“My Story, Shared History”: LIFEs 2019 dan Sejarah Kita

Catatan pendek My Story, Shared History

Identitas dan sejarah, dua hal yang mampu menyatukan jarak dari orang yang berbeda tempat tinggal, berbeda profesi, bahkan berbeda negara. Kisah tentang sejarah dan identitas kemudian hadir dalam satu ruang yang sama, yaitu hadir dalam sastra. Sejarah adalah cerita dan sastra memberi ruang luas pada keragaman cerita. Sayangnya, sering orang malah berkelahi karena perbedaan versi sejarah. Salah satu masalah besar bangsa ini adalah historiografi yang tertutup dan dogmatis, yang tak memberi ruang pada keragaman. Kita perlu penulisan sejarah yang lebih asyik dan inklusif.

LIFEs (Literature and Ideas Festival) 2019 mengajak penulis dan pembaca untuk merayakan keragaman cerita individu dalam rangka mengisi ruang-ruang kosong dalam sejarah besar bangsa dan antar bangsa. Ini adalah langkah awal untuk memulai penulisan sejarah yang lebih inklusif. Maka, LIFEs 2019 bertema Kisahku, Sejarah Bersama (My Story, Shared History).

LIFEs 2019 memberi tekanan kepada hubungan Indonesia-Belanda. Program istimewanya adalah kolaborasi enam seniman Indonesia dan enam seniman Belanda keturunan Hindia Belanda. Proses kolaborasi ini berawal sebelum Oktober 2019, enam pasangan muda itu telah bertemu, di Indonesia atau di Belanda, untuk saling memperkaya perspektif dan membangun cerita bersama. Tentu, latar sejarah kolonial menjadi konteks bersama. Mereka adalah eksperimen pertama bagi program ini. Pemahaman sejarah yang berawal dari kisah pribadi atau keluarga diharapkan bisa membangun sikap yang lebih terbuka sekaligus kokoh dalam menghadapi perbedaan dan keragaman. Untuk mewujudkan program ini Komunitas Salihara bekerjasama dengan mitra program yaitu Dutch Culture dan Indisch Herinneringscentrum yang mendukung pertukaran seniman Indonesia-Belanda, sehingga pelbagai pertunjukan kolaborasi di LIFEs 2019 bisa tercipta.

Berbagi Masa Lalu, Bertumbuh dengan Karya

My Story, Shared History, menghadirkan penulis dan seniman dari negara yang berbeda, di antaranya adalah Armando Ello (Belanda), Felix K. Nesi (Indonesia, Lala Bohang (Indonesia ) & Lara Nuberg (Belanda), Rizal Iwan (Indonesia) , Dionne Verweij, Francesca Pichel (Belanda), Joshua Allen (Australia), Adrian Mulya (Indonesia), Maria Rey-Lamslag (Belanda ), Robin Block (Belanda), Angelina Enny (Indonesia), dan Jean Tay (Singapura). Sepanjang Oktober 2019, mereka akan saling berkolaborasi dan menampilkan karya mereka, baik berupa pameran fotografi, pembacaan dramatik, musik, hingga diskusi.

Berbeda dengan LIFEs 2017 dengan program pameran seni rupa, LIFEs 2019 hadir dengan pameran fotografi hasil dari kolaborasi penulis Felix K. Nesi dan fotografer Armando Ello. Melalui foto-foto beberapa keluarga di Timor dan Rote, Felix K. Nesi (penulis novel Orang-Orang Oetimu) dan Armando Ello (fotografer Belanda yang Ibunya berasal dari Timor) menceritakan kembali kisah keluarga tersebut di luar sudut pandang yang selama ini kita ketahui dari narasi sejarah Timor. Potret-potret itu juga akan diceritakan kembali dengan gaya teater di layar kompleks Salihara. Felix juga menulis sebuah lirik lagu spesial berdasarkan kisah ini dan menyanyikannya. Selain Felix dan Armando, ada pula pameran gambar bertajuk So Far So Close hasil kolaborasi Adrian Mulya dan Maria Rey-Lamslag. Pada abad ke-20, nenek moyang Adrian Mulya (keluarga Peranakan) dan nenek moyang Rey-Lamslag (keluarga Indo-Belanda) harus melalui kehidupan sehari-hari yang sangat berbeda. Barangkali itu sebabnya leluhur mereka tidak pernah melewati jalan yang sama. Tapi benarkah demikian? So Far So Close menggabungkan gambar-gambar yang berupa fakta dan fiksi berdasarkan arsip pribadi dan anonim. Karya ini mengangkat cerita keluarga Adrian dan Maria di tengah narasi besar sejarah.

Ada pula pembacaan dramatik naskah karya Jean Tay yang dibacakan oleh Indonesia Dramatic Reading Festival (Yogyakarta). Berlatar Asia Tenggara 1997-1998, pembacaan dramatik ini menceritakan krisis ekonomi Asia dan menelanjangi kerentanan negara-negara Asia terhadap ekonomi global yang fluktuatif. Narasi dibangun melalui pembaca berita di Singapura dan perempuan muda di Indonesia yang nasib mereka satu sama lain saling terkait dengan arus informasi dan modal. Naskah karya Jean Tay akan dibacakan oleh Indonesia Dramatic Reading Festival yang diwakili oleh Kelompok Kandang Jaran. Hasil kolaborasi lainnya adalah pementasan Three Fishes Out of One Bowl Trying to find a Common Ground, hasil kolaborasi tiga seniman Rizal Iwan (Indonesia), Francesca Pichel, dan Dionne Verwey (Belanda). Tiga orang yang sangat berbeda asal-usul berkumpul untuk menemukan titik temu sejarah mereka, tapi ternyata persoalan yang muncul tidak semudah yang mereka kira. Pertunjukan ini adalah sebuah karya yang mengeksplorasi perspektif tentang silang identitas–Indonesia, Belanda, Suriname–serta beban sejarah yang kita bawa sepanjang hayat.

Tak hanya menampilkan hasil kolaborasi dari antar seniman dan penulis Indonesia-Belanda, LIFEs 2019 juga menampilkan pertunjukan teater dari Five Arts Centre (Malaysia) dengan pertunjukan bertajuk A Notional History. A Notional History memperkenalkan sebuah kemungkinan penulisan sejarah Malaysia Baharu (New Malaysia) lewat pertunjukan arsip dan dokumentasi. Five Arts Centre melanjutkan serangkaian proyek kreatif yang telah mereka tampilkan sejak 2004 mengenai Malayan Emergency (1948-1960). Karya ini juga memanfaatkan bahan berdasarkan film dokumenter 10 Tahun Sebelum Merdeka (2007), buku-buku sejarah, serta pengalaman para seniman sendiri. A Notional History penting untuk kita mengenal Malaysia lebih jauh, karena pertunjukan ini juga disertai dengan sesi tanya jawab.

Program menarik lainnya dalam LIFEs 2019 adalah Final Kompetisi Debat Sastra Tingkat SMA yang menyuguhkan topik perbandingan novel Sang Raja karya Iksaka Banu dan Memoar Tanah Air Baru, Indonesia karya Hilde Janssen. Membaca kembali sejarah pasca peristiwa 1965 juga dihadirkan dalam lokakarya Membuat Sampul Album Digital dengan pengajar Syaura Qotrunadha. Lokakarya ini mengajak peserta merancang ilustrasi album dan menulis teks penjelasan berdasarkan lagu-lagu berisi kesaksian dan pengalaman ibu-ibu Dialita. Persoalan identitas dan sejarah juga disampaikan melalui ceramah kunci yang dibawakan oleh Hilmar Farid dan Nancy Jouwe (Belanda). My Story, Shared History ditutup dengan malam Dendang Arsip Nusantara yang menghidupkan kembali dan mendekatkan arsip seni rupa, sastra dan musik kepada generasi muda melalui bentuk pesta. Acara ini adalah kolaborasi Pemuda Sinarmas dan Sastra Lintas Rupa.

Seperti apa topik dan perbincangan menarik lainnya dalam LIFEs 2020 dan 2023? Ikuti info selengkapnya di salihara.org.

Sosi dan Memori Kusam yang Tersebar di Sana-Sini

Ditulis oleh: Cliff Moller

 

Helateater 2023: Teater Objek

“Sosi bisa menjadi perenungan atas sesuatu yang tak terhindarkan di masa depan: menua, sendirian dan terlupakan.”

Flying Balloons Puppet menampilkan pertunjukan yang menggabungkan aktor dan boneka foto: Witjak Widhi Cahya

 

Didatangkan langsung dari Yogyakarta, Flying Balloons Puppet (FBP) hadir pada 18 dan 19 Februari lalu, membawakan pertunjukan perdananya di Teater Salihara dengan tajuk Jalinan Kusam di Lemari Sosi. FBP menjadi satu dari empat penampil yang terpilih dalam program Undangan Terbuka Helateater 2023 sekaligus menjadi pertunjukan pembuka perhelatan festival teater yang berjalan selama satu bulan ke depan.

Jalinan Kusam di Lemari Sosi dibuka dengan kemunculan sepasang dalang (puppeteer) laki-laki dan wanita yang diperankan oleh Rangga Dwi A. (Asisten Sutradara) dan Meyda Bestari (Sutradara), hadir sesaat begitu lampu menyala diiringi suara gemerincing kunci yang memenuhi ruangan. Keduanya didandani begitu identik, dengan potongan rambut dan kostum yang sama.

Tata panggung tersusun simetris dengan berbagai laci bertumpuk mengisi seluruh ruang; dua di kiri, dua di kanan, dan satu laci persegi di tengah. Artistik lantai panggung diset seolah berada di dalam rute microchip, seperti hendak merepresentasikan bahwa cerita ini memang berkaitan dengan memori si Sosi, sang tokoh utama pementasan ini.

Kedua dalang ini juga berperan sebagai aktor, mereka memulai pertunjukan tanpa melibatkan boneka Sosi terlebih dahulu. Dengan memainkan dua buah payung putih yang dibuka tutup, dua aktor berjalan menuju arah boneka Sosi yang sedang bersandar di pojok panggung.

Sosi mulai digerakkan, dia terbangun dengan keadaan menggerutu. Wajahnya tua, rambutnya putih, dan raut mukanya sayu. Ia terlihat mencari-cari sesuatu di balik laci yang juga berperan sebagai alas tidurnya. Jalan cerita ini terfokus kepada Sosi yang membuka laci satu per satu. Satu laci dibuka, satu objek ditemukan mulai dari buku, busana, hingga permen. Setiap reaksi yang ditampilkan pun berbeda, ada yang sedih, kehilangan gairah, bahkan rasa kesal.

 

Mencari “Kunci” yang Tersebar di Fragmen Ingatan Sosi.

Dalam pertunjukan yang berdurasi 40 menit ini, kita diajak untuk mencari tahu apa yang sebenarnya Sosi cari. Suara kunci di awal adegan bisa menjadi tanda bahwa ada “kunci” yang hilang di dalam ingatannya. Reaksi yang Sosi berikan juga mengindikasikan rasa tidak puasnya terhadap memori-memori yang ia temukan selama mengobrak-abrik isi laci/lemari yang ia tapaki selama jalannya pertunjukan.

Bahkan di satu bagian, ada adegan di mana sang aktor wanita, mengambil sebuah bra yang terjemur di seutas tali. Ia mengambil bra itu dan membawanya di sebelah Sosi yang terduduk di tengah panggung. Lewat bra tersebut, aktor memanipulasi objek yang ia pegang, mengubah fungsi sebuah bra menjadi tas tangan, alat rias, hingga bercermin menggunakannya. Saya menangkap, ia saat ini bukan berperan sebagai dalang, melainkan sebagai aktor yang merepresentasikan masa muda Sosi. Adegan ini juga memperlihatkan aktor mengambil sebuah bingkai dan memanipulasinya seolah bingkai tersebut adalah cermin. Sosi melihat aktor wanita lewat cermin tersebut, meraba wajahnya, lalu wajahnya sendiri dan ekspresi marah ia munculkan serta menjauhkan bingkai tersebut dari wajahnya. Lagi, Sosi tidak puas terhadap apa yang ia temukan.

Sosi dan pantulannya di cermin / Foto: Witjak Widhi Cahya

 

Cerita ini pun berakhir dengan Sosi yang terduduk diam di dalam sebuah lemari kecil setelah berkali-kali ditunjukkan adegan repetitif kala ia menapaki tangga tanpa henti hingga akhirnya Sosi lelah dan berhenti mencari. Dalam kesendiriannya, Sosi terduduk dengan wajah yang menghadap ke arah bangku penonton. Lagi, sang dalang berperan menjadi aktor, membalut dirinya dengan tali-tali, membawa sebuah laci atas kepalanya,  menaiki tangga tribun, menaruh laci di tangga, duduk di bangku penonton, dan meninggalkan Sosi di panggung, sendiri. Di panggung, aktor yang lain menyalakan lampu di dalam lemari tempat Sosi duduk, seolah ia bertatapan dengan aktor yang di tribun, saling tatap, hingga akhirnya lampu gelap total.

Adegan akhir di mana Sosi terduduk di dalam lemari / foto: Witjak Widhi Cahya

 

Pentas Segar yang Dinantikan Perkembangannya

Bagi saya Jalinan Kusam di lemari Sosi cocok untuk mereka yang senang akan dinamika antara dalang dan boneka dalam kemasan teatrikal serta menikmati unsur-unsur estetika yang disajikan. Namun bagi penonton yang suka akan plot yang tertata dan literal mungkin akan sulit menikmati pertunjukan ini. Posisi duduk juga menentukan dalam menikmati pertunjukan ini. Tata panggung yang disusun sedemikian rupa, ternyata tidak bisa menjangkau seluruh penonton untuk bisa menikmati pengalaman yang sama, ekspresi Sosi dan ukurannya yang terbilang sedang ke kecil sulit dinikmati oleh mereka yang mendapat posisi duduk di atas.

Pementasan ini juga dilengkapi dengan sesi tanya jawab yang bisa dilakukan pascapertunjukan; sesuatu yang menyenangkan terlebih penonton cukup antusias untuk melihat langsung boneka Sosi lebih dekat untuk berfoto maupun menanyakan hal-hal yang mungkin tidak terjawab.

Hingga akhir pertunjukan saya masih menganggap Sosi adalah bentuk refleksi yang terjadi di masa tua nanti. Renungan akan hidup sendiri, menua, melupakan dan dilupakan menjadi sorotan utama yang saya tangkap selama pertunjukan. Kelompok ini bisa menjadi angin segar sebagai kelompok seni alternatif di bidang teater. Objek boneka yang menjadi sorotan utama kelompok ini, hingga pengalaman bermain di berbagai tempat baik skala nasional dan internasional menjadikan kelompok ini patut dinantikan kehadirannya di pertunjukan-pertunjukan teater boneka selanjutnya.

 

LIFEs 2017 dalam Viva! Reborn!

Catatan pendek Membaca Amerika Latin: Viva! Reborn!

Pada 2017, Komunitas Salihara menggelar program Literature and Ideas Festival (LIFEs) sebagai bentuk baru dari Bienal Sastra Salihara yang telah berlangsung sejak 2011. Berbeda dengan Bienal Sastra yang lebih banyak menampilkan program pembacaan dan diskusi, LIFEs hadir dengan nuansa segar lebih mengedepankan perbincangan ide dan gagasan, juga memberikan pengalaman artistik kepada pemirsa dalam bentuk pertunjukan. 

LIFEs 2017 mengangkat tema “Membaca Amerika Latin” dengan tajuk Viva! Reborn!. Sebagai wilayah maupun sebagai entitas budaya, Amerika Latin menawarkan banyak gagasan penting: teori ketergantungan, teologi pembebasan, realisme magis—untuk menyebut tiga di antaranya. Minat pembaca Indonesia terhadap sastra dan pemikiran dari Amerika Latin boleh dibilang sangat tinggi dibanding terhadap wilayah dunia lainnya. Belum lagi tingginya popularitas tari, musik, film dan kuliner dari kawasan ini. Amerika Latin juga bisa diperbandingkan dengan Indonesia dalam banyak hal: sejarah kolonialisme, pengalaman Perang Dingin, rezim militer dan demokrasi, masalah lingkungan hingga perjumpaan agama Abrahamik dengan agama lokal. 

Begitu banyak gagasan yang bisa kita perdalam dalam pertemuan Indonesia-Amerika Latin. LIFEs 2017 berpuncak pada bulan Oktober yang bertepatan dengan Bulan Bahasa. Serangkaian program LIFEs “Membaca Amerika Latin” dilakukan pada 07 hingga 28 Oktober 2017, dengan balutan keasyikan Selasa dansa, Kamis membaca, Sabtu-Minggu pesta sastra.

Dansa, Sastra, dan Pesta

Untuk merayakan pertemuan Indonesia-Amerika Latin baik dalam hal sastra, kuliner, dan isu lainnya, Komunitas Salihara mempertemukan sastrawan Indonesia dengan sastrawan Amerika Latin yang dikemas dalam kehadiran diskusi dan pertunjukan. Program lokakarya juga dihadirkan LIFEs 2017, seperti lokakarya tari Salsa, menulis kritik sastra, story telling, hingga lokakarya penerjemahan sastra. Pemateri lokakarya pun dihadirkan dari beberapa negara, seperti Brigitte Schär (Swiss), Sergio Chejfec (Argentina), Victor Heringer (Brasil) dan Pablo Jofré (Cile). 

LIFEs 2017 juga menampilkan pertunjukan teater dengan tajuk Xalisco, A place sutradara Ines Somellera (Meksiko-Indonesia) dengan kolaborasi instalasi panggung karya perupa Hanafi (Indonesia). Pertunjukan lainnya menampilkan Musik Puisi: Adimas Immanuel & Sri Hanuraga (Indonesia), Konser Piano Cile dari José Riveros (Cile), Malam “Mooi Indië” yang menampilkan Boi Akih (Belanda), Iksaka Banu dan Joss Wibisono (Indonesia). Tak hanya pertunjukan, ada pula pameran seni rupa yang menampilkan karya Hanafi dengan tajuk Xalisco Performative Exhibition: Juan Preciado, pameran ini adalah respons pada novel sastrawan Amerika Latin berjudul Pedro Paramo karya Juan Rulfo. 

Perbincangan ide dan gagasan juga dituangkan dalam forum diskusi dengan program Diskusi Kamis: Klasik nan Asyik, Diskusi sore: Tamu dari Seberang, Klub Buku Foto Membahas Gagasan dalam Buku Foto dari Indonesia dan Amerika Latin, Indonesia Millenial Forum (IMF) di LIFEs dan Diskusi Meja Bundar. Para pengisi forum diskusi ini tidak hanya menampilkan pembicara dari Indonesia, tetapi juga menampilkan beberapa pembicara dari Amerika Latin, seperti Héctor Abad Faciolince (Kolombia), Veronica Stigger (Brasil) dan Carmen Boullosa (Meksiko). Tak luput pula program pemutaran film dihadirkan dalam festival ini. Beberapa film bertema Amerika Latin pun diputar, seperti Mi Vida Dentro (Meksiko), Pedro Páramo (Meksiko), ropa Tde Elite (Brasil), Gabo (Kolombia), dan Habanastation (Kuba). 

Indonesia Membaca Amerika Latin

Panggung Membaca Amerika Latin juga menyajikan perbincangan menarik dari para narasumber Indonesia. Di antaranya, Dewi Candraningrum, Nirwan Dewanto, Ronny Agustinus, Yusi Avianto Pareanom, Berto Tukan, Lala Bohang, Lisabona Rahman, Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie dan Goenawan Mohamad. Selain itu, Komunitas Salihara bekerjasama dengan beberapa penerbit untuk menggelar Bazar Buku, menghadirkan buku-buku penting dan menarik di Indonesia. Bazar Buku menjual buku-buku sastra, filsafat, sejarah, politik dan kategori lain yang berkaitan erat dengan dunia seni dan pemikiran. Dengan adanya program Bazar Buku, bacaan-bacaan terjemahan dari karya sastra Amerika Latin pun dapat didistribusikan pada publik Salihara yang lebih luas. 

Hal menarik lainnya dalam LIFEs 2017 Membaca Amerika Latin: Viva! Reborn!, menyajikan perbincangan tentang isu-isu mutakhir seperti beragam media di era teknologi, pembahasan tentang penulis perempuan Amerika Latin, problematika politik dan iman, juga tentang bagaimana perkembangan sastra dan pemikiran Amerika Latin dalam peta dunia, dan perihal sosial ekonomi politik hingga mempertanyakan kembali tentang gagasan kiri Amerika Latin. Program ini dikemas dengan begitu padat namun tetap berisi dan tajam. Pada LIFEs selanjutnya Komunitas Salihara akan terus menyajikan tema-tema beragam dan mutakhir. 

monamur

LIFEs hadir kembali dengan tajuk Mon Amour!

Komunitas Salihara mempersembahkan festival sastra dan gagasan: LIFEs—nama dan bentuk baru bagi Bienal Sastra Salihara. LIFEs sebelumnya hadir dengan pilihan-pilihan tema seperti sastra Amerika Latin bertajuk Viva! Reborn! (2017), My Story, Share History (2019) yang membahas hubungan Indonesia dan Belanda, pada 2021 secara daring LIFEs hadir dengan tajuk Arab Asyiq. Tahun ini LIFEs mengusung tajuk mon Amour!, dengan tema besar Frankofon. LIFEs akan berlangsung pada 05-13 Agustus nanti, sejumlah program pendahuluan telah dimulai sejak Maret melalui Kelas Filsafat “Filsuf Prancis Menafsir Platon”

LIFEs 2023 mengangkat tema besar Frankofon. Frankofon sendiri adalah istilah yang digunakan untuk negara-negara penutur bahasa Prancis. Tema ini hendak meneroka karya-karya sastra dan pemikiran dari negara-negara penutur bahasa Prancis dan melihat bagaimana pengaruhnya ke dalam karya sastra dan pemikiran di Indonesia. LIFEs 2023 akan menghadirkan tokoh intelektual untuk berceramah, juga menghadirkan program diskusi dan seminar untuk membahas pengaruh sastra berbahasa Prancis kepada Indonesia. Selain itu, sebagai bentuk presentasi, LIFEs 2023 hendak memperluas sifat festival sastra dengan memberikan pengalaman artistik kepada pemirsa dalam bentuk pertunjukan. 

Sampai jumpa pada LIFEs mon Amour!

 

Lihat kembali:

LIFEs 2017
LIFEs 2019

template-youtube cover-1280x720-stay art home.indd - New Page

Sekilas Tentang Platon

Raffaello Sanzio menciptakan lukisan dinding School of Athens, lukisan yang dikenal sebagai penggambaran dua cabang filsafat yang kuat. Dalam lukisan tersebut digambarkan tokoh filsafat Platon dan Aristoteles dengan gestur yang berbeda. Aristoteles digambarkan dengan tangan yang menunjuk ke bawah dan memegang sebuah buku, gestur ini dikaitkan dengan filsafat yang berdasarkan pada realitas dan pengalaman empirik. Sedangkan Platon dilukis dengan tangan mengarah ke atas, seperti hendak menyampaikan tentang filsafat yang menjunjung tinggi ideologi, bahwa realitas di dunia manusia dibentuk oleh gagasan-gagasannya sendiri.  Lantas, siapa sebenarnya Platon dalam lukisan ini? Mengapa ia sangat menjunjung tinggi gagasan-gagasan dan ideologi?  

Ia lahir di Athena pada 428/427 SM, ia meninggal di Athena pada usianya ke-80, Ia adalah Platon. Kelahiran Platon tepat ketika Athena masih memimpin Liga Delos dan masih berjaya dengan sistem pemerintahan demokrasi. Sistem demokratis inilah yang kemudian membunuh tokoh filsuf yang ia idolakan, yaitu Sokrates. Guncangan inilah yang kemudian membawa Platon untuk memberikan seluruh hidupnya pada filsafat. Pada perjalanannya, Platon membuat dua keputusan yang cukup kontroversial bagi pemerintahan Athena saat itu. Platon memilih untuk tidak menikah dan pada 387 SM ia memutuskan mendirikan sekolah filsafat bernama Akademeia. Uniknya, Platon menjalankan sekolah tersebut dengan biayanya sendiri. Akademeia dikenal sebagai titik penting pada dunia filsafat, lembaga ini bekerja dari dan untuk dirinya sendiri. Lembaga ini pula yang kemudian memicu munculnya sekolah filsafat lainnya, tentu dengan metode dan doktrin pelajaran yang berbeda-beda. Setelah sembilan abad bertahan, Akademeia ditutup oleh seorang kaisar Romawi pada 529 M. 

 

Dunia Platon

Platon memiliki pengaruh besar pada dunia filsafat. Platon menawarkan dialektika dengan metafora mitis yang penuh dengan perumpamaan-perumpamaan. Pemikirannya tak bisa begitu saja selesai ditafsir dalam satu bacaan. Mampu membaca dan mengerti pemikiran Platon tak jarang justru membawa kita pada pemikiran yang berlawanan dengan maksud Platon. Misalkan saja tokoh Alain Badiou yang menerjemahkan Politeia karya Platon ke dalam bahasa Prancis (The Republique), ia menggambarkan Alegori Goa menjadi kisah tentang Gedung Bioskop. 

Filsafat Platon seringkali disebut sebagai teori dualisme. Platon dianggap membawakan teori tentang dunia indrawi yang berlawanan dengan dunia ide. Mohammad Hatta pada tulisannya Alam Pikiran Yunani menulis tentang pemikiran Platon yang mengetengahkan dua dunia tersebut. 

“Dunia yang bertubuh adalah dunia yang dapat diketahui dengan pandangan pengalaman. Dalam dunia itu semuanya bergerak dan berubah senantiasa, tidak ada yang tetap dan kekal. Dari pandangan dan pengalaman saja tidak akan pernah tercapai pengetahuan pengertian. Berhadapan dengan itu terdapat dunia yang tidak bertubuh daripada idea, yang lebih tinggi tingkatnya dan yang menjadi objek dari pengetahuan pengertian. Apabila pengertian yang dituju itu memperoleh bentuknya yang tepat, ia tidak berubah-ubah lagi dan bertempat di dalam dunia idea. Idea itulah yang melahirkan pengetahuan yang sebenarnya.”

Platon juga mengikuti jejak gurunya, Sokrates. Ia memilih menggunakan dialektika sebagai metode yang cocok bagi para filsuf, Platon juga memilih model dialektika yang berbeda dengan gurunya. Bagi Platon dialektika adalah hal tertinggi dari segala pengetahuan. Platon menegaskan bahwa tugas para filsuf adalah mengemukakan sudut pandangnya sekaligus memberikan tawaran tentang bagaimana cara mendapat kepastian di tengah perubahan-perubahan nyata dunia. Ia mengajak manusia untuk menelusuri segala opini yang saling bermunculan, bertentangan dan mengkritisi, menanyakan ulang kembali opini-opini tersebut dengan pemikiran yang lebih jernih dan sehat untuk menemukan segala kebaikan.

 

Membaca Lebih dalam Platon

Gagasan dan pemikiran Platon sangatlah luas dan penuh metafor. Sebagai salah satu tokoh filsuf terkenal, menelusuri pemikirannya adalah salah satu usaha mencari formula untuk menemukan kebenaran dan kebaikan di tengah-tengah kehidupan hari ini. Dalam rangka menyambut Literature and Ideas Festival (LIFEs) 2023 yang digagas oleh Komunitas Salihara, kali ini dengan tema “Frankofon” Kelas Filsafat hadir dengan pembahasan tentang filsafat Yunani Klasik. Dengan tajuk Filsuf Prancis Menafsir Platon, kelas ini menghadirkan bagaimana tokoh filsuf seperti Alain Badiou, Derrida, dan Emmanuel Levinas menafsirkan pemikiran Platon. Kelas berlangsung setiap Sabtu sepanjang bulan Maret 2023. Pendaftaran kelas dapat melalui kelas.salihara.org

 

Catatan pendek berdasarkan makalah “Pengantar Sejarah Filsafat Yunani: Platon” yang ditulis oleh A. Setyo Wibowo dalam Kelas Filsafat Salihara 2016.

Sandikala Ensemble dan Upaya Melampaui Kolonialitas

Ditulis oleh Amos. 

Menyaksikan pertunjukan Sandikala Ensemble di Salihara pada 4 Februari lalu, adalah pintu gerbang pada ruang harmoni baru berbasis gamelan Jawa, ruang-ruang asing tapi kadang akrab untuk telinga, ruang-ruang penuh noise dan distorsi yang bersumber dari 36 nada baru hasil eksperimen terhadap gender gamelan Jawa. 

Komposisi Dion Nataraja yang dibawakan oleh Sandikala Ensemble membawa audiens pada situasi ruang pertunjukan penuh noise, bunyi pukulan acak gamelan, gesekan rebab. Ruang harmoni yang dibangun begitu interuptif, seakan membawa kabur bebunyian gamelan berpola mipil atau imbal-imbalan seperti yang biasa terdengar dari pendopo sebuah keraton di Yogyakarta atau Solo. 

Dalam beberapa fragmen pertunjukan, senggreng alat penggesek rebab dipakai menggesek wilahan gender dan gong. Begitu juga dengan bagian bawah gagang tabuh gender yang dipakai untuk memukul secara acak wilahan gender. Teknik eksperimental dengan mengembalikan gamelan pada denging dan dengung menimbulkan suara yang sama sekali lain. Belum lagi noise digital yang bagaikan kepulan asap memenuhi rangkaian komposisi Sandikala Ensemble. Berbagai eksperimentasi itu membuat karya-karya komposisi yang disajikan begitu kuat, menginterupsi pakem-pakem yang disakralkan pada komposisi gamelan Jawa konvensional.  

Alunan gamelan dan distorsi bunyi begitu terdengar asing tapi akrab, keasingan itu mungkin konsekuensi dari upaya Sandikala Ensemble membangun ruang harmoni baru. Gender, instrumen penting dalam orkestra gamelan Jawa, menjadi instrumen penting dalam ruang makna yang Sandikala bangun. Komposisi “Hyperkembangan X”, “Herutjokro as Posthuman”, serta beberapa improvisasi kolaboratif dengan Sri Hanuraga dan Gerald Situmorang melempar telinga kita jauh-jauh dari alunan gamelan yang penuh pakem, di mana biasanya para turis menikmatinya karena alunan itu dianggap eksotik dan “khas Jawa”. 

Justru eksotisasi dan kekhasan Jawa itu yang Sandikala Ensemble ingin gugat dalam berbagai komposisi eksperimentalnya. Sandikala Ensemble melakukan dekonstruksi bunyi pada tonalitas gamelan Jawa yang selama ini dipakemkan dengan pakem slendro sampai pelog. Sandikala Ensemble membuat tonalitas sendiri yang lepas dari kekangan pakem musik Jawa dan pakem diatonik Barat sekalipun. Upaya ini adalah upaya keluar dari estetika dominan baik estetika tradisional atau modern, mungkin upaya itu sejalan dengan istilah delinking dari Walter Mignolo. 

Upaya mencari jalan lain dari kultur dominan ini membuat suara-suara Sandikala bukan sekadar eksperimen bunyi, tapi sebuah suara lantang untuk menggugat otoritas, kanonisasi, kekangan, lalu memilih menziarahi sisi lain dalam sejarah. Apa yang ditampilkan Sandikala Ensemble adalah upaya untuk terhubung kembali dengan pengetahuan lokal, tetapi dengan jalan tempuh alternatif yang sangat hibrida. Di mana batas-batas menjadi lokal, menjadi nasional, menjadi global, lebur pada upaya eksperimental yang penuh improvisasi. Keluar dari eksotisme Jawa yang dikomodifikasi selagi keluar dari kekangan estetika modernis Barat, hal ini membuat Sandikala Ensemble penting disimak. 

 

Pelog, Slendro, dan Penjajahan Estetik Terhadap Musik Jawa. 

Dalam sejarah kajian seni Jawa, mungkin tidak ada lembaga sebesar dan semasif Java Instituut yang mengkaji kebudayaan Jawa. Sejak berdiri pada 1919, Java Instituut menjadi pusat kajian Jawa paling penting sepanjang era kolonial. Jawa pada era kolonial berubah semenjak Perang Jawa (1825-1830), Farish Noor dalam kajian soal politik pengetahuan menggarisbawahi bahwa penjajahan tak hanya soal fisik, tapi juga soal pengetahuan. Mendata, mengkaji, melakukan sensus, dan berbagai upaya menghimpun pengetahuan adalah juga bentuk penjajahan. 

Pemetaan dan upaya meraup data adalah penting dalam sebuah kolonisasi pengetahuan, sehingga muncul klaim bahwa sang penjajah lebih paham masyarakat jajahan ketimbang mereka memahami diri sendiri. Dalam konteks kolonisasi pengetahuan itulah Java Instituut lahir, mereka mengumpulkan, mengarsipkan, mendata, berbagai artefak kebudayaan Jawa, Bali, hingga beberapa kawasan di Nusa Tenggara Barat. Gamelan Jawa sebagai artefak budaya tanah jajahan menjadi salah satu objek pengamatan bagi para etnomusikolog Belanda, terutama untuk membedah dan menguak estetika masyarakat jajahan yang tersembunyi dalam nada dan ritme “eksotik”.  

J.S. Brandts Buys, seorang etnomusikolog Belanda, membuat sebuah makalah berjudul “Een En Ander Over Javaansche Muziek” yang diterbitkan pada salah satu kongres Java Instituut. Pada makalahnya, ia menjelaskan cara kerja orkestra gamelan secara musikologis. Mulai dari pertunjukan, struktur komposisi, hingga fungsi tiap instrumen dalam orkestra gamelan. Apa yang Buys upayakan adalah penjelasan struktural pada musik Jawa, yang mana bagi Buys para seniman tradisi dan masyarakat Jawa sendiri “tak mau ambil pusing soal struktur musikal” (1929: 53-55). Buys memang memiliki klaim bahwa orkestrasi dalam gamelan Jawa bisa dilihat sebagai musik polyphonic, di mana penyajian harmoni berlangsung sangat kompleks. Begitu pula secara ritme, ada peran perkusif gendang yang membuat ritme gamelan begitu dinamis.

Pada satu bagian tentang tonalitas dan tangga nada dalam musik Jawa, Buys menjelaskan slendro dan pelog. Dalam tonalitas pelog, Buys melihat ada sebuah “nada” tambahan selain yang terpatri dalam tangga nada pelog. Apa yang dianggap baru bagi Buys dan agak misterius soal tonalitas pelog, memperlihatkan musik Jawa sebagai musik terra incognita, musik “dunia baru” yang perlu dieksplorasi dan dijelaskan strukturnya oleh etnomusikolog Barat seperti Buys. Tanpa para etnomusikolog Barat ini seakan-akan seni Jawa tak utuh, tak terjelaskan, dan tetap menjadi misteri. Sebagai tangga nada, slendro dan pelog mungkin dianggap “barang unik dan eksotik” dari negeri jajahan, di mana seluruh komposisi yang lahir darinya pun dieksotisasi.

(Arsip penotasian J.S. Brandts Buys, 1929)

 

Sementara menurut Jennifer Lindsay dalam buku “Javanese Gamelan”, penotasian representatif yang dilakukan terhadap gamelan Jawa tak bisa dilakukan untuk sebuah paten absolut terhadap tonalitas (1992: 38-42). Toh, jika ada beberapa gamelan dijajarkan dan dibunyikan, tentu gamelan-gamelan itu tak akan memiliki tuning yang benar-benar sama, baik intervalnya maupun nadanya. Menariknya, kajian-kajian etnomusikolog Barat pada musik Jawa era kolonial bertendensi untuk mencari paten absolut dalam kategorisasi musikal Barat modern. Padahal, gamelan Jawa dan berbagai musik lokal nusantara memiliki partikularitas yang khas.

Arsip-arsip Buys dalam Kongres Java Instituut yang saya temukan memperlihatkan upaya etnomusikolog Belanda untuk membangun paten terhadap musik Jawa versi mereka. Mulai dari penotasian representatif slendro dan pelog, penyingkapan melalui kajian pertunjukan gamelan, hingga klaim sepihak tentang seniman Jawa yang tak mau ambil pusing soal struktur musikal. Semua itu bisa dilihat sebagai pola umum dari para etnomusikolog Barat yang melihat kebudayaan Jawa sebagai yang Liyan, yang perlu diperadabkan, yang perlu diberi pencerahan melalui estetika modern.

***

Sandikala Ensemble melalui karya komposisi eksperimentalnya melakukan perebutan ulang sejarah (historical reclaiming), khususnya terhadap gamelan. Pada periode abad 19-20, ada eksotisasi, representasi, dan berbagai “penjajahan estetika” atas nama estetika Barat nan adiluhung. Gamelan dipandang Buys dan para etnomusikolog Belanda hanya sebagai “barang seni eksotik” dari tanah jajahan. Segala upaya mendefinisikan gamelan, membekukannya, lalu membuat paten absolut sesuai standar musikal Barat, adalah kekerasan yang jelas terlihat dalam estetika kolonial.

Ide-ide Walter Mignolo soal dekolonisasi pengetahuan nampak sesuai dengan proyek eksperimental Sandikala. Kolonialitas bagi Mignolo bukan sesederhana kolonialisme sepanjang abad 17-20 di tanah jajahan, kolonialitas adalah siklus penjajahan yang berulang dari zaman ke zaman hingga hari ini. Tak tepat menyebutkan bahwa kolonialisme telah berakhir semenjak bangsa jajahan memproklamirkan dirinya merdeka secara politik, justru institusi, cara kerja, sistem, dan hegemoni kultural era kolonial itu masih dilanggengkan hingga kini.

Walter Mignolo menawarkan konsep “relinking/delinking” untuk melampaui kolonialitas itu. Bagi Mignolo, diperlukan upaya terhubung kembali dengan lokalitas ulayat (indigenous) yang keluar dari kekangan modernitas. Dalam “Coloniality is Far from Over, and So Must Be Decoloniality”, Mignolo menutup tulisannya dengan mengatakan:

“Today decoloniality is everywhere, it is a connector between hundreds, perhaps thousands of organised responses delinking from modernity and Western civilisation and relinking with the legacies that people want to preserve in view of the affirming modes of existence they want to live” (2017: 45).”

Sandikala Ensemble menjadi prototipe estetika dekolonial melalui eksperimentasi kontemporer terhadap gamelan. Setelah dialihtubuhkan pada roh bebunyian baru, gamelan mendapatkan nyawa keduanya untuk hidup, setelah pembunuhan pertamanya oleh estetika kolonial di abad 19-20. Kehidupan kedua gamelan Jawa kini merespons isu-isu yang kita hadapi pada kondisi post-human: teknologi digital, algoritma, hingga kolonialitas.

 

Referensi:

Arsip

Programma van het congres gehouden van het 27 tot en met 29 December 1929 in de Kapatihan Mangkoenagaran Soerakarta, ter Gelegenheid van het tienjaring bestaan van het Java Instituut, 1919-1929. Koleksi Perpustakaan Nasional.

Jurnal dan Buku

Jennifer Lindsay. 1992. Javanese Gamelan: Traditional Orchestra of Indonesia. Singapore; New York: Oxford University Press.

Farish. A. Noor. 2019. Data-Gathering in Colonial Southeast Asia 1800-1900: Framing the Other. Amsterdam: Amsterdam University Press.

Walter. D. Mignolo. 2017. Coloniality is Far from Over, and So Must Be Decoloniality. Afterall: A Journal of Art, Context and Enquiry. Volume 43.

nano-obi

Obituari Norbertus (Nano) Riantiarno

Norbertus “Nano” Riantiarno (Cirebon, 6 Juni 1949-Jakarta, 20 Januari 2023) adalah salah satu pembaharu teater Indonesia modern. Bersama Teater Koma yang ia dirikan pada 1977, Nano mengukuhkan tradisi teater realis yang semula ia serap ketika belajar di Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) dan Teater Populer pimpinan Teguh Karya. Dengan gaya kritik dan banyolan di sana-sini, Teater Koma menjadi salah satu kelompok teater yang kuat pada masa Orde Baru dan sesudahnya.

Nano menunjukkan bagaimana teater dapat hadir sebagai tontonan yang bukan hanya menghibur tetapi juga kritis. Di tangannya, kritik terhadap penguasa yang korup, kemiskinan, ketidakadilan hingga nafsu kuasa dapat muncul di atas panggung tanpa disadari oleh penonton bahwa semua itu telah mengetuk kesadaran atas kenyataan yang tengah terjadi di sekitar mereka. Sementara, manajemen Teater Koma memperlihatkan bagaimana ketelatenan membina penonton dari berbagai kalangan dalam waktu bertahun-tahun adalah soal penting yang tidak sembarang kelompok teater bisa melakukannya.

Naskah-naskah lakon yang ditulis Nano, semisal trilogi Bom Waktu, Opera Kecoa, Opera Julini, menjadi korpus naskah teater realis yang istimewa dalam tradisi penulisan lakon berbahasa Indonesia. Bahkan naskah-naskah lakonnya yang mengambil pendekatan tonil atau teater Tiongkok menjadi perbendaharaan tersendiri yang belum ada tandingannya.

Di Salihara, ia pernah menghadirkan produksi ke-120 Teater Koma yang bertolak dari ancaman mematikan HIV/AIDS berjudul Rumah Pasir (2010). Setahun sebelumnya, ia menyajikan drama romantika lewat lakon Tanda Cinta (2009) yang dimainkan berdua dengan Ratna Riantiarno. Pada masa pandemi lalu, ia adalah salah satu pembicara yang membagikan pengetahuannya dalam seri diskusi Pertumbuhan Teater Modern (di) Indonesia dengan tajuk Komedi/Tonil: Eksotisme Timur dan Fantasi yang ditaja Komunitas Salihara.

Nano adalah seorang seniman yang lengkap. Ia adalah aktor, sutradara teater dan film, penulis naskah teater, skenario film dan televisi, novel, cerpen, tinjauan teater, dosen hingga wartawan. Kepiawaiannya dalam menulis lakon telah diganjar dengan sejumlah penghargaan melalui Sayembara Menulis Naskah Drama Dewan Kesenian Jakarta. Begitu juga skenario film dan televisi besutannya.  

 Nano meninggalkan warisan pengetahuan yang berharga bagi kesenian Indonesia. Ia sadar untuk tidak jauh meninggalkan seni tradisi sekaligus konsisten meniupkan nafas kebaharuan pada karya-karyanya. Di saat yang sama, semangat sekaligus ketangguhannya bergulat merawat teater adalah teladan penting bagi siapa saja yang hendak menekuni seni pertunjukan di Indonesia.

 Selamat jalan, Nano Riantiarno.

blog-lakon

Mendalami Logika Pertunjukan melalui Kelas Menulis Lakon

Dalam upaya merawat kesenian bahkan di masa pandemi, Komunitas Salihara rutin mengadakan Kelas Menulis Lakon yang aktif dimulai sejak 2021. Kelas ini bertujuan untuk melatih para peserta dari berbagai latar belakang untuk bisa berpikir kreatif serta kritis dalam membangun sebuah naskah pementasan teater. Melalui kelas yang diadakan secara daring di setiap awal tahun ini, peserta akan dibawa untuk menulis langsung naskah ciptaan mereka. Selain itu peserta juga akan diminta untuk presentasi bahkan bersikap kritis lewat sesi diskusi atau bedah naskah yang dipandu oleh penulis naskah lakon dan aktor, Joned Suryatmoko.

Tidak hanya menyelami bagaimana cara membuat naskah yang baik, peserta akan diperkenalkan ke berbagai bentuk atau genre pementasan dan konteksnya. Lewat perkenalan tersebut, peserta diharapkan bisa menentukan mana yang sesuai dengan gaya penulisan mereka. Dalam kelas ini, peserta juga diarahkan untuk bisa membangun sebuah adegan terstruktur yang melibatkan lebih dari satu karakter.

Di kelas ini, pengampu juga akan mengenalkan logika-logika yang terjadi dalam membangun sebuah pertunjukan serta membedakan bagaimana logika dalam membuat naskah teater akan berbeda dengan naskah film, sinetron, dan juga webseries.

 

2023 Siap Menyapa secara Luring

Pada 2023 Kelas Menulis Lakon hadir dengan program hibrida, di mana peserta bisa merasakan pengalaman kelas secara luring. Ini menjadi sebuah kesempatan yang langka sebab kelas ini memang diprogram untuk daring. Lewat pengalaman luring yang tersedia selama dua sesi di Komunitas Salihara, peserta dapat memanfaatkan suasana tersebut untuk membangun diskusi yang lebih intim baik dengan pengampu maupun dengan sesama peserta lain.

Bagi para peserta di luar Jakarta tetap akan mendapatkan manfaat yang sama lewat interaksi yang bisa dibangun secara digital. Diskusi mengenai membangun naskah yang baik tetap bisa berlanjut di luar jam kelas lewat sesi coffee break atau asistensi via surel.

 

Melahirkan Peserta dengan Karya Gemilang

Di akhir kelas, peserta akan menyelesaikan satu naskah drama yang menerapkan baik kaidah penulisan yang baik dan benar, treatment dialog yang sesuai, serta logika panggung yang baik. Setelah itu, para peserta bisa menerapkan ilmu dari kelas ini sesuai dengan kebutuhan masing-masing yang berhubungan dengan menulis kreatif.

Di antara para alumni yang hadir dari berbagai latar belakang, banyak yang hadir dengan kabar yang membanggakan di antaranya adalah Yessy Natalia dengan karya Tuhan, Tolong Bunuh Emak menjadi Pemenang Rawayan Award oleh Dewan Kesenian Jakarta 2022 sebagai Naskah Terbaik. Ada juga Rizal Iwan dengan naskah berjudul Pindah sebagai pemenang Naskah Potensial pada sayembara yang sama, Rawayan Award. Keduanya merupakan peserta Kelas Menulis Lakon gelombang pertama (2021). Lalu ada I.B. Uttarayana Rake Sandjaja, dengan karya Muspra, Jong Santiasa Putra, Manik Sukadana dengan naskah Panen Anak, Udiarti dengan naskah Dari Dalam Tubuh dan Wulan Dewi Saraswati yang terpilih untuk dibukukan oleh Kalabuku pada program Lelakon 2022, nama-nama tersebut menghasilkan naskah yang dikembangkan dalam Kelas Menulis Lakon maupun yang tidak ditulis selama kelas. Kelima orang ini merupakan peserta Kelas Menulis Lakon gelombang dua (2022).

Kami percaya bahwa penghargaan ini bukanlah salah satu tolok ukur keberhasilan para peserta, karena implementasi dari Kelas Menulis Lakon bisa beragam dan menjadi berhasil apabila para peserta merasakan dan mendapatkan manfaat yang nyata dari kelas ini sesuai kebutuhan yang mereka cari. Bentuk apresiasi dan pengakuan terhadap para peserta dari pihak-pihak luar merupakan bonus yang tentunya menyenangkan serta diharapkan dapat memotivasi calon peserta lain untuk bersama memelihara dan mengembangkan seni teater Indonesia terutama di bidang penulisan naskah lakon.

sidang PPKI 2 (1)

Menemukan Sejarah dari Kitab yang Hilang

Sepanjang Oktober hingga Desember 2022 setiap Selasa dan Kamis, Komunitas Salihara telah menyelenggarakan program Membaca Kitab yang “Hilang”: Risalah BPUPKI. Sebuah program yang berkolaborasi dengan Teater Ghanta, mengajak publik yang luas untuk membaca, mendiskusikan, dan memaknai apa-apa yang terjadi pada bulan-bulan sebelum Indonesia terbentuk. Peserta akan sama-sama membaca dengan memilih tokoh mana yang ingin diperankan. Pembacaan ini juga dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana pergulatan ideologi dan gagasan para tokoh pendiri bangsa untuk membentuk undang-undang, pembagian kewilayahan hingga siapa saja yang bisa disebut sebagai warga negara Indonesia. 

Teks notulensi sidang BPUPKI yang digunakan adalah teks pada Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) yang diterbitkan pada 1998 dan disusun oleh Muh. Yamin. Penyusunan notulensi sidang yang dilakukan oleh Muh. Yamin adalah sebuah kerja penting yang pada masa kini hingga masa ke depan menjadi sumber sejarah tentang semua perdebatan hingga fakta yang muncul pada suasana-suasana sidang pembentukan negara. Program ini memberikan kita kesempatan untuk membaca ulang bagaimana negara Indonesia ini bisa berdiri. 

Usai pembacaan, para peserta, tim Salihara dan teater Ghanta saling berdiskusi untuk mengutarakan analisis mereka tentang teks BPUPKI. Banyak pertanyaan dan kecurigaan muncul dari hasil pembacaan tersebut. Kecurigaan tentang aslikah teks yang dikumpulkan oleh Muh. Yamin hingga membayangkan bagaimana jika beberapa gagasan tokoh dalam sidang yang ditolak justru disepakati hingga hari ini. 

Sidang BPUPKI yang berlangsung pada akhir Mei hingga Agustus 1945 ini diketuai oleh Radjiman Wedyodiningrat dengan anggota di antaranya adalah Soekarno, Muh. Yamin, Hatta, Agoes Salim, Parada Harahap hingga Dahler. Dalam program Membaca Kitab yang “Hilang”: Risalah BPUPKI pembacaan dibagi dalam 25 sesi. Setiap sesi menampilkan konflik yang beragam dan muncul dari pidato beberapa tokoh yang mengutarakan gagasannya. 

 

Ketegangan Pada Setiap Sesi

Sesi pertama pada pembacaan ini dibuka dengan pembicaraan tentang Dasar Negara Indonesia dan diawali dengan pidato dari Muh. Yamin. Dalam pidatonya, Yamin  menguraikan poin-poin penting yang perlu dimasukkan ke dalam Dasar Negara. Poin-poin tersebut di antaranya adalah Peri- Kebangsaan, Peri- Kemanusiaan, Peri- ke-Tuhanan, Peri- Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat. Yamin menyampaikan bahwa bentuk Negara Indonesia yang merdeka berdaulat ialah suatu Republik Indonesia yang tersusun atas paham unitarisme. Yamin dengan tegas mempersembahkan lampiran suatu rancangan sementara berisi perumusan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. 

Apa yang diutarakan Yamin kemudian berlanjut pada tanggapan-tanggapan anggota lainnya pada sesi kedua hingga kelima dengan pembahasan tentang Dasar Negara Indonesia. Misalnya, pada sesi kedua Ki Bagoes Hadikoesoemo menyampaikan pendapatnya yang terkesan konservatif. Ia mengatakan bahwa Negara Indonesia baru yang akan datang itu berdasarkan agama Islam dan akan menjadi negara yang tegak dan teguh serta kuat dan kokoh, pernyataan ini berbeda dengan keinginan Yamin yang cenderung memandang masa depan Indonesia sebagai negara  dengan paham unitarisme. Terlebih lagi, Ki Bagoes mengutarakan pendapatnya dengan gaya yang meyakinkan dan cukup provokatif. Kemudian pada sesi-sesi berikutnya, gaya Ki Bagoes ini juga turut membakar semangat anggota yang lain untuk teguh dengan pendapatnya masing-masing. 

Ketegangan lainnya juga muncul pada pembacaan sesi ketiga yang banyak menyampaikan pendapat-pendapat dari Soepomo. Ada tiga poin penting yang disampaikan oleh Soepomo, tentang perhubungan negara dan agama, cara bentukan pemerintahan, perhubungan negara dan kehidupan ekonomi. Soepomo seperti hendak merespon apa yang disampaikan Ki Bagoes dengan menyetujui apabila negara juga berjalan beriringan dengan norma-norma yang ada pada agama.  Selain itu hal penting lainnya dari pendapat Soepomo bahwa negara hanya bisa adil, jikalau negara itu menyelenggarakan rasa keadilan rakyat dan menuntun rakyat kepada cita-cita yang luhur. 

Pembicaraan tentang bentuk negara pun masuk pada sesi keenam dan ketujuh. Muncullah tokoh-tokoh lainnya seperti Sanoesi, Soeroso, Dasaad, juga anggota perempuan Nyonya Soenardjo. Kemudian sesi kedelapan dan kesembilan memasuki pembahasan tentang wilayah negara. Pembahasan tentang wilayah negara ini juga tidak terhindar dari perdebatan dan ketegangan. Misalkan perdebatan tentang apakah Papua masuk dalam wilayah Indonesia atau bukan hingga muncul keputusan sementara bahwa daerah yang masuk pada Indonesia merdeka adalah Hindia Belanda, ditambah dengan Malaya, Borneo Utara, Papua, Timor-Portugis, dan pulau-pulau sekitarnya.

 

Hak Individu dalam Undang-Undang

Penyusunan rancangan Undang-Undang Dasar dan panitia perancang Undang-Undang Dasar dibahas pula pada pembacaan sesi ke-10 hingga sesi ke-23. Dalam penyusunan ini salah satu hal yang menarik adalah pernyataan Soekarno tentang tidak perlunya menaungi soal hak-hak individu dalam Undang-Undang Dasar. Soekarno menolak adanya falsafah individualisme dalam negara yang memicu adanya persaingan antar individu sehingga memunculkan kapitalisme dan imperialisme bahkan peperangan. 

Apa yang dikemukakan oleh Soekarno kemudian dijawab oleh Hatta. Hatta pun tidak sependapat dengan adanya falsafah individualisme, namun Hatta memberikan tawaran bahwa penting bagi sebuah negara untuk mendengar dan menampung suara rakyat. Rakyat memiliki hak individu untuk mengeluarkan suara dan pendapat. Hatta membayangkan Indonesia kelak akan menjadi negara yang didirikan sebagai negara pengurus dan tidak menjadi negara kekuasaan dan negara penindas. 

Pada akhir sesi pembacaan yaitu sesi 25, segala pendapat-pendapat para tokoh pun telah sampai pada Rancangan Undang-Undang Dasar Sementara dan Piagam Jakarta. Membaca ulang jejak penting dalam sejarah melalui Membaca Kitab yang “Hilang”: Risalah BPUPKI adalah juga menyaksikan bagaimana terjadinya transfer pengetahuan para tokoh pendiri bangsa kepada publik yang lebih luas.

sri-astari

Obituari: Sri Astari Rasjid (1953-2022)

Sri Astari Rasjid mulai diperbincangkan di kancah seni rupa ketika menjadi ketua penyelenggara Biennale Seni Rupa Jakarta IX (1993-1994), sebuah pameran seni rupa kontemporer Indonesia. Biennale IX adalah perhelatan besar dan sempat menimbulkan kontroversi sepanjang sejarah TIM (Taman Ismail Marzuki) setelah Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (1975). Biennale IX dikuratori oleh Jim Supangkat dan mengusung gagasan seni rupa pascamodern, perhelatan ini menjadi salah satu peristiwa yang sangat berpengaruh dalam menumbuhkan gagasan, praktik, dan wacana seni rupa Indonesia kontemporer.

 Astari memiliki peran penting dalam tata kelola seni, ia setara dengan peran perupa dan kurator.

 Astari adalah seorang perupa yang melahirkan banyak karya dengan pelbagai media dan ungkapan. Ia merambahi mulai dari seni lukis, fotografi, patung, objek, dan instalasi, sebagaimana yang pernah diperlihatkannya dalam Pameran 10 Perupa Perempuan di Galeri Salihara pada April 2009. Ia banyak mempercakapkan tentang perempuan dalam sebuah gambaran kontradiksi yang tak selesai-selesai di tengah modernisme. Ungkapan-ungkapan visual berupa kebaya dan simbol-simbol tradisi Jawa ditata bersamaan dengan simbol-simbol produk bermerek masa kini, dua dunia yang berjarak sekaligus bertaut.

Luasnya cakupan media yang dipakai oleh Astari sebagaimana terjadi pada seni rupa kontemporer, memungkinkan pelbagai gagasan baru muncul dalam karya-karyanya. Ia berhasil menyusupkan potret dirinya di antara simbol-simbol dan objek lain dalam karya-karya berbasis fotografi dan juga dalam lukisannya, terutama yang muncul pada 2000-an. Dalam karyanya hal definitif tentang lelaki dan perempuan saling mengaburkan bentuk dan karakter masing-masing. Seniman yang lahir di Jakarta, 26 Maret 1953 ini memang tampak berupaya keras beradaptasi dengan berbagai media dan keterampilan.

Pada 13 Januari 2016 di tengah penjelajahan seni rupa yang jauh dari selesai, ia didapuk menjadi Duta Besar RI untuk Bulgaria, Albania, dan Makedonia. Di tengah-tengah tugas yang tidak hanya berat tapi memerlukan adaptasi dan irama tersendiri pula, ia tetap berkarya dan berpameran. Hanya berjarak sebulan dari penunjukannya sebagai duta besar, ia bahkan menyelenggarakan pameran tunggal Yang Terhormat Ibu di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Di Bulgaria ia berhasil melobi museum terbesar dan bergengsi yaitu Museum Nasional Sofia, untuk memamerkan keragaman dan jenis-jenis kain—sebagian koleksi pribadinya, serta karya-karya seni rupa kontemporer perempuan Indonesia. Ia percaya bahwa seni dan budaya dapat menjadi pintu diplomasi yang baik. Kesungguhan dan reputasinya dalam dunia diplomasi itu pun mendapat pengakuan. Pada 25 Juni 2020, Presiden Bulgaria Rumen Radev memberi penghargaan Madara Horseman First Degree padanya.

Menjelang akhir jabatan sebagai duta besar pada 2020, ia sempat menulis dan menerbitkan buku Art Diplomacy. Alumni Sastra Inggris UI yang pernah belajar seni lukis di University of Minnesota dan Royal College of Art,  London ini telah menerjemahkan buku tersebut dalam bahasa Indonesia sebagai karya terakhirnya.

Sri Astari Rasjid meninggal dunia di Farrer Park Hospital, Singapura, pada 11 Desember 2022.