chekov

Mengenal Sosok Satrawan di Balik Pinangan

Sudah mendengar Drama Audio Salihara Pinangan episode pertama belum? Menunggu episode kedua tayang, kami merangkum beberapa informasi tentang drama Pinangan dan si pengarang Anton Chekhov untuk memperkaya pengalaman seni kamu setelah mendengar drama audio ini.

ANTON CHEKHOV DI INDONESIA

Anton Chekhov (29 Januari 1860 – 15 Juli 1904) adalah sastrawan Rusia di akhir abad 19 yang dijuluki Raja Cerita Pendek. Nama Chekhov mulai akrab di Indonesia sejak tahun 1950-an, melalui cerita-cerita pendeknya yang diterjemahkan di beberapa majalah budaya. Toto Sudarto Bachtiar, Asrul Sani, hingga Sapardi Djoko Damono adalah beberapa sastrawan yang pernah menerjemahkan (sekaligus memperkenalkan) karya-karya Chekhov ke publik Indonesia.

Beriringan dengan cerita-cerita pendeknya, beberapa naskah drama Chekhov disadur dan dipentaskan oleh para seniman teater di Indonesia. Beberapa di antaranya adalah monolog On the Harmful Effects of Tobacco (1886) atau Bahaya Racun Tembakau (terjemahan Suyatna Anirun dan Jim Adhi Limas), The Bear (1888) atau Orang Kasar (terjemahan W.S. Rendra), The Cherry Orchard (1904) atau Kebun Ceri (terjemahan Asrul Sani).

Adapun The Proposal atau A Marriage Proposal (1889) disadur oleh dua tokoh teater modern Indonesia: Jim Adhi Limas dan Suyatna Anirun menjadi judul Pinangan. Naskah itu kemudian dipentaskan oleh salah satu perintis teater modern Indonesia yaitu Studiklub Teater Bandung (STB) pada awal berdirinya mereka pada 1958 sampai 1960-an. Lembaga pendidikan kesenian pertama di Jakarta yaitu Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) yang didirikan oleh Asrul Sani dan Usmar Ismail pada 1955 juga kerap mementaskan naskah-naskah Chekhov.

Sampai hari ini naskah-naskah Chekhov pun masih menjadi favorit seniman teater Indonesia. Teater Koma membawakan Pinangan pada tahun 1983, Prodi Studi Teater IKJ membawakan Pinangan pada tahun 2015, Teater Kedai membawakan Penagih Utang pada tahun 2016, dan masih banyak lagi.

DIADAPTASI KE LAYAR LEBAR

Mungkin karena Pinangan punya daya tarik tersendiri di Indonesia, sutradara Sjuman Djaya mengadaptasi naskah ini ke layar lebar pada tahun 1976. Sjuman Djaya memasukkan unsur budaya lokal Indonesia, khususnya Betawi. Film itu dibintangi oleh aktor legendaris Benyamin Sueb dan Rima Melati.

Pada dasarnya, cerita dalam Pinangan kental dengan humor. Penambahan unsur lenong, bercandaan dan ejek-ejekan ala Betawi, membuat film ini pun terasa dekat dengan masyarakat kita. Adegan perang mulut antara Ical bin Japri (Benyamin) dan Roro Melati (Rima) tentang siapa pemilik sebenarnya empang “budeg” sungguh membuat penonton terbahak-bahak.

Sebelumnya, Sjuman Djaya juga pernah mengadaptasi cerita pendek Chekhov berjudul “The Death of a Government Clerk” (1883) menjadi film yang berjudul Si Mamad (1974). Film yang dibintangi oleh Mang Udel itu pun menyabet Piala Citra 1974 untuk Film Cerita Panjang Terbaik.

DI BALIK PINANGAN DAN KOMEDI CHEKHOV

The Proposal (1888–1889) atau Pinangan ditulis pada masa Chekhov berada dalam kondisi kesehatan yang memungkinkan ia bepergian ke berbagai tempat di Rusia. Demikianlah ia bisa memotret kelucuan perihal pernikahan orang kaya di sebuah desa di Rusia pada akhir abad 19, seperti yang kita temukan di Pinangan.

Kelucuan itu terasa mudah dilakukannya, karena di awal karir, Chekhov memang banyak menulis karya yang dimuat di Fragments, sebuah majalah humor mingguan Rusia. Dari tahun 1882 hingga 1887 majalah Fragments telah menerbitkan kurang lebih 270 karya Chekhov.

Berbeda dengan penulis-penulis Rusia lain seperti Fyodor Dostoyevsky dan Leo Tolstoy, Chekhov menawarkan komedi satire, serta sisi lain yang sangat personal di setiap karakter-karakter yang ia ciptakan.

Tidak heran, si Raja Cerita Pendek pun ternyata bisa menulis naskah drama yang sarat ironi dan humor seperti Pinangan. Naskah ini pertama kali dimainkan di Saint Petersburg dan Moskow pada tahun 1890 dan menjadi populer di kota-kota kecil lain di Rusia.

AKHIR HAYAT CHEKHOV

Usia Anton Chekhov, si Raja Cerita Pendek yang juga bekerja sebagai dokter, bisa dibilang tidak panjang. Sebagai dokter, ia banyak mengabdikan diri di desa-desa, dan bahkan pernah terlibat memberantas wabah kolera 1892-1893 di Rusia. Tapi menjalani dua profesi (pengarang dan dokter) secara bersamaan sepertinya mengganggu fisik dan kesehatannya. Tahun-tahun terakhir, ia menderita tuberkulosis (TBC).

Pada masa-masa terakhir itu ia tak lagi menciptakan cerita-cerita pendek, dan hanya menciptakan naskah-naskah drama. Tapi berbeda dengan naskah yang ia tulis pada kondisi kesehatan yang baik, naskah-naskah terakhirnya tidak seriang Pinangan. Bahkan ada satu naskah yang ditutup dengan peristiwa bunuh diri. Penyakit yang ia derita semakin parah, dan Anton Chekhov akhirnya meninggal dunia dalam usia 44 tahun, tepatnya pada tanggal 15 Juli 1904.**

ajip1

Obituari Ajip Rosidi

Ajip Rosidi—mula-mula ditulis “Ajip Rossidhy—memasuki gelanggang sastra Indonesia pada usianya yang masih belia di era 1950-an. Ia dilahirkan di Jatiwangi, Jawa Barat, pada 31 Januari 1938. Ia telah menulis sastra pada usia 13 tahun, pada mulanya karya-karyanya diterbitkan di majalah sekolah, kemudian di majalah orang dewasa. Pada usianya yang ke-21 tahun, ia telah menerbitkan empat kumpulan prosa (Tahun-tahun Kematian, Di Tengah Keluarga, Sebuah Rumah buat Haritua, Perjalanan Penganten) tiga kumpulan sajak (Pesta, Cari Muatan, Ketemu di Jalan—bersama Sobron Aidit dan S.M. Ardan) dan sebuah buku kumpulan ulasan Cerita Pendek Indonesia.

Ajip adalah generasi penyair yang bereaksi terhadap warisan Chairil dan Angkatan 45. Sajak-sajaknya, begitu juga prosanya, ditulis dengan pendekatan autobiografis yang mencoba merawat hubungan yang akrab pembaca dengan dunia kultural Sunda dan kota-kota besar setelah Revolusi. Meski tidak sepenuhnya berhasil mengolah pengaruh Chairil Anwar dan Sitor Situmorang, seraya menjernihkan daya ucap puisi-puisinya, Ajip menegaskan kembali tegangan antara kampung halaman sebagai masa silam dan kota besar hari ini sebagai harapan kaum urban dan dia selalu tertarik untuk kembali ke masa silam yang indah. Sebuah romantisisme yang lebih lunak ketimbang yang dijalankan penyair generasi Pujangga Baru.

Perhatiannya bukan hanya berfokus kepada penulisan karya sastra, tetapi juga penelitian dan sejarah sastra, bunga rampai sastra, ensiklopedia, bahkan penerbitan dan dunia perbukuan. Pada 1962 ia mendirikan penerbit Kiwari di Bandung, selanjutnya Tjupumanik, Duta Rakyat, Pustaka Jaya, Girimukti Pasaka dan Kiblat Buku Utama. Pustaka Jaya, khususnya, berperan amat penting dalam menerbitkan buku-buku sastra (asli dan terjemahan) pada masa 1970-an hingga sesudahnya. Ia juga ikut mendirikan dan mengelola majalah Budaya Jaya yang telah memuat tulisan-tulisan bermutu tentang sastra dan budaya di era yang sama. Pada 1977 ia menerbitkan bunga rampai karya sastra Indonesia Laut Biru Langit Biru, sebuah upaya yang juga pernah diusahakan H.B. Jassin dan Sutan Takdir Alisjahbana di era sebelumnya. Bahkan sesuatu yang ensiklopedis melalui Ensiklopedi Sunda (2000) setebal 719 halaman tentang alam, manusia dan budaya Sunda.

Komitmennya untuk mempertahankan bahasa daerah sebagai media ungkap sastra daerah diwujudkannya dengan menyelenggarakan pemberian Hadiah Sastra Rancage pada 1989, yang pada setiap tahun memilih karya-karya sastra terbaik dalam bahasa Sunda. Pada mulanya hanya karya sastra berbahasa Sunda, kemudian berkembang ke karya sastra berbahasa Jawa, Madura, Bali, Lampung. Pemberian Hadiah Rancage, meskipun sering kesulitan dana, telah merangsang penerbitan karya-karya sastra berbahasa daerah dan menghidupkan terus kreativitas di antara para penulisnya.

Meskipun tidak menyelesaikan sekolah Taman Madya (setingkat SMA), Ajip Rosidi adalah penulis yang kemudian mendapatkan kehormatan menjadi dosen sastra dan budaya di sejumlah perguruan tinggi di Indonesia. Termasuk ketika ia mengajar di sejumlah perguruan tinggi di Jepang dan mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa di bidang Ilmu Budaya dari Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran Bandung pada 2011.

Pada 29 Juli 2020 Ajip berpulang di desa Pabelan, Magelang, Jawa Tengah—desa yang ia pilih untuk menyepi di masa tuanya. Kita kehilangan seorang penulis yang tekun dan penuh semangat, ia yang bekerja keras memajukan bukan hanya sastra Indonesia, tetapi juga sastra Sunda dan sastra daerah lainnya. Beristirahatlah dengan damai, Ajip Rosidi.

20200625kompetisi_Page_1

Kompetisi Debat Sastra Tingkat SMA 2020

Pandemi COVID-19 tidak membuat semangat kami meredup dalam mengajak putra-putri terbaik bangsa Indonesia merayakan semangat kesusastraan dalam adu intelegensi serta pengetahuan pada Kompetisi Debat Sastra 2020.

Melalui kompetisi ini, kami menantang para siswa-siswi SMA/K dalam untuk beradu wawasan dalam membandingkan karya sastra dalam negeri dan luar negeri. Tahun ini karya yang diperbandingkan adalah novel “Lusi Lindri” karya Y.B. Mangunwijaya (Indonesia) dan memoar “Perempuan di Titik Nol” karya Nawal El Saadawi (Mesir).

Kedua karya ini berbeda genre tetapi memiliki kedekatan, yaitu dalam menggambarkan tokoh perempuan yang berhadapan dengan situasi zaman dan masyarakatnya. Membaca dua karya ini secara berdampingan akan memberi kita kesempatan untuk memahami masalah yang mirip sekaligus berbeda dalam perspektif yang lebih luas dan kaya.

Para juri akan menilai karya tulis berdasarkan mutu argumen, pendalaman dan penggalian masalah serta ketertiban dan keindahan bahasa Indonesia yang digunakan dan juga menilai keterampilan para peserta dalam menyampaikan gagasan secara lisan dan kekuatan argumen dalam perdebatan. Peserta yang lolos menuju babak final akan beradu kembali melalui debat daring yang diadakan pada Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2020.

Pendaftaran kompetisi ini dibuka mulai dari 17 Juni hingga30 Agustus 2020. Pengumpulan makalah paling lambat 14 September 2020. Hadiah yang kami siapkan berupa: Juara 1 sejumlah Rp30.000.000, Juara 2 sejumlah Rp20.000.000, dan lima makalah favorit masing-masing Rp2.000.000.
Para peserta dapat melihat syarat serta ketentuan yang disediakan oleh Komunitas Salihara melalui web: tiket.salihara.org. Segera jadi bagian dalam sejarah edukasi dan menangkan total hadiah sebesar Rp60.000.000!

Untuk mengetahui detail pertunjukan, sila kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara atau hubungi: media@salihara.org/0822-2552-3959 (Muhammad Ridho)

20200625serigagasan_Page_1

Seri Gagasan Diskriminasi

07, 10, 14, 21, 24 Juni 2020

Diskriminasi dan rasisme, mau sampai kapan? ‘Stay A(r)t Home’ Kali ini kami akan menampilkan secara daring program-program yang pernah membahas soal diskriminasi dan rasisme di Indonesia dan dunia. Sebelumnya, yuk simak dulu tulisan berikut ini.

Diskriminasi terhadap suatu kelompok belum sepenuhnya hilang. Kasus meninggalnya George Floyd (25/05/2020) karena perlakuan polisi di Minneapolis, Amerika Serikat, adalah yang terbaru dari sekian banyak kasus diskriminasi di dunia.

Diskriminasi yang serupa dalam bentuk lain juga sering kita temukan di banyak negara, termasuk Indonesia. Sentimen dan diskriminasi terhadap warga Papua dan Tionghoa sejak masa kemarin sampai hari ini masih sering kita temukan.

Serta beberapa kasus diskriminasi lain terhadap Timor Leste (ketika masih menjadi bagian provinsi Indonesia), orientasi seksual, agama/kepercayaan minoritas, pilihan politik berbeda dan masih banyak lagi, seakan tidak pernah berakhir.

Mereka mengalami perisakan, persekusi bahkan pembunuhan karena dianggap berbeda dari warga mayoritas, yang punya lebih banyak kuasa, akses di parlemen, bahkan kecenderungan akan kekerasan bersenjata. Kasus-kasus diskriminasi dan mengalienasi kelompok minoritas di Indonesia atau di negara mana pun membuktikan adanya ketimpangan atau ketidakadilan.

Kenapa ini terus terjadi dan bagaimana kita bersikap untuk menghadapi hal ini? Komunitas Salihara berupaya, melalui seri program daring ini kita bisa belajar dari berbagai perspektif, seniman dan peneliti, tentang pentingnya menerima perbedaan sebagai bagian dari diri kita.

Program yang kami tampilkan juga menawarkan cara melihat sejarah dengan beragam narasi (inklusif), bukan hanya dari satu sisi (eksklusif) yang gagal membangun kebhinekaan. Sebagai pembuka, kita bisa menyimak penampilan kolaborasi seniman Indonesia, Indo-Belanda dan Suriname.

Pentas Sastra ini hendak menampilkan sudut pandang sejarah melalui cerita-cerita keluarga. Kita juga bisa menyimak tiga podcast tentang bagaimana menyikapi ujaran kebencian yang mendiskriminasi agama minoritas; melihat kembali keindonesiaan dan ketionghoaan; dan diskusi tentang akar kekerasan.

Selain itu, kami menyajikan ceramah Nancy Jouwe, peneliti Belanda yang sebenarnya dekat dengan Indonesia karena ia berasal dari keluarga yang mengungsi akibat peristiwa politik di Papua Barat pada 1960-an.

Tak ketinggalan, penampilan Felix K. Nesi yang membaca petikan dari Orang-Orang Oetimu, sebuah novel yang berlatar peristiwa kekerasan di sebuah tempat di Pulau Timor.

Semoga materi-materi ini bisa memberi fondasi yang kokoh bagi semangat kebhinekaan kita sebagai bangsa Indonesia. Terus ikuti informasinya di media sosial kami. #DiSeniSehat #StayArtHome

Untuk mengetahui detail pertunjukan sila kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara atau hubungi: media@salihara.org/0822-2552-3959 (Muhammad Ridho)

20200625senipertunjukan

Seni Pertunjukan dan Social Distancing: Beberapa Eksperimen

Diskusi Daring (Live)
Pembicara: Ria Papermoon, Yola Yulfianti, Hilmar Farid
Moderator: Nirwan Dewanto (Rabu, 17 Juni 2020)

Wabah Corona telah mengubah cara pandang kita terhadap dunia, manusia, masa kini, masa depan—segalanya. Produksi seni sekarang ini sepenuhnya mengandalkan presentasi daring, melalui jejaring media sosial, dengan kolaborasi yang tanpa batas.

Di samping itu, seni bukan melulu ekspresi yang indah dan subtil, tetapi juga punya kekuatan terapeutik atas trauma akibat pandemi. Pengelola museum seni rupa atau seniman pada umumnya melihat semua ini sebagai cara baru dalam melihat hubungan antara seniman, karya seni dan penikmatnya.

Dalam Situasi seperti ini status ontologis seni dipersoalkan kembali. Seni mengalami “pendefinisian kembali” karena berbagai perubahan yang terjadi akibat wabah yang mendunia dan tidak terduga sebelumnya.

Apakah sebenarnya seni itu? Siapa penikmat seni sekarang ini? Bagaimana ia bisa diakses di tengah penjarakan sosial seperti sekarang ini? Masih diperlukannya “seni tinggi” yang melulu berkutat pada nilai-nilai keindahan yang adiluhung? Ataukah yang kita perlukan sekarang ini adalah seni yang bisa menyembuhkan kita dari trauma? Yang bisa membuat kita bertahan lebih lama di tengah derita dunia ini? Apakah seniman itu sebenarnya? Di mana posisinya di antara derita dunia ini? Apakah akan ada genre baru seni setelah wabah global ini? Komunitas Salihara membuka wadah bagi pertanyaan-pertanyaan itu dalam diskusi daring yang disiarkan secara langsung.

Bersama: Maria Tri Sulistyani (Ria Papermoon), Yola Yulfianti, Hilmar Farid yang akan di moderator oleh Nirwan Dewanto. Diskusi ini akan mempersoalkan perkembangan terbaru di Indonesia dan dunia terkait dengan produksi seni.

Diskusi ini akan mempersoalkan kembali latar belakang filosofis produksi seni di satu sisi, di sisi lain akan meneroka upaya-upaya seniman dalam mengalami wabah global ini. Perbandingan situasi mutakhir wabah global ini dengan peristiwa yang mirip di masa silam, Perang Dunia Kedua misalnya, juga dimungkinkan.

Jika setelah Perang Dunia Kedua muncul pernyataan Adorno “Menulis puisi setelah Auswitcz adalah barbar”, apakah produksi seni setelah wabah Corona akan bernasib serupa. Saksikan diskusinya secara langsung via Youtube: Komunitas Salihara Arts Center, Rabu, 17 Juni 2020, 16:00 WIB.

Untuk mengetahui detail pertunjukan sila kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara atau hubungi: media@salihara.org/0822-2552-3959 (Muhammad Ridho)