les

Les Justes: Bom yang Gemetar di Tangan, Nurani yang Gemetar di Hati

Les Justes, yang dalam terjemahan Arif Budiman menjadi Teroris, adalah salah satu karya teater paling penting yang ditulis oleh Albert Camus, seorang filsuf Prancis yang terkenal dengan gagasan absurdisme dan humanisme. Karya ini bukan hanya sebuah drama panggung yang menegangkan, tetapi juga sebuah perenungan mendalam tentang konflik moral antara idealisme revolusioner dan nilai-nilai kemanusiaan yang paling mendasar. Dengan latar Rusia awal abad ke-20, naskah ini menyoroti sekelompok revolusioner yang hendak menyingkirkan seorang bangsawan tiran demi kebebasan rakyat Rusia. Namun di balik rencana penuh bahaya itu, Camus justru menampilkan dilema-dilema moral yang menggetarkan.

Cerita dimulai di sebuah apartemen sederhana di Moskow, markas para revolusioner. Babak demi babak menampilkan suasana yang tegang: diskusi tentang rencana pembunuhan, debat tentang disiplin partai, dan ketegangan antara semangat kolektif dan kebimbangan pribadi. Para tokoh utama di antaranya Annenkov (pemimpin yang tegas), Dora (sosok perempuan yang kuat tapi juga rapuh), Stevan (revolusioner fanatik yang penuh amarah), Voinov (yang gemetar oleh rasa takut), dan Kaliayev seorang penyair yang kelak menjadi eksekutor utama bom. Yang membuat drama ini hidup bukan hanya rencana aksi mereka, tetapi juga konflik batin yang merobek mereka satu per satu. Camus menghadirkan pertanyaan mendasar tentang apakah demi tujuan besar (keadilan dan kebebasan) seseorang berhak mengorbankan nilai-nilai kemanusiaannya? Pertanyaan ini tidak dijawab secara hitam putih. Drama ini justru memperlihatkan bagaimana setiap tokoh berusaha menegosiasikan idealisme mereka dengan nurani yang tak bisa dibungkam.

Kaliayev menjadi tokoh kunci dalam drama ini. Ia dijuluki “si Penyair” bukan hanya karena kegemarannya menulis sajak, tetapi juga karena jiwanya yang penuh keraguan dan kepekaan. Ketika dia mendapat tugas untuk melemparkan bom ke kereta yang ditumpangi sang bangsawan, dia sudah sangat siap dengan mempelajari jalur kereta, kecepatan kuda, bahkan retak pada kaca lampu kereta. Namun, segalanya berubah saat ia melihat ada anak-anak dalam kereta itu. Seketika itu juga, jiwanya memberontak. Kaliayev menolak melemparkan bom, karena bagi dia membunuh anak-anak adalah sebuah pelanggaran terhadap nilai kemanusiaan yang paling dasar. Momen ini menggambarkan bahwa seorang revolusioner tidak hanya bertempur dengan senjata, tetapi juga dengan hati nuraninya sendiri.

Konflik paling tajam terjadi ketika Stevan menuduh Kaliayev tak setia pada revolusi. Stevan adalah representasi ideologi yang ekstrem: bahwa demi revolusi, semua sah, termasuk membunuh anak-anak, jika perlu. Ia melihat kematian sebagai angka statistik yang tak lebih dari sekadar pengorbanan kecil demi perubahan besar. “Segala yang menghalangi tujuan revolusi harus disingkirkan!” begitu kira-kira argumennya. Stevan percaya bahwa keadilan sosial yang baru hanya bisa lahir melalui kekerasan tanpa ampun. Ini membuat kita sebagai penonton atau pembaca bertanya-tanya: apakah perjuangan keadilan sosial harus sampai menumpahkan darah anak-anak yang tak berdosa? 

Pertentangan antara Kaliayev dan Stevan ini menjadi inti drama: apakah revolusi harus mengabaikan kemanusiaan demi kemenangan? Kaliayev dengan penuh keyakinan menjawab tidak. Baginya, kehormatan manusia adalah satu-satunya harta yang dimiliki rakyat miskin. Ia percaya bahwa revolusi sejati adalah revolusi yang tetap menghargai martabat manusia. Camus, melalui Kaliayev, menegaskan bahwa terorisme yang membunuh anak-anak justru akan menciptakan bentuk tirani baru yang sama menindasnya dengan tirani lama yang hendak mereka gulingkan.

Tokoh Dora juga menambah lapisan emosional yang mendalam dalam drama ini. Sebagai perempuan yang terlibat penuh dalam pembuatan bom dan persiapan aksi, ia bukan hanya figur pendukung. Dora juga merasakan kegamangan yang bercampur aduk dengan kebanggaan, ketakutan, dan rasa cinta yang samar kepada Kaliayev. Dalam percakapannya dengan Kaliayev, Dora mengatakan bahwa mereka harus membunuh agar dunia menjadi lebih baik, tetapi di dalam hatinya dia sadar bahwa bom bukan hanya menghancurkan tiran, tapi juga menghancurkan kepolosan dan nurani mereka sendiri. Dialog antara Dora dan Kaliayev memperlihatkan bahwa dalam revolusi, mereka tidak hanya kehilangan hidup, tetapi juga rasa kemanusiaan yang membuat mereka berharga sebagai manusia.

Camus sendiri menulis drama ini berdasarkan kisah nyata tentang percobaan pembunuhan terhadap Grand Duke Sergei Alexandrovich pada 1905 oleh kelompok Sosialis Revolusioner Rusia. Namun dalam naskahnya, Camus memilih untuk menggali lebih dalam tentang psikologi para teroris itu, tentang apa yang mereka pikirkan, rasakan, dan bagaimana mereka bergulat dengan pilihan moral yang berat. Ia menolak melihat mereka sekadar sebagai “penjahat” atau “pahlawan,” tetapi lebih sebagai manusia biasa yang dilanda dilema. Dalam salah satu dialog paling menggetarkan, Stevan menegaskan bahwa rasa malu hanyalah kemewahan bagi kaum bangsawan, sedangkan bagi rakyat kecil, yang paling penting adalah kemenangan. Kaliayev menolak pandangan ini. Baginya, rasa malu adalah satu-satunya kekayaan yang tersisa bagi orang-orang tertindas. Ini menjadi kritik keras Camus terhadap revolusi yang lupa pada martabat manusia dan hanya mengejar kekuasaan. Camus ingin menegaskan bahwa revolusi yang adil tidak bisa dibangun di atas kejahatan yang sama dengan musuh yang mereka lawan.

Melalui Les Justes, Camus menegaskan pandangannya bahwa keadilan tidak bisa dicapai melalui kekerasan buta yang mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan. Ia menolak ide bahwa “tujuan menghalalkan cara.” Naskah ini bukan hanya kisah tentang bom dan konspirasi, tetapi sebuah pengingat bagi kita semua bahwa perubahan yang sejati tidak boleh melupakan nilai-nilai manusiawi. Kalau revolusi kehilangan belas kasih, ia akan tumbuh menjadi tirani baru.

Terjemahan Arif Budiman berhasil menghidupkan ketegangan dan kedalaman pemikiran Camus dengan bahasa yang mengalir, dialog yang tajam, dan adegan-adegan yang dramatis. Pembaca Indonesia dapat merasakan atmosfer tegang markas revolusioner, keraguan yang menusuk batin, dan ketegangan antara cita-cita dan rasa kemanusiaan. Pada akhirnya, Les Justes bukan hanya sebuah drama tentang para teroris yang ingin menjatuhkan tiran, tetapi juga tentang manusia yang rapuh, yang dihadapkan pada pertanyaan abadi: sampai di mana kita bisa mengorbankan nilai kemanusiaan demi cita-cita besar? Drama ini mengajak kita untuk merenungkan, bahwa sekalipun keadilan itu penting, tetap ada garis merah yang tak boleh dilanggar, yaitu kehormatan manusia.

Les Justes bukan hanya tentang perjuangan, tetapi juga tentang nurani manusia yang bergolak. Di balik ledakan bom yang mereka persiapkan, ada ledakan di hati mereka sendiri yang penuh keraguan, ketakutan, dan keyakinan yang saling bertarung. Pada 21 dan 22 Juni 2025, Teater Petra akan membawakan Les Justes di Komunitas Salihara dan mengajak kita semua untuk ikut merenungkan tentang bagaimana nurani dan revolusi bisa berdamai, atau justru saling menghancurkan? 

 

patri

Menjadi Indonesia: Proyek Kebangsaan yang Tak Pernah Selesai

Catatan pendek pemikiran Parakitri T. Simbolon.

 

Apa artinya menjadi Indonesia? Pertanyaan ini terdengar sederhana, namun kita masih berhati-hati untuk memberikan jawaban yang pasti. Dalam konteks hari ini, ketika identitas kebangsaan kerap dipertanyakan dan bahkan ditarik-tarik untuk kepentingan politik sesaat, pertanyaan ini kembali penting untuk diajukan. Parakitri T. Simbolon, dalam karyanya Menjadi Indonesia, mengajak kita melihat bahwa Indonesia bukan sesuatu yang “sudah jadi”, melainkan sesuatu yang terus diupayakan. Indonesia adalah sebuah proyek kebangsaan yang dibangun melalui pergulatan ide, bukan sekadar hasil dari geografi atau sejarah politik belaka.

Parakitri T. Simbolon tidak memulai ceritanya dari titik deklaratif seperti Proklamasi 17 Agustus 1945. Ia justru menelusuri proses panjang terbentuknya kesadaran kebangsaan Indonesia, suatu proses yang menurutnya jauh lebih penting daripada sekadar momen-momen monumental. Dalam pandangannya, nasionalisme Indonesia tidak muncul dari kekosongan, melainkan lahir melalui dinamika sosial, budaya, dan intelektual yang terjadi di awal abad ke-20. Ia menunjukkan bahwa menjadi Indonesia adalah sebuah pilihan sadar, bukan sesuatu yang jatuh dari langit atau terbentuk secara otomatis karena adanya penjajahan yang sama. Gagasan bahwa Indonesia adalah sebuah “bangsa yang dibayangkan” bukan hal baru, dan Parakitri T. Simbolon tidak menampik konsep ini yang diperkenalkan oleh Benedict Anderson. Ia melihat bagaimana proses pengimajinasian itu dilakukan secara sadar oleh para intelektual dan pemikir awal bangsa. Tokoh-tokoh seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan lainnya tidak sekadar menjadi pahlawan, tapi mereka adalah konseptor yang aktif merumuskan dan mempertanyakan: bangsa seperti apa yang ingin kita bangun? Apa artinya merdeka? Apa makna keindonesiaan itu sendiri?

Parakitri T. Simbolon menggali cara pikir para pemimpin bangsa dalam membayangkan Indonesia. Ia mengajak pembaca untuk memahami bahwa “Indonesia” adalah hasil dari kompromi gagasan, perdebatan panjang, dan dialog antara banyak kepala yang berbeda latar. Konsep persatuan, misalnya, bukan lahir dari semangat keseragaman, melainkan dari kesadaran bahwa keberagaman adalah keniscayaan yang harus dirawat. Menjadi Indonesia, bagi Parakitri T. Simbolon, bukan berarti meniadakan perbedaan, tetapi justru mencari titik temu di antara keberagaman itu. Inilah yang membuat konsep kebangsaan Indonesia sangat khas, ia tidak dibangun atas dasar satu ras, satu agama, atau satu bahasa ibu. Indonesia justru berdiri sebagai rumah bersama dari ratusan etnis, bahasa daerah, dan identitas lokal yang berbeda-beda. Dalam semangat itulah Pancasila dirumuskan, bukan sebagai alat pemersatu yang memaksa, melainkan sebagai landasan hidup bersama yang inklusif.

Namun, Parakitri T. Simbolon juga tidak romantis. Ia menyadari bahwa proyek kebangsaan ini selalu berada dalam ancaman: dari eksklusivisme identitas, dari pemusatan kekuasaan, hingga dari erosi nilai-nilai kebangsaan itu sendiri. Dalam narasinya, kita melihat bahwa sejarah Indonesia penuh dengan ketegangan antara cita-cita dan kenyataan. Antara impian kemerdekaan dan praktik kekuasaan. Antara nasionalisme yang mengikat dan politik yang membelah. Justru karena itulah, menjadi Indonesia adalah proses yang tidak pernah selesai. Ia bukan status yang bisa diklaim secara pasif, melainkan proses yang terus diperjuangkan. Setiap generasi punya tugasnya sendiri dalam menjaga dan membentuk ulang keindonesiaan sesuai konteks zamannya. Dalam hal ini, sejarah bukan sekadar pelajaran masa lalu, melainkan ruang refleksi dan orientasi ke masa depan.

Parakitri T. Simbolon menyentuh satu hal yang sangat relevan bagi generasi hari ini: pentingnya keterlibatan dalam percakapan kebangsaan. Ia menyayangkan kecenderungan publik yang melihat sejarah dan nasionalisme sebagai hal yang membosankan, milik masa lalu, atau sekadar jargon politik. Padahal, tanpa pemahaman mendalam tentang proses menjadi Indonesia, kita bisa dengan mudah terjebak pada nasionalisme sempit atau bahkan kehilangan orientasi sebagai bangsa. Salah satu kekuatan buku Menjadi Indonesia adalah kemampuannya menjembatani antara sejarah dan pemikiran.Parakitri T. Simbolon tidak hanya menyajikan kronologi, tetapi juga menafsirkan makna di balik peristiwa. Ia menulis dengan gaya reflektif, kadang filosofis, namun tetap membumi. Pendekatannya mengingatkan kita bahwa sejarah bukan hanya tentang siapa berbuat apa dan kapan, tapi tentang ‘mengapa’ hal itu dilakukan dan ‘bagaimana’ ia membentuk masa depan.

Dalam konteks kekinian, ketika masyarakat Indonesia menghadapi tantangan globalisasi, polarisasi politik, hingga krisis identitas, gagasan Parakitri T. Simbolon terasa sangat relevan. Ia mengingatkan bahwa menjadi Indonesia hari ini tidak bisa dilepaskan dari bagaimana kita membaca dan memahami perjalanan menjadi Indonesia sejak dulu. Menjadi Indonesia berarti memelihara semangat perdebatan, menjaga ruang publik yang sehat, dan merawat semangat kebersamaan tanpa menghapus perbedaan. Parakitri T. Simbolon juga menyiratkan bahwa menjadi Indonesia berarti menjaga akal sehat politik. Nasionalisme yang sehat tidak memusuhi perbedaan, tetapi mengakomodasi dan merayakannya. Ia tidak dibangun atas dasar ketakutan terhadap “yang lain”, tetapi atas keyakinan bahwa kita bisa tumbuh bersama dalam perbedaan. Dalam pandangan ini, nasionalisme bukanlah eksklusivitas, tapi keterbukaan terhadap kompleksitas realitas.

Menjadi Indonesia bukan hanya buku sejarah. Ia adalah undangan untuk berpikir ulang tentang siapa kita sebagai bangsa. Ia adalah ajakan untuk melihat Indonesia bukan sebagai warisan mati, tetapi sebagai warisan hidup yang menuntut partisipasi dan komitmen. Dalam dunia yang terus berubah dan penuh tantangan, kesadaran semacam ini menjadi sangat penting. Kita mungkin tidak pernah bisa sepenuhnya ‘selesai’ menjadi Indonesia. Tapi justru dalam ketidaksempurnaan dan pergulatan itulah, makna keindonesiaan kita terus diperbarui. Dan seperti yang diyakini oleh Parakitri T. Simbolon, menjadi Indonesia adalah kerja sejarah yang dilakukan terus-menerus, oleh kita semua.

“Menjadi Indonesia” adalah tajuk LIFEs (Literature and Ideas Festival) 2025 yang akan berlangsung pada 08 hingga 16 Agustus mendatang. LIFEs kali ini akan mengajak publik untuk menelusuri karya-karya dari klasik sampai terkini, dalam diskusi maupun pentas inovatif, yang membincangkan apa itu menjadi sebuah bangsa. Informasi selengkapnya dapat dilihat melalui lifes.salihara.org

 

sidang PPKI

Memaknai 80 Tahun Kemerdekaan Indonesia dengan Membaca Ulang Naskah Sidang BPUPKI

Pada 2025 ini, sudah 80 tahun Indonesia merdeka. Perjalanan panjang dilewati untuk mempertahankan kemerdekaan bangsa hingga hari ini. Meski dalam perjalanannya kita melalui berbagai fenomena yang mencederai kemerdekaan tersebut, dari pembatasan berekspresi atas nama menyinggung kelompok tertentu hingga penyalahgunaan posisi kekuasaan. Bahkan beberapa catatan sejarah bangsa kita masih ada yang dicap sebagai “koleksi arsip terlarang”. 

Tapi, penting pula bagi kita untuk kembali menengok arsip pembentukan Indonesia. Kita dapat memulainya dari membaca ulang catatan notulensi Sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan) yang berlangsung pada 28 Mei hingga 1 Juni 1945. Sidang tersebut dihadiri oleh tokoh-tokoh bangsa, antara lain, Mohammad Yamin, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Soepomo, dan Soekarno. Naskah ini ibarat kitab suci bangsa Indonesia, memuat argumen dan perdebatan mendasar tentang bangsa dan negara. 

Dari naskah BPUPKI, kita akan menemukan misalnya pandangan Mohammad Yamin tentang poin-poin penting yang perlu dimasukkan ke dalam Dasar Negara ialah Peri- Kebangsaan, Peri- Kemanusiaan, Peri- ke-Tuhanan, Peri- Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat. Berbeda pula dari pandangan Ki Bagoes Hadikoesoemo, bahwa Negara Indonesia baru yang akan datang itu berdasarkan agama Islam dan akan menjadi negara yang tegak dan teguh serta kuat dan kokoh. Pendapat lain muncul dari Soepomo, menurutnya penting pula untuk memikirkan perhubungan negara dan agama, cara bentukan pemerintahan, perhubungan negara dan kehidupan ekonomi. Dari pembacaan tersebut kita akan menemukan ketegangan dari argumen setiap tokoh yang hadir. Masing-masing dengan kokoh dan berapi-api mempertahankan gagasan-gagasannya. 

Membaca ulang naskah BPUPKI adalah juga merefleksikan kembali apa-apa yang sudah disusun untuk negara dan bangsa ini. Kita juga dapat secara kritis memahami ulang pendapat-pendapat para tokoh bangsa. Selama 80 tahun Indonesia merdeka, jejak-jejak pembentukannya penting untuk kita telusuri. Sebab, dari penelusuran tersebut generasi yang baru akan lebih mengenal bagaimana seluk-beluk negara dan bangsa ini terbentuk. 

Sebagai bangsa Indonesia, manusia yang kemudian terlahir sebagai Indonesia, tentunya memiliki harapan agar kemerdekaan senantiasa tumbuh, hadir, dan seiring dengan kehidupan kita di negara ini. Maka, salah satu upaya untuk turut menjaga kemerdekaan adalah dengan kembali menelusuri pemikiran dan kerja-kerja tokoh bangsa kita. Catatan sejarahnya seharusnya menjadi bekal untuk generasi hari ini dan seterusnya untuk tidak mencederai kemerdekaan yang telah terbangun. 

Menyambut Literature and Ideas Festival of Salihara (LIFEs) 2025, Komunitas Utan Kayu dan Komunitas Salihara menggagas sebuah program Undangan Terbuka Pembacaan Naskah BPUPKI yang dapat diikuti oleh publik yang lebih luas hingga Juni nanti. Tak hanya membaca, para peserta dapat memerankan tokoh bangsa dan pembacaan tersebut akan direkam seluruhnya. Informasi selengkapnya kunjungi bit.ly/PembacaanNaskahBPUPKI.

lakon_story (3)

Pengumuman Penerima Beasiswa Kelas Menulis Lakon Salihara 2025

Berdasarkan hasil penjurian dan diskusi yang dilaksanakan, Dewan Juri memutuskan bahwa dua orang yang terpilih menjadi Penerima Beasiswa Kelas Menulis Lakon 2025, yaitu adalah

  1. Majid Amrullah
  2. Alifya Maheswari Putri Wibowo

Demikian berita acara ini kami sampaikan hendaknya diterima. Keputusan Dewan Kurator tidak dapat diganggu gugat. Komunitas Salihara akan menghubungi penerima beasiswa untuk informasi lebih lanjut.

Jika memiliki pertanyaan, sila kirim email ke info@salihara.org

teras

Risalah BPUPKI dalam “Rumah dengan Selembar Tikar”

Catatan pendek presentasi karya Aliansi Teras pada SIPFest 2024

 

Arsip pembentukan sebuah negara menjadi harta penting untuk merefleksikan kembali apa yang menjadi cita-cita bangsa dan apakah ia dapat terwujud di masa selanjutnya. Upaya merefleksikan kembali baik dari gagasan, visi dan tegangan-tegangan apa saja yang muncul ketika negara hendak dibentuk, dilakukan oleh kolektif teater Aliansi Teras melalui pembacaan dramatik risalah BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) bertajuk Rumah dengan Selembar Tikar. Pembacaan dramatik ini adalah bagian dari program Work In Progress SIPFest 2024 pada 17 Agustus lalu, sebuah program untuk mempresentasikan karya bertumbuh sekaligus ruang diskusi antara seniman dengan penontonnya. 

Naskah yang dibacakan pada presentasi tersebut adalah respons dari 300 halaman risalah BPUPKI yang telah disusun ulang. Pembacaan ini menggunakan teknik satu aktor memerankan lebih dari satu tokoh, misalnya KRT Radjiman Wedyodiningrat dan Mohammad Hatta diperankan oleh satu aktor, begitu pun dengan tokoh Mohammad Yamin, Oto Iskandar Dinata, Soepomo, Baswedan, dan Ki Bagoes Hadikoesoemo diperankan oleh satu aktor lainnya. Selain beberapa nama tokoh bangsa tersebut, Aliansi Teras juga memasukkan tokoh jembatan yaitu Seseorang yang dimainkan oleh satu aktor perempuan untuk membacakan teks narator. Aliansi Teras juga mencoba untuk mengikutsertakan penonton yang hadir dengan membagikan tiga kategori kertas bertuliskan Kerajaan, Republik, dan Lain-lain.  Setiap penonton akan mendapat satu kategori yang sudah disiapkan. Peran penonton pun dihadirkan sebagai peserta pertemuan BPUPKI yang pada momen tertentu akan memberikan suaranya untuk memilih bentuk negara yang diinginkan. 

Presentasi ini adalah percobaan pertama pembacaan dramatik risalah BPUPKI oleh Aliansi Teras, meski belum dengan halus menciptakan struktur dramatik dengan visual yang lebih mendukung dan adanya kontrak penonton untuk terlibat. Pembacaan dramatik Aliansi Teras ini telah membawa penonton mampu membayangkan bagaimana ketegangan yang terjadi saat pembentukan negara Indonesia. Narasi-narasi tentang batas wilayah dan kedaulatan, identitas warga negara, dan kehidupan beragama, memicu pertanyaan bagi Aliansi Teras tentang “negara ini punya siapa?”

Rumah dengan Selembar Tikar juga mengacu pada salah satu dialog Soekarno yang ditampilkan dalam video presentasi pembacaan ini.  

“Tuan mengatakan seakan-akan kami memerlukan perabotan, radio, dan ini dan itu sebelum kami kawin. Permintaan kami hanyalah membuat sebuah rumah dengan sehelai tikar.” 

(Soekarno, Pejambon 1945: Konsensus Agung Para Peletak Fondasi Bangsa, hal. 7-8)

Tikar juga dijadikan sebagai salah satu properti dalam pembacaan ini. Tikar berbahan jerami dipotong kotak seukuran tegel dan digunakan untuk permainan pola lantai aktor. Aktor akan berdiri di atas salah satu tikar dan akan berpindah ke tikar lainnya apabila berganti peran. Tikar di sini seolah seperti kedudukan atau posisi dan dapat menjadi makna yang lebih besar yaitu rumah, tempat tinggal dengan segala visi-misinya. 

Pembacaan dramatik Rumah dengan Selembar Tikar membuka impresi kita pada bagaimana negara ini dibentuk dan mempertanyakan kembali tentang cita-cita yang muncul dalam proses pembentukan tersebut. Selain Aliansi Teras, Work in Progress dalam SIPFest 2024 juga menampilkan seniman teater dan tari, antara lain Teater Gardanalla, Teater Asa, Try Anggara, Fitri Setyaningsih, dan Rheza Oktavia.

Sandiwara, Identitas, dan Yang Liyan dalam “Theatre and the Other Self”

Pintu masuk Galeri Salihara membawa kaki kita pada sebuah ruang gelap, sempit, dengan atap terpal, alas karpet, buntalan kain dan tumpukan bantal di pinggirnya. Sebuah cahaya temaram memperlihatkan sepasang kerangka telapak kaki berjinjit di sudut kiri. Ruang sempit seperti lorong gelap tak lebih dari dua meter ini, membawa pengunjungnya pada perasaan ngeri usai disambut potongan kerangka manusia. Sepasang kaki yang terlepas dari kulitnya, berjinjit nyaris tak menapak lantai, ia seperti diasingkan di ujung kegelapan. Sedangkan alas di lorong ini selayaknya karpet bermotif lembut yang biasa membuat kita nyaman bergoler di rumah. Keluar dari lorong tersebut, sebelah kanan kita sudah ada kotak P3K menempel di tembok. Tak ada obat luka atau sekadar pereda nyeri, di dalamnya justru berbaris peluru yang masing-masing seukuran ibu jari.

Pengalaman pintu masuk tersebut mengingatkan pada kenyaman rumah, tempat tinggal, namun sekaligus menampilkan kengerian, asing dan kekerasan dari potongan kerangka dan peluru. Kenyamanan-kengerian, dua hal yang seperti berdampingan dalam ingatan-ingatan manusia. Kadang-kadang salah satunya dirindukan oleh perasaan manusia, atau bahkan memadukan keduanya menjadi kengerian yang cantik. Demikianlah ketika memasuki dan melihat pameran Theatre and the Other Self yang menampilkan karya dua perupa, Mujahidin Nurrahman dan Nesar Eesar. Dikurasi oleh Krishnamurti Suparka, pameran ini bekerja sama dengan Artsociates untuk menyuguhkan pengalaman estetika sekaligus reflektif bagi pengunjungnya. Pameran ini berlangsung sejak 16 November hingga 15 Desember 2024. 

Theatre and the Other Self menggunakan sandiwara sebagai simbol untuk menggambarkan dinamika sosial dan sejarah, bahwa Identitas tidak pernah menjadi sesuatu yang tetap, melainkan terus dinegosiasikan, dibentuk, dan diperdebatkan dalam konteks dialog global. Melalui karya-karya Mujahidin Nurrahman dan Nesar Eesar, konsep “diri” berada di antara wilayah personal dan sosial.

Bagi kedua seniman ini, konsep tentang “diri” telah lama dipengaruhi oleh narasi yang datang dari luar. Mujahidin Nurrahman memanfaatkan akar budaya dan keyakinan lokal untuk menciptakan karya yang memanfaatkan simbol-simbol tradisional yang sarat makna spiritual. Sebaliknya, Nesar Eesar berupaya mengkritisi dan merekonstruksi gambaran Timur yang selama ini terkungkung dalam stereotip orientalis serta narasi kolonial, seperti pada karya pertama di pintu masuk bertajuk Restless Soul #0 karya Nesar Eesar. Ia menghadirkan kondisi karpet bermotif khas gambaran Timur yang digelar dalam ruang pengungsian. 

Pameran ini menghadirkan eksplorasi dualitas antara “diri sendiri” dan “yang lain,” sebuah istilah yang merujuk pada konstruksi sosial terhadap kelompok atau individu di luar norma mayoritas. Dalam karya-karya Mujahidin Nurrahman dan Nesar Eesar membongkar narasi historis yang menempatkan Timur sebagai objek pasif dari imajinasi Barat dan membuka peluang bagi representasi baru yang lebih inklusif.

Dalam ruang pameran, pengunjung dihadapkan pada berbagai medium—lukisan, instalasi, dan elemen visual lain—yang menyelidiki bagaimana persepsi identitas dibentuk oleh sejarah kolonial, tradisi, dan dinamika politik kontemporer.

Pameran ini mengupas identitas sebagai fenomena dinamis, tidak pernah statis, dan selalu berada dalam proses pembentukan. Bagi kurator Krishnamurti Suparka, identitas bukanlah sesuatu yang sepenuhnya dimiliki individu, melainkan hasil dari interaksi sosial yang rumit. Alih-alih menghilangkan ketegangan antara “diri” dan “yang liyan,” pameran ini menjadikan kontradiksi tersebut sebagai sumber inspirasi untuk mengurai bagaimana identitas dan persepsi saling berinteraksi dalam kehidupan kontemporer.

Melalui eksplorasi yang kritis, pameran ini mengundang kita untuk meninjau ulang konsep representasi dan inklusi, serta mempertimbangkan bagaimana citra “yang lain” memengaruhi cara kita memahami diri sendiri dan sesama. Di tengah dunia yang semakin terkoneksi, garis pemisah antara “aku” dan “mereka” menjadi semakin kabur, membuka ruang bagi dialog baru yang mendalam dan reflektif.

Theatre and the Other Self mengajak kita untuk merenungkan identitas sebagai sesuatu yang dinamis, selalu dinegosiasikan di tengah pergulatan sosial dan politik. Melalui karya Mujahidin Nurrahman dan Nesar Eesar, pameran ini membongkar lapisan-lapisan narasi yang membentuk gagasan tentang “diri,” sekaligus menyoroti bagaimana dinamika budaya, sejarah, dan kekuasaan terus memengaruhi cara kita memahami diri sendiri dan orang lain.

Kesusastraan Frankofon dalam Mon Amour!

Catatan pendek dari LIFEs 2023: Mon Amour!

Sastra dan gagasan dari negeri maupun bahasa Prancis telah meluas ke wilayah-wilayah lain dunia. Melalui kolonialisme—dengan segala ironi dan paradoksnya—bahasa Prancis kini digunakan di negeri-negeri yang digolongkan sebagai Frankofon (di mana bahasa Prancis digunakan). Untuk merespons fenomena tersebut, LIFEs 2023 mengusung tema Frankofon dengan jargon Mon Amour! (“Cintaku!”, dalam bahasa Prancis). Jika kesusastraan Prancis lebih mencerminkan dinamika kehidupan khas Prancis dan Eropa, kesusastraan Frankofon adalah sebuah ruang besar yang menggambarkan kompleksitas identitas, keragaman budaya, isu-isu sosial, gender, ras, dan agama dalam konteks poskolonial, yang membentang dari tanah Afrika, negara-negara Maghribi, Timur Tengah, Asia Tenggara, hingga Kanada dan Karibia. Selain itu, Prancis juga memiliki jejak sejarah dan hubungan tersendiri dengan Indonesia. Pembahasan tersebut hadir dalam rangkaian program LIFEs 2023 dengan balutan diskusi, pameran, pembacaan dramatik, pemutaran film, lokakarya, dan pertunjukan. 

LIFEs 2023: Mon Amour! berlangsung pada 05 hingga 12 Agustus di Komunitas Salihara. Menampilkan sastrawan dan seniman dalam dan luar negeri, antara lain Amalia Yunus, Beni Satryo, Fitra Yanti, Pinto Anugrah, Andya Primanda, Jean Couteau, musisi Monita Tahalea, Jean-Baptiste Phou, Johary Ravaloson, Zack Rogow, Elisabeth D. Inandiak, Goenawan Mohamad, Martin Suryajaya, seniman teater Lorri Holt, Asmara Abigail, Elghandiva  Astrilia,Sha Ine Febriyanti, Sri Qadariatin, dan grup musik Klassikhaus. Selain itu, LIFEs juga mengundang beberapa pembicara melalui Undangan Terbuka Menulis Makalah Prancis dan Frankofon dalam Sastra dan Gagasan yang berkolaborasi dengan Program Studi Prancis Universitas Indonesia. 

Salah satu program menarik LIFEs 2023 adalah pemutaran dua film karya Jean-Luc Godard, yaitu La Chinoise dan Le Mépris. Program ini bekerja sama dengan Kineforum untuk mengenang 343 hari Godard. Mengenang Godard adalah usaha untuk mengenang dan mengupas karya-karyanya bersinonim dengan sinema yang nonkonvensional. Jean-Luc Godard, dan gerakan French New Wave yang ia pelopori pada awal 1960-an menciptakan gelombang baru dalam sinema dunia. Inovasi dalam penyuntingan film yang bersifat eksperimentatif, lebih spontan dan jujur dalam penuturan cerita serta narasi, pengambilan gambar yang panjang, karya-karya yang berangkat dari tema-tema ideologis, eksistensialisme dan keresahan sosial, adalah kata-kata yang terdapat dalam “kamus sinema” Godard.

Pameran bertajuk Les Liasons Amoureuses hadir mewadahi hubungan mesra antara Indonesia dan negeri Frankofon melalui pameran buku-buku sastra, komik dan penelitian terjemahan. Pameran ini memperlihatkan sumbangsih karya-karya berbahasa Prancis serta para penerjemahnya untuk ditampilkan bagi pembaca Indonesia. Pemeran ini terbagi menjadi tiga wilayah. Wilayah pertama menampilkan komik-komik (bande dessinée) populer seperti Petualangan Tintin karya Hergé, Asterix karya René Goscinny dan Albert Uderzo, hingga novel grafis terkini, Persepolis karya Marjane Satrapi. Wilayah kedua memamerkan karya-karya sastra klasik dari Pangeran Kecil karya ‎Antoine de Saint-Exupéry, Memoar Hadrianus karya Marguerite Yourcenar hingga Malam yang Keramat oleh Tahar Ben Jelloun. Sedangkan wilayah terakhir menjejerkan terbitan-terbitan École française d’Extrême-Orient (EFEO), sebuah lembaga penelitian Prancis yang secara khusus meneliti kebudayaan di Asia. 

Makan Malam Sastra juga dihadirkan kembali bersama program Bintang-Bintang di Bawah Langit Jakarta. Menampilkan pembacaan karya oleh empat sastrawan muda yang menjadi bintang sekaligus mewakili tren dalam perkembangan sastra Indonesia mutakhir, yaitu tren tentang cerita silat, perihal tubuh dan citra-diri, puisi warna lokal dan puisi mbeling baru. Mereka adalah Amalia Yunus, Beni Satryo, Fitra Yanti, Pinto Anugrah. Musisi Monita Tahalea tampil membagikan pandangan dan gagasannya terhadap karya musisi Julien Oomen, seorang gitaris dan penulis lagu dari Belanda, ibunya berasal dari Prancis. Julien menjalani masa kanak di Indonesia, tempat sang ibu memperkenalkan ia pada gitar. Album Julien Les Cahiers de Marinette digarap dari puisi-puisi yang diam-diam disimpan ibunya, album ini juga bercerita tentang tiga generasi keluarga mereka. LIFEs 2023 juga menghadirkan dua program peluncuran buku, yaitu Surat Tentang Kekasih: Pembacaan Surat Menyurat Louis-Charles Damais dan Claire Holt menampilkan Marsha Habib dan Rizal Iwan sebagai pembaca dan Wabah dan Kolera karya Patrick Deville yang dibahas oleh penulis Andya Primanda. 

Jean Couteau, seorang intelektual, sejarawan seni dan pengulas seni budaya asal Prancis yang bermukim di Bali hadir dalam Ceramah Utama: Universalisme Prancis: Antara Imajinasi dan Realitas. Ceramah ini membahas tentang universalisme Prancis, dengan berbagai paradoksnya dan membahas pengaruh Prancis mutakhir yang bereaksi keras terhadap universalisme tersebut: pluralisme, dekonstruksi dan politik identitas. Program seminar dari Undangan Terbuka Menulis Makalah Prancis dan Frankofon dalam Sastra dan Gagasan, menampilkan narasumber terpilih antara lain Ferdy Thaeras, Joned Suryatmoko, Salira Ayatusyifa, Amos, Faiza Nuralifah Khairunnisa, Joesma Tjahjani, R.H. Authonul Muther, Ari Bagus Panuntun, Nilna Nabilatus Sholihah, dan Rifdah Aliifah Putri. Rangkaian program diskusi juga hadir dalam tajuk Klasik Nan Asyik: Membaca Dini, Sitor, dan Wing, Rewriting the World Map: Multilingual Writing Across Languages and Continents, Tamu dari Seberang, Venture of Language, Rancière untuk Seni Emansipatif Indonesia, Manusia, Mesin, Bahasa: Deleuze, Guattari, dsb, Puisi Mbeling, Prosa Merinding dan dan Kesetaraan Radikal dan Yang Tertindas. 

Selain menghadirkan program diskusi, pameran, dan pemutaran film, LIFEs 2023 menampilkan pembacaan dramatik dan pentas musik. Pembacaan dramatik oleh empat seniman peran yaitu  Asmara Abigail, Elghandiva Astrilia,Sha Ine Febriyanti, dan Sri Qadariatin dalam Erotika Feminis. Pembacaan dramatik ini menampilkan fragmen dari karya Anaïs Nin, Anne Cécile Desclos, Margueritte Duras, dan pemenang Nobel Annie Ernaux yang adalah penulis perempuan dengan karya-karya erotik. Klassikhaus tampil dalam konser Les Femmes sans Paroles, membawakan enam karya dari abad ke-17 hingga era kontemporer: Jacquet de La Guerre (1665), Pauline Viardot, Cécile Chaminade (1857), Germaine Taillefer (1892), hingga Betsy Jolas (1926). Pentas musik ini adalah perjalanan waktu spesial melalui ekspresi musik komponis perempuan. Selain itu ada pertunjukan monolog spesial dari Lorri Holt yang membawakan Colette Uncensored, sebuah monolog tentang kehidupan seru penulis Prancis Colette (1873–1954), yang punya banyak jejak bagi pemberdayaan perempuan, cinta alam, hingga pembebasan seksual. 

Untuk memberikan pengalaman secara langsung pada publik, LIFEs 2023 memiliki program lokakarya menulis cerita pendek, The Game of Writing bersama pengampu Johary Ravaloson, penulis dari Prancis yang lahir di Madagaskar. Program penting lainnya yang tidak kalah menarik adalah pemutaran dokumentasi wawancara antara penulis dan Direktur LIFEs 2023, Ayu Utami bersama tokoh-tokoh dari negeri Frankofon seperti filsuf Prancis Jacques Rancière, mantan pejuang kebebasan dan menteri luar negeri Aljazair Lakhdar Brahimi, kurator Arwad Esber dan penulis Grace Ly. Dari wawancara tersebut kita dapat membaca, mendedah dan mengetahui bagaimana kerja-kerja kesusastraan Prancis. 

LIFEs 2023: Mon Amour! memberikan pengalaman yang berharga mengenai perkembangan kesusastraan Frankofon yang berkaitan pula dengan Indonesia. Perhelatan sastra dan ide yang diadakan Komunitas Salihara setiap dua tahun ini penting untuk kita apresiasi, sebab tidak hanya menampilkan perkembangan sastra terkini, tapi menggarap tema agar ada kedalaman dalam keragaman aspek dan acara: sastra, filsafat, musik, teater, seminar, juga makan malam di bawah langit terbuka. Sampai jumpa pada LIFEs 2025 mendatang!

anubis

Anubis: Ritual Kematian dalam Balutan Puitis nan Humoris

Galeri Saliharanyaris gelap total. Numen Company, kelompok teater asal Jerman mengajak seluruh pengunjung memasuki ruangan. Di tengah panggung galeri, suasana alam kematian dimunculkan pada set sebuah makam dengan batu nisan dan sebuah lingkaran seperti altar mengelilinginya.. Suasana gelap sekaligus sendu di alam kematian semakin terasa setelah gong ketiga berbunyi. eorang aktor sebagai dalang dengan jubah hitam masuk ke tengah Galeri Salihara yang telah disulap menjadi ruang pertunjukan yang intim; bersiap untuk memulai ritual kematian dari Mesir Kuno bersama tokoh Anubis..

Lakon ini bertajuk Anubis, dibawakan oleh Numen Company dalam program u Salihara International Performing Arts Festival (SIPFest) 2024. Tibo Gebert, Direktur Artistik sekaligus dalang (puppeteer) dalam pementasan ini mengundang penonton untuk melihat Anubis dan dunia kematiannya melalui eksekusi panggung minimalis, namun penuh ketajaman misteri ketika pencahayaan panggung berpadu dengan pergerakan boneka Anubis. 

Sebagai kelompok teater boneka kontemporer, Numen Company dikenal akan karakteristiknya dalam menampilkan visual yang misterius, inventif, dan efektif. Anubis dalam cerita ini diambil dari kisah Anubis sang Dewa Mesir berkepala anjing jackal yang bertugas membimbing arwah-arwah ke dalam alam kematian. Selain membimbing, ia juga menimbang jiwa dari arwah-arwah tersebut untuk menentukan nasib mereka selanjutnya.

Dalam pertunjukan berdurasi 30 menit ini, Anubis datang menaiki perahu dari sisi kanan panggung; hendak memulai rutinitasnya. Boneka Anubis dimainkan oleh Tibo  dengan gerakan penuh wibawa layaknya dewa kematian yang misterius dan mengerikan. Mereka mulai mengekplorasi panggung, berjalan dengan langkah perlahan. Ia mengenakan jubah berwarna krem dengan tudung menutupi wajah dan bergerak harmonis dengan dalang yang mengendalikan. Selain mengeksplorasi ruang, Anubis melihat timbangan yang ia gunakan untuk mengukur jiwa manusia, hingga sesuatu yang tidak terduga terjadi; Anubis menari.

Semua kengerian dan nuansa mistis yang sudah dibangun berubah menjadi aktivitas yang jenaka. Anubis dengan rahang yang terbuka menari dari satu titik ke titik yang lain, serta bermain-main dengan timbangan sakral. Ia memberikan sisi lain yang jauh dari wibawa seorang dewa kematian Mesir kepada penonton.

Melihat Anubis yang humoris, nakal, dan ekspresif mengingatkan saya akan teknik Johari Window oleh psikolog abad 20, Joseph Luth dan Harrington Ingham. Sang dewa Mesir memperlihatkan jendela hidden di mana dia melakukan sesuatu yang mungkin hanya dia yang tahu. auh dari persona yang ia tampilkan di berbagai literatur dunia. Bila ditarik dari sisi empati, apakah gerakan menari, bercanda–diiringi musik yangt jenaka–, dan semuanya ia lakukan sebab ia bosan dengan rutinitas yang dijalani sejak awal peradaban manusia? Atau memang itu sifat aslinya yang tidak kita ketahui? Atau mungkin cerita ini juga ingin mengajak kita bagaimana memahami rasa kesepian yang begitu manusiawi dan ternyata  mengusik  dewa Agung Mesir?

Parodi yang ditampilkan dari Anubis menjadi salah satu tawaran eksperimen yang menarik dari Numen Company. Bagaimana dalam sebuah kesendirian, Anubis menemukan metode lain untuk menghibur dirinya. Tidak hanya itu, tawaran menarik lainnya adalah batas yang berbeda dari kebanyakan pemain boneka lainnya. Baik dalang dan Anubis adalah entitas yang berbeda, bukan merupakan suatu kesatuan. Di antara mereka terjadi interaksi dengan berdialog, menarik, dan bertatapan dalam sunyi.

Tibo mengatakan bahwa narasi puitis dari karya Death and the Fool oleh Hugo von Hofmannsthal dengan pertunjukan ini saling berkaitan. Nuansa dingin mengenai alam kematian dan kesepian yang dirasakan Anubis perlahan bangkit menuju akhir pertunjukan seiring dengan dibacakannya narasi-narasi puitis dari penggalan karya Hugo tersebut. Pertunjukan ini merupakan karya yang tepat bagi kita yang ingin merefleksikan kematian hingga rasa kesepian yang panjang dalam kemasan yang memanjakan panca indera.

 

lucy

One Single Action: Harmoni di Tengah Distorsi

Setelah enam tahun, Lucy Guerin Inc. —kelompok tari kontemporer asal Australia—kembali menginjakkan kakinya di panggung Salihara International Performing Arts Festival (SIPFest) 2024. Kali ini Lucy Guerin bersama dengan dua penarinya Amber McCartney dan Geoffrey Watson membawakan karya terbarunya One Single Action

One Single Action merupakan karya Lucy Guerin Inc. yang pertama kali dibawakan pada Juli 2024 dalam Festival Rising Melbourne, Australia. Karya ini dimulai oleh dua penari yang bekerja sama dalam irama yang sinkron mencapai satu tujuan; menghancurkan bola kaca yang tergantung. 

Adegan awal memperlihatkan penari wanita yang menggunakan palu memukul-mukul lantai diikuti penari pria. Keduanya begitu menyatu dalam irama gerak yang senada pula dengan scoring yang diputar. Bagaimana bisa? Berapa lama latihan yang dilakukan? Kira-kira seperti itulah reaksi yang terlintas saat melihat gerakan sinkron mereka yang tidak hanya seirama antar pemain namun juga dengan musik latarnya.

Gerakan repetitif yang dilakukan Amber dan Geoffrey dalam mencapai tujuan mereka mengunci fokus penonton, dari ujung atas kiri panggung bergerak diagonal ke kanan depan panggung dengan palu mereka. Setiap kali sampai di dekat bola kaca dan hendak memecahkan bola tersebut dengan palu, keduanya selalu gagal dan kembali lagi ke titik awal atau terkadang dimulai dari tengah panggung.

Greget! Begitu emosi yang terlintas setiap kali mereka mengurungkan niatnya memecahkan bola kaca. Hal yang mudah dilakukan di mata penonton namun begitu sulit diwujudkan, mau berapa lama mereka melakukannya? Namun di lain sisi, saya pun mendambakan gerakan-gerakan menarik lain yang mereka bawakan dengan multi-interpretasi yang disajikan dalam koreografi ini. 

Dalam catatan karya yang ditampilkan di laman web mereka, One Single Action merupakan kisah dua orang yang berkonspirasi untuk membuat perubahan bersama. Namun, ketika mereka berhasil dalam misi mereka, intensitas tindakan mereka menciptakan ketegangan dan ketidakpercayaan sehingga mereka terpecah belah tidak bisa didamaikan.

Membaca catatan tersebut ada rasa penasaran apa yang akan terjadi saat kaca itu pecah? Gerakan nan harmonis terus berulang hingga PRANG! Bola kaca–yang seperti bulan tersebut–akhirnya pecah, ada rasa lega yang akhirnya terbayarkan. Koreo memasuki babak kedua, penari laki-laki menata kembali apa yang sudah pecah tersebut dan menyusunnya ke dalam garis linier. Penari wanita; mengenakan jas hujan berbahan plastik tebal–dibantu oleh penari laki-laki– melengkapi dirinya dengan mikrofon di badan. 

Penari wanita tersebut dari ujung pecahan kaca yang telah disusun berguling; menciptakan suara ASMR renyah yang muncul dari gesekan kaca dan jas hujan plastik yang ia kenakan. Dari sini hingga akhir suasana menjadi berubah menjadi intens. Kedua penari seolah berkonflik, nuansa dari permainan lampu pun berubah, bukankah mereka tadi bekerja sama dalam memecahkan kaca? Konflik berakhir dengan kematian penari pria di panggung yang disebabkan oleh penari wanita. Ia lantas mengenakan atribut lain, yakni topeng berbentuk anjing dan menjelma menjadi binatang buas.

Ketegangan dan ketidakpercayaan yang tertulis dalam teks web Lucy Guerin Inc. seolah memberikan interpretasi pribadi: apakah sifat ‘binatang’ dalam diri akan muncul saat keteraturan (yang direpresentasikan oleh bola berbentuk bulan) bisa timbul saat hal tersebut hancur? Tanpa aturan manusia berlaku bagai binatang hingga mencelakai manusia lain–bahkan sebelumnya mereka baik-baik saja–apakah sebenarnya perubahan itu tidak diperlukan? 

Drama yang ditampilkan di atas panggung memberikan interpretasi yang luas bagi penonton terlebih saat memahami bahwa isu besar dalam pertunjukan ini mengangkat kompleksitas mengenai teknologi dan lingkungan sehingga kita juga bisa ikut berkontemplasi melalui alur yang diberikan. Namun demikian, dari makna yang hendak dicari dalam pertunjukan ini, One Single Action merupakan kemasan yang begitu menyenangkan. Permainan cahaya, sinkronitas dalam gerak dan suara, semuanya menyatu dalam harmoni yang memuaskan.

Lucy Guerin dan kedua penarinya tepat membawakan koreografi ini di Teater Salihara yang menjadikan pertunjukan ini begitu intim, eksperimental, dan berkesan.

alit

Gamelan Transendental ala Dewa Alit

Penulis: Ezra Reyhan M

Dewa Alit, komposer gamelan kontemporer, bersama grup musik Gamelan Salukat, pada 20-21 Agustus lalu, menampilkan pertunjukan Chasing the Phantom di SIPFest 2024. Dewa Alit menampilkan tiga repertoar bertajuk Ngejuk Memedi, Likad, dan Siklus, yang menggabungkan tradisi gamelan Bali dengan elemen modern.

Ngejuk Memedi adalah eksplorasi mistik tradisional Bali yang diharmonisasikan dengan sistem pelarasan baru. Inovasi ini menciptakan suara yang memadukan unsur musik Bali dan Barat, sehingga memberikan pengalaman auditif yang unik. Karya Likad, yang diciptakan selama pandemi, mencerminkan kecemasan Dewa Alit dan para musisi. Karya ini ditandai dengan struktur kompleks dan perubahan ritme yang mendadak, dan menciptakan dinamika penuh emosi yang menantang. Sementara itu, Siklus, satu-satunya repertoar yang bukan berasal dari album Chasing the Phantom, menonjolkan bagaimana modernisasi dapat membawa musik tradisional Bali ke dimensi baru. Setiap repertoar juga diperkaya dengan improvisasi dari para pemain, menjadikan setiap pertunjukan unik.

Pertunjukan ini terasa lebih spesial karena dimainkan secara langsung di Teater Salihara (berbeda saat pertunjukan daring, Musim Seni Salihara dalam karya GENETIC), sehingga membangkitkan getaran mistikal yang sulit dijelaskan. Suara gamelan yang menggema di teater menciptakan atmosfer transendental, menambah kedalaman pengalaman penonton. Penampilan ditutup dengan repertoar Ngejuk Memedi, yang dimulai dengan ritme bagaikan film fiksi ilmiah dan berakhir dengan nuansa tradisional, disertai dengan standing ovation dari penonton.

Dewa Alit berhasil menunjukkan bahwa tradisi gamelan tidak hanya dapat bertahan, tetapi juga berkembang. Ia memadukan elemen-elemen modern dengan esensi tradisional, menghasilkan harmonisasi baru yang jarang terdengar dalam komposisi gamelan klasik. Upayanya untuk memajukan kebudayaan gamelan Bali melalui teknik yang inovatif menciptakan pengalaman suara yang lain dari lainnya.

Salah satu aspek paling menonjol dari pertunjukan ini adalah penggunaan sistem pelarasan baru, yang menghasilkan warna timbral unik dan memperluas palet sonik gamelan. Ritme yang kompleks dan asimetris menambah dinamika musikal yang kaya, menjadikan Chasing the Phantom sebagai pengalaman yang sangat spesial. 

SIPFest 2024 menjadi panggung yang ideal bagi Gamelan Salukat untuk memperkenalkan inovasi ini kepada publik yang lebih luas. Pertunjukan ini tidak sekadar karya seni, tetapi juga merupakan pernyataan tentang identitas budaya Bali di era global. Dewa Alit telah membuktikan bahwa tradisi gamelan dapat terus relevan dengan konteks zaman tanpa kehilangan esensinya, sekaligus memperkaya khazanah musik Indonesia dan memperkenalkan gamelan Bali kepada khalayak yang lebih luas.