Salihara Jazz Buzz 2023: Pertukaran Tanpa Batas antara Dua Generasi

Jakarta, 23 Februari 2023 – Salihara Jazz Buzz 2023 telah sukses digelar dari 04-11 Februari lalu. Acara ini menghadirkan tiga musisi hasil Undangan Terbuka Jazz Buzz 2023. Selain mendapatkan bantuan produksi dan akomodasi, tahun ini para musisi yang terpilih mendapat kesempatan untuk bermain bersama musisi senior seperti Adra Karim, Indra Perkasa, dan Sri Hanuraga.

Acara ini juga berhasil menarik lebih dari 300 pengunjung dalam tiga hari penyelenggaraannya. Antusiasme dalam menikmati musik jazz dengan warna baru berkonsep Pertukaran/Exchange ini pun dirasakan oleh pengunjung. Salah satunya adalah Daffa Rasendriya (Mahasiswa) yang hadir saat penampilan Filipus Cahyadi Project membawakan Odd Matters bersama Indra Perkasa,

“Ini (Salihara Jazz Buzz) merupakan pengalaman pertama yang membawa suasana baru dan oke banget! Dari flow acaranya juga rapi, on time, dan tentunya venuenya sangat mendukung jalannya pementasan.”

Euforia tidak hanya dirasakan oleh pengunjung namun juga dirasakan oleh para pemain Undangan Terbuka. Sebab, bagi para penampil, ini merupakan panggung pertama mereka tampil di Salihara. Di sini, ketiga musisi tersebut secara langsung merasakan suasana bermusik di teater yang mengusung konsep black box dengan memaksimalkan performa mereka di atas panggung dari segi suara, ruangan, tata cahaya, dan keintiman terhadap pengunjung.

Rainer James Adrian, selaku pemain saksofon dan perwakilan dari Guernica Quartet mengatakan bahwa pengalaman bermain di Salihara begitu berkesan terlebih dengan adanya konsep bermain bersama kolaborator yang dapat melakukan pertukaran (exchange) dari segi penciptaan karya,

“Sangat luar biasa dan sangat bersyukur mendapatkan pengalaman di Salihara ini. Dengan penonton yang sangat memperhatikan dan mendengarkan musik kita, kita sangat merasa dihargai dan sangat berterima kasih. Tentunya kami juga sangat berterima kasih kepada kolaborator kami, kak Adra Karim yang sudah membimbing kita dan memberikan kita banyak sekali insight yang tentunya akan kami ingat sepanjang karir bermusik kami.”

Kesan jazz lintas batas yang menjadi fokus utama Salihara Jazz Buzz sejak diusung dari 2016 ini menjadi landasan yang berkesan juga bagi Filipus Cahyadi, salah satu penampil dari grup Filipus Cahyadi Project. Menurutnya, hadirnya acara ini mendukung seniman untuk berkarya seidealisnya dan mendapat apresiasi baik dari wadah hingga fasilitas,

“Acara ini memberi kesempatan pada musisi-musisi untuk berkarya idealis dan mendapat dukungan baik dana, kebutuhan perform, promosi, serta konsep kolaborator, yg sangat membuat saya banyak belajar dr musisi senior.”

Sebelumnya, Salihara Jazz Buzz merupakan festival jazz persembahan Komunitas Salihara yang mengusung ide Jazz Sans Frontières, sebuah gagasan dan konsep musikal “lintas-batas”. Hal tersebut menjadikan Salihara Jazz Buzz sebagai salah satu acara yang paling diminati oleh pemirsa seni Komunitas Salihara. Tahun ini Salihara mantap dengan tema Pertukaran/Exchange untuk menemukan warna musik baru di industri jazz tanah air. Dari hasil Undangan Terbuka yang sudah dilakukan sejak 2022 lalu, terpilihlah tiga musisi yakni: Filipus Cahyadi Project, Guernica Quartet, dan Sandikala Ensemble yang mendapat kesempatan untuk bermain di Teater Salihara pada 04, 05, dan 11 Februari 2023 lalu.

Semangat untuk menemukan estetika baru dalam mendengarkan jazz diharapkan masih terus berkobar untuk tahun-tahun kedepannya, mengingat antusias dan respons masyarakat yang begitu baik di tiap-tiap tahun penyelenggaraan Salihara Jazz Buzz.

 

 

Para Penampil Salihara Jazz Buzz 2023

 

Sandikala Ensemble dengan kolaborator Sri Hanuraga (04 Februari 2023)

Foto: Witjak Widhi Cahya

 

Grup ini merupakan grup asal Yogyakarta  dengan direktur artistik Dion Nataraja ini adalah sebuah grup dengan format yang banyak menggunakan  instrumen gamelan. Dion Nataraja, komponis dan direktur artistik SE yang saat ini sedang menyelesaikan program doktoralnya di University of California, menawarkan konsep yang lebih dalam pada improvisasi gamelan dan jazz. SE tidak sekadar mencampurkan  instrumen gamelan dan instrumen lain yang biasa digunakan dalam jazz, melainkan mencari titik temu yang lebih dalam misalnya mengeksplorasi konsep pathetan dalam gamelan ke improvisasi yang lebih bebas.

 

Filipus Cahyadi Project dengan kolaborator Indra Perkasa (05 Februari 2023)

Foto: Witjak Widhi Cahya

 

Merupakan grup dengan format kuintet. Sebagai direktur artistik dari FCP, Filipus Cahyadi menggunakan konsep pola hitungan ganjil di dalam komposisinya. Kuintet ini menghadirkan Restha Wirananda (piano), Arini Kumara (selo), Kuba Skowronski (flute & tenor saksofon), Ferdinand Chandra (kontrabas & elektrik bas), Filipus Cahyadi (drum)

 

Guernica Quartet dengan kolaborator Adra Karim

Foto: Witjak Widhi Cahya

 

Guernica Quartet merupakan grup yang merepresentasikan karyanya lewat pencampuran berbagai genre musik dan instrumental yang beragam. Mereka mencoba mengeksplorasi suara dan berbagai jenis musik lain seperti musik tradisional Jepang, India, musik-musik Timur Tengah dan musik Armenia serta sequencer yang menyuarakan elemen suara-suara ‘etnis’.

 

 

 

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

monamur

LIFEs hadir kembali dengan tajuk Mon Amour!

Komunitas Salihara mempersembahkan festival sastra dan gagasan: LIFEs—nama dan bentuk baru bagi Bienal Sastra Salihara. LIFEs sebelumnya hadir dengan pilihan-pilihan tema seperti sastra Amerika Latin bertajuk Viva! Reborn! (2017), My Story, Share History (2019) yang membahas hubungan Indonesia dan Belanda, pada 2021 secara daring LIFEs hadir dengan tajuk Arab Asyiq. Tahun ini LIFEs mengusung tajuk mon Amour!, dengan tema besar Frankofon. LIFEs akan berlangsung pada 05-13 Agustus nanti, sejumlah program pendahuluan telah dimulai sejak Maret melalui Kelas Filsafat “Filsuf Prancis Menafsir Platon”

LIFEs 2023 mengangkat tema besar Frankofon. Frankofon sendiri adalah istilah yang digunakan untuk negara-negara penutur bahasa Prancis. Tema ini hendak meneroka karya-karya sastra dan pemikiran dari negara-negara penutur bahasa Prancis dan melihat bagaimana pengaruhnya ke dalam karya sastra dan pemikiran di Indonesia. LIFEs 2023 akan menghadirkan tokoh intelektual untuk berceramah, juga menghadirkan program diskusi dan seminar untuk membahas pengaruh sastra berbahasa Prancis kepada Indonesia. Selain itu, sebagai bentuk presentasi, LIFEs 2023 hendak memperluas sifat festival sastra dengan memberikan pengalaman artistik kepada pemirsa dalam bentuk pertunjukan. 

Sampai jumpa pada LIFEs mon Amour!

 

Lihat kembali:

LIFEs 2017
LIFEs 2019

helatari-hero-2022-1

Helatari 2023: Pernyataan Dewan Juri

Pada tanggal 28 Desember 2022, Dewan Juri Helatari 2023 menerima 51 proposal karya dari seluruh daerah di Indonesia. Daerah-daerah tersebut meliputi Bali (6), Daerah Istimewa Yogyakarta (5), Lampung (1), DKI Jakarta (9), Jambi (2), Jawa Barat (7), Jawa Tengah (8), Jawa Timur (2), Kalimantan Barat (1), Kalimantan Tengah (1), Papua (2), Riau (1), Sulawesi Tenggara (1), dan Sumatera Barat (5). Kami mengapresiasi sejumlah tawaran karya tari baru yang berangkat dari khazanah tradisi maupun nontradisi, serta banyaknya proposal karya yang menawarkan kerja-kerja perlintasan dengan disiplin maupun media lain. Secara gambaran besar, kami melihat bahwa ada pergerakan yang positif di dalam gagasan tari kontemporer saat ini. Namun, kami juga menemukan kelemahan dalam narasi pelamar menerjemahkan gagasan–baik yang berangkat dari isu sosial maupun eksperimentasi seni–ke dalam sebuah konsep pertunjukan yang utuh. 

Dari keberagaman tawaran tersebut, kami memilih 8 proposal karya yang dianggap memiliki kekuatannya masing-masing, seperti membongkar relasi praktik artistik dengan relasi di luar dirinya, serta kematangan dalam mengolah tatapan atas pengalaman personal yang membuka kemungkinan tafsir lebih luas.

Dengan mempertimbangkan unsur penilaian dan pemrograman festival ini, kami kemudian sepakat memilih 3 karya untuk dipentaskan dalam Helatari Komunitas Salihara 2023. 

Karya-karya terpilih adalah sebagai berikut (tidak berdasarkan peringkat):

 

I Wayan Sumahardika – “The (Famous) Jung Jung-Te Jung Dance”

Karya ini menawarkan pemaknaan atas relasi tradisi, kesejarahan (arsip), dan proses artistik yang menantang tatapan atas karya tari Bali dalam dunia kontemporer. Pengkarya secara jelas mengambil posisi atas praktiknya, sehingga mampu memiliki kejernihan dalam menjelaskan gagasan melalui konsep pertunjukan dan berani mencoba tawaran pemanggungan yang berbeda. Hal ini juga sekaligus memperlihatkan bagaimana karya tersebut mampu menipiskan sekat yang mungkin ada di antara praktik kerja riset dengan seni itu sendiri, yaitu pengkarya secara apik menjalin keduanya sebagai satu praktik riset-artistik yang tidak terpisah dan terus bertumbuh secara konsisten.

Anastasia Verrina – “Waktu Ku Kecil, Tidak Besar”

Karya yang diajukan mampu memperlihatkan bagaimana gagasan pengkarya mengkoreografi konsep pertunjukan, yang kami pandang sebagai perluasan atas  praktik koreografi normatif. “Waktu Ku Kecil, Tidak Besar” secara berani mempertunjukan kualitas gerak yang bukan berangkat dari teknik tari secara umum – yaitu baris-berbaris (PBB), hingga pilihan pendekatan artistik yang diambilnya. Karya ini lantas memainkan ketegangan antara realita sosial dan dramaturgi panggung yang memberi kesempatan bagi penonton untuk menafsir secara luas. 

Megatruh Banyumili – “Budi Bermain Boal”

Karya ini memberi premis tentang bagaimana sebuah idiom–sebagai bagian dari metode pendidikan–tanpa disadari mempengaruhi pandangan dan perilaku sehari-hari. Premis ini kemudian diurainya melalui kerja interdisiplin yang mengekstraksi tubuh (tari) dengan pendekatan teater ala Boal, sehingga memberi dimensi lain pada karya.

 

Demikianlah pilihan dan pertanggungjawaban Dewan Juri Helatari 2023. Keputusan Dewan Juri bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat. Kami berharap seluruh seniman yang melamar dan belum mendapat kesempatan, tetap semangat berkarya. Selamat menjalani proses kreatif bagi para seniman terpilih.

 

Jakarta, 9 Februari 2023

Dewan Juri Helatari 2023
Josh Marcy
Rebecca Kezia
Tony Prabowo

template-youtube cover-1280x720-stay art home.indd - New Page

Sekilas Tentang Platon

Raffaello Sanzio menciptakan lukisan dinding School of Athens, lukisan yang dikenal sebagai penggambaran dua cabang filsafat yang kuat. Dalam lukisan tersebut digambarkan tokoh filsafat Platon dan Aristoteles dengan gestur yang berbeda. Aristoteles digambarkan dengan tangan yang menunjuk ke bawah dan memegang sebuah buku, gestur ini dikaitkan dengan filsafat yang berdasarkan pada realitas dan pengalaman empirik. Sedangkan Platon dilukis dengan tangan mengarah ke atas, seperti hendak menyampaikan tentang filsafat yang menjunjung tinggi ideologi, bahwa realitas di dunia manusia dibentuk oleh gagasan-gagasannya sendiri.  Lantas, siapa sebenarnya Platon dalam lukisan ini? Mengapa ia sangat menjunjung tinggi gagasan-gagasan dan ideologi?  

Ia lahir di Athena pada 428/427 SM, ia meninggal di Athena pada usianya ke-80, Ia adalah Platon. Kelahiran Platon tepat ketika Athena masih memimpin Liga Delos dan masih berjaya dengan sistem pemerintahan demokrasi. Sistem demokratis inilah yang kemudian membunuh tokoh filsuf yang ia idolakan, yaitu Sokrates. Guncangan inilah yang kemudian membawa Platon untuk memberikan seluruh hidupnya pada filsafat. Pada perjalanannya, Platon membuat dua keputusan yang cukup kontroversial bagi pemerintahan Athena saat itu. Platon memilih untuk tidak menikah dan pada 387 SM ia memutuskan mendirikan sekolah filsafat bernama Akademeia. Uniknya, Platon menjalankan sekolah tersebut dengan biayanya sendiri. Akademeia dikenal sebagai titik penting pada dunia filsafat, lembaga ini bekerja dari dan untuk dirinya sendiri. Lembaga ini pula yang kemudian memicu munculnya sekolah filsafat lainnya, tentu dengan metode dan doktrin pelajaran yang berbeda-beda. Setelah sembilan abad bertahan, Akademeia ditutup oleh seorang kaisar Romawi pada 529 M. 

 

Dunia Platon

Platon memiliki pengaruh besar pada dunia filsafat. Platon menawarkan dialektika dengan metafora mitis yang penuh dengan perumpamaan-perumpamaan. Pemikirannya tak bisa begitu saja selesai ditafsir dalam satu bacaan. Mampu membaca dan mengerti pemikiran Platon tak jarang justru membawa kita pada pemikiran yang berlawanan dengan maksud Platon. Misalkan saja tokoh Alain Badiou yang menerjemahkan Politeia karya Platon ke dalam bahasa Prancis (The Republique), ia menggambarkan Alegori Goa menjadi kisah tentang Gedung Bioskop. 

Filsafat Platon seringkali disebut sebagai teori dualisme. Platon dianggap membawakan teori tentang dunia indrawi yang berlawanan dengan dunia ide. Mohammad Hatta pada tulisannya Alam Pikiran Yunani menulis tentang pemikiran Platon yang mengetengahkan dua dunia tersebut. 

“Dunia yang bertubuh adalah dunia yang dapat diketahui dengan pandangan pengalaman. Dalam dunia itu semuanya bergerak dan berubah senantiasa, tidak ada yang tetap dan kekal. Dari pandangan dan pengalaman saja tidak akan pernah tercapai pengetahuan pengertian. Berhadapan dengan itu terdapat dunia yang tidak bertubuh daripada idea, yang lebih tinggi tingkatnya dan yang menjadi objek dari pengetahuan pengertian. Apabila pengertian yang dituju itu memperoleh bentuknya yang tepat, ia tidak berubah-ubah lagi dan bertempat di dalam dunia idea. Idea itulah yang melahirkan pengetahuan yang sebenarnya.”

Platon juga mengikuti jejak gurunya, Sokrates. Ia memilih menggunakan dialektika sebagai metode yang cocok bagi para filsuf, Platon juga memilih model dialektika yang berbeda dengan gurunya. Bagi Platon dialektika adalah hal tertinggi dari segala pengetahuan. Platon menegaskan bahwa tugas para filsuf adalah mengemukakan sudut pandangnya sekaligus memberikan tawaran tentang bagaimana cara mendapat kepastian di tengah perubahan-perubahan nyata dunia. Ia mengajak manusia untuk menelusuri segala opini yang saling bermunculan, bertentangan dan mengkritisi, menanyakan ulang kembali opini-opini tersebut dengan pemikiran yang lebih jernih dan sehat untuk menemukan segala kebaikan.

 

Membaca Lebih dalam Platon

Gagasan dan pemikiran Platon sangatlah luas dan penuh metafor. Sebagai salah satu tokoh filsuf terkenal, menelusuri pemikirannya adalah salah satu usaha mencari formula untuk menemukan kebenaran dan kebaikan di tengah-tengah kehidupan hari ini. Dalam rangka menyambut Literature and Ideas Festival (LIFEs) 2023 yang digagas oleh Komunitas Salihara, kali ini dengan tema “Frankofon” Kelas Filsafat hadir dengan pembahasan tentang filsafat Yunani Klasik. Dengan tajuk Filsuf Prancis Menafsir Platon, kelas ini menghadirkan bagaimana tokoh filsuf seperti Alain Badiou, Derrida, dan Emmanuel Levinas menafsirkan pemikiran Platon. Kelas berlangsung setiap Sabtu sepanjang bulan Maret 2023. Pendaftaran kelas dapat melalui kelas.salihara.org

 

Catatan pendek berdasarkan makalah “Pengantar Sejarah Filsafat Yunani: Platon” yang ditulis oleh A. Setyo Wibowo dalam Kelas Filsafat Salihara 2016.

Sandikala Ensemble dan Upaya Melampaui Kolonialitas

Ditulis oleh Amos. 

Menyaksikan pertunjukan Sandikala Ensemble di Salihara pada 4 Februari lalu, adalah pintu gerbang pada ruang harmoni baru berbasis gamelan Jawa, ruang-ruang asing tapi kadang akrab untuk telinga, ruang-ruang penuh noise dan distorsi yang bersumber dari 36 nada baru hasil eksperimen terhadap gender gamelan Jawa. 

Komposisi Dion Nataraja yang dibawakan oleh Sandikala Ensemble membawa audiens pada situasi ruang pertunjukan penuh noise, bunyi pukulan acak gamelan, gesekan rebab. Ruang harmoni yang dibangun begitu interuptif, seakan membawa kabur bebunyian gamelan berpola mipil atau imbal-imbalan seperti yang biasa terdengar dari pendopo sebuah keraton di Yogyakarta atau Solo. 

Dalam beberapa fragmen pertunjukan, senggreng alat penggesek rebab dipakai menggesek wilahan gender dan gong. Begitu juga dengan bagian bawah gagang tabuh gender yang dipakai untuk memukul secara acak wilahan gender. Teknik eksperimental dengan mengembalikan gamelan pada denging dan dengung menimbulkan suara yang sama sekali lain. Belum lagi noise digital yang bagaikan kepulan asap memenuhi rangkaian komposisi Sandikala Ensemble. Berbagai eksperimentasi itu membuat karya-karya komposisi yang disajikan begitu kuat, menginterupsi pakem-pakem yang disakralkan pada komposisi gamelan Jawa konvensional.  

Alunan gamelan dan distorsi bunyi begitu terdengar asing tapi akrab, keasingan itu mungkin konsekuensi dari upaya Sandikala Ensemble membangun ruang harmoni baru. Gender, instrumen penting dalam orkestra gamelan Jawa, menjadi instrumen penting dalam ruang makna yang Sandikala bangun. Komposisi “Hyperkembangan X”, “Herutjokro as Posthuman”, serta beberapa improvisasi kolaboratif dengan Sri Hanuraga dan Gerald Situmorang melempar telinga kita jauh-jauh dari alunan gamelan yang penuh pakem, di mana biasanya para turis menikmatinya karena alunan itu dianggap eksotik dan “khas Jawa”. 

Justru eksotisasi dan kekhasan Jawa itu yang Sandikala Ensemble ingin gugat dalam berbagai komposisi eksperimentalnya. Sandikala Ensemble melakukan dekonstruksi bunyi pada tonalitas gamelan Jawa yang selama ini dipakemkan dengan pakem slendro sampai pelog. Sandikala Ensemble membuat tonalitas sendiri yang lepas dari kekangan pakem musik Jawa dan pakem diatonik Barat sekalipun. Upaya ini adalah upaya keluar dari estetika dominan baik estetika tradisional atau modern, mungkin upaya itu sejalan dengan istilah delinking dari Walter Mignolo. 

Upaya mencari jalan lain dari kultur dominan ini membuat suara-suara Sandikala bukan sekadar eksperimen bunyi, tapi sebuah suara lantang untuk menggugat otoritas, kanonisasi, kekangan, lalu memilih menziarahi sisi lain dalam sejarah. Apa yang ditampilkan Sandikala Ensemble adalah upaya untuk terhubung kembali dengan pengetahuan lokal, tetapi dengan jalan tempuh alternatif yang sangat hibrida. Di mana batas-batas menjadi lokal, menjadi nasional, menjadi global, lebur pada upaya eksperimental yang penuh improvisasi. Keluar dari eksotisme Jawa yang dikomodifikasi selagi keluar dari kekangan estetika modernis Barat, hal ini membuat Sandikala Ensemble penting disimak. 

 

Pelog, Slendro, dan Penjajahan Estetik Terhadap Musik Jawa. 

Dalam sejarah kajian seni Jawa, mungkin tidak ada lembaga sebesar dan semasif Java Instituut yang mengkaji kebudayaan Jawa. Sejak berdiri pada 1919, Java Instituut menjadi pusat kajian Jawa paling penting sepanjang era kolonial. Jawa pada era kolonial berubah semenjak Perang Jawa (1825-1830), Farish Noor dalam kajian soal politik pengetahuan menggarisbawahi bahwa penjajahan tak hanya soal fisik, tapi juga soal pengetahuan. Mendata, mengkaji, melakukan sensus, dan berbagai upaya menghimpun pengetahuan adalah juga bentuk penjajahan. 

Pemetaan dan upaya meraup data adalah penting dalam sebuah kolonisasi pengetahuan, sehingga muncul klaim bahwa sang penjajah lebih paham masyarakat jajahan ketimbang mereka memahami diri sendiri. Dalam konteks kolonisasi pengetahuan itulah Java Instituut lahir, mereka mengumpulkan, mengarsipkan, mendata, berbagai artefak kebudayaan Jawa, Bali, hingga beberapa kawasan di Nusa Tenggara Barat. Gamelan Jawa sebagai artefak budaya tanah jajahan menjadi salah satu objek pengamatan bagi para etnomusikolog Belanda, terutama untuk membedah dan menguak estetika masyarakat jajahan yang tersembunyi dalam nada dan ritme “eksotik”.  

J.S. Brandts Buys, seorang etnomusikolog Belanda, membuat sebuah makalah berjudul “Een En Ander Over Javaansche Muziek” yang diterbitkan pada salah satu kongres Java Instituut. Pada makalahnya, ia menjelaskan cara kerja orkestra gamelan secara musikologis. Mulai dari pertunjukan, struktur komposisi, hingga fungsi tiap instrumen dalam orkestra gamelan. Apa yang Buys upayakan adalah penjelasan struktural pada musik Jawa, yang mana bagi Buys para seniman tradisi dan masyarakat Jawa sendiri “tak mau ambil pusing soal struktur musikal” (1929: 53-55). Buys memang memiliki klaim bahwa orkestrasi dalam gamelan Jawa bisa dilihat sebagai musik polyphonic, di mana penyajian harmoni berlangsung sangat kompleks. Begitu pula secara ritme, ada peran perkusif gendang yang membuat ritme gamelan begitu dinamis.

Pada satu bagian tentang tonalitas dan tangga nada dalam musik Jawa, Buys menjelaskan slendro dan pelog. Dalam tonalitas pelog, Buys melihat ada sebuah “nada” tambahan selain yang terpatri dalam tangga nada pelog. Apa yang dianggap baru bagi Buys dan agak misterius soal tonalitas pelog, memperlihatkan musik Jawa sebagai musik terra incognita, musik “dunia baru” yang perlu dieksplorasi dan dijelaskan strukturnya oleh etnomusikolog Barat seperti Buys. Tanpa para etnomusikolog Barat ini seakan-akan seni Jawa tak utuh, tak terjelaskan, dan tetap menjadi misteri. Sebagai tangga nada, slendro dan pelog mungkin dianggap “barang unik dan eksotik” dari negeri jajahan, di mana seluruh komposisi yang lahir darinya pun dieksotisasi.

(Arsip penotasian J.S. Brandts Buys, 1929)

 

Sementara menurut Jennifer Lindsay dalam buku “Javanese Gamelan”, penotasian representatif yang dilakukan terhadap gamelan Jawa tak bisa dilakukan untuk sebuah paten absolut terhadap tonalitas (1992: 38-42). Toh, jika ada beberapa gamelan dijajarkan dan dibunyikan, tentu gamelan-gamelan itu tak akan memiliki tuning yang benar-benar sama, baik intervalnya maupun nadanya. Menariknya, kajian-kajian etnomusikolog Barat pada musik Jawa era kolonial bertendensi untuk mencari paten absolut dalam kategorisasi musikal Barat modern. Padahal, gamelan Jawa dan berbagai musik lokal nusantara memiliki partikularitas yang khas.

Arsip-arsip Buys dalam Kongres Java Instituut yang saya temukan memperlihatkan upaya etnomusikolog Belanda untuk membangun paten terhadap musik Jawa versi mereka. Mulai dari penotasian representatif slendro dan pelog, penyingkapan melalui kajian pertunjukan gamelan, hingga klaim sepihak tentang seniman Jawa yang tak mau ambil pusing soal struktur musikal. Semua itu bisa dilihat sebagai pola umum dari para etnomusikolog Barat yang melihat kebudayaan Jawa sebagai yang Liyan, yang perlu diperadabkan, yang perlu diberi pencerahan melalui estetika modern.

***

Sandikala Ensemble melalui karya komposisi eksperimentalnya melakukan perebutan ulang sejarah (historical reclaiming), khususnya terhadap gamelan. Pada periode abad 19-20, ada eksotisasi, representasi, dan berbagai “penjajahan estetika” atas nama estetika Barat nan adiluhung. Gamelan dipandang Buys dan para etnomusikolog Belanda hanya sebagai “barang seni eksotik” dari tanah jajahan. Segala upaya mendefinisikan gamelan, membekukannya, lalu membuat paten absolut sesuai standar musikal Barat, adalah kekerasan yang jelas terlihat dalam estetika kolonial.

Ide-ide Walter Mignolo soal dekolonisasi pengetahuan nampak sesuai dengan proyek eksperimental Sandikala. Kolonialitas bagi Mignolo bukan sesederhana kolonialisme sepanjang abad 17-20 di tanah jajahan, kolonialitas adalah siklus penjajahan yang berulang dari zaman ke zaman hingga hari ini. Tak tepat menyebutkan bahwa kolonialisme telah berakhir semenjak bangsa jajahan memproklamirkan dirinya merdeka secara politik, justru institusi, cara kerja, sistem, dan hegemoni kultural era kolonial itu masih dilanggengkan hingga kini.

Walter Mignolo menawarkan konsep “relinking/delinking” untuk melampaui kolonialitas itu. Bagi Mignolo, diperlukan upaya terhubung kembali dengan lokalitas ulayat (indigenous) yang keluar dari kekangan modernitas. Dalam “Coloniality is Far from Over, and So Must Be Decoloniality”, Mignolo menutup tulisannya dengan mengatakan:

“Today decoloniality is everywhere, it is a connector between hundreds, perhaps thousands of organised responses delinking from modernity and Western civilisation and relinking with the legacies that people want to preserve in view of the affirming modes of existence they want to live” (2017: 45).”

Sandikala Ensemble menjadi prototipe estetika dekolonial melalui eksperimentasi kontemporer terhadap gamelan. Setelah dialihtubuhkan pada roh bebunyian baru, gamelan mendapatkan nyawa keduanya untuk hidup, setelah pembunuhan pertamanya oleh estetika kolonial di abad 19-20. Kehidupan kedua gamelan Jawa kini merespons isu-isu yang kita hadapi pada kondisi post-human: teknologi digital, algoritma, hingga kolonialitas.

 

Referensi:

Arsip

Programma van het congres gehouden van het 27 tot en met 29 December 1929 in de Kapatihan Mangkoenagaran Soerakarta, ter Gelegenheid van het tienjaring bestaan van het Java Instituut, 1919-1929. Koleksi Perpustakaan Nasional.

Jurnal dan Buku

Jennifer Lindsay. 1992. Javanese Gamelan: Traditional Orchestra of Indonesia. Singapore; New York: Oxford University Press.

Farish. A. Noor. 2019. Data-Gathering in Colonial Southeast Asia 1800-1900: Framing the Other. Amsterdam: Amsterdam University Press.

Walter. D. Mignolo. 2017. Coloniality is Far from Over, and So Must Be Decoloniality. Afterall: A Journal of Art, Context and Enquiry. Volume 43.

pers-helateater2023

Helateater 2023: Teater Objek

Menampilkan Permainan Ritual, Gender, dan Pelestarian Lingkungan

18 Februari-12 Maret 2023

Teater & Galeri Salihara |Kamis, Jumat, Sabtu, dan Minggu | 12:00, 16:00, dan 20:00 WIB

Penampil: Flying Balloons Puppet, SEKAT Studio, Wayang Suket Indonesia, Institut Tingang Borneo Utara, dan Papermoon Puppet Theatre

 

Jakarta, 7 Februari 2023 – Menjadi salah satu program unggulan di Komunitas Salihara, Helateater kembali menyapa para penikmat seni teater pada 18 Februari mendatang di Teater dan Galeri Salihara. Program ini merupakan acara dua tahunan yang berjalan beriringan dengan Helatari; yakni sebuah festival yang terfokus kepada seni tari yang berakar dari berbagai latar belakang baik kontemporer maupun tradisi. Tahun ini Helateater hadir dengan tema Teater Objek, sebuah gagasan yang mengedepankan pertunjukan dengan memanfaatkan objek–wayang, boneka, benda sehari-hari–sebagai jantung utamanya.

Tiga periode belakangan Helateater 2023 mengusung format “Undangan Terbuka” yang khusus ditujukan kepada para seniman muda untuk mengirimkan konsep dan gagasan yang matang baik dengan basis riset, tradisi, maupun eksplorasi. Kurator Teater Komunitas Salihara, Hendromasto Prasetyo beserta jajaran Dewan Juri (Iwan Effendi dan Zen Hae) mengatakan bahwa tahun ini Helateater memilih empat kelompok teater yang kuat secara cerita dan objek yang terukur.

“Merujuk pada tema Helateater 2023, kami memutuskan untuk memilih empat karya yang dinilai paling menjanjikan keberhasilan sebuah pentas teater berbasis objek seturut konsep karya masing-masing dalam Helateater 2023. Empat karya itu menawarkan pertunjukan yang kuat pada cerita dan berbeda satu sama lain. Juga, memiliki ansambel permainan objek yang rapi dan terukur.”

Keempat kelompok seniman tersebut akan meramaikan Teater dan Galeri Salihara mulai 18 Februari hingga 05 Maret 2023 dengan harga tiket Rp50.000 (pelajar) dan Rp75.000 (umum). Selain itu acara Helateater akan ditutup oleh penampilan spesial dari Papermoon Puppet Theatre asal Yogyakarta yang sudah melakukan banyak sekali pertunjukan di tingkat nasional maupun mancanegara. Berikut adalah sinopsis serta jadwal pertunjukan Helateater.

 

1. Jalinan Kusam di Lemari Sosi

Penampil:  Flying Balloons Puppet ( Yogyakarta). 

Sabtu, 18 Februari 2023, 20:00 WIB | Minggu, 19 Februari 2023, 16:00 WIB

Pentas ini menyajikan permainan boneka di atas meja yang digabungkan dengan aktor dan manipulasi benda-benda keseharian. Hubungan aktor dengan objek dikembangkan ke dalam tiga kemungkinan: aktor sebagai dalang, aktor menggunakan objek sebagai properti pentas dan aktor adalah objek yang dimanipulasi oleh ruang dan aktor lainnya. Karya ini mengusung tema memori dan tantangan bagi perempuan terkait dunia domestik yang membesarkannya sekaligus kungkungan dunia sosial di sekitarnya.

 

2. Identikit

Penampil: SEKAT Studio (Bekasi, Jawa Barat)

Sabtu, 25 Februari 2023, 20:00 WIB | Minggu, 26 Februari 2023, 16:00 WIB

Identikit bercerita tentang seorang seniman yang mencoba menembus kerinduan kepada kekasihnya melalui permainan jailangkung, yang pada beberapa tempat di Indonesia dipercaya sebagai ritus penghubung dunia manusia dengan dunia arwah. Di dalamnya pemanggung akan menghadirkan serangkaian objek, mulai dari topeng, boneka, aktor, bayangan hingga instrumen musik. Pada bentuknya yang paripurna, pentas ini akan menyuguhkan serangkaian permainan metafora terkait tubuh, pikiran dan jiwa manusia.

 

3. Bandung Bondowoso 

Penampil: Wayang Suket Indonesia (Tuban, Jawa Timur)

Kamis, 02 Maret 2023, 20:00 WIB | Jumat, 03 Maret 2023, 20:00 WIB

Pentas ini memberi watak baru kepada Bandung Bondowoso sebagai lelaki baik dan bertanggung jawab terhadap pilihannya membangun seribu candi bagi Roro Jonggrang hanya dalam semalam. Penceritaan kembali legenda terkenal, tetapi dengan sudut pandang perwatakan yang berbeda, akan memberikan penonton kenikmatan tersendiri. Pementasan akan menampilkan wayang suket (wayang yang terbuat dari rumput) dengan teknik teatrikal dan permainan bayangan, serta imbuhan elemen tari, musik dan seni rupa. Kelompok ini punya perhitungan terperinci mengenai konsep pemanggungan dan eksekusinya di atas panggung. 

 

4. Himba 

Penampil: Institute Tingang Borneo Theater (Palangka Raya, Kalimantan Tengah)

Sabtu, 04 Maret 2023, 20:00 WIB | Minggu, 05 Maret 2023, 16:00 WIB

Himba akan dipentaskan menggunakan boneka yang dikolaborasikan dengan permainan bayangan, topeng khas suku Dayak dan pantomim. Dengan tema pelestarian hutan dan tegangan kepentingan antara adat dan industri perkebunan, antara kakek penjaga hutan keramat dan anak muda yang ambisius, kisah ini mengantarkan kita kepada permainan boneka yang kolaboratif; memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya menjaga kelestarian hutan, tanpa kehilangan permainan bentuk boneka dan anasir pentas lainnya yang tidak kalah menarik.

 

5. A Bucket of Beetles

Penampil: Papermoon Puppet Theatre

Jumat, 10 Maret 2023, 20:00 WIB | Sabtu, 11 Maret 2023, 16:00 & 20:00 WIB

Minggu, 12 Maret 2023, 10:00 & 16:00 WIB

Pertunjukan ini menyajikan kisah tentang persahabatan antara Wehea dan seekor kumbang hutan. Tidak hanya kisah persahabatannya yang ditonjolkan, pertunjukan ini juga menyajikan hubungan antara manusia dan alam. Sebuah kisah yang membuat kita bertanya-tanya: apakah kita sudah cukup menjaga air, tanah, dan udara kita? 

 

Pertunjukan ini terinspirasi dari kisah yang diceritakan oleh seorang anak laki-laki berusia 5 tahun. Semua desain boneka hewan dalam lakon diambil dari lukisannya. Produksi ini sebelumnya disajikan secara virtual dengan live streaming performance dari studio Papermoon Puppet di Yogyakarta 2020 lalu. Pada rangkaian Helateater kali ini, A Bucket of Beetles akan ditampilkan secara langsung di atas panggung Teater Salihara.

 

Tentang Penampil

Flying Balloons Puppet adalah grup teater yang berdiri pada Januari 2015 dan digawangi oleh Rangga Dwi Apriadinnur. Flying Balloons Puppet sudah menampilkan lebih dari 15 pementasan baik karya tunggal maupun kolaborasi dengan pelaku seni dan kelompok kesenian di Yogyakarta sejak 2015. Salah satu karya tunggalnya adalah Cerita Origami Merah Muda yang dipentaskan Agustus 2015 pada Festival Teater Remaja Nusantara di ISI Yogyakarta. Beberapa pentas kolaborasinya adalah The Bird bersama Les Rémouleurs (Prancis) dalam Printemps Francais (2016) dan Sori in the Land of Lembuna bersama Gwen Knoxx (Australia) dalam Pesta Boneka #6 (2018). Flying Balloons Puppet menjadi 10 Besar kelompok terpilih untuk Ruang Kreatif Seni Pertunjukan 2017, Galeri Indonesia Kaya dan kelompok terpilih untuk Parade Seni Pertunjukan Media Baru 2020 oleh Garin Workshop dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 

SEKAT Studio muncul sebagai sebuah komunitas rumah hantu yang terus mencari formula dan media komunikasi yang tepat dengan ‘dunia hantu’ di tahun 2010. Dalam perjalanannya, SEKAT Studio berusaha mendengar dan melihat cerita-cerita tentang hantu, kemudian mereka mencoba menghidupkannya lewat berbagai bentuk interaksi dan imitasi di tempat-tempat yang penuh dengan aktivitas manusia. Beberapa karya SEKAT Studio, di antaranya adalah Trektrek dan Lapangan Bintang (2021) dan Si Mata Besar dan Si Mulut Besar (2022). 

Komunitas Wayang Suket Indonesia didirikan oleh Gaga Rizky sebagai upaya untuk melestarikan budaya wayang suket. Pada mulanya komunitas Wayang Suket Indonesia dibentuk saat berada di Kota Surakarta, ketika Gaga Rizky merantau untuk  berkuliah di Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS). Pada 2019 Wayang Suket Indonesia melakukan pementasan dan residensi Shadowlight Production bersama Larry Reed (USA) di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK) Yogyakarta, dengan lakon Dewi Sri. Karya-karyanya antara lain, Timun Emas (2018), Roro Jonggrang (2019), dan Jaka Tarub (2022). Wayang Suket Indonesia juga menjadi salah satu kelompok terpilih dalam program Ruang Kreatif 2019 dari Indonesia Kaya, Garin Workshop, dan Bakti Budaya Djarum Foundation. 

Institute Tingang Borneo Theater berdiri pada 2013 di Kalimantan Tengah. Karya-karyanya antara lain adalah Siapa Aku, Siapa Kamu (2013), Jangan Coblos Saya (2014), dan Sendratari – Air Mata Primata (2021). Mereka juga pernah berkolaborasi dalam The Mapping of Experimental Music, Noise, Sound Art Act from Borneo bersama musisi Theo Nugraha. Pada 2021 menjadi kelompok terpilih pada Gulali Festival yang diinisiasi oleh Papermoon Puppet Theater dan Ayo Dongeng Indonesia. 

Papermoon Puppet Theatre didirikan pada April 2006 di Yogyakarta, Indonesia oleh Maria Tri Sulistyani (Ria). Ia kemudian memelihara, mengembangkan, dan memperluas kerja-kerja  komunitas teater boneka ini bersama Iwan Effendi, seorang seniman visual dan desainer boneka Papermoon. Mereka bekerja sama dengan seniman boneka lainnya, antara lain Anton Fajri, Pambo Priyojati, Beni Sanjaya, Muhammad Alhaq dan Hardiansyah Yoga. Hingga saat ini, Papermoon Puppet Theatre telah menciptakan lebih dari 30 pertunjukan boneka dan instalasi serta pameran seni visual dan telah kelilingi ke lebih dari 10 negara. Pada 2008, Papermoon Puppet Theatre menggagas program Pesta Boneka, sebuah biennale boneka internasional yang menyambut para seniman boneka dari seluruh dunia untuk ditampilkan di Indonesia.

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________ 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

filsafat-maret-23-luring-thumbnail

Kelas Filsafat 2023 Putaran Pertama – Filsuf Prancis Menafsir Platon

Pengampu: Augustinus Setyo Wibowo dan Anugrah Bayu
Setiap Sabtu, 04, 11, 18, 25 Maret 2023, 14:00 WIB
Zoom Webinar

 

Jakarta, 20 Januari 2023 – Dalam tradisi filsafat modern, filsafat Yunani Klasik adalah sumber atau asal-muasal terpenting. Hampir seluruh puncak-puncak filsafat Barat hari ini bisa ditelusuri asal-muasalnya atau dikembalikan ke tradisi filsafat Yunani Klasik, bahkan yang lebih awal dari itu. Salah satu filsuf dari era Yunani Klasik yang terpenting adalah Platon (Plato). Platon adalah pemikir kuno, berasal dari 2500 tahun yang lalu yang telah ditafsirkan oleh banyak filsuf dari berbagai era tidak terkecuali oleh para filsuf Prancis kontemporer. Maka dari itu, pemikiran filsuf Plato ini menjadi sangat tepat untuk dijadikan tema Kelas Filsafat Salihara di 2023 ini.

Kurator Edukasi dan Gagasan, Zen Hae mengatakan Perspektif filsuf Prancis diambil sebagai bentuk pemanasan dari program Literature and Ideas Festival (LIFEs) yang akan diadakan Agustus 2023 mendatang. LIFEs tahun ini akan mengangkat tema “Frankofon”; sebuah istilah yang digunakan untuk negara-negara penutur bahasa Prancis.

“Meski baru berlangsung pada Agustus, sejak awal tahun kami sudah merancang sejumlah program yang bisa disebut sebagai semacam “pemanasan” atas Festival nanti. Salah satunya adalah Kelas Filsafat bertema “Filsuf Prancis Menafsir Platon” dan bagaimana filsuf kontemporer Prancis membahas pascamodernisme, pascastrukturalisme, historiografi, studi Islam, sastra dan feminisme.”

Kelas Filsafat ini akan dijalankan secara daring setiap Sabtu di bulan Maret 2023 dalam empat pertemuan yang diampu oleh A.Setyo Wibowo untuk pertemuan 1-3 dan Anugrah Bayu pada pertemuan ke-4. Pertemuan pertama kita membahas mengenai Platon yang ditafsir oleh filsuf Alain Badiou. Alain Badiou menerjemahkan Politeia Platon ke dalam bahasa Prancis (The Republique) secara nyleneh; misalnya, gambaran tentang Alegori Goa tiba-tiba menjadi kisah mengenai Gedung Bioskop. Namun, isi tafsiran Badiou atas politik Platon di The Republique tetap menarik: filsuf raja bukanlah realitas, melainkan idea untuk dipikirkan.

Di pertemuan kedua kita akan membahas mengenai pandangan dari Jacques Derrida. Pemikiran Derrida tentang différance yang unik bisa diberi gambaran jelas di teks Platon berjudul Timaios tentang khôra: genus ketiga di antara yang inderawi dan yang intelligible. Derrida sendiri menulis sebuah analisis menarik atas teks Timaios ini. Derrida juga menulis analisis menarik tentang buku Platon berjudul Phaidros. Di situ, pharmakon, yang tidak bisa diterjemahkan, adalah gambaran jenis ketiga di luar oposisi biner yang mencirikan metafisika Barat.

Selanjutnya ada Jacques Rancière, seorang pemikir demokrasi kontemporer. Ia menengarai rezim politik Platon sebagai archipolitique sebuah cara berpolitik yang dilandaskan pada prinsip tertentu, yaitu pengetahuan. Alih-alih mengemansipasi rakyat, model pengetahuan sebagaimana dipraktikkan Socrates, justru mengekalkan pembodohan. Dalam bidang seni, rezim archipolitique menekankan fungsi etis seni bagi masyarakat, sehingga seni dalam arti sebenarnya tidak muncul. 

Terakhir kita akan melihat pandangan Emmanuel Levinas terhadap Platon. Dalam pertemuan ini kita akan membahas Relasi etis dengan Liyan (l’Autre) yang mudah dipahami lewat alegori Goa di mana Platon membicarakan The Good (Kebaikan) yang melampaui pengetahuan.

Untuk mengetahui detail dari para pemikiran tersebut, peserta bisa langsung mendaftarkan diri lewat laman resmi kami di kelas.salihara.org dan media sosial kami.

 

Tentang Pengampu
A. Setyo Wibowo adalah dosen tetap di STF Driyarkara. Ia meraih Baccalaureat Teologi di Universitas Gregoriana, Roma, Italia (1999). Ia menyelesaikan studi Filsafat S2, DEA dan S3 di Université Paris-1, Panthéon-Sorbonne, Paris, Prancis pada 2000-2007. Beberapa buku termutakhirnya antara lain Paideia: Filsafat Pendidikan-Politik Platon (2017), Gaya Filsafat Nietzsche (2017), Ataraxia: Bahagia Menurut Stoikisme (2019) dan Platon: Lakhes (Tentang Keberaian) (2021). Ia juga menerbitkan Filokomik (2020), terjemahan buku komik filsafat dari bahasa Prancis ke bahasa Indonesia.

Anugrah Bayu adalah seorang peminat filsafat yang menyelesaikan studi S1 dan S2 di STF Driyarkara. Sekarang bekerja sebagai penerjemah. Ia juga salah satu pengajar program Philosophy Underground di Komunitas Utan Kayu. 

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________ 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

jb2023

Menemukan Bentuk Estetika Baru dalam Musik Jazz Tanah Air

Salihara Jazz Buzz 2023:
Pertukaran/Exchange

04, 05, & 11 Februari 2023
Teater Salihara | Sabtu, 20:00 WIB | Minggu, 16:00 WIB
Penampil: Filipus Cahyadi Project, Guernica Quartet, dan Sandikala Ensemble
Kolaborator: Adra Karim, Indra Perkasa, dan Sri Hanuraga

 

Jakarta, 19 Januari 2022 – Salah satu program unggulan yang mendapat tanggapan dan perhatian besar dari publik terkait Komunitas Salihara Arts Center adalah Salihara Jazz Buzz; sebuah festival jazz tahunan yang menampilkan pilihan genre, komposisi dan presentasi konsep musik baru. Berkaca dari suksesnya acara Salihara Jazz Buzz 2022 digelar, kini Komunitas Salihara kembali hadir pada Februari 2023 bersama para musisi pilihan hasil undangan terbuka pada pertengahan 2022 lalu. 

Sejak 2016, Salihara Jazz Buzz selalu mengusung ide besar Jazz Sans Frontières, sebuah gagasan dan konsep musikal “lintas-batas”. Hal tersebut menjadikan Salihara Jazz Buzz sebagai salah satu acara yang paling diminati oleh pemirsa seni Komunitas Salihara. Tema Pertukaran/Exchange ini menjadi bukti nyata bahwa Salihara Jazz Buzz ingin menampilkan sifat jazz yang mampu menjelajah ke genre musik lain.

Kurator Musik dan Tari Komunitas Salihara, Tony Prabowo mengatakan tema Exchange ini dapat menghadirkan konsep baru di tengah masyarakat penikmat musik Jazz.

 “Salihara sebagai penyelenggara pesta kesenian, tentu harapannya bisa memberikan suguhan yang segar, berkualitas, kebebasan berekspresi dan menawarkan konsep-konsep kebaharuan untuk masyarakat peminat musik dan peminat seni seluas-luasnya, di tengah banyaknya festival-festival jazz di negeri ini.”

Hasil dari Open Call (Undangan Terbuka) lalu menghadirkan tiga kelompok musisi terbaik versi tim kurator Salihara. Ketiga musisi tersebut adalah Filipus Cahyadi, Guernica Quartet, dan Sandikala Ensemble yang hadir dengan estetika masing-masing dalam menghadirkan nuansa baru musik jazz.

 

Pendatang Baru yang Perlu Diperhatikan

Tahun 2023 menjadi penanda baru bagi Salihara Jazz Buzz setelah masa pandemi berangsur usai. Di tahun ini, kita akan menyaksikan pertunjukan jazz lewat pengalaman yang sebagaimana mestinya yakni secara langsung pada 04, 05, dan 11 Februari mendatang di Teater Salihara. Selain memperlihatkan karya-karya orisinal mereka, ketiga musisi pilihan ini juga akan berkolaborasi dengan musisi senior untuk membawakan pertunjukan yang hanya bisa disaksikan di Salihara Jazz Buzz 2023.

Penampil pertama adalah Sandikala Ensemble (SE), grup ini merupakan grup asal Yogyakarta  dengan direktur artistik Dion Nataraja ini adalah sebuah grup dengan format yang banyak menggunakan  instrumen gamelan. Dion Nataraja, komponis dan direktur artistik SE yang saat ini sedang menyelesaikan program doktoralnya di University of California, menawarkan konsep yang lebih dalam pada improvisasi gamelan dan jazz. SE tidak sekadar mencampurkan  instrumen gamelan dan instrumen lain yang biasa digunakan dalam jazz, melainkan mencari titik temu yang lebih dalam misalnya mengeksplorasi konsep pathetan dalam gamelan ke improvisasi yang lebih bebas. Dalam kesempatan di Jazz Buzz ini, SE berkesempatan untuk berkolaborasi bersama musisi senior Sri Hanuraga dalam karya Hyperkembangan III  dan Improvisation I.

Selanjutnya adalah Filipus Cahyadi Project (FCP) yang merupakan grup dengan format kuintet. Sebagai direktur artistik dari FCP, Filipus Cahyadi menggunakan konsep pola hitungan ganjil di dalam komposisinya. kuintet ini menghadirkan Restha Wirananda (piano), Arini Kumara (selo), Kuba Skowronski (flute & tenor saksofon), Ferdinand Chandra (kontrabas & elektrik bas), Filipus Cahyadi (drum)  dan musisi senior Indra Perkasa yang akan berkolaborasi dengan FCP.

Terakhir ada Guernica Quartet (GQ) yang menjadi musisi penutup Salihara Jazz Buzz 2023. Guernica Quartet merupakan grup yang merepresentasikan karyanya lewat pencampuran berbagai genre musik dan instrumental yang beragam. Mereka mencoba mengeksplorasi suara dan berbagai jenis musik lain seperti musik tradisional Jepang, India, musik-musik Timur Tengah dan musik Armenia serta sequencer yang menyuarakan elemen suara-suara ‘etnis’. Dalam penampilan kali ini, Guernica Quartet juga akan berkolaborasi bersama musisi jazz senior Adra Karim.

Pertunjukan Salihara Jazz Buzz ini terbuka untuk umum. Untuk menyaksikannya, pengunjung bisa langsung melakukan pemesanan via tiket.salihara.org dengan harga Rp. 75.000 (dewasa) dan Rp. 50.000 (pelajar/mahasiswa).

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________ 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

helateater-web banner

Teater Objek

Penampil: Flying Balloons Puppet (Yogyakarta), Institute Tingang Borneo Theater (Palangkaraya), SEKAT Studio (Bekasi), Wayang Suket Indonesia (Tuban), & Papermoon Puppet Theatre (Yogyakarta)

Helateater Salihara 2023 menampilkan empat kelompok teater hasil seleksi undangan terbuka bertema Teater Objek. Tema ini bertolak dari kesadaran atas kekayaan teater Indonesia yang banyak menggunakan ragam objek seperti wayang, boneka, hingga benda umum sebagai jantung pertunjukannya namun belum banyak kelompok menonjol. Dari undangan terbuka Helateater Salihara 2023, empat kelompok terpilih tersebut menunjukkan potensi keberhasilan pertunjukan seturut konsep karya yang cukup kuat.

Empat kelompok itu adalah Flying Balloons Puppet (Yogyakarta), Institute Tingang Borneo Theater (Palangkaraya), SEKAT Studio (Bekasi), dan Wayang Suket Indonesia (Tuban). Tiap kelompok menampilkan karyanya dua kali di Komunitas Salihara pada Februari-Maret. Selain penampilan kelompok teater terpilih, Salihara juga menampilkan pertunjukan teater boneka dari Papermoon Puppet Theatre.

Selamat menyaksikan!

Jadwal Acara

Jalinan Kusam di Lemari Sosi
Penampil: Flying Balloons Puppet
Sabtu-Minggu, 18-19 Februari 2023

Karya ini mengusung tema memori dan tantangan bagi perempuan terkait alam domestik yang membesarkannya sekaligus kungkungan dunia sosial di sekitarnya.

Identikit
SEKAT Studio
Sabtu-Minggu, 25-26 Februari 2023

Identikit bercerita tentang seorang seniman yang mencoba menembus kerinduan kepada kekasihnya melalui permainan jailangkung, yang pada beberapa tempat di Indonesia dipercaya sebagai ritus penghubung dunia manusia dengan dunia arwah orang mati.

Bandung Bondowoso
Wayang Suket Indonesia
Kamis-Jumat, 02- 03 Maret 2023

Pentas ini memberi watak baru kepada Bandung Bondowoso sebagai lelaki baik dan bertanggung jawab terhadap pilihannya membangun seribu candi bagi Roro Jonggrang hanya dalam semalam.

Himba
Institute Tingang Borneo Theater
Sabtu-Minggu, 04-05 Maret 2023

Himba akan dipentaskan menggunakan boneka yang dikolaborasikan dengan permainan bayangan, topeng khas suku Dayak dan pantomime.

Papermoon Puppet Theatre
Jumat-Minggu, 10-12 Maret 2023

Pertunjukan ini adalah tentang Wehea, seorang anak kecil yang tinggal di hutan hujan besar. Sama seperti orang lain yang tinggal di sana, Wehea memiliki hubungan khusus dengan alam.

nano-obi

Obituari Norbertus (Nano) Riantiarno

Norbertus “Nano” Riantiarno (Cirebon, 6 Juni 1949-Jakarta, 20 Januari 2023) adalah salah satu pembaharu teater Indonesia modern. Bersama Teater Koma yang ia dirikan pada 1977, Nano mengukuhkan tradisi teater realis yang semula ia serap ketika belajar di Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) dan Teater Populer pimpinan Teguh Karya. Dengan gaya kritik dan banyolan di sana-sini, Teater Koma menjadi salah satu kelompok teater yang kuat pada masa Orde Baru dan sesudahnya.

Nano menunjukkan bagaimana teater dapat hadir sebagai tontonan yang bukan hanya menghibur tetapi juga kritis. Di tangannya, kritik terhadap penguasa yang korup, kemiskinan, ketidakadilan hingga nafsu kuasa dapat muncul di atas panggung tanpa disadari oleh penonton bahwa semua itu telah mengetuk kesadaran atas kenyataan yang tengah terjadi di sekitar mereka. Sementara, manajemen Teater Koma memperlihatkan bagaimana ketelatenan membina penonton dari berbagai kalangan dalam waktu bertahun-tahun adalah soal penting yang tidak sembarang kelompok teater bisa melakukannya.

Naskah-naskah lakon yang ditulis Nano, semisal trilogi Bom Waktu, Opera Kecoa, Opera Julini, menjadi korpus naskah teater realis yang istimewa dalam tradisi penulisan lakon berbahasa Indonesia. Bahkan naskah-naskah lakonnya yang mengambil pendekatan tonil atau teater Tiongkok menjadi perbendaharaan tersendiri yang belum ada tandingannya.

Di Salihara, ia pernah menghadirkan produksi ke-120 Teater Koma yang bertolak dari ancaman mematikan HIV/AIDS berjudul Rumah Pasir (2010). Setahun sebelumnya, ia menyajikan drama romantika lewat lakon Tanda Cinta (2009) yang dimainkan berdua dengan Ratna Riantiarno. Pada masa pandemi lalu, ia adalah salah satu pembicara yang membagikan pengetahuannya dalam seri diskusi Pertumbuhan Teater Modern (di) Indonesia dengan tajuk Komedi/Tonil: Eksotisme Timur dan Fantasi yang ditaja Komunitas Salihara.

Nano adalah seorang seniman yang lengkap. Ia adalah aktor, sutradara teater dan film, penulis naskah teater, skenario film dan televisi, novel, cerpen, tinjauan teater, dosen hingga wartawan. Kepiawaiannya dalam menulis lakon telah diganjar dengan sejumlah penghargaan melalui Sayembara Menulis Naskah Drama Dewan Kesenian Jakarta. Begitu juga skenario film dan televisi besutannya.  

 Nano meninggalkan warisan pengetahuan yang berharga bagi kesenian Indonesia. Ia sadar untuk tidak jauh meninggalkan seni tradisi sekaligus konsisten meniupkan nafas kebaharuan pada karya-karyanya. Di saat yang sama, semangat sekaligus ketangguhannya bergulat merawat teater adalah teladan penting bagi siapa saja yang hendak menekuni seni pertunjukan di Indonesia.

 Selamat jalan, Nano Riantiarno.