teras

Risalah BPUPKI dalam “Rumah dengan Selembar Tikar”

Catatan pendek presentasi karya Aliansi Teras pada SIPFest 2024

 

Arsip pembentukan sebuah negara menjadi harta penting untuk merefleksikan kembali apa yang menjadi cita-cita bangsa dan apakah ia dapat terwujud di masa selanjutnya. Upaya merefleksikan kembali baik dari gagasan, visi dan tegangan-tegangan apa saja yang muncul ketika negara hendak dibentuk, dilakukan oleh kolektif teater Aliansi Teras melalui pembacaan dramatik risalah BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) bertajuk Rumah dengan Selembar Tikar. Pembacaan dramatik ini adalah bagian dari program Work In Progress SIPFest 2024 pada 17 Agustus lalu, sebuah program untuk mempresentasikan karya bertumbuh sekaligus ruang diskusi antara seniman dengan penontonnya. 

Naskah yang dibacakan pada presentasi tersebut adalah respons dari 300 halaman risalah BPUPKI yang telah disusun ulang. Pembacaan ini menggunakan teknik satu aktor memerankan lebih dari satu tokoh, misalnya KRT Radjiman Wedyodiningrat dan Mohammad Hatta diperankan oleh satu aktor, begitu pun dengan tokoh Mohammad Yamin, Oto Iskandar Dinata, Soepomo, Baswedan, dan Ki Bagoes Hadikoesoemo diperankan oleh satu aktor lainnya. Selain beberapa nama tokoh bangsa tersebut, Aliansi Teras juga memasukkan tokoh jembatan yaitu Seseorang yang dimainkan oleh satu aktor perempuan untuk membacakan teks narator. Aliansi Teras juga mencoba untuk mengikutsertakan penonton yang hadir dengan membagikan tiga kategori kertas bertuliskan Kerajaan, Republik, dan Lain-lain.  Setiap penonton akan mendapat satu kategori yang sudah disiapkan. Peran penonton pun dihadirkan sebagai peserta pertemuan BPUPKI yang pada momen tertentu akan memberikan suaranya untuk memilih bentuk negara yang diinginkan. 

Presentasi ini adalah percobaan pertama pembacaan dramatik risalah BPUPKI oleh Aliansi Teras, meski belum dengan halus menciptakan struktur dramatik dengan visual yang lebih mendukung dan adanya kontrak penonton untuk terlibat. Pembacaan dramatik Aliansi Teras ini telah membawa penonton mampu membayangkan bagaimana ketegangan yang terjadi saat pembentukan negara Indonesia. Narasi-narasi tentang batas wilayah dan kedaulatan, identitas warga negara, dan kehidupan beragama, memicu pertanyaan bagi Aliansi Teras tentang “negara ini punya siapa?”

Rumah dengan Selembar Tikar juga mengacu pada salah satu dialog Soekarno yang ditampilkan dalam video presentasi pembacaan ini.  

“Tuan mengatakan seakan-akan kami memerlukan perabotan, radio, dan ini dan itu sebelum kami kawin. Permintaan kami hanyalah membuat sebuah rumah dengan sehelai tikar.” 

(Soekarno, Pejambon 1945: Konsensus Agung Para Peletak Fondasi Bangsa, hal. 7-8)

Tikar juga dijadikan sebagai salah satu properti dalam pembacaan ini. Tikar berbahan jerami dipotong kotak seukuran tegel dan digunakan untuk permainan pola lantai aktor. Aktor akan berdiri di atas salah satu tikar dan akan berpindah ke tikar lainnya apabila berganti peran. Tikar di sini seolah seperti kedudukan atau posisi dan dapat menjadi makna yang lebih besar yaitu rumah, tempat tinggal dengan segala visi-misinya. 

Pembacaan dramatik Rumah dengan Selembar Tikar membuka impresi kita pada bagaimana negara ini dibentuk dan mempertanyakan kembali tentang cita-cita yang muncul dalam proses pembentukan tersebut. Selain Aliansi Teras, Work in Progress dalam SIPFest 2024 juga menampilkan seniman teater dan tari, antara lain Teater Gardanalla, Teater Asa, Try Anggara, Fitri Setyaningsih, dan Rheza Oktavia.

Sandiwara, Identitas, dan Yang Liyan dalam “Theatre and the Other Self”

Pintu masuk Galeri Salihara membawa kaki kita pada sebuah ruang gelap, sempit, dengan atap terpal, alas karpet, buntalan kain dan tumpukan bantal di pinggirnya. Sebuah cahaya temaram memperlihatkan sepasang kerangka telapak kaki berjinjit di sudut kiri. Ruang sempit seperti lorong gelap tak lebih dari dua meter ini, membawa pengunjungnya pada perasaan ngeri usai disambut potongan kerangka manusia. Sepasang kaki yang terlepas dari kulitnya, berjinjit nyaris tak menapak lantai, ia seperti diasingkan di ujung kegelapan. Sedangkan alas di lorong ini selayaknya karpet bermotif lembut yang biasa membuat kita nyaman bergoler di rumah. Keluar dari lorong tersebut, sebelah kanan kita sudah ada kotak P3K menempel di tembok. Tak ada obat luka atau sekadar pereda nyeri, di dalamnya justru berbaris peluru yang masing-masing seukuran ibu jari.

Pengalaman pintu masuk tersebut mengingatkan pada kenyaman rumah, tempat tinggal, namun sekaligus menampilkan kengerian, asing dan kekerasan dari potongan kerangka dan peluru. Kenyamanan-kengerian, dua hal yang seperti berdampingan dalam ingatan-ingatan manusia. Kadang-kadang salah satunya dirindukan oleh perasaan manusia, atau bahkan memadukan keduanya menjadi kengerian yang cantik. Demikianlah ketika memasuki dan melihat pameran Theatre and the Other Self yang menampilkan karya dua perupa, Mujahidin Nurrahman dan Nesar Eesar. Dikurasi oleh Krishnamurti Suparka, pameran ini bekerja sama dengan Artsociates untuk menyuguhkan pengalaman estetika sekaligus reflektif bagi pengunjungnya. Pameran ini berlangsung sejak 16 November hingga 15 Desember 2024. 

Theatre and the Other Self menggunakan sandiwara sebagai simbol untuk menggambarkan dinamika sosial dan sejarah, bahwa Identitas tidak pernah menjadi sesuatu yang tetap, melainkan terus dinegosiasikan, dibentuk, dan diperdebatkan dalam konteks dialog global. Melalui karya-karya Mujahidin Nurrahman dan Nesar Eesar, konsep “diri” berada di antara wilayah personal dan sosial.

Bagi kedua seniman ini, konsep tentang “diri” telah lama dipengaruhi oleh narasi yang datang dari luar. Mujahidin Nurrahman memanfaatkan akar budaya dan keyakinan lokal untuk menciptakan karya yang memanfaatkan simbol-simbol tradisional yang sarat makna spiritual. Sebaliknya, Nesar Eesar berupaya mengkritisi dan merekonstruksi gambaran Timur yang selama ini terkungkung dalam stereotip orientalis serta narasi kolonial, seperti pada karya pertama di pintu masuk bertajuk Restless Soul #0 karya Nesar Eesar. Ia menghadirkan kondisi karpet bermotif khas gambaran Timur yang digelar dalam ruang pengungsian. 

Pameran ini menghadirkan eksplorasi dualitas antara “diri sendiri” dan “yang lain,” sebuah istilah yang merujuk pada konstruksi sosial terhadap kelompok atau individu di luar norma mayoritas. Dalam karya-karya Mujahidin Nurrahman dan Nesar Eesar membongkar narasi historis yang menempatkan Timur sebagai objek pasif dari imajinasi Barat dan membuka peluang bagi representasi baru yang lebih inklusif.

Dalam ruang pameran, pengunjung dihadapkan pada berbagai medium—lukisan, instalasi, dan elemen visual lain—yang menyelidiki bagaimana persepsi identitas dibentuk oleh sejarah kolonial, tradisi, dan dinamika politik kontemporer.

Pameran ini mengupas identitas sebagai fenomena dinamis, tidak pernah statis, dan selalu berada dalam proses pembentukan. Bagi kurator Krishnamurti Suparka, identitas bukanlah sesuatu yang sepenuhnya dimiliki individu, melainkan hasil dari interaksi sosial yang rumit. Alih-alih menghilangkan ketegangan antara “diri” dan “yang liyan,” pameran ini menjadikan kontradiksi tersebut sebagai sumber inspirasi untuk mengurai bagaimana identitas dan persepsi saling berinteraksi dalam kehidupan kontemporer.

Melalui eksplorasi yang kritis, pameran ini mengundang kita untuk meninjau ulang konsep representasi dan inklusi, serta mempertimbangkan bagaimana citra “yang lain” memengaruhi cara kita memahami diri sendiri dan sesama. Di tengah dunia yang semakin terkoneksi, garis pemisah antara “aku” dan “mereka” menjadi semakin kabur, membuka ruang bagi dialog baru yang mendalam dan reflektif.

Theatre and the Other Self mengajak kita untuk merenungkan identitas sebagai sesuatu yang dinamis, selalu dinegosiasikan di tengah pergulatan sosial dan politik. Melalui karya Mujahidin Nurrahman dan Nesar Eesar, pameran ini membongkar lapisan-lapisan narasi yang membentuk gagasan tentang “diri,” sekaligus menyoroti bagaimana dinamika budaya, sejarah, dan kekuasaan terus memengaruhi cara kita memahami diri sendiri dan orang lain.

akting24

Dinamika Kota dan Humor Dewasa dalam Pentas Kelas Akting Salihara 2024

Sabtu 30 November 2024 | Kota dan Topeng-Topeng yang Ganjil | 20:00 WIB 
Minggu, 01 Desember 2024 | JATAH | 16:00 WIB
Teater Salihara

 

Jakarta, 25 November 2024 – Di penghujung 2024, Komunitas Salihara kembali hadir dengan pementasan Kelas Akting Salihara; menampilkan lakon bertajuk Kota dan Topeng-Topeng yang Ganjil yang dipentaskan oleh peserta Tingkat 1 dan JATAH dipentaskan peserta Tingkat 2. Pentas ini akan diselenggarakan pada 30 November dan 1 Desember 2024 di Teater Salihara yang disutradarai langsung oleh Rukman Rosadi selaku pengampu dari Kelas Akting Salihara.

Kelas Akting Salihara merupakan program reguler yang diselenggarakan setiap tahun; kelas dibagi dalam Tingkat 1 dan Tingkat 2. Dalam program ini, peserta akan mendalami metode keaktoran dengan Sistem Stanislavski selama tiga bulan dan kelas ini bisa diikuti oleh siapa saja yang tertarik untuk menyelami seni peran tanpa menimbang latar belakang keaktoran masing-masing peserta. Pada akhir kelas, para peserta harus mempresentasikan hasil latihan mereka dalam bentuk sebuah pementasan yang bisa dilihat pada Sabtu dan Minggu pekan ini.

Kurator Teater Komunitas Salihara, Hendromasto Prasetyo mengatakan tujuan utama dari program Kelas Akting ini adalah untuk mendistribusikan pengetahuan kepada mereka yang tertarik mendalami seni peran. Hasil dari pelatihan ini tentunya dapat diimplementasikan sesuai kebutuhan masing-masing peserta dalam kehidupan sehari-hari.

“Program ini sejak awal didesain untuk menjadi ruang mendistribusikan pengetahuan yakni seni peran. Kita percaya seni peran tidak hanya berguna bagi para aktor di panggung atau di depan kamera, tetapi juga bisa untuk keseharian. Bagaimana seni peran dapat dipahami semua orang tanpa peduli latar belakangnya. Jadi hadirnya kelas ini adalah untuk mereka bisa mendalami dan mengimplementasikannya sesuai dengan kebutuhan masing-masing.”

Sejalan dengan visi Kelas Akting Salihara yang bisa membantu peserta mendalami dan mengimplementasikan materi ke personal masing-masing; berbagai latar belakang pun menghiasi peserta Kelas Akting tahun ini. Salah satunya adalah Arief Ramadhan, engineer yang tertarik mendalami dunia seni peran lewat Kelas Akting Salihara. 

“Saya tertarik belajar akting karena melihatnya sebagai pengembangan soft skill yang berguna dalam karir. Dalam akting kita belajar untuk berekspresi, membentuk citra diri, hingga membaca lawan bicara. Kemampuan ini relevan untuk semua manusia, termasuk engineer.” ujar Arief.

Lewat kelas ini, Arief berharap pembelajaran yang didapat dapat meningkatkan kecerdasan emosional, seperti lebih bisa berempati, memahami perspektif orang lain, dan mengekspresikan diri yang kelak dapat berguna untuk kehidupan sehari-hari.

Selain Arief yang merupakan peserta Tingkat 1, ada Ratih Kumala–Penulis Gadis Kretek–yang menjadi peserta Kelas Akting Salihara Tingkat 2. Menurut Ratih yang mengikuti Tingkat 1 di tahun sebelumnya, pembelajaran yang dirasakan begitu berbeda. Tingkat 1 fokus terhadap pembangunan fondasi sebagai seorang aktor sedangkan Tingkat 2 lebih ke proses ke dalam keaktoran itu sendiri.

“Jika di tingkat 1 adalah fondasi yang diberikan oleh mentor kami, Mas Rukman Rosadi, untuk mempersiapkan diri menjadi ‘aku aktor’, maka di tingkat 2 ini adalah proses benar-benar masuk ke ‘aku peran’. Dan karena kelas akting untuk teater, saya merasa tantangannya jauh lebih besar daripada aktor film. Bagi saya yang sehari-hari bekerja sebagai penulis, ini adalah modal yang penting untuk proses kreatif menulis.” Ujar Ratih. 

Informasi pembelian tiket untuk pertunjukkan Kota dan Topeng-Topeng yang Ganjil dan JATAH dapat dilakukan di tiket.salihara.org dengan harga donasi sebesar Rp50.000,-. Kedua pentas dengan durasi 60 menit ini akan menampilkan hasil pembelajaran selama ± 3 bulan yang dikembangkan tidak hanya oleh sutradara namun juga secara kolektif bersama dengan seluruh peserta.

 

Tentang Pentas:

 

Kota dan Topeng-Topeng yang Ganjil
Penampil: Kelas Akting Salihara Tingkat 1 2024
Sutradara: Rukman Rosadi
Sabtu, 30 November 2024 | 20:00 WIB

 

Sinopsis:

Kota dan Topeng-Topeng yang Ganjil menggambarkan dinamika kota yang secara sadar atau tidak kerap menuntun penghuninya untuk memiliki banyak topeng dalam kesehariannya. Yang terlihat dalam ruang publik seperti di kantor, berbeda dengan apa yang nampak di tempat nongkrong, dan berbeda pula ketika di ruang privat. Situasi tersebut memantik tegangan yang membuat lupa tentang wajah asli diri sendiri.

Kota dan Topeng-Topeng yang Ganjil adalah kolase pengalaman personal dan kolektif para peserta Kelas Akting Salihara Tingkat 1 2024. Karya ini bermula dari kepingan cerita masing-masing peserta yang mereka olah selama kelas berlangsung dan kemudian dijahit oleh sutradara menjadi keping-keping cerita dalam Kota dan Topeng-Topeng yang Ganjil.

 

Daftar Pemain:

Ahmed Dwiky Febrian, Alvino Owen Susilo, Arief Ramadhan, Ayu Kenar Briliane Mulia, Bela Nabila, Boetje Bismart, Denny Kristianto, Ferdinand Pavel Gunawan, Ibnatalain Jasin, Idoan Marciano, Kamal Zidane Ardarifa, Kunti Dewanggani, Marshanda Ratna Jelita, Mochammad, Hisyam Hidayat, Muhammad Fahmi Rizki, Rio Masito Situmeang, Runny Rudiyanti, Sarah Azka Isrinadi / Sarazany, Sebastian Partogi, dan Shaquilla Rahmadina.

 

*JATAH

Penampil: Kelas Akting Salihara Tingkat 2 2024
Sutradara: Rukman Rosadi
Penulis Naskah: Farhan Arief & Ratih Kumala
Minggu, 01 Desember 2024 | 16:00 WIB

 

Sinopsis:

Di sebuah kampung yang permai, warga tengah gelisah. Tanah mereka dilirik investor sekaligus Caleg setempat untuk disulap jadi kawasan wisata. Para lelaki bersemangat menjual tanah, sementara istri-istri mereka tegas menolak. Beda pendirian itu berujung pada aksi mogok seks para istri agar suami-suami mereka mengubah sikap.

Jatah ditulis oleh Farhan Arief dan Ratih Kumala yang terinspirasi Lysistrata karya Aristophanes. Jatah dikembangkan bersama seluruh peserta Kelas Akting Tingkat 2 2024. Dalam prosesnya, masing-masing peserta bertugas menajamkan karakter sementara sutradara mengatur ansambel permainan untuk menjaga premis naskah komedi tersebut. Jatah adalah tantangan serius bagi para peserta kelas mengingat komedi sama sekali bukan soal mudah. 

* Pertunjukan ini untuk usia 18 tahun ke atas.

 

Daftar Pemain:

Attila Syah, Dina Amalina, Farhan Arief, Firly Savitri, Fitria Sari, Manik, Michelle Evelyn Tanoto, Muthi Trileva, dan Ratih Kumala

 

 

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________ 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

pameran

Komunitas Salihara x ArtSociates:
Memaknai Identitas antara “Diri Sendiri” dan “Yang Lain” dalam Theatre and the Other Self

Jakarta, 14 November 2024 – Komunitas Salihara bekerja sama dengan ArtSociates menggelar pameran dua seniman yang bertajuk Theatre and the Other Self. Pameran ini menampilkan karya-karya dari Mujahidin Nurrahman dan Nesar Eesar dan akan dibuka resmi pada Sabtu, 16 November 2024 di Galeri Salihara. Pameran yang dikuratori oleh Krishnamurti Suparka ini akan berlangsung hingga 15 Desember 2024.

Theatre and the Other Self menghadirkan sudut pandang unik tentang “diri” sebagai hasil negosiasi dari beragam pengaruh sosial, budaya, dan sejarah. Dalam pameran ini, sandiwara digunakan sebagai metafora kehidupan, mencerminkan dinamika identitas dalam percakapan global yang penuh perubahan. Karya-karya Nurrahman dan Eesar menyoroti gagasan tentang diri yang selalu berhadapan dengan “yang lain,” menunjukkan bagaimana konstruksi identitas tidaklah tetap dan selalu berkembang di bawah bayang-bayang pengaruh eksternal.

“Praktik berkarya Nurrahman dan Eesar melampaui narasi-narasi biografis. Keduanya membahas tema-tema keyakinan, kelokalan, dan simpangan antara yang pribadi dan publik, selagi mempertanyakan kerangka pengakuan dan penolakan dalam masyarakat yang langgeng hingga hari ini.” Ujar Krishnamurti dalam keterangan tertulis.

Kedua seniman dalam pameran ini, meski berasal dari latar budaya dan sejarah yang berbeda, memiliki pandangan yang sejalan dalam memaknai identitas sebagai sesuatu yang tak terhindarkan dari pandangan orang lain. Keduanya berasal dari generasi di mana Islam dipandang sebagai sesuatu yang asing, dengan stereotip yang menempatkannya sebagai ancaman bagi dunia Barat. Sebagai orang yang lahir dengan nama “pejuang iman” dan “cahaya rahmat,” Nurrahman dibayangi oleh beban stereotip yang telah dipupuk oleh propaganda global. Sedangkan bagi Eesar, pengasingan adalah bagian dari hidupnya. Ia lahir dan besar di Afganistan, ia menyaksikan konflik berkepanjangan di tanah kelahirannya. Baginya, Afganistan bukan hanya tempat konflik tetapi juga kenangan tentang keluarga, kepulangan, dan rasa kehilangan.

Melalui seni, Nurrahman dan Eesar mempertanyakan dan merebut kembali identitas mereka. Nurrahman kini memeluk namanya dalam karya-karyanya, menghadirkan potongan-potongan ornamen yang penuh simbolisme, sementara Eesar mengenang tanah kelahirannya melalui sapuan warna yang membawa ingatan masa lalu ke dalam komposisi baru. Kedua seniman ini menawarkan eksplorasi tentang “rumah” sebagai sesuatu yang tidak tetap, tetapi selalu berada di antara kehilangan dan penemuan kembali.

Narasi “diri” mereka diwarnai oleh pengaruh luar yang kuat, khususnya representasi Timur yang telah lama dikonstruksi oleh pandangan Barat. Pameran ini mengajak kita merenungkan bagaimana citra diri yang kita miliki sering kali ditentukan oleh konstruksi sosial yang terjadi di luar diri kita sendiri.

Di tengah masyarakat yang sedang sibuk membahas isu representasi dan inklusi, Theatre and the Other Self membuka ruang bagi kita untuk merenungkan tentang bagaimana persepsi terbentuk. Pameran ini mengajak kita untuk berpikir bagaimana konstruksi “keliyanan” terus memengaruhi interaksi dan pemahaman kita dalam kehidupan bermasyarakat saat ini. Pameran ini tidak hanya menampilkan karya seni, tetapi juga batas-batas persepsi, mendorong kita untuk terlibat secara kritis terhadap identitas yang dilihat, dipandang, dan dipahami di dunia yang batas antara “diri sendiri” dan “yang lain” semakin kabur atau bahkan semakin terhubung.

Pameran ini dapat dikunjungi mulai  16 November 2024 hingga 15 Desember 2024 (Senin & libur nasional tutup) di Galeri Salihara, dari jam 11:00 – 19:00 WIB. Pengunjung cukup membayar Rp50.000 (umum) dan RP25.000 (pelajar) untuk bisa menikmati pameran ini secara penuh. Informasi pembelian tiket bisa melalui tiket.salihara.org.

 

Tentang Seniman

Mujadihin Nurrahman (Bandung) memiliki karya yang khas, yaitu karya berbasis kertas yang dipotong-potong menjadi ornamen arabes yang cantik dan amat rinci, namun mengambil bentuk yang berseberangan secara ide, seperti senapan, peluru, hingga roket misil. Lahir dari keluarga Islam yang taat, Mujahidin kerap membahas isu-isu seputar Islam serta stigma kekerasan dan terorisme yang kerap menyertainya.

Sedangkan Nesar Eesar (Afghanistan, kini tinggal di Bandung), belajar kaligrafi pada masa rezim Taliban (1996-2001), kemudian seni lukis realistik dan miniatur di Kabul. Karya-karyanya kerap menggambarkan kondisi Afganistan dan dampak perang terhadap masyarakat Afghanistan. Kini ia berfokus pada isu pengungsian dan migran dengan karya bergaya lukisan Miniatur bergaya tradisional dari abad ke-15 Herat, Afghanistan.

 

Tentang Kurator

Praktik Krishnamurti Suparka mencakup drawing, menulis, mengajar, dan mengkurasi. Karya dan konsep kuratorialnya merupakan refleksi mendalam atas kondisi masyarakat terkini, termasuk: 1) Dampak sejarah, teknologi dan kemajuan material terhadap alam dan penghuninya; 2) Tentang arus informasi dan dampaknya terhadap akuisisi pengetahuan dalam gaya hidup serba-meme dan masa pasca-kebenaran (post-truth); serta 3) Cara kerja bahasa dan kode-kode linguistik dalam dunia yang saling terhubung. 

Tentang ArtSociates

ArtSociates adalah manajemen seni dan seniman yang didirikan pada 2007 oleh Andonowati sebagai bagian dari Foundation AB. Tujuan utamanya adalah mempromosikan seniman-seniman Indonesia kepada audiens yang lebih luas, baik di tingkat nasional maupun internasional. Selain itu, ArtSociates juga berfokus pada pengelolaan industri kreatif dengan tujuan membangun sebuah ruang yang memantau perkembangan dan inovasi di bidang seni dan budaya.

Untuk mencapai tujuan tersebut, ArtSociates mengelola dan membina seniman-seniman yang diwakilinya dengan memperkuat kualitas mendasar dari karya mereka. Di saat yang sama, ArtSociates juga mengelola distribusi karya seni mereka dan meningkatkan kualitas portofolio seniman-seniman tersebut. Lebih lanjut, ArtSociates aktif mencari talenta baru dan inovatif melalui program penghargaan dua tahunan mereka, Bandung Contemporary Art Award.

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________ 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

foolish

Komunitas Salihara x Pesta Boneka 2024: Bawa Misi Penyelamatan Bumi lewat Foolish Doom

Jakarta, 01 November 2024 – Komunitas Salihara akan menghadirkan teater menarik yang bertajuk Foolish Doom persembahan dari Tiny Colossus Productions. Pertunjukan ini adalah bagian dari rangkaian acara Pesta Boneka–yang berpusat di  Yogyakarta–yang diselenggarakan oleh Papermoon Puppet Theatre  pada Sabtu, 09 November pukul 20.00 WIB dan Minggu, 10 November pukul 16.00 WIB. Dengan durasi sekitar 60 menit, pertunjukan ini dapat disaksikan oleh semua usia. .

Foolish Doom merupakan satu-satunya pertunjukan dalam rangkaian program Pesta Boneka on Wheels yang dipentaskan di luar Yogyakarta.Pentas ini mengangkat kisah petualangan seorang penyihir maha kuat bernama Burnhart dan rekan setianya, Pippa, yang datang ke Bumi dengan misi mulia: menyelamatkan dunia dari krisis iklim.

Di tengah kekacauan dan hiruk-pikuk suara manusia dengan solusi yang saling bertentangan, Burnhart dan Pippa harus mencari cara untuk mengatasi tantangan besar ini. Dengan menggabungkan teater fisik, boneka objek, dan musik live, Foolish Doom menghadirkan kisah inspiratif yang membangkitkan harapan, mengingatkan kita semua bahwa perubahan nyata dimulai dari pengakuan akan kekuatan yang dimiliki setiap individu. 

Foolish Doom pertama kali dipentaskan di Jerman pada Juni 2024 dan ini menjadi penampilan perdana bagi Tiny Colossus Productions di Jakarta setelah sebelumnya ia dipentaskan di Yogyakarta dalam festival Pesta Boneka.

 

Tentang Tiny Colossus Productions

Tiny Colossus Productions, yang didirikan oleh Peter Sweet dan Leonie Baker, dikenal melalui karya-karya yang menggabungkan teater fisik, boneka, dan musik. Dengan tema yang seringkali besar namun disajikan secara ringan dan menghibur, kelompok teater ini bertujuan menciptakan pengalaman teater interaktif yang menyentuh hati dan pikiran anak-anak, remaja, hingga orang dewasa.

Peter Sweet, seorang seniman asal San Francisco, AS, yang kini menetap di Berlin, telah berkarya sebagai aktor, sutradara, dan pengajar teater fisik selama lebih dari dua dekade.  Pertunjukan solo dan duo miliknya, Meet Pete Sweet, Swinging High, dan BOOM!, telah dipentaskan di lebih dari 20 negara.

Pendiri lainnya yakni Leonie Baker merupakan aktris dan produser asal Inggris yang tinggal di Berlin, Jerman. Selain memiliki latar belakang dalam tari dan piano, ia juga menguasai seni boneka dan animasi objek secara otodidak.

Pertunjukan ini semakin istimewa dengan kehadiran Matteo Destro, salah satu pembuat topeng dan sutradara paling berpengaruh dalam teater topeng. Matteo menimba ilmu bersama Jacques Lecoq di L’École Internationale de Théâtre di Paris, kemudian memperdalam seni pembuatan topeng dengan maestro ternama Donato Sartori. Ia turut mendirikan Teatro Punto pada 2000 dan Larven Teatro pada 2004, dan sejak 2015 ia memimpin pusat internasional Atelier Mask Movement Theatre.

Foolish Doom didukung oleh Goethe-Institut Indonesia, yang berperan aktif dalam mendukung pertukaran budaya dan seni antara Indonesia dan Jerman. Dukungan ini diharapkan dapat memperkaya pengalaman penonton Indonesia dengan kualitas seni pertunjukan berstandar internasional.

Bagi pengunjung yang ingin melihat keseruan dalam pertunjukan Foolish Doom dapat melakukan pemesanan tiket di tiket.salihara.org dengan harga Rp110,000 (Umum) dan Rp55,000 (Pelajar). 

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________ 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

Kesusastraan Frankofon dalam Mon Amour!

Catatan pendek dari LIFEs 2023: Mon Amour!

Sastra dan gagasan dari negeri maupun bahasa Prancis telah meluas ke wilayah-wilayah lain dunia. Melalui kolonialisme—dengan segala ironi dan paradoksnya—bahasa Prancis kini digunakan di negeri-negeri yang digolongkan sebagai Frankofon (di mana bahasa Prancis digunakan). Untuk merespons fenomena tersebut, LIFEs 2023 mengusung tema Frankofon dengan jargon Mon Amour! (“Cintaku!”, dalam bahasa Prancis). Jika kesusastraan Prancis lebih mencerminkan dinamika kehidupan khas Prancis dan Eropa, kesusastraan Frankofon adalah sebuah ruang besar yang menggambarkan kompleksitas identitas, keragaman budaya, isu-isu sosial, gender, ras, dan agama dalam konteks poskolonial, yang membentang dari tanah Afrika, negara-negara Maghribi, Timur Tengah, Asia Tenggara, hingga Kanada dan Karibia. Selain itu, Prancis juga memiliki jejak sejarah dan hubungan tersendiri dengan Indonesia. Pembahasan tersebut hadir dalam rangkaian program LIFEs 2023 dengan balutan diskusi, pameran, pembacaan dramatik, pemutaran film, lokakarya, dan pertunjukan. 

LIFEs 2023: Mon Amour! berlangsung pada 05 hingga 12 Agustus di Komunitas Salihara. Menampilkan sastrawan dan seniman dalam dan luar negeri, antara lain Amalia Yunus, Beni Satryo, Fitra Yanti, Pinto Anugrah, Andya Primanda, Jean Couteau, musisi Monita Tahalea, Jean-Baptiste Phou, Johary Ravaloson, Zack Rogow, Elisabeth D. Inandiak, Goenawan Mohamad, Martin Suryajaya, seniman teater Lorri Holt, Asmara Abigail, Elghandiva  Astrilia,Sha Ine Febriyanti, Sri Qadariatin, dan grup musik Klassikhaus. Selain itu, LIFEs juga mengundang beberapa pembicara melalui Undangan Terbuka Menulis Makalah Prancis dan Frankofon dalam Sastra dan Gagasan yang berkolaborasi dengan Program Studi Prancis Universitas Indonesia. 

Salah satu program menarik LIFEs 2023 adalah pemutaran dua film karya Jean-Luc Godard, yaitu La Chinoise dan Le Mépris. Program ini bekerja sama dengan Kineforum untuk mengenang 343 hari Godard. Mengenang Godard adalah usaha untuk mengenang dan mengupas karya-karyanya bersinonim dengan sinema yang nonkonvensional. Jean-Luc Godard, dan gerakan French New Wave yang ia pelopori pada awal 1960-an menciptakan gelombang baru dalam sinema dunia. Inovasi dalam penyuntingan film yang bersifat eksperimentatif, lebih spontan dan jujur dalam penuturan cerita serta narasi, pengambilan gambar yang panjang, karya-karya yang berangkat dari tema-tema ideologis, eksistensialisme dan keresahan sosial, adalah kata-kata yang terdapat dalam “kamus sinema” Godard.

Pameran bertajuk Les Liasons Amoureuses hadir mewadahi hubungan mesra antara Indonesia dan negeri Frankofon melalui pameran buku-buku sastra, komik dan penelitian terjemahan. Pameran ini memperlihatkan sumbangsih karya-karya berbahasa Prancis serta para penerjemahnya untuk ditampilkan bagi pembaca Indonesia. Pemeran ini terbagi menjadi tiga wilayah. Wilayah pertama menampilkan komik-komik (bande dessinée) populer seperti Petualangan Tintin karya Hergé, Asterix karya René Goscinny dan Albert Uderzo, hingga novel grafis terkini, Persepolis karya Marjane Satrapi. Wilayah kedua memamerkan karya-karya sastra klasik dari Pangeran Kecil karya ‎Antoine de Saint-Exupéry, Memoar Hadrianus karya Marguerite Yourcenar hingga Malam yang Keramat oleh Tahar Ben Jelloun. Sedangkan wilayah terakhir menjejerkan terbitan-terbitan École française d’Extrême-Orient (EFEO), sebuah lembaga penelitian Prancis yang secara khusus meneliti kebudayaan di Asia. 

Makan Malam Sastra juga dihadirkan kembali bersama program Bintang-Bintang di Bawah Langit Jakarta. Menampilkan pembacaan karya oleh empat sastrawan muda yang menjadi bintang sekaligus mewakili tren dalam perkembangan sastra Indonesia mutakhir, yaitu tren tentang cerita silat, perihal tubuh dan citra-diri, puisi warna lokal dan puisi mbeling baru. Mereka adalah Amalia Yunus, Beni Satryo, Fitra Yanti, Pinto Anugrah. Musisi Monita Tahalea tampil membagikan pandangan dan gagasannya terhadap karya musisi Julien Oomen, seorang gitaris dan penulis lagu dari Belanda, ibunya berasal dari Prancis. Julien menjalani masa kanak di Indonesia, tempat sang ibu memperkenalkan ia pada gitar. Album Julien Les Cahiers de Marinette digarap dari puisi-puisi yang diam-diam disimpan ibunya, album ini juga bercerita tentang tiga generasi keluarga mereka. LIFEs 2023 juga menghadirkan dua program peluncuran buku, yaitu Surat Tentang Kekasih: Pembacaan Surat Menyurat Louis-Charles Damais dan Claire Holt menampilkan Marsha Habib dan Rizal Iwan sebagai pembaca dan Wabah dan Kolera karya Patrick Deville yang dibahas oleh penulis Andya Primanda. 

Jean Couteau, seorang intelektual, sejarawan seni dan pengulas seni budaya asal Prancis yang bermukim di Bali hadir dalam Ceramah Utama: Universalisme Prancis: Antara Imajinasi dan Realitas. Ceramah ini membahas tentang universalisme Prancis, dengan berbagai paradoksnya dan membahas pengaruh Prancis mutakhir yang bereaksi keras terhadap universalisme tersebut: pluralisme, dekonstruksi dan politik identitas. Program seminar dari Undangan Terbuka Menulis Makalah Prancis dan Frankofon dalam Sastra dan Gagasan, menampilkan narasumber terpilih antara lain Ferdy Thaeras, Joned Suryatmoko, Salira Ayatusyifa, Amos, Faiza Nuralifah Khairunnisa, Joesma Tjahjani, R.H. Authonul Muther, Ari Bagus Panuntun, Nilna Nabilatus Sholihah, dan Rifdah Aliifah Putri. Rangkaian program diskusi juga hadir dalam tajuk Klasik Nan Asyik: Membaca Dini, Sitor, dan Wing, Rewriting the World Map: Multilingual Writing Across Languages and Continents, Tamu dari Seberang, Venture of Language, Rancière untuk Seni Emansipatif Indonesia, Manusia, Mesin, Bahasa: Deleuze, Guattari, dsb, Puisi Mbeling, Prosa Merinding dan dan Kesetaraan Radikal dan Yang Tertindas. 

Selain menghadirkan program diskusi, pameran, dan pemutaran film, LIFEs 2023 menampilkan pembacaan dramatik dan pentas musik. Pembacaan dramatik oleh empat seniman peran yaitu  Asmara Abigail, Elghandiva Astrilia,Sha Ine Febriyanti, dan Sri Qadariatin dalam Erotika Feminis. Pembacaan dramatik ini menampilkan fragmen dari karya Anaïs Nin, Anne Cécile Desclos, Margueritte Duras, dan pemenang Nobel Annie Ernaux yang adalah penulis perempuan dengan karya-karya erotik. Klassikhaus tampil dalam konser Les Femmes sans Paroles, membawakan enam karya dari abad ke-17 hingga era kontemporer: Jacquet de La Guerre (1665), Pauline Viardot, Cécile Chaminade (1857), Germaine Taillefer (1892), hingga Betsy Jolas (1926). Pentas musik ini adalah perjalanan waktu spesial melalui ekspresi musik komponis perempuan. Selain itu ada pertunjukan monolog spesial dari Lorri Holt yang membawakan Colette Uncensored, sebuah monolog tentang kehidupan seru penulis Prancis Colette (1873–1954), yang punya banyak jejak bagi pemberdayaan perempuan, cinta alam, hingga pembebasan seksual. 

Untuk memberikan pengalaman secara langsung pada publik, LIFEs 2023 memiliki program lokakarya menulis cerita pendek, The Game of Writing bersama pengampu Johary Ravaloson, penulis dari Prancis yang lahir di Madagaskar. Program penting lainnya yang tidak kalah menarik adalah pemutaran dokumentasi wawancara antara penulis dan Direktur LIFEs 2023, Ayu Utami bersama tokoh-tokoh dari negeri Frankofon seperti filsuf Prancis Jacques Rancière, mantan pejuang kebebasan dan menteri luar negeri Aljazair Lakhdar Brahimi, kurator Arwad Esber dan penulis Grace Ly. Dari wawancara tersebut kita dapat membaca, mendedah dan mengetahui bagaimana kerja-kerja kesusastraan Prancis. 

LIFEs 2023: Mon Amour! memberikan pengalaman yang berharga mengenai perkembangan kesusastraan Frankofon yang berkaitan pula dengan Indonesia. Perhelatan sastra dan ide yang diadakan Komunitas Salihara setiap dua tahun ini penting untuk kita apresiasi, sebab tidak hanya menampilkan perkembangan sastra terkini, tapi menggarap tema agar ada kedalaman dalam keragaman aspek dan acara: sastra, filsafat, musik, teater, seminar, juga makan malam di bawah langit terbuka. Sampai jumpa pada LIFEs 2025 mendatang!

anubis

Anubis: Ritual Kematian dalam Balutan Puitis nan Humoris

Galeri Saliharanyaris gelap total. Numen Company, kelompok teater asal Jerman mengajak seluruh pengunjung memasuki ruangan. Di tengah panggung galeri, suasana alam kematian dimunculkan pada set sebuah makam dengan batu nisan dan sebuah lingkaran seperti altar mengelilinginya.. Suasana gelap sekaligus sendu di alam kematian semakin terasa setelah gong ketiga berbunyi. eorang aktor sebagai dalang dengan jubah hitam masuk ke tengah Galeri Salihara yang telah disulap menjadi ruang pertunjukan yang intim; bersiap untuk memulai ritual kematian dari Mesir Kuno bersama tokoh Anubis..

Lakon ini bertajuk Anubis, dibawakan oleh Numen Company dalam program u Salihara International Performing Arts Festival (SIPFest) 2024. Tibo Gebert, Direktur Artistik sekaligus dalang (puppeteer) dalam pementasan ini mengundang penonton untuk melihat Anubis dan dunia kematiannya melalui eksekusi panggung minimalis, namun penuh ketajaman misteri ketika pencahayaan panggung berpadu dengan pergerakan boneka Anubis. 

Sebagai kelompok teater boneka kontemporer, Numen Company dikenal akan karakteristiknya dalam menampilkan visual yang misterius, inventif, dan efektif. Anubis dalam cerita ini diambil dari kisah Anubis sang Dewa Mesir berkepala anjing jackal yang bertugas membimbing arwah-arwah ke dalam alam kematian. Selain membimbing, ia juga menimbang jiwa dari arwah-arwah tersebut untuk menentukan nasib mereka selanjutnya.

Dalam pertunjukan berdurasi 30 menit ini, Anubis datang menaiki perahu dari sisi kanan panggung; hendak memulai rutinitasnya. Boneka Anubis dimainkan oleh Tibo  dengan gerakan penuh wibawa layaknya dewa kematian yang misterius dan mengerikan. Mereka mulai mengekplorasi panggung, berjalan dengan langkah perlahan. Ia mengenakan jubah berwarna krem dengan tudung menutupi wajah dan bergerak harmonis dengan dalang yang mengendalikan. Selain mengeksplorasi ruang, Anubis melihat timbangan yang ia gunakan untuk mengukur jiwa manusia, hingga sesuatu yang tidak terduga terjadi; Anubis menari.

Semua kengerian dan nuansa mistis yang sudah dibangun berubah menjadi aktivitas yang jenaka. Anubis dengan rahang yang terbuka menari dari satu titik ke titik yang lain, serta bermain-main dengan timbangan sakral. Ia memberikan sisi lain yang jauh dari wibawa seorang dewa kematian Mesir kepada penonton.

Melihat Anubis yang humoris, nakal, dan ekspresif mengingatkan saya akan teknik Johari Window oleh psikolog abad 20, Joseph Luth dan Harrington Ingham. Sang dewa Mesir memperlihatkan jendela hidden di mana dia melakukan sesuatu yang mungkin hanya dia yang tahu. auh dari persona yang ia tampilkan di berbagai literatur dunia. Bila ditarik dari sisi empati, apakah gerakan menari, bercanda–diiringi musik yangt jenaka–, dan semuanya ia lakukan sebab ia bosan dengan rutinitas yang dijalani sejak awal peradaban manusia? Atau memang itu sifat aslinya yang tidak kita ketahui? Atau mungkin cerita ini juga ingin mengajak kita bagaimana memahami rasa kesepian yang begitu manusiawi dan ternyata  mengusik  dewa Agung Mesir?

Parodi yang ditampilkan dari Anubis menjadi salah satu tawaran eksperimen yang menarik dari Numen Company. Bagaimana dalam sebuah kesendirian, Anubis menemukan metode lain untuk menghibur dirinya. Tidak hanya itu, tawaran menarik lainnya adalah batas yang berbeda dari kebanyakan pemain boneka lainnya. Baik dalang dan Anubis adalah entitas yang berbeda, bukan merupakan suatu kesatuan. Di antara mereka terjadi interaksi dengan berdialog, menarik, dan bertatapan dalam sunyi.

Tibo mengatakan bahwa narasi puitis dari karya Death and the Fool oleh Hugo von Hofmannsthal dengan pertunjukan ini saling berkaitan. Nuansa dingin mengenai alam kematian dan kesepian yang dirasakan Anubis perlahan bangkit menuju akhir pertunjukan seiring dengan dibacakannya narasi-narasi puitis dari penggalan karya Hugo tersebut. Pertunjukan ini merupakan karya yang tepat bagi kita yang ingin merefleksikan kematian hingga rasa kesepian yang panjang dalam kemasan yang memanjakan panca indera.

 

lucy

One Single Action: Harmoni di Tengah Distorsi

Setelah enam tahun, Lucy Guerin Inc. —kelompok tari kontemporer asal Australia—kembali menginjakkan kakinya di panggung Salihara International Performing Arts Festival (SIPFest) 2024. Kali ini Lucy Guerin bersama dengan dua penarinya Amber McCartney dan Geoffrey Watson membawakan karya terbarunya One Single Action

One Single Action merupakan karya Lucy Guerin Inc. yang pertama kali dibawakan pada Juli 2024 dalam Festival Rising Melbourne, Australia. Karya ini dimulai oleh dua penari yang bekerja sama dalam irama yang sinkron mencapai satu tujuan; menghancurkan bola kaca yang tergantung. 

Adegan awal memperlihatkan penari wanita yang menggunakan palu memukul-mukul lantai diikuti penari pria. Keduanya begitu menyatu dalam irama gerak yang senada pula dengan scoring yang diputar. Bagaimana bisa? Berapa lama latihan yang dilakukan? Kira-kira seperti itulah reaksi yang terlintas saat melihat gerakan sinkron mereka yang tidak hanya seirama antar pemain namun juga dengan musik latarnya.

Gerakan repetitif yang dilakukan Amber dan Geoffrey dalam mencapai tujuan mereka mengunci fokus penonton, dari ujung atas kiri panggung bergerak diagonal ke kanan depan panggung dengan palu mereka. Setiap kali sampai di dekat bola kaca dan hendak memecahkan bola tersebut dengan palu, keduanya selalu gagal dan kembali lagi ke titik awal atau terkadang dimulai dari tengah panggung.

Greget! Begitu emosi yang terlintas setiap kali mereka mengurungkan niatnya memecahkan bola kaca. Hal yang mudah dilakukan di mata penonton namun begitu sulit diwujudkan, mau berapa lama mereka melakukannya? Namun di lain sisi, saya pun mendambakan gerakan-gerakan menarik lain yang mereka bawakan dengan multi-interpretasi yang disajikan dalam koreografi ini. 

Dalam catatan karya yang ditampilkan di laman web mereka, One Single Action merupakan kisah dua orang yang berkonspirasi untuk membuat perubahan bersama. Namun, ketika mereka berhasil dalam misi mereka, intensitas tindakan mereka menciptakan ketegangan dan ketidakpercayaan sehingga mereka terpecah belah tidak bisa didamaikan.

Membaca catatan tersebut ada rasa penasaran apa yang akan terjadi saat kaca itu pecah? Gerakan nan harmonis terus berulang hingga PRANG! Bola kaca–yang seperti bulan tersebut–akhirnya pecah, ada rasa lega yang akhirnya terbayarkan. Koreo memasuki babak kedua, penari laki-laki menata kembali apa yang sudah pecah tersebut dan menyusunnya ke dalam garis linier. Penari wanita; mengenakan jas hujan berbahan plastik tebal–dibantu oleh penari laki-laki– melengkapi dirinya dengan mikrofon di badan. 

Penari wanita tersebut dari ujung pecahan kaca yang telah disusun berguling; menciptakan suara ASMR renyah yang muncul dari gesekan kaca dan jas hujan plastik yang ia kenakan. Dari sini hingga akhir suasana menjadi berubah menjadi intens. Kedua penari seolah berkonflik, nuansa dari permainan lampu pun berubah, bukankah mereka tadi bekerja sama dalam memecahkan kaca? Konflik berakhir dengan kematian penari pria di panggung yang disebabkan oleh penari wanita. Ia lantas mengenakan atribut lain, yakni topeng berbentuk anjing dan menjelma menjadi binatang buas.

Ketegangan dan ketidakpercayaan yang tertulis dalam teks web Lucy Guerin Inc. seolah memberikan interpretasi pribadi: apakah sifat ‘binatang’ dalam diri akan muncul saat keteraturan (yang direpresentasikan oleh bola berbentuk bulan) bisa timbul saat hal tersebut hancur? Tanpa aturan manusia berlaku bagai binatang hingga mencelakai manusia lain–bahkan sebelumnya mereka baik-baik saja–apakah sebenarnya perubahan itu tidak diperlukan? 

Drama yang ditampilkan di atas panggung memberikan interpretasi yang luas bagi penonton terlebih saat memahami bahwa isu besar dalam pertunjukan ini mengangkat kompleksitas mengenai teknologi dan lingkungan sehingga kita juga bisa ikut berkontemplasi melalui alur yang diberikan. Namun demikian, dari makna yang hendak dicari dalam pertunjukan ini, One Single Action merupakan kemasan yang begitu menyenangkan. Permainan cahaya, sinkronitas dalam gerak dan suara, semuanya menyatu dalam harmoni yang memuaskan.

Lucy Guerin dan kedua penarinya tepat membawakan koreografi ini di Teater Salihara yang menjadikan pertunjukan ini begitu intim, eksperimental, dan berkesan.

alit

Gamelan Transendental ala Dewa Alit

Penulis: Ezra Reyhan M

Dewa Alit, komposer gamelan kontemporer, bersama grup musik Gamelan Salukat, pada 20-21 Agustus lalu, menampilkan pertunjukan Chasing the Phantom di SIPFest 2024. Dewa Alit menampilkan tiga repertoar bertajuk Ngejuk Memedi, Likad, dan Siklus, yang menggabungkan tradisi gamelan Bali dengan elemen modern.

Ngejuk Memedi adalah eksplorasi mistik tradisional Bali yang diharmonisasikan dengan sistem pelarasan baru. Inovasi ini menciptakan suara yang memadukan unsur musik Bali dan Barat, sehingga memberikan pengalaman auditif yang unik. Karya Likad, yang diciptakan selama pandemi, mencerminkan kecemasan Dewa Alit dan para musisi. Karya ini ditandai dengan struktur kompleks dan perubahan ritme yang mendadak, dan menciptakan dinamika penuh emosi yang menantang. Sementara itu, Siklus, satu-satunya repertoar yang bukan berasal dari album Chasing the Phantom, menonjolkan bagaimana modernisasi dapat membawa musik tradisional Bali ke dimensi baru. Setiap repertoar juga diperkaya dengan improvisasi dari para pemain, menjadikan setiap pertunjukan unik.

Pertunjukan ini terasa lebih spesial karena dimainkan secara langsung di Teater Salihara (berbeda saat pertunjukan daring, Musim Seni Salihara dalam karya GENETIC), sehingga membangkitkan getaran mistikal yang sulit dijelaskan. Suara gamelan yang menggema di teater menciptakan atmosfer transendental, menambah kedalaman pengalaman penonton. Penampilan ditutup dengan repertoar Ngejuk Memedi, yang dimulai dengan ritme bagaikan film fiksi ilmiah dan berakhir dengan nuansa tradisional, disertai dengan standing ovation dari penonton.

Dewa Alit berhasil menunjukkan bahwa tradisi gamelan tidak hanya dapat bertahan, tetapi juga berkembang. Ia memadukan elemen-elemen modern dengan esensi tradisional, menghasilkan harmonisasi baru yang jarang terdengar dalam komposisi gamelan klasik. Upayanya untuk memajukan kebudayaan gamelan Bali melalui teknik yang inovatif menciptakan pengalaman suara yang lain dari lainnya.

Salah satu aspek paling menonjol dari pertunjukan ini adalah penggunaan sistem pelarasan baru, yang menghasilkan warna timbral unik dan memperluas palet sonik gamelan. Ritme yang kompleks dan asimetris menambah dinamika musikal yang kaya, menjadikan Chasing the Phantom sebagai pengalaman yang sangat spesial. 

SIPFest 2024 menjadi panggung yang ideal bagi Gamelan Salukat untuk memperkenalkan inovasi ini kepada publik yang lebih luas. Pertunjukan ini tidak sekadar karya seni, tetapi juga merupakan pernyataan tentang identitas budaya Bali di era global. Dewa Alit telah membuktikan bahwa tradisi gamelan dapat terus relevan dengan konteks zaman tanpa kehilangan esensinya, sekaligus memperkaya khazanah musik Indonesia dan memperkenalkan gamelan Bali kepada khalayak yang lebih luas.

thumbnail loveis

LOVEISMADE TOBELIEVE

Made to Believe adalah proyek kedua dari grup jazz kontemporer LOVE IS. Grup ini beranggotakan Jason Mountario, Kelvin Andreas, Sri Hanuraga, dan Rainer James. Karya ini mengusung tema tentang ambiguitas pada puncak kebenaran. Baca catatan dibalik pentas LOVE IS di SIPFEST 2024: