentuk pesta. Acara ini adalah kolaborasi Pemuda Sinarmas dan Sastra Lintas Rupa.

Seperti apa topik dan perbincangan menarik lainnya dalam LIFEs 2020 dan 2023? Ikuti info selengkapnya di salihara.org.

Sosi dan Memori Kusam yang Tersebar di Sana-Sini

Ditulis oleh: Cliff Moller

 

Helateater 2023: Teater Objek

“Sosi bisa menjadi perenungan atas sesuatu yang tak terhindarkan di masa depan: menua, sendirian dan terlupakan.”

Flying Balloons Puppet menampilkan pertunjukan yang menggabungkan aktor dan boneka foto: Witjak Widhi Cahya

 

Didatangkan langsung dari Yogyakarta, Flying Balloons Puppet (FBP) hadir pada 18 dan 19 Februari lalu, membawakan pertunjukan perdananya di Teater Salihara dengan tajuk Jalinan Kusam di Lemari Sosi. FBP menjadi satu dari empat penampil yang terpilih dalam program Undangan Terbuka Helateater 2023 sekaligus menjadi pertunjukan pembuka perhelatan festival teater yang berjalan selama satu bulan ke depan.

Jalinan Kusam di Lemari Sosi dibuka dengan kemunculan sepasang dalang (puppeteer) laki-laki dan wanita yang diperankan oleh Rangga Dwi A. (Asisten Sutradara) dan Meyda Bestari (Sutradara), hadir sesaat begitu lampu menyala diiringi suara gemerincing kunci yang memenuhi ruangan. Keduanya didandani begitu identik, dengan potongan rambut dan kostum yang sama.

Tata panggung tersusun simetris dengan berbagai laci bertumpuk mengisi seluruh ruang; dua di kiri, dua di kanan, dan satu laci persegi di tengah. Artistik lantai panggung diset seolah berada di dalam rute microchip, seperti hendak merepresentasikan bahwa cerita ini memang berkaitan dengan memori si Sosi, sang tokoh utama pementasan ini.

Kedua dalang ini juga berperan sebagai aktor, mereka memulai pertunjukan tanpa melibatkan boneka Sosi terlebih dahulu. Dengan memainkan dua buah payung putih yang dibuka tutup, dua aktor berjalan menuju arah boneka Sosi yang sedang bersandar di pojok panggung.

Sosi mulai digerakkan, dia terbangun dengan keadaan menggerutu. Wajahnya tua, rambutnya putih, dan raut mukanya sayu. Ia terlihat mencari-cari sesuatu di balik laci yang juga berperan sebagai alas tidurnya. Jalan cerita ini terfokus kepada Sosi yang membuka laci satu per satu. Satu laci dibuka, satu objek ditemukan mulai dari buku, busana, hingga permen. Setiap reaksi yang ditampilkan pun berbeda, ada yang sedih, kehilangan gairah, bahkan rasa kesal.

 

Mencari “Kunci” yang Tersebar di Fragmen Ingatan Sosi.

Dalam pertunjukan yang berdurasi 40 menit ini, kita diajak untuk mencari tahu apa yang sebenarnya Sosi cari. Suara kunci di awal adegan bisa menjadi tanda bahwa ada “kunci” yang hilang di dalam ingatannya. Reaksi yang Sosi berikan juga mengindikasikan rasa tidak puasnya terhadap memori-memori yang ia temukan selama mengobrak-abrik isi laci/lemari yang ia tapaki selama jalannya pertunjukan.

Bahkan di satu bagian, ada adegan di mana sang aktor wanita, mengambil sebuah bra yang terjemur di seutas tali. Ia mengambil bra itu dan membawanya di sebelah Sosi yang terduduk di tengah panggung. Lewat bra tersebut, aktor memanipulasi objek yang ia pegang, mengubah fungsi sebuah bra menjadi tas tangan, alat rias, hingga bercermin menggunakannya. Saya menangkap, ia saat ini bukan berperan sebagai dalang, melainkan sebagai aktor yang merepresentasikan masa muda Sosi. Adegan ini juga memperlihatkan aktor mengambil sebuah bingkai dan memanipulasinya seolah bingkai tersebut adalah cermin. Sosi melihat aktor wanita lewat cermin tersebut, meraba wajahnya, lalu wajahnya sendiri dan ekspresi marah ia munculkan serta menjauhkan bingkai tersebut dari wajahnya. Lagi, Sosi tidak puas terhadap apa yang ia temukan.

Sosi dan pantulannya di cermin / Foto: Witjak Widhi Cahya

 

Cerita ini pun berakhir dengan Sosi yang terduduk diam di dalam sebuah lemari kecil setelah berkali-kali ditunjukkan adegan repetitif kala ia menapaki tangga tanpa henti hingga akhirnya Sosi lelah dan berhenti mencari. Dalam kesendiriannya, Sosi terduduk dengan wajah yang menghadap ke arah bangku penonton. Lagi, sang dalang berperan menjadi aktor, membalut dirinya dengan tali-tali, membawa sebuah laci atas kepalanya,  menaiki tangga tribun, menaruh laci di tangga, duduk di bangku penonton, dan meninggalkan Sosi di panggung, sendiri. Di panggung, aktor yang lain menyalakan lampu di dalam lemari tempat Sosi duduk, seolah ia bertatapan dengan aktor yang di tribun, saling tatap, hingga akhirnya lampu gelap total.

Adegan akhir di mana Sosi terduduk di dalam lemari / foto: Witjak Widhi Cahya

 

Pentas Segar yang Dinantikan Perkembangannya

Bagi saya Jalinan Kusam di lemari Sosi cocok untuk mereka yang senang akan dinamika antara dalang dan boneka dalam kemasan teatrikal serta menikmati unsur-unsur estetika yang disajikan. Namun bagi penonton yang suka akan plot yang tertata dan literal mungkin akan sulit menikmati pertunjukan ini. Posisi duduk juga menentukan dalam menikmati pertunjukan ini. Tata panggung yang disusun sedemikian rupa, ternyata tidak bisa menjangkau seluruh penonton untuk bisa menikmati pengalaman yang sama, ekspresi Sosi dan ukurannya yang terbilang sedang ke kecil sulit dinikmati oleh mereka yang mendapat posisi duduk di atas.

Pementasan ini juga dilengkapi dengan sesi tanya jawab yang bisa dilakukan pascapertunjukan; sesuatu yang menyenangkan terlebih penonton cukup antusias untuk melihat langsung boneka Sosi lebih dekat untuk berfoto maupun menanyakan hal-hal yang mungkin tidak terjawab.

Hingga akhir pertunjukan saya masih menganggap Sosi adalah bentuk refleksi yang terjadi di masa tua nanti. Renungan akan hidup sendiri, menua, melupakan dan dilupakan menjadi sorotan utama yang saya tangkap selama pertunjukan. Kelompok ini bisa menjadi angin segar sebagai kelompok seni alternatif di bidang teater. Objek boneka yang menjadi sorotan utama kelompok ini, hingga pengalaman bermain di berbagai tempat baik skala nasional dan internasional menjadikan kelompok ini patut dinantikan kehadirannya di pertunjukan-pertunjukan teater boneka selanjutnya.

 

LIFEs 2017 dalam Viva! Reborn!

Catatan pendek Membaca Amerika Latin: Viva! Reborn!

Pada 2017, Komunitas Salihara menggelar program Literature and Ideas Festival (LIFEs) sebagai bentuk baru dari Bienal Sastra Salihara yang telah berlangsung sejak 2011. Berbeda dengan Bienal Sastra yang lebih banyak menampilkan program pembacaan dan diskusi, LIFEs hadir dengan nuansa segar lebih mengedepankan perbincangan ide dan gagasan, juga memberikan pengalaman artistik kepada pemirsa dalam bentuk pertunjukan. 

LIFEs 2017 mengangkat tema “Membaca Amerika Latin” dengan tajuk Viva! Reborn!. Sebagai wilayah maupun sebagai entitas budaya, Amerika Latin menawarkan banyak gagasan penting: teori ketergantungan, teologi pembebasan, realisme magis—untuk menyebut tiga di antaranya. Minat pembaca Indonesia terhadap sastra dan pemikiran dari Amerika Latin boleh dibilang sangat tinggi dibanding terhadap wilayah dunia lainnya. Belum lagi tingginya popularitas tari, musik, film dan kuliner dari kawasan ini. Amerika Latin juga bisa diperbandingkan dengan Indonesia dalam banyak hal: sejarah kolonialisme, pengalaman Perang Dingin, rezim militer dan demokrasi, masalah lingkungan hingga perjumpaan agama Abrahamik dengan agama lokal. 

Begitu banyak gagasan yang bisa kita perdalam dalam pertemuan Indonesia-Amerika Latin. LIFEs 2017 berpuncak pada bulan Oktober yang bertepatan dengan Bulan Bahasa. Serangkaian program LIFEs “Membaca Amerika Latin” dilakukan pada 07 hingga 28 Oktober 2017, dengan balutan keasyikan Selasa dansa, Kamis membaca, Sabtu-Minggu pesta sastra.

Dansa, Sastra, dan Pesta

Untuk merayakan pertemuan Indonesia-Amerika Latin baik dalam hal sastra, kuliner, dan isu lainnya, Komunitas Salihara mempertemukan sastrawan Indonesia dengan sastrawan Amerika Latin yang dikemas dalam kehadiran diskusi dan pertunjukan. Program lokakarya juga dihadirkan LIFEs 2017, seperti lokakarya tari Salsa, menulis kritik sastra, story telling, hingga lokakarya penerjemahan sastra. Pemateri lokakarya pun dihadirkan dari beberapa negara, seperti Brigitte Schär (Swiss), Sergio Chejfec (Argentina), Victor Heringer (Brasil) dan Pablo Jofré (Cile). 

LIFEs 2017 juga menampilkan pertunjukan teater dengan tajuk Xalisco, A place sutradara Ines Somellera (Meksiko-Indonesia) dengan kolaborasi instalasi panggung karya perupa Hanafi (Indonesia). Pertunjukan lainnya menampilkan Musik Puisi: Adimas Immanuel & Sri Hanuraga (Indonesia), Konser Piano Cile dari José Riveros (Cile), Malam “Mooi Indië” yang menampilkan Boi Akih (Belanda), Iksaka Banu dan Joss Wibisono (Indonesia). Tak hanya pertunjukan, ada pula pameran seni rupa yang menampilkan karya Hanafi dengan tajuk Xalisco Performative Exhibition: Juan Preciado, pameran ini adalah respons pada novel sastrawan Amerika Latin berjudul Pedro Paramo karya Juan Rulfo. 

Perbincangan ide dan gagasan juga dituangkan dalam forum diskusi dengan program Diskusi Kamis: Klasik nan Asyik, Diskusi sore: Tamu dari Seberang, Klub Buku Foto Membahas Gagasan dalam Buku Foto dari Indonesia dan Amerika Latin, Indonesia Millenial Forum (IMF) di LIFEs dan Diskusi Meja Bundar. Para pengisi forum diskusi ini tidak hanya menampilkan pembicara dari Indonesia, tetapi juga menampilkan beberapa pembicara dari Amerika Latin, seperti Héctor Abad Faciolince (Kolombia), Veronica Stigger (Brasil) dan Carmen Boullosa (Meksiko). Tak luput pula program pemutaran film dihadirkan dalam festival ini. Beberapa film bertema Amerika Latin pun diputar, seperti Mi Vida Dentro (Meksiko), Pedro Páramo (Meksiko), ropa Tde Elite (Brasil), Gabo (Kolombia), dan Habanastation (Kuba). 

Indonesia Membaca Amerika Latin

Panggung Membaca Amerika Latin juga menyajikan perbincangan menarik dari para narasumber Indonesia. Di antaranya, Dewi Candraningrum, Nirwan Dewanto, Ronny Agustinus, Yusi Avianto Pareanom, Berto Tukan, Lala Bohang, Lisabona Rahman, Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie dan Goenawan Mohamad. Selain itu, Komunitas Salihara bekerjasama dengan beberapa penerbit untuk menggelar Bazar Buku, menghadirkan buku-buku penting dan menarik di Indonesia. Bazar Buku menjual buku-buku sastra, filsafat, sejarah, politik dan kategori lain yang berkaitan erat dengan dunia seni dan pemikiran. Dengan adanya program Bazar Buku, bacaan-bacaan terjemahan dari karya sastra Amerika Latin pun dapat didistribusikan pada publik Salihara yang lebih luas. 

Hal menarik lainnya dalam LIFEs 2017 Membaca Amerika Latin: Viva! Reborn!, menyajikan perbincangan tentang isu-isu mutakhir seperti beragam media di era teknologi, pembahasan tentang penulis perempuan Amerika Latin, problematika politik dan iman, juga tentang bagaimana perkembangan sastra dan pemikiran Amerika Latin dalam peta dunia, dan perihal sosial ekonomi politik hingga mempertanyakan kembali tentang gagasan kiri Amerika Latin. Program ini dikemas dengan begitu padat namun tetap berisi dan tajam. Pada LIFEs selanjutnya Komunitas Salihara akan terus menyajikan tema-tema beragam dan mutakhir. 

Salihara Jazz Buzz 2023: Pertukaran Tanpa Batas antara Dua Generasi

Jakarta, 23 Februari 2023 – Salihara Jazz Buzz 2023 telah sukses digelar dari 04-11 Februari lalu. Acara ini menghadirkan tiga musisi hasil Undangan Terbuka Jazz Buzz 2023. Selain mendapatkan bantuan produksi dan akomodasi, tahun ini para musisi yang terpilih mendapat kesempatan untuk bermain bersama musisi senior seperti Adra Karim, Indra Perkasa, dan Sri Hanuraga.

Acara ini juga berhasil menarik lebih dari 300 pengunjung dalam tiga hari penyelenggaraannya. Antusiasme dalam menikmati musik jazz dengan warna baru berkonsep Pertukaran/Exchange ini pun dirasakan oleh pengunjung. Salah satunya adalah Daffa Rasendriya (Mahasiswa) yang hadir saat penampilan Filipus Cahyadi Project membawakan Odd Matters bersama Indra Perkasa,

“Ini (Salihara Jazz Buzz) merupakan pengalaman pertama yang membawa suasana baru dan oke banget! Dari flow acaranya juga rapi, on time, dan tentunya venuenya sangat mendukung jalannya pementasan.”

Euforia tidak hanya dirasakan oleh pengunjung namun juga dirasakan oleh para pemain Undangan Terbuka. Sebab, bagi para penampil, ini merupakan panggung pertama mereka tampil di Salihara. Di sini, ketiga musisi tersebut secara langsung merasakan suasana bermusik di teater yang mengusung konsep black box dengan memaksimalkan performa mereka di atas panggung dari segi suara, ruangan, tata cahaya, dan keintiman terhadap pengunjung.

Rainer James Adrian, selaku pemain saksofon dan perwakilan dari Guernica Quartet mengatakan bahwa pengalaman bermain di Salihara begitu berkesan terlebih dengan adanya konsep bermain bersama kolaborator yang dapat melakukan pertukaran (exchange) dari segi penciptaan karya,

“Sangat luar biasa dan sangat bersyukur mendapatkan pengalaman di Salihara ini. Dengan penonton yang sangat memperhatikan dan mendengarkan musik kita, kita sangat merasa dihargai dan sangat berterima kasih. Tentunya kami juga sangat berterima kasih kepada kolaborator kami, kak Adra Karim yang sudah membimbing kita dan memberikan kita banyak sekali insight yang tentunya akan kami ingat sepanjang karir bermusik kami.”

Kesan jazz lintas batas yang menjadi fokus utama Salihara Jazz Buzz sejak diusung dari 2016 ini menjadi landasan yang berkesan juga bagi Filipus Cahyadi, salah satu penampil dari grup Filipus Cahyadi Project. Menurutnya, hadirnya acara ini mendukung seniman untuk berkarya seidealisnya dan mendapat apresiasi baik dari wadah hingga fasilitas,

“Acara ini memberi kesempatan pada musisi-musisi untuk berkarya idealis dan mendapat dukungan baik dana, kebutuhan perform, promosi, serta konsep kolaborator, yg sangat membuat saya banyak belajar dr musisi senior.”

Sebelumnya, Salihara Jazz Buzz merupakan festival jazz persembahan Komunitas Salihara yang mengusung ide Jazz Sans Frontières, sebuah gagasan dan konsep musikal “lintas-batas”. Hal tersebut menjadikan Salihara Jazz Buzz sebagai salah satu acara yang paling diminati oleh pemirsa seni Komunitas Salihara. Tahun ini Salihara mantap dengan tema Pertukaran/Exchange untuk menemukan warna musik baru di industri jazz tanah air. Dari hasil Undangan Terbuka yang sudah dilakukan sejak 2022 lalu, terpilihlah tiga musisi yakni: Filipus Cahyadi Project, Guernica Quartet, dan Sandikala Ensemble yang mendapat kesempatan untuk bermain di Teater Salihara pada 04, 05, dan 11 Februari 2023 lalu.

Semangat untuk menemukan estetika baru dalam mendengarkan jazz diharapkan masih terus berkobar untuk tahun-tahun kedepannya, mengingat antusias dan respons masyarakat yang begitu baik di tiap-tiap tahun penyelenggaraan Salihara Jazz Buzz.

 

 

Para Penampil Salihara Jazz Buzz 2023

 

Sandikala Ensemble dengan kolaborator Sri Hanuraga (04 Februari 2023)

Foto: Witjak Widhi Cahya

 

Grup ini merupakan grup asal Yogyakarta  dengan direktur artistik Dion Nataraja ini adalah sebuah grup dengan format yang banyak menggunakan  instrumen gamelan. Dion Nataraja, komponis dan direktur artistik SE yang saat ini sedang menyelesaikan program doktoralnya di University of California, menawarkan konsep yang lebih dalam pada improvisasi gamelan dan jazz. SE tidak sekadar mencampurkan  instrumen gamelan dan instrumen lain yang biasa digunakan dalam jazz, melainkan mencari titik temu yang lebih dalam misalnya mengeksplorasi konsep pathetan dalam gamelan ke improvisasi yang lebih bebas.

 

Filipus Cahyadi Project dengan kolaborator Indra Perkasa (05 Februari 2023)

Foto: Witjak Widhi Cahya

 

Merupakan grup dengan format kuintet. Sebagai direktur artistik dari FCP, Filipus Cahyadi menggunakan konsep pola hitungan ganjil di dalam komposisinya. Kuintet ini menghadirkan Restha Wirananda (piano), Arini Kumara (selo), Kuba Skowronski (flute & tenor saksofon), Ferdinand Chandra (kontrabas & elektrik bas), Filipus Cahyadi (drum)

 

Guernica Quartet dengan kolaborator Adra Karim

Foto: Witjak Widhi Cahya

 

Guernica Quartet merupakan grup yang merepresentasikan karyanya lewat pencampuran berbagai genre musik dan instrumental yang beragam. Mereka mencoba mengeksplorasi suara dan berbagai jenis musik lain seperti musik tradisional Jepang, India, musik-musik Timur Tengah dan musik Armenia serta sequencer yang menyuarakan elemen suara-suara ‘etnis’.

 

 

 

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

monamur

LIFEs hadir kembali dengan tajuk Mon Amour!

Komunitas Salihara mempersembahkan festival sastra dan gagasan: LIFEs—nama dan bentuk baru bagi Bienal Sastra Salihara. LIFEs sebelumnya hadir dengan pilihan-pilihan tema seperti sastra Amerika Latin bertajuk Viva! Reborn! (2017), My Story, Share History (2019) yang membahas hubungan Indonesia dan Belanda, pada 2021 secara daring LIFEs hadir dengan tajuk Arab Asyiq. Tahun ini LIFEs mengusung tajuk mon Amour!, dengan tema besar Frankofon. LIFEs akan berlangsung pada 05-13 Agustus nanti, sejumlah program pendahuluan telah dimulai sejak Maret melalui Kelas Filsafat “Filsuf Prancis Menafsir Platon”

LIFEs 2023 mengangkat tema besar Frankofon. Frankofon sendiri adalah istilah yang digunakan untuk negara-negara penutur bahasa Prancis. Tema ini hendak meneroka karya-karya sastra dan pemikiran dari negara-negara penutur bahasa Prancis dan melihat bagaimana pengaruhnya ke dalam karya sastra dan pemikiran di Indonesia. LIFEs 2023 akan menghadirkan tokoh intelektual untuk berceramah, juga menghadirkan program diskusi dan seminar untuk membahas pengaruh sastra berbahasa Prancis kepada Indonesia. Selain itu, sebagai bentuk presentasi, LIFEs 2023 hendak memperluas sifat festival sastra dengan memberikan pengalaman artistik kepada pemirsa dalam bentuk pertunjukan. 

Sampai jumpa pada LIFEs mon Amour!

 

Lihat kembali:

LIFEs 2017
LIFEs 2019

helatari-hero-2022-1

Helatari 2023: Pernyataan Dewan Juri

Pada tanggal 28 Desember 2022, Dewan Juri Helatari 2023 menerima 51 proposal karya dari seluruh daerah di Indonesia. Daerah-daerah tersebut meliputi Bali (6), Daerah Istimewa Yogyakarta (5), Lampung (1), DKI Jakarta (9), Jambi (2), Jawa Barat (7), Jawa Tengah (8), Jawa Timur (2), Kalimantan Barat (1), Kalimantan Tengah (1), Papua (2), Riau (1), Sulawesi Tenggara (1), dan Sumatera Barat (5). Kami mengapresiasi sejumlah tawaran karya tari baru yang berangkat dari khazanah tradisi maupun nontradisi, serta banyaknya proposal karya yang menawarkan kerja-kerja perlintasan dengan disiplin maupun media lain. Secara gambaran besar, kami melihat bahwa ada pergerakan yang positif di dalam gagasan tari kontemporer saat ini. Namun, kami juga menemukan kelemahan dalam narasi pelamar menerjemahkan gagasan–baik yang berangkat dari isu sosial maupun eksperimentasi seni–ke dalam sebuah konsep pertunjukan yang utuh. 

Dari keberagaman tawaran tersebut, kami memilih 8 proposal karya yang dianggap memiliki kekuatannya masing-masing, seperti membongkar relasi praktik artistik dengan relasi di luar dirinya, serta kematangan dalam mengolah tatapan atas pengalaman personal yang membuka kemungkinan tafsir lebih luas.

Dengan mempertimbangkan unsur penilaian dan pemrograman festival ini, kami kemudian sepakat memilih 3 karya untuk dipentaskan dalam Helatari Komunitas Salihara 2023. 

Karya-karya terpilih adalah sebagai berikut (tidak berdasarkan peringkat):

 

I Wayan Sumahardika – “The (Famous) Jung Jung-Te Jung Dance”

Karya ini menawarkan pemaknaan atas relasi tradisi, kesejarahan (arsip), dan proses artistik yang menantang tatapan atas karya tari Bali dalam dunia kontemporer. Pengkarya secara jelas mengambil posisi atas praktiknya, sehingga mampu memiliki kejernihan dalam menjelaskan gagasan melalui konsep pertunjukan dan berani mencoba tawaran pemanggungan yang berbeda. Hal ini juga sekaligus memperlihatkan bagaimana karya tersebut mampu menipiskan sekat yang mungkin ada di antara praktik kerja riset dengan seni itu sendiri, yaitu pengkarya secara apik menjalin keduanya sebagai satu praktik riset-artistik yang tidak terpisah dan terus bertumbuh secara konsisten.

Anastasia Verrina – “Waktu Ku Kecil, Tidak Besar”

Karya yang diajukan mampu memperlihatkan bagaimana gagasan pengkarya mengkoreografi konsep pertunjukan, yang kami pandang sebagai perluasan atas  praktik koreografi normatif. “Waktu Ku Kecil, Tidak Besar” secara berani mempertunjukan kualitas gerak yang bukan berangkat dari teknik tari secara umum – yaitu baris-berbaris (PBB), hingga pilihan pendekatan artistik yang diambilnya. Karya ini lantas memainkan ketegangan antara realita sosial dan dramaturgi panggung yang memberi kesempatan bagi penonton untuk menafsir secara luas. 

Megatruh Banyumili – “Budi Bermain Boal”

Karya ini memberi premis tentang bagaimana sebuah idiom–sebagai bagian dari metode pendidikan–tanpa disadari mempengaruhi pandangan dan perilaku sehari-hari. Premis ini kemudian diurainya melalui kerja interdisiplin yang mengekstraksi tubuh (tari) dengan pendekatan teater ala Boal, sehingga memberi dimensi lain pada karya.

 

Demikianlah pilihan dan pertanggungjawaban Dewan Juri Helatari 2023. Keputusan Dewan Juri bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat. Kami berharap seluruh seniman yang melamar dan belum mendapat kesempatan, tetap semangat berkarya. Selamat menjalani proses kreatif bagi para seniman terpilih.

 

Jakarta, 9 Februari 2023

Dewan Juri Helatari 2023
Josh Marcy
Rebecca Kezia
Tony Prabowo

template-youtube cover-1280x720-stay art home.indd - New Page

Sekilas Tentang Platon

Raffaello Sanzio menciptakan lukisan dinding School of Athens, lukisan yang dikenal sebagai penggambaran dua cabang filsafat yang kuat. Dalam lukisan tersebut digambarkan tokoh filsafat Platon dan Aristoteles dengan gestur yang berbeda. Aristoteles digambarkan dengan tangan yang menunjuk ke bawah dan memegang sebuah buku, gestur ini dikaitkan dengan filsafat yang berdasarkan pada realitas dan pengalaman empirik. Sedangkan Platon dilukis dengan tangan mengarah ke atas, seperti hendak menyampaikan tentang filsafat yang menjunjung tinggi ideologi, bahwa realitas di dunia manusia dibentuk oleh gagasan-gagasannya sendiri.  Lantas, siapa sebenarnya Platon dalam lukisan ini? Mengapa ia sangat menjunjung tinggi gagasan-gagasan dan ideologi?  

Ia lahir di Athena pada 428/427 SM, ia meninggal di Athena pada usianya ke-80, Ia adalah Platon. Kelahiran Platon tepat ketika Athena masih memimpin Liga Delos dan masih berjaya dengan sistem pemerintahan demokrasi. Sistem demokratis inilah yang kemudian membunuh tokoh filsuf yang ia idolakan, yaitu Sokrates. Guncangan inilah yang kemudian membawa Platon untuk memberikan seluruh hidupnya pada filsafat. Pada perjalanannya, Platon membuat dua keputusan yang cukup kontroversial bagi pemerintahan Athena saat itu. Platon memilih untuk tidak menikah dan pada 387 SM ia memutuskan mendirikan sekolah filsafat bernama Akademeia. Uniknya, Platon menjalankan sekolah tersebut dengan biayanya sendiri. Akademeia dikenal sebagai titik penting pada dunia filsafat, lembaga ini bekerja dari dan untuk dirinya sendiri. Lembaga ini pula yang kemudian memicu munculnya sekolah filsafat lainnya, tentu dengan metode dan doktrin pelajaran yang berbeda-beda. Setelah sembilan abad bertahan, Akademeia ditutup oleh seorang kaisar Romawi pada 529 M. 

 

Dunia Platon

Platon memiliki pengaruh besar pada dunia filsafat. Platon menawarkan dialektika dengan metafora mitis yang penuh dengan perumpamaan-perumpamaan. Pemikirannya tak bisa begitu saja selesai ditafsir dalam satu bacaan. Mampu membaca dan mengerti pemikiran Platon tak jarang justru membawa kita pada pemikiran yang berlawanan dengan maksud Platon. Misalkan saja tokoh Alain Badiou yang menerjemahkan Politeia karya Platon ke dalam bahasa Prancis (The Republique), ia menggambarkan Alegori Goa menjadi kisah tentang Gedung Bioskop. 

Filsafat Platon seringkali disebut sebagai teori dualisme. Platon dianggap membawakan teori tentang dunia indrawi yang berlawanan dengan dunia ide. Mohammad Hatta pada tulisannya Alam Pikiran Yunani menulis tentang pemikiran Platon yang mengetengahkan dua dunia tersebut. 

“Dunia yang bertubuh adalah dunia yang dapat diketahui dengan pandangan pengalaman. Dalam dunia itu semuanya bergerak dan berubah senantiasa, tidak ada yang tetap dan kekal. Dari pandangan dan pengalaman saja tidak akan pernah tercapai pengetahuan pengertian. Berhadapan dengan itu terdapat dunia yang tidak bertubuh daripada idea, yang lebih tinggi tingkatnya dan yang menjadi objek dari pengetahuan pengertian. Apabila pengertian yang dituju itu memperoleh bentuknya yang tepat, ia tidak berubah-ubah lagi dan bertempat di dalam dunia idea. Idea itulah yang melahirkan pengetahuan yang sebenarnya.”

Platon juga mengikuti jejak gurunya, Sokrates. Ia memilih menggunakan dialektika sebagai metode yang cocok bagi para filsuf, Platon juga memilih model dialektika yang berbeda dengan gurunya. Bagi Platon dialektika adalah hal tertinggi dari segala pengetahuan. Platon menegaskan bahwa tugas para filsuf adalah mengemukakan sudut pandangnya sekaligus memberikan tawaran tentang bagaimana cara mendapat kepastian di tengah perubahan-perubahan nyata dunia. Ia mengajak manusia untuk menelusuri segala opini yang saling bermunculan, bertentangan dan mengkritisi, menanyakan ulang kembali opini-opini tersebut dengan pemikiran yang lebih jernih dan sehat untuk menemukan segala kebaikan.

 

Membaca Lebih dalam Platon

Gagasan dan pemikiran Platon sangatlah luas dan penuh metafor. Sebagai salah satu tokoh filsuf terkenal, menelusuri pemikirannya adalah salah satu usaha mencari formula untuk menemukan kebenaran dan kebaikan di tengah-tengah kehidupan hari ini. Dalam rangka menyambut Literature and Ideas Festival (LIFEs) 2023 yang digagas oleh Komunitas Salihara, kali ini dengan tema “Frankofon” Kelas Filsafat hadir dengan pembahasan tentang filsafat Yunani Klasik. Dengan tajuk Filsuf Prancis Menafsir Platon, kelas ini menghadirkan bagaimana tokoh filsuf seperti Alain Badiou, Derrida, dan Emmanuel Levinas menafsirkan pemikiran Platon. Kelas berlangsung setiap Sabtu sepanjang bulan Maret 2023. Pendaftaran kelas dapat melalui kelas.salihara.org

 

Catatan pendek berdasarkan makalah “Pengantar Sejarah Filsafat Yunani: Platon” yang ditulis oleh A. Setyo Wibowo dalam Kelas Filsafat Salihara 2016.