Kemanusiaan

Sanggarbambu di Antara ‘Kanan’ dan ‘Kiri’

Sanggarbambu terbentuk pada 1 April 1959 di Yogyakarta, di tengah masa penuh pergolakan sosial-politik Indonesia. Ia tumbuh dari semangat idealisme seniman muda yang ingin menjembatani seni dengan masyarakat. Di bawah kepemimpinan Soenarto Pr., sanggar ini tak hanya menjadi ruang berkarya, tapi juga sebagai simbol cara baru untuk “menjadi seniman Indonesia” di antara tekanan ideologi dan kemiskinan bangsa yang baru merdeka.

Pada 1950 hingga 1960-an, kesenian di Indonesia tak lepas dari arus politik besar. Negara tengah membangun konsep “Demokrasi Terpimpin”, sementara dunia seni ditarik-tarik oleh dua kutub politik: Partai Komunis Indonesia (PKI), yang menyokong Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), berhasil menempatkan diri sebagai salah satu partai politik terbesar (dan terkuat) hingga 1965 dan partai-partai “sayap kanan” berbasis agama membentuk sanggar-sanggar atau kegiatan seni bahkan organisasi seni budaya, misalnya Lesbumi (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia), yang berpayung Nahdlatul Ulama.

Dalam situasi itu, Sanggarbambu menegaskan diri sebagai wadah yang “nonpolitik, independen, dan nonpartai”. Sikap netral ini bukan berarti pasif, sikap ini justru lahir dari kesadaran bahwa seni harus berpihak pada kemanusiaan dan pendidikan rakyat, bukan berpihak pada kekuasaan mana pun. Sikap tersebut ditunjukkan dalam kegiatan atau program-program yang mereka gelar. Salah satunya Sanggarbambu aktif melakukan pameran keliling ke berbagai kota, seperti Semarang, Pekalongan, Tegal, Madiun, hingga Madura, dengan cara sederhana, bahkan “gerilya”. Dana terbatas tidak menjadi halangan; yang terpenting adalah menjangkau masyarakat di luar pusat kebudayaan. Pameran sering disertai ceramah seni, demonstrasi melukis, lomba menulis, dan pertunjukan teater. Bagi Soenarto Pr. dan kawan-kawan Sanggarbambu, kegiatan itu adalah bagian dari “mission sacre” atau misi suci untuk menumbuhkan kesadaran estetika dan mempertebal rasa cinta tanah air.

Baca juga: Sanggarbambu: Seni dari Rakyat untuk Rakyat

Pertemuan Besar I Sanggarbambu pada Desember 1963 menjadi tonggak penting. Di sana disusun “Ikrar Sanggarbambu”, yang menegaskan bahwa seni dan seniman adalah “manusia sekaligus bangsa” serta pengabdi pada kemerdekaan jiwa. Ikrar itu lahir saat suasana politik Indonesia memanas, setahun sebelum G30S 1965. Di tengah persaingan ideologi yang tajam, Sanggarbambu berusaha menjaga jarak dari fanatisme politik. Mereka menganggap revolusi sejati bukanlah perebutan kekuasaan, melainkan “revolusi mental” yang memerdekakan manusia dari kebodohan dan kemiskinan. Semangat ini sejalan dengan gagasan Ki Ageng Suryomentaram tentang enam “sa” (sakbutuhe, sakperluhe, sakcukupe, sakbenere, sakmestine, sakpenake) atau hidup secukupnya, sewajarnya, sejujurnya, yang menjadi pedoman moral bagi seniman Sanggarbambu.

Kecenderungan apolitis Sanggarbambu dapat pula dibaca sebagai bentuk resistensi terhadap doktrin “politik sebagai panglima” yang saat itu mendominasi wacana seni. Mereka menolak tunduk pada ideologi, tetapi juga tidak menutup diri dari tanggung jawab sosial. Dalam pandangan Soenarto Pr., berkesenian adalah jalan spiritual dan sosial: cara untuk membangkitkan martabat manusia melalui keindahan dan kerja keras. Maka tak heran jika banyak tokoh yang lahir dari lingkungan Sanggarbambu kemudian dikenal luas di berbagai bidang, dari teater, sastra, hingga musik.

Baca juga: The Last Geishas: Menjaga Ingatan atas Tradisi yang Hampir Punah

Di tengah pusaran zaman yang keras, Sanggarbambu bertahan karena kesetiaan pada nilai-nilai kemanusiaan. Mereka menolak menjadi alat propaganda, tetapi tetap percaya bahwa seni punya daya politisnya sendiri: membangun kesadaran, memperhalus rasa, dan menanamkan keberanian berpikir merdeka. Dalam konteks itu, corak politik Sanggarbambu bukanlah ideologi formal, melainkan etika hidup, yakni keberanian untuk tetap bebas dan berpihak pada manusia.

Lebih dari enam dekade sejak kelahirannya, kisah Sanggarbambu tetap relevan. Ia mengingatkan bahwa di masa ketika politik sering menelan kebudayaan, masih ada kelompok seniman yang memilih jalan sunyi: bekerja dalam kesederhanaan, berpegang pada nurani, dan percaya bahwa revolusi yang sejati adalah revolusi kejiwaan. Karya pendiri dan arsip-arsip era keemasan Sanggarbambu dapat ditemukan dalam pameran Di Sini Aku Temukan Kau: Karya dan Arsip Sanggarbambu, yang diselenggarakan pada 04 Oktober hingga 07 Desember 2025 di Galeri Salihara. Beli tiket di sini.

The Last Geishas

The Last Geishas: Menjaga Ingatan atas Tradisi yang Hampir Punah

Pertunjukan The Last Geishas karya Shingo Ōta dan Kyoko Takenaka membuka ruang refleksi tentang kelangsungan salah satu tradisi tertua Jepang yang kini berada di ambang kepunahan: geisha. Karya ini bukan sekadar pertunjukan teater, melainkan bentuk dokumenter hidup yang menggabungkan riset lapangan, performans, dan kritik sosial. Dengan mengandalkan perpaduan teks, video, musik, serta gerak tubuh, The Last Geishas menjadi medium untuk mempertanyakan, sekaligus merayakan, eksistensi para penjaga seni klasik Jepang di tengah arus modernitas.

Ōta dan Takenaka memulai proyek ini dari pertanyaan: siapa sebenarnya geisha masa kini? Apakah mereka sekadar daya tarik wisata atau penjaga tradisi yang diwariskan sejak abad ke-17? Untuk menjawabnya, keduanya melakukan penelitian mendalam di berbagai daerah Jepang, menghadiri pelatihan menari dan bermain musik, hingga mengenakan kimono serta tampil dalam jamuan tradisional. Dari proses itu, mereka menemukan sosok Hidemi, geisha terakhir dari Kinosaki, yang menjadi penghubung antara dunia lama dan dunia baru. Hidemi bukan hanya pelaku seni, tetapi juga guru bagi generasi muda yang masih berusaha memahami nilai dari profesi yang kian terpinggirkan ini.

Di atas panggung, The Last Geishas dihidupkan oleh dua penampil utama yang diperankan oleh Shingo Ōta dan Kyoko Takenaka, dengan iringan gitaris Kazuhisa Uchihashi. Pertunjukan ini menampilkan serangkaian adegan yang meniru sekaligus menafsirkan ulang gerak, musik, dan suasana khas dunia geisha. Penonton diajak menyaksikan proses pembelajaran, keraguan, serta refleksi yang dialami oleh para pembuat karya. Tidak ada jarak antara dokumentasi dan panggung, bahwa tubuh para pemain menjadi alat pencatat, menampilkan memori dan perasaan yang tidak bisa diungkap hanya dengan kamera atau pena.

Baca: [Teater] Anubis: Ritual Kematian dalam Balutan Puitis nan Humoris

Munculnya The Last Geishas

Inspirasi karya ini berawal pada 2022 ketika Ōta membaca kesaksian seorang mantan maiko (calon geisha) yang mengungkap sisi kelam industri geisha di Kyoto. Ia kemudian bertanya: mengapa budaya yang begitu kaya dan berakar kuat ini perlahan lenyap? Dalam catatan sutradaranya, Ōta menulis bahwa ia memilih “menggunakan tubuh sebagai kamera” untuk memahami dunia geisha dari dalam. Melalui pengalaman langsung, ia menemukan bahwa dunia ini tidak hanya berisi keindahan atau tradisi yang luhur, tetapi juga problematika sosial yang kompleks dengan seksisme, pelecehan, hierarki yang kaku, dan tekanan ekonomi. Namun, di balik semua itu, ia juga menemukan solidaritas, empati, dan semangat hidup yang membuat profesi ini tetap bertahan.

The Last Geishas pernah ditampilkan di Maison de la Culture du Japon à Paris pada 15-19 November 2024 sebagai bagian dari Festival d’Automne à Paris. Karya ini tidak hadir sebagai tudingan atau nostalgia romantis terhadap masa lalu, namun sebaliknya pertunjukan ini berfungsi menjadi cermin bagi masyarakat modern untuk menilai ulang makna “keindahan” dan “ketulusan” dalam seni. Di tengah isu eksploitasi dan komersialisasi budaya, Ōta dan Takenaka menegaskan bahwa keindahan sejati bukan terletak pada bentuk atau busana, tetapi pada cara manusia menjalani kehidupannya dengan keberanian dan kejujuran. Penonton akan diajak untuk menelusuri lapisan-lapisan makna di balik kimono dan tarian, serta melihat geisha bukan sebagai simbol eksotis, melainkan manusia dengan kompleksitasnya.

Baca: [Teater] Colette dan Kebebasan Tanpa Sensor

Melalui The Last Geishas, Shingo Ōta dan Kyoko Takenaka menunjukkan bahwa seni pertunjukan bukan hanya sarana hiburan, tetapi juga bentuk dokumentasi hidup yang mampu menjaga ingatan budaya. Di tengah modernitas yang sering mengikis tradisi, mereka menghadirkan karya yang mengundang perenungan tentang tubuh sebagai arsip, tentang keindahan yang tidak selalu gemerlap, dan tentang perempuan yang mempertahankan martabat di tengah perubahan zaman. The Last Geishas tidak hanya menjadi penghormatan bagi geisha terakhir Jepang, tetapi juga pengingat bagi kita semua bahwa setiap tradisi yang punah membawa serta sebagian dari kemanusiaan yang hilang.

Pertunjukan The Last Geishas dapat kita saksikan di Komunitas Salihara pada Sabtu dan Minggu, 15-16 November 2025. Kunjungi https://tiket.salihara.org/acara/the-last-geishas untuk informasi lebih lengkap dan pembelian tiket. 

Baca: [Pameran] Sanggarbambu: Seni dari Rakyat untuk Rakyat

ads_sanggarbambu

Sanggarbambu: Seni dari Rakyat untuk Rakyat

Sanggarbambu berdiri pada 01 April 1959 di Yogyakarta, dipelopori oleh Kirjomulyo dan Soenarto Pr., bersama sejumlah seniman muda. Nama “Bambu” dipilih karena bambu adalah lambang kesederhanaan sekaligus kekuatan. Ia bisa tumbuh di mana saja, berguna bagi banyak hal, serta menjadi simbol perjuangan rakyat dalam wujud bambu runcing pada masa revolusi. Semangat itu pula yang dihidupi Sanggarbambu: sederhana, teguh, dan berpihak pada rakyat.

Sejak awal, Sanggarbambu hadir bukan sekadar sebagai sanggar seni rupa. Ia berkembang menjadi ruang lintas bidang, tempat pelukis, pematung, sastrawan, musisi, hingga teaterawan bertemu, berkarya, dan berdialog. Para anggotanya hidup dalam suasana paguyuban. Mereka tinggal bersama, berdiskusi, melukis, bermain musik, hingga merancang pertunjukan. Di sana, seni menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.

Nama-nama yang pernah bergiat di Sanggarbambu, di hari ini dikenal luas di dunia seni Indonesia. Di antaranya adalah Mulyadi W., Syahwil, Wardoyo, Danarto, Putu Wijaya, hingga Arifin C. Noer. Bahkan, tokoh-tokoh lain seperti Emha Ainun Najib dan Ebiet G. Ade juga pernah bersentuhan dengan atmosfer kreatif sanggar ini. Jaringan persahabatan yang terjalin membuat Sanggarbambu menjadi ladang tumbuhnya banyak seniman besar.

Yang menjadikan Sanggarbambu istimewa adalah visinya untuk mendekatkan seni kepada masyarakat. Mereka tidak membatasi diri hanya pada galeri atau ruang eksklusif, melainkan giat menyelenggarakan pameran keliling. Rombongan Sanggarbambu berkeliling dari kota kecil ke kota kecil di Jawa dan Madura, membawa lukisan, patung, dan pertunjukan. Mereka juga mengadakan drama arena, lomba penulisan seni, ceramah kebudayaan, hingga konser musik sederhana. Aktivitas ini bukan hanya pertunjukan, melainkan juga pendidikan seni yang terbuka bagi siapa saja.

Baca juga: Di Balik Pameran “Adu Manis”

Salah satu capaian penting Sanggarbambu adalah pameran di Balai Budaya Jakarta pada tahun 1961. Peristiwa itu menjadi tonggak karena sanggar yang lahir dari Yogyakarta mampu menembus panggung seni ibu kota. Pada kesempatan lain, mereka juga bekerja sama dengan tokoh besar seperti WS Rendra, menghasilkan pentas drama yang mengguncang dunia teater kala itu.

Namun, lebih dari sekadar prestasi, Sanggarbambu menghidupi nilai persaudaraan. Di dalamnya, setiap anggota bebas berekspresi sekaligus saling menghargai. Soenarto Pr., salah satu pendiri, pernah berujar: “Sanggarbambu lahir tanpa rencana, mbruyul begitu saja. Namun kami percaya seni harus menjembatani seniman dan masyarakat.” Kalimat itu menggambarkan filosofi dasar sanggar: seni bukan hanya milik kalangan terbatas, melainkan milik rakyat luas. 

Baca juga: Sandiwara, Identitas, dan yang Liyan dalam “Theatre and the Other Self”

Kini, setelah lebih dari setengah abad, Sanggarbambu dikenang sebagai tonggak penting perjalanan seni Indonesia. Ia menunjukkan bahwa kesenian bukan hanya urusan estetika, tetapi juga sarana perjuangan, pendidikan, dan hiburan. Dari Yogyakarta, Sanggarbambu menorehkan jejak bahwa seni dapat menjadi ruang persaudaraan, tempat bertumbuhnya seniman, dan jembatan yang menghubungkan kreativitas dengan kehidupan masyarakat.

Jejak-jejak karya seniman Sanggarbambu dapat kita telusuri lagi dalam pameran Di Sini Aku Temukan Kau: Karya dan Arsip Sanggarbambu, yang akan diselenggarakan pada 04 Oktober hingga 07 Desember 2025 di Galeri Salihara.  Beli tiket di sini.

 

Sumber foto: Majalah Minggu Pagi, Nomor 41 Tahun XVI, 12 Januari 1964.

Di Balik Pameran “Adu Manis”

Pameran Adu Manis membawa kita masuk dalam ‘museum khayal’ tiga perupa, Gabriel Aries, Reggie Aquara, dan Rendy Pramudya. Pemilihan judul “Adu Manis”, diambil dari istilah pertukangan tradisional, yaitu teknik penyambungan dua bidang kayu dengan potongan presisi 45 derajat yang menghasilkan sambungan sempurna bersudut 90 derajat, atau kita bisa melihatnya dalam sudut-sudut sebuah pigura. Teknik ini sejalan dengan alegori pertemuan kreatif antara ide dan material yang melahirkan energi dari elemen-elemen yang saling berinteraksi, berkonflik, dan bernegosiasi. 

Karya-karya tiga seniman ini menolak narasi literal, dan menawarkan ‘ruang kosong’ yang memungkinkan dialog intens antara material dan pengalaman, antara objek dan ruang, antara pencipta dan penonton. 

Gabriel Aries menciptakan patung dari baja tahan karat, batu onyx dan resin yang menegangkan antara kekuatan material dan kerapuhan bentuk. Reggie Aquara menjadikan kanvas sebagai arsip emosi: lapisan catnya ibarat fosil perasaan yang membeku. Rendy Pramudya menghadirkan bidang organik cair yang menantang batas antara ilusi, kendali, dan kebebasan. Ketiganya menciptakan karya-karya tersebut dalam ruang dan waktu yang sama untuk dipertemukan pertama kali dalam pameran Adu Manis. 

Reggie Aquara mengubah kanvas menjadi arsip sensori yang merekam gejolak emosi melalui materialitas cat akrilik. Bagi Reggie, cat tidak hanya sekadar medium, melainkan entitas hidup. Karya-karyanya mengajak penonton melakukan arkeologi sensoria, melupakan sejenak referensi digital dan beralih sepenuhnya pada pengamatan langsung dan intuisi. Dalam karya Reggie kita akan melihat sebuah objek bunga, pemandangan, air sungai, seolah memiliki lapisan-lapisan yang kompleks, bergerak, dan menggelitik intuisi kita untuk terus menerka setiap lapisannya. Kita seperti sedang melihat sebuah potret dengan piksel-piksel yang dipertajam. 

Gabriel Aries memilih material batu onyx yang mampu memendarkan cahaya sekaligus menciptakan pantulan lembut dan nuansa hangat yang dipadukan dengan kilau dingin baja tahan karat. Gabriel memanfaatkan pantulan cahaya sebagai elemen pahat, batu onyx seolah dipahat dengan estetis oleh pantulan cahaya. Gabriel juga menciptakan karya patung yang digantung di tengah ruang dan dapat dilihat 360 derajat. Penonton dapat mengamati dari segala sudut dan memiliki pengalaman yang beragam dalam setiap sudutnya. 

Rendy Pramudya, dalam salah satu karyanya menggunakan material kain silk screen tembus pandang yang menjadi semacam pembedahan anatomis atas metode kerjanya. Alih-alih menggunakan kanvas dan cat, ia justru membedah praktik melukisnya menjadi empat lapisan transparan yang terpisah dan digantung sejajar dalam ruang. Rendy mengajak penonton menyaksikan lapisan-lapisan yang dibentuk dari keputusan formal, transformasi kebetulan menjadi kesengajaan, dan perwujudan alam metafisik melalui material. 

Adu Manis mengajak kita untuk menyambung persepsi, menggesekkan pandangan, dan merasakan getaran yang lahir dari setiap pertemuan.

les

Les Justes: Bom yang Gemetar di Tangan, Nurani yang Gemetar di Hati

Les Justes, yang dalam terjemahan Arif Budiman menjadi Teroris, adalah salah satu karya teater paling penting yang ditulis oleh Albert Camus, seorang filsuf Prancis yang terkenal dengan gagasan absurdisme dan humanisme. Karya ini bukan hanya sebuah drama panggung yang menegangkan, tetapi juga sebuah perenungan mendalam tentang konflik moral antara idealisme revolusioner dan nilai-nilai kemanusiaan yang paling mendasar. Dengan latar Rusia awal abad ke-20, naskah ini menyoroti sekelompok revolusioner yang hendak menyingkirkan seorang bangsawan tiran demi kebebasan rakyat Rusia. Namun di balik rencana penuh bahaya itu, Camus justru menampilkan dilema-dilema moral yang menggetarkan.

Cerita dimulai di sebuah apartemen sederhana di Moskow, markas para revolusioner. Babak demi babak menampilkan suasana yang tegang: diskusi tentang rencana pembunuhan, debat tentang disiplin partai, dan ketegangan antara semangat kolektif dan kebimbangan pribadi. Para tokoh utama di antaranya Annenkov (pemimpin yang tegas), Dora (sosok perempuan yang kuat tapi juga rapuh), Stevan (revolusioner fanatik yang penuh amarah), Voinov (yang gemetar oleh rasa takut), dan Kaliayev seorang penyair yang kelak menjadi eksekutor utama bom. Yang membuat drama ini hidup bukan hanya rencana aksi mereka, tetapi juga konflik batin yang merobek mereka satu per satu. Camus menghadirkan pertanyaan mendasar tentang apakah demi tujuan besar (keadilan dan kebebasan) seseorang berhak mengorbankan nilai-nilai kemanusiaannya? Pertanyaan ini tidak dijawab secara hitam putih. Drama ini justru memperlihatkan bagaimana setiap tokoh berusaha menegosiasikan idealisme mereka dengan nurani yang tak bisa dibungkam.

Kaliayev menjadi tokoh kunci dalam drama ini. Ia dijuluki “si Penyair” bukan hanya karena kegemarannya menulis sajak, tetapi juga karena jiwanya yang penuh keraguan dan kepekaan. Ketika dia mendapat tugas untuk melemparkan bom ke kereta yang ditumpangi sang bangsawan, dia sudah sangat siap dengan mempelajari jalur kereta, kecepatan kuda, bahkan retak pada kaca lampu kereta. Namun, segalanya berubah saat ia melihat ada anak-anak dalam kereta itu. Seketika itu juga, jiwanya memberontak. Kaliayev menolak melemparkan bom, karena bagi dia membunuh anak-anak adalah sebuah pelanggaran terhadap nilai kemanusiaan yang paling dasar. Momen ini menggambarkan bahwa seorang revolusioner tidak hanya bertempur dengan senjata, tetapi juga dengan hati nuraninya sendiri.

Konflik paling tajam terjadi ketika Stevan menuduh Kaliayev tak setia pada revolusi. Stevan adalah representasi ideologi yang ekstrem: bahwa demi revolusi, semua sah, termasuk membunuh anak-anak, jika perlu. Ia melihat kematian sebagai angka statistik yang tak lebih dari sekadar pengorbanan kecil demi perubahan besar. “Segala yang menghalangi tujuan revolusi harus disingkirkan!” begitu kira-kira argumennya. Stevan percaya bahwa keadilan sosial yang baru hanya bisa lahir melalui kekerasan tanpa ampun. Ini membuat kita sebagai penonton atau pembaca bertanya-tanya: apakah perjuangan keadilan sosial harus sampai menumpahkan darah anak-anak yang tak berdosa? 

Pertentangan antara Kaliayev dan Stevan ini menjadi inti drama: apakah revolusi harus mengabaikan kemanusiaan demi kemenangan? Kaliayev dengan penuh keyakinan menjawab tidak. Baginya, kehormatan manusia adalah satu-satunya harta yang dimiliki rakyat miskin. Ia percaya bahwa revolusi sejati adalah revolusi yang tetap menghargai martabat manusia. Camus, melalui Kaliayev, menegaskan bahwa terorisme yang membunuh anak-anak justru akan menciptakan bentuk tirani baru yang sama menindasnya dengan tirani lama yang hendak mereka gulingkan.

Tokoh Dora juga menambah lapisan emosional yang mendalam dalam drama ini. Sebagai perempuan yang terlibat penuh dalam pembuatan bom dan persiapan aksi, ia bukan hanya figur pendukung. Dora juga merasakan kegamangan yang bercampur aduk dengan kebanggaan, ketakutan, dan rasa cinta yang samar kepada Kaliayev. Dalam percakapannya dengan Kaliayev, Dora mengatakan bahwa mereka harus membunuh agar dunia menjadi lebih baik, tetapi di dalam hatinya dia sadar bahwa bom bukan hanya menghancurkan tiran, tapi juga menghancurkan kepolosan dan nurani mereka sendiri. Dialog antara Dora dan Kaliayev memperlihatkan bahwa dalam revolusi, mereka tidak hanya kehilangan hidup, tetapi juga rasa kemanusiaan yang membuat mereka berharga sebagai manusia.

Camus sendiri menulis drama ini berdasarkan kisah nyata tentang percobaan pembunuhan terhadap Grand Duke Sergei Alexandrovich pada 1905 oleh kelompok Sosialis Revolusioner Rusia. Namun dalam naskahnya, Camus memilih untuk menggali lebih dalam tentang psikologi para teroris itu, tentang apa yang mereka pikirkan, rasakan, dan bagaimana mereka bergulat dengan pilihan moral yang berat. Ia menolak melihat mereka sekadar sebagai “penjahat” atau “pahlawan,” tetapi lebih sebagai manusia biasa yang dilanda dilema. Dalam salah satu dialog paling menggetarkan, Stevan menegaskan bahwa rasa malu hanyalah kemewahan bagi kaum bangsawan, sedangkan bagi rakyat kecil, yang paling penting adalah kemenangan. Kaliayev menolak pandangan ini. Baginya, rasa malu adalah satu-satunya kekayaan yang tersisa bagi orang-orang tertindas. Ini menjadi kritik keras Camus terhadap revolusi yang lupa pada martabat manusia dan hanya mengejar kekuasaan. Camus ingin menegaskan bahwa revolusi yang adil tidak bisa dibangun di atas kejahatan yang sama dengan musuh yang mereka lawan.

Melalui Les Justes, Camus menegaskan pandangannya bahwa keadilan tidak bisa dicapai melalui kekerasan buta yang mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan. Ia menolak ide bahwa “tujuan menghalalkan cara.” Naskah ini bukan hanya kisah tentang bom dan konspirasi, tetapi sebuah pengingat bagi kita semua bahwa perubahan yang sejati tidak boleh melupakan nilai-nilai manusiawi. Kalau revolusi kehilangan belas kasih, ia akan tumbuh menjadi tirani baru.

Terjemahan Arif Budiman berhasil menghidupkan ketegangan dan kedalaman pemikiran Camus dengan bahasa yang mengalir, dialog yang tajam, dan adegan-adegan yang dramatis. Pembaca Indonesia dapat merasakan atmosfer tegang markas revolusioner, keraguan yang menusuk batin, dan ketegangan antara cita-cita dan rasa kemanusiaan. Pada akhirnya, Les Justes bukan hanya sebuah drama tentang para teroris yang ingin menjatuhkan tiran, tetapi juga tentang manusia yang rapuh, yang dihadapkan pada pertanyaan abadi: sampai di mana kita bisa mengorbankan nilai kemanusiaan demi cita-cita besar? Drama ini mengajak kita untuk merenungkan, bahwa sekalipun keadilan itu penting, tetap ada garis merah yang tak boleh dilanggar, yaitu kehormatan manusia.

Les Justes bukan hanya tentang perjuangan, tetapi juga tentang nurani manusia yang bergolak. Di balik ledakan bom yang mereka persiapkan, ada ledakan di hati mereka sendiri yang penuh keraguan, ketakutan, dan keyakinan yang saling bertarung. Pada 21 dan 22 Juni 2025, Teater Petra akan membawakan Les Justes di Komunitas Salihara dan mengajak kita semua untuk ikut merenungkan tentang bagaimana nurani dan revolusi bisa berdamai, atau justru saling menghancurkan? 

 

patri

Menjadi Indonesia: Proyek Kebangsaan yang Tak Pernah Selesai

Catatan pendek pemikiran Parakitri T. Simbolon.

 

Apa artinya menjadi Indonesia? Pertanyaan ini terdengar sederhana, namun kita masih berhati-hati untuk memberikan jawaban yang pasti. Dalam konteks hari ini, ketika identitas kebangsaan kerap dipertanyakan dan bahkan ditarik-tarik untuk kepentingan politik sesaat, pertanyaan ini kembali penting untuk diajukan. Parakitri T. Simbolon, dalam karyanya Menjadi Indonesia, mengajak kita melihat bahwa Indonesia bukan sesuatu yang “sudah jadi”, melainkan sesuatu yang terus diupayakan. Indonesia adalah sebuah proyek kebangsaan yang dibangun melalui pergulatan ide, bukan sekadar hasil dari geografi atau sejarah politik belaka.

Parakitri T. Simbolon tidak memulai ceritanya dari titik deklaratif seperti Proklamasi 17 Agustus 1945. Ia justru menelusuri proses panjang terbentuknya kesadaran kebangsaan Indonesia, suatu proses yang menurutnya jauh lebih penting daripada sekadar momen-momen monumental. Dalam pandangannya, nasionalisme Indonesia tidak muncul dari kekosongan, melainkan lahir melalui dinamika sosial, budaya, dan intelektual yang terjadi di awal abad ke-20. Ia menunjukkan bahwa menjadi Indonesia adalah sebuah pilihan sadar, bukan sesuatu yang jatuh dari langit atau terbentuk secara otomatis karena adanya penjajahan yang sama. Gagasan bahwa Indonesia adalah sebuah “bangsa yang dibayangkan” bukan hal baru, dan Parakitri T. Simbolon tidak menampik konsep ini yang diperkenalkan oleh Benedict Anderson. Ia melihat bagaimana proses pengimajinasian itu dilakukan secara sadar oleh para intelektual dan pemikir awal bangsa. Tokoh-tokoh seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan lainnya tidak sekadar menjadi pahlawan, tapi mereka adalah konseptor yang aktif merumuskan dan mempertanyakan: bangsa seperti apa yang ingin kita bangun? Apa artinya merdeka? Apa makna keindonesiaan itu sendiri?

Parakitri T. Simbolon menggali cara pikir para pemimpin bangsa dalam membayangkan Indonesia. Ia mengajak pembaca untuk memahami bahwa “Indonesia” adalah hasil dari kompromi gagasan, perdebatan panjang, dan dialog antara banyak kepala yang berbeda latar. Konsep persatuan, misalnya, bukan lahir dari semangat keseragaman, melainkan dari kesadaran bahwa keberagaman adalah keniscayaan yang harus dirawat. Menjadi Indonesia, bagi Parakitri T. Simbolon, bukan berarti meniadakan perbedaan, tetapi justru mencari titik temu di antara keberagaman itu. Inilah yang membuat konsep kebangsaan Indonesia sangat khas, ia tidak dibangun atas dasar satu ras, satu agama, atau satu bahasa ibu. Indonesia justru berdiri sebagai rumah bersama dari ratusan etnis, bahasa daerah, dan identitas lokal yang berbeda-beda. Dalam semangat itulah Pancasila dirumuskan, bukan sebagai alat pemersatu yang memaksa, melainkan sebagai landasan hidup bersama yang inklusif.

Namun, Parakitri T. Simbolon juga tidak romantis. Ia menyadari bahwa proyek kebangsaan ini selalu berada dalam ancaman: dari eksklusivisme identitas, dari pemusatan kekuasaan, hingga dari erosi nilai-nilai kebangsaan itu sendiri. Dalam narasinya, kita melihat bahwa sejarah Indonesia penuh dengan ketegangan antara cita-cita dan kenyataan. Antara impian kemerdekaan dan praktik kekuasaan. Antara nasionalisme yang mengikat dan politik yang membelah. Justru karena itulah, menjadi Indonesia adalah proses yang tidak pernah selesai. Ia bukan status yang bisa diklaim secara pasif, melainkan proses yang terus diperjuangkan. Setiap generasi punya tugasnya sendiri dalam menjaga dan membentuk ulang keindonesiaan sesuai konteks zamannya. Dalam hal ini, sejarah bukan sekadar pelajaran masa lalu, melainkan ruang refleksi dan orientasi ke masa depan.

Parakitri T. Simbolon menyentuh satu hal yang sangat relevan bagi generasi hari ini: pentingnya keterlibatan dalam percakapan kebangsaan. Ia menyayangkan kecenderungan publik yang melihat sejarah dan nasionalisme sebagai hal yang membosankan, milik masa lalu, atau sekadar jargon politik. Padahal, tanpa pemahaman mendalam tentang proses menjadi Indonesia, kita bisa dengan mudah terjebak pada nasionalisme sempit atau bahkan kehilangan orientasi sebagai bangsa. Salah satu kekuatan buku Menjadi Indonesia adalah kemampuannya menjembatani antara sejarah dan pemikiran.Parakitri T. Simbolon tidak hanya menyajikan kronologi, tetapi juga menafsirkan makna di balik peristiwa. Ia menulis dengan gaya reflektif, kadang filosofis, namun tetap membumi. Pendekatannya mengingatkan kita bahwa sejarah bukan hanya tentang siapa berbuat apa dan kapan, tapi tentang ‘mengapa’ hal itu dilakukan dan ‘bagaimana’ ia membentuk masa depan.

Dalam konteks kekinian, ketika masyarakat Indonesia menghadapi tantangan globalisasi, polarisasi politik, hingga krisis identitas, gagasan Parakitri T. Simbolon terasa sangat relevan. Ia mengingatkan bahwa menjadi Indonesia hari ini tidak bisa dilepaskan dari bagaimana kita membaca dan memahami perjalanan menjadi Indonesia sejak dulu. Menjadi Indonesia berarti memelihara semangat perdebatan, menjaga ruang publik yang sehat, dan merawat semangat kebersamaan tanpa menghapus perbedaan. Parakitri T. Simbolon juga menyiratkan bahwa menjadi Indonesia berarti menjaga akal sehat politik. Nasionalisme yang sehat tidak memusuhi perbedaan, tetapi mengakomodasi dan merayakannya. Ia tidak dibangun atas dasar ketakutan terhadap “yang lain”, tetapi atas keyakinan bahwa kita bisa tumbuh bersama dalam perbedaan. Dalam pandangan ini, nasionalisme bukanlah eksklusivitas, tapi keterbukaan terhadap kompleksitas realitas.

Menjadi Indonesia bukan hanya buku sejarah. Ia adalah undangan untuk berpikir ulang tentang siapa kita sebagai bangsa. Ia adalah ajakan untuk melihat Indonesia bukan sebagai warisan mati, tetapi sebagai warisan hidup yang menuntut partisipasi dan komitmen. Dalam dunia yang terus berubah dan penuh tantangan, kesadaran semacam ini menjadi sangat penting. Kita mungkin tidak pernah bisa sepenuhnya ‘selesai’ menjadi Indonesia. Tapi justru dalam ketidaksempurnaan dan pergulatan itulah, makna keindonesiaan kita terus diperbarui. Dan seperti yang diyakini oleh Parakitri T. Simbolon, menjadi Indonesia adalah kerja sejarah yang dilakukan terus-menerus, oleh kita semua.

“Menjadi Indonesia” adalah tajuk LIFEs (Literature and Ideas Festival) 2025 yang akan berlangsung pada 08 hingga 16 Agustus mendatang. LIFEs kali ini akan mengajak publik untuk menelusuri karya-karya dari klasik sampai terkini, dalam diskusi maupun pentas inovatif, yang membincangkan apa itu menjadi sebuah bangsa. Informasi selengkapnya dapat dilihat melalui lifes.salihara.org

 

sidang PPKI

Memaknai 80 Tahun Kemerdekaan Indonesia dengan Membaca Ulang Naskah Sidang BPUPKI

Pada 2025 ini, sudah 80 tahun Indonesia merdeka. Perjalanan panjang dilewati untuk mempertahankan kemerdekaan bangsa hingga hari ini. Meski dalam perjalanannya kita melalui berbagai fenomena yang mencederai kemerdekaan tersebut, dari pembatasan berekspresi atas nama menyinggung kelompok tertentu hingga penyalahgunaan posisi kekuasaan. Bahkan beberapa catatan sejarah bangsa kita masih ada yang dicap sebagai “koleksi arsip terlarang”. 

Tapi, penting pula bagi kita untuk kembali menengok arsip pembentukan Indonesia. Kita dapat memulainya dari membaca ulang catatan notulensi Sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan) yang berlangsung pada 28 Mei hingga 1 Juni 1945. Sidang tersebut dihadiri oleh tokoh-tokoh bangsa, antara lain, Mohammad Yamin, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Soepomo, dan Soekarno. Naskah ini ibarat kitab suci bangsa Indonesia, memuat argumen dan perdebatan mendasar tentang bangsa dan negara. 

Dari naskah BPUPKI, kita akan menemukan misalnya pandangan Mohammad Yamin tentang poin-poin penting yang perlu dimasukkan ke dalam Dasar Negara ialah Peri- Kebangsaan, Peri- Kemanusiaan, Peri- ke-Tuhanan, Peri- Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat. Berbeda pula dari pandangan Ki Bagoes Hadikoesoemo, bahwa Negara Indonesia baru yang akan datang itu berdasarkan agama Islam dan akan menjadi negara yang tegak dan teguh serta kuat dan kokoh. Pendapat lain muncul dari Soepomo, menurutnya penting pula untuk memikirkan perhubungan negara dan agama, cara bentukan pemerintahan, perhubungan negara dan kehidupan ekonomi. Dari pembacaan tersebut kita akan menemukan ketegangan dari argumen setiap tokoh yang hadir. Masing-masing dengan kokoh dan berapi-api mempertahankan gagasan-gagasannya. 

Membaca ulang naskah BPUPKI adalah juga merefleksikan kembali apa-apa yang sudah disusun untuk negara dan bangsa ini. Kita juga dapat secara kritis memahami ulang pendapat-pendapat para tokoh bangsa. Selama 80 tahun Indonesia merdeka, jejak-jejak pembentukannya penting untuk kita telusuri. Sebab, dari penelusuran tersebut generasi yang baru akan lebih mengenal bagaimana seluk-beluk negara dan bangsa ini terbentuk. 

Sebagai bangsa Indonesia, manusia yang kemudian terlahir sebagai Indonesia, tentunya memiliki harapan agar kemerdekaan senantiasa tumbuh, hadir, dan seiring dengan kehidupan kita di negara ini. Maka, salah satu upaya untuk turut menjaga kemerdekaan adalah dengan kembali menelusuri pemikiran dan kerja-kerja tokoh bangsa kita. Catatan sejarahnya seharusnya menjadi bekal untuk generasi hari ini dan seterusnya untuk tidak mencederai kemerdekaan yang telah terbangun. 

Menyambut Literature and Ideas Festival of Salihara (LIFEs) 2025, Komunitas Utan Kayu dan Komunitas Salihara menggagas sebuah program Undangan Terbuka Pembacaan Naskah BPUPKI yang dapat diikuti oleh publik yang lebih luas hingga Juni nanti. Tak hanya membaca, para peserta dapat memerankan tokoh bangsa dan pembacaan tersebut akan direkam seluruhnya. Informasi selengkapnya kunjungi bit.ly/PembacaanNaskahBPUPKI.

lakon_story (3)

Pengumuman Penerima Beasiswa Kelas Menulis Lakon Salihara 2025

Berdasarkan hasil penjurian dan diskusi yang dilaksanakan, Dewan Juri memutuskan bahwa dua orang yang terpilih menjadi Penerima Beasiswa Kelas Menulis Lakon 2025, yaitu adalah

  1. Majid Amrullah
  2. Alifya Maheswari Putri Wibowo

Demikian berita acara ini kami sampaikan hendaknya diterima. Keputusan Dewan Kurator tidak dapat diganggu gugat. Komunitas Salihara akan menghubungi penerima beasiswa untuk informasi lebih lanjut.

Jika memiliki pertanyaan, sila kirim email ke info@salihara.org

teras

Risalah BPUPKI dalam “Rumah dengan Selembar Tikar”

Catatan pendek presentasi karya Aliansi Teras pada SIPFest 2024

 

Arsip pembentukan sebuah negara menjadi harta penting untuk merefleksikan kembali apa yang menjadi cita-cita bangsa dan apakah ia dapat terwujud di masa selanjutnya. Upaya merefleksikan kembali baik dari gagasan, visi dan tegangan-tegangan apa saja yang muncul ketika negara hendak dibentuk, dilakukan oleh kolektif teater Aliansi Teras melalui pembacaan dramatik risalah BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) bertajuk Rumah dengan Selembar Tikar. Pembacaan dramatik ini adalah bagian dari program Work In Progress SIPFest 2024 pada 17 Agustus lalu, sebuah program untuk mempresentasikan karya bertumbuh sekaligus ruang diskusi antara seniman dengan penontonnya. 

Naskah yang dibacakan pada presentasi tersebut adalah respons dari 300 halaman risalah BPUPKI yang telah disusun ulang. Pembacaan ini menggunakan teknik satu aktor memerankan lebih dari satu tokoh, misalnya KRT Radjiman Wedyodiningrat dan Mohammad Hatta diperankan oleh satu aktor, begitu pun dengan tokoh Mohammad Yamin, Oto Iskandar Dinata, Soepomo, Baswedan, dan Ki Bagoes Hadikoesoemo diperankan oleh satu aktor lainnya. Selain beberapa nama tokoh bangsa tersebut, Aliansi Teras juga memasukkan tokoh jembatan yaitu Seseorang yang dimainkan oleh satu aktor perempuan untuk membacakan teks narator. Aliansi Teras juga mencoba untuk mengikutsertakan penonton yang hadir dengan membagikan tiga kategori kertas bertuliskan Kerajaan, Republik, dan Lain-lain.  Setiap penonton akan mendapat satu kategori yang sudah disiapkan. Peran penonton pun dihadirkan sebagai peserta pertemuan BPUPKI yang pada momen tertentu akan memberikan suaranya untuk memilih bentuk negara yang diinginkan. 

Presentasi ini adalah percobaan pertama pembacaan dramatik risalah BPUPKI oleh Aliansi Teras, meski belum dengan halus menciptakan struktur dramatik dengan visual yang lebih mendukung dan adanya kontrak penonton untuk terlibat. Pembacaan dramatik Aliansi Teras ini telah membawa penonton mampu membayangkan bagaimana ketegangan yang terjadi saat pembentukan negara Indonesia. Narasi-narasi tentang batas wilayah dan kedaulatan, identitas warga negara, dan kehidupan beragama, memicu pertanyaan bagi Aliansi Teras tentang “negara ini punya siapa?”

Rumah dengan Selembar Tikar juga mengacu pada salah satu dialog Soekarno yang ditampilkan dalam video presentasi pembacaan ini.  

“Tuan mengatakan seakan-akan kami memerlukan perabotan, radio, dan ini dan itu sebelum kami kawin. Permintaan kami hanyalah membuat sebuah rumah dengan sehelai tikar.” 

(Soekarno, Pejambon 1945: Konsensus Agung Para Peletak Fondasi Bangsa, hal. 7-8)

Tikar juga dijadikan sebagai salah satu properti dalam pembacaan ini. Tikar berbahan jerami dipotong kotak seukuran tegel dan digunakan untuk permainan pola lantai aktor. Aktor akan berdiri di atas salah satu tikar dan akan berpindah ke tikar lainnya apabila berganti peran. Tikar di sini seolah seperti kedudukan atau posisi dan dapat menjadi makna yang lebih besar yaitu rumah, tempat tinggal dengan segala visi-misinya. 

Pembacaan dramatik Rumah dengan Selembar Tikar membuka impresi kita pada bagaimana negara ini dibentuk dan mempertanyakan kembali tentang cita-cita yang muncul dalam proses pembentukan tersebut. Selain Aliansi Teras, Work in Progress dalam SIPFest 2024 juga menampilkan seniman teater dan tari, antara lain Teater Gardanalla, Teater Asa, Try Anggara, Fitri Setyaningsih, dan Rheza Oktavia.

Sandiwara, Identitas, dan Yang Liyan dalam “Theatre and the Other Self”

Pintu masuk Galeri Salihara membawa kaki kita pada sebuah ruang gelap, sempit, dengan atap terpal, alas karpet, buntalan kain dan tumpukan bantal di pinggirnya. Sebuah cahaya temaram memperlihatkan sepasang kerangka telapak kaki berjinjit di sudut kiri. Ruang sempit seperti lorong gelap tak lebih dari dua meter ini, membawa pengunjungnya pada perasaan ngeri usai disambut potongan kerangka manusia. Sepasang kaki yang terlepas dari kulitnya, berjinjit nyaris tak menapak lantai, ia seperti diasingkan di ujung kegelapan. Sedangkan alas di lorong ini selayaknya karpet bermotif lembut yang biasa membuat kita nyaman bergoler di rumah. Keluar dari lorong tersebut, sebelah kanan kita sudah ada kotak P3K menempel di tembok. Tak ada obat luka atau sekadar pereda nyeri, di dalamnya justru berbaris peluru yang masing-masing seukuran ibu jari.

Pengalaman pintu masuk tersebut mengingatkan pada kenyaman rumah, tempat tinggal, namun sekaligus menampilkan kengerian, asing dan kekerasan dari potongan kerangka dan peluru. Kenyamanan-kengerian, dua hal yang seperti berdampingan dalam ingatan-ingatan manusia. Kadang-kadang salah satunya dirindukan oleh perasaan manusia, atau bahkan memadukan keduanya menjadi kengerian yang cantik. Demikianlah ketika memasuki dan melihat pameran Theatre and the Other Self yang menampilkan karya dua perupa, Mujahidin Nurrahman dan Nesar Eesar. Dikurasi oleh Krishnamurti Suparka, pameran ini bekerja sama dengan Artsociates untuk menyuguhkan pengalaman estetika sekaligus reflektif bagi pengunjungnya. Pameran ini berlangsung sejak 16 November hingga 15 Desember 2024. 

Theatre and the Other Self menggunakan sandiwara sebagai simbol untuk menggambarkan dinamika sosial dan sejarah, bahwa Identitas tidak pernah menjadi sesuatu yang tetap, melainkan terus dinegosiasikan, dibentuk, dan diperdebatkan dalam konteks dialog global. Melalui karya-karya Mujahidin Nurrahman dan Nesar Eesar, konsep “diri” berada di antara wilayah personal dan sosial.

Bagi kedua seniman ini, konsep tentang “diri” telah lama dipengaruhi oleh narasi yang datang dari luar. Mujahidin Nurrahman memanfaatkan akar budaya dan keyakinan lokal untuk menciptakan karya yang memanfaatkan simbol-simbol tradisional yang sarat makna spiritual. Sebaliknya, Nesar Eesar berupaya mengkritisi dan merekonstruksi gambaran Timur yang selama ini terkungkung dalam stereotip orientalis serta narasi kolonial, seperti pada karya pertama di pintu masuk bertajuk Restless Soul #0 karya Nesar Eesar. Ia menghadirkan kondisi karpet bermotif khas gambaran Timur yang digelar dalam ruang pengungsian. 

Pameran ini menghadirkan eksplorasi dualitas antara “diri sendiri” dan “yang lain,” sebuah istilah yang merujuk pada konstruksi sosial terhadap kelompok atau individu di luar norma mayoritas. Dalam karya-karya Mujahidin Nurrahman dan Nesar Eesar membongkar narasi historis yang menempatkan Timur sebagai objek pasif dari imajinasi Barat dan membuka peluang bagi representasi baru yang lebih inklusif.

Dalam ruang pameran, pengunjung dihadapkan pada berbagai medium—lukisan, instalasi, dan elemen visual lain—yang menyelidiki bagaimana persepsi identitas dibentuk oleh sejarah kolonial, tradisi, dan dinamika politik kontemporer.

Pameran ini mengupas identitas sebagai fenomena dinamis, tidak pernah statis, dan selalu berada dalam proses pembentukan. Bagi kurator Krishnamurti Suparka, identitas bukanlah sesuatu yang sepenuhnya dimiliki individu, melainkan hasil dari interaksi sosial yang rumit. Alih-alih menghilangkan ketegangan antara “diri” dan “yang liyan,” pameran ini menjadikan kontradiksi tersebut sebagai sumber inspirasi untuk mengurai bagaimana identitas dan persepsi saling berinteraksi dalam kehidupan kontemporer.

Melalui eksplorasi yang kritis, pameran ini mengundang kita untuk meninjau ulang konsep representasi dan inklusi, serta mempertimbangkan bagaimana citra “yang lain” memengaruhi cara kita memahami diri sendiri dan sesama. Di tengah dunia yang semakin terkoneksi, garis pemisah antara “aku” dan “mereka” menjadi semakin kabur, membuka ruang bagi dialog baru yang mendalam dan reflektif.

Theatre and the Other Self mengajak kita untuk merenungkan identitas sebagai sesuatu yang dinamis, selalu dinegosiasikan di tengah pergulatan sosial dan politik. Melalui karya Mujahidin Nurrahman dan Nesar Eesar, pameran ini membongkar lapisan-lapisan narasi yang membentuk gagasan tentang “diri,” sekaligus menyoroti bagaimana dinamika budaya, sejarah, dan kekuasaan terus memengaruhi cara kita memahami diri sendiri dan orang lain.