Kesusastraan Frankofon dalam Mon Amour!

Catatan pendek dari LIFEs 2023: Mon Amour!

Sastra dan gagasan dari negeri maupun bahasa Prancis telah meluas ke wilayah-wilayah lain dunia. Melalui kolonialisme—dengan segala ironi dan paradoksnya—bahasa Prancis kini digunakan di negeri-negeri yang digolongkan sebagai Frankofon (di mana bahasa Prancis digunakan). Untuk merespons fenomena tersebut, LIFEs 2023 mengusung tema Frankofon dengan jargon Mon Amour! (“Cintaku!”, dalam bahasa Prancis). Jika kesusastraan Prancis lebih mencerminkan dinamika kehidupan khas Prancis dan Eropa, kesusastraan Frankofon adalah sebuah ruang besar yang menggambarkan kompleksitas identitas, keragaman budaya, isu-isu sosial, gender, ras, dan agama dalam konteks poskolonial, yang membentang dari tanah Afrika, negara-negara Maghribi, Timur Tengah, Asia Tenggara, hingga Kanada dan Karibia. Selain itu, Prancis juga memiliki jejak sejarah dan hubungan tersendiri dengan Indonesia. Pembahasan tersebut hadir dalam rangkaian program LIFEs 2023 dengan balutan diskusi, pameran, pembacaan dramatik, pemutaran film, lokakarya, dan pertunjukan. 

LIFEs 2023: Mon Amour! berlangsung pada 05 hingga 12 Agustus di Komunitas Salihara. Menampilkan sastrawan dan seniman dalam dan luar negeri, antara lain Amalia Yunus, Beni Satryo, Fitra Yanti, Pinto Anugrah, Andya Primanda, Jean Couteau, musisi Monita Tahalea, Jean-Baptiste Phou, Johary Ravaloson, Zack Rogow, Elisabeth D. Inandiak, Goenawan Mohamad, Martin Suryajaya, seniman teater Lorri Holt, Asmara Abigail, Elghandiva  Astrilia,Sha Ine Febriyanti, Sri Qadariatin, dan grup musik Klassikhaus. Selain itu, LIFEs juga mengundang beberapa pembicara melalui Undangan Terbuka Menulis Makalah Prancis dan Frankofon dalam Sastra dan Gagasan yang berkolaborasi dengan Program Studi Prancis Universitas Indonesia. 

Salah satu program menarik LIFEs 2023 adalah pemutaran dua film karya Jean-Luc Godard, yaitu La Chinoise dan Le Mépris. Program ini bekerja sama dengan Kineforum untuk mengenang 343 hari Godard. Mengenang Godard adalah usaha untuk mengenang dan mengupas karya-karyanya bersinonim dengan sinema yang nonkonvensional. Jean-Luc Godard, dan gerakan French New Wave yang ia pelopori pada awal 1960-an menciptakan gelombang baru dalam sinema dunia. Inovasi dalam penyuntingan film yang bersifat eksperimentatif, lebih spontan dan jujur dalam penuturan cerita serta narasi, pengambilan gambar yang panjang, karya-karya yang berangkat dari tema-tema ideologis, eksistensialisme dan keresahan sosial, adalah kata-kata yang terdapat dalam “kamus sinema” Godard.

Pameran bertajuk Les Liasons Amoureuses hadir mewadahi hubungan mesra antara Indonesia dan negeri Frankofon melalui pameran buku-buku sastra, komik dan penelitian terjemahan. Pameran ini memperlihatkan sumbangsih karya-karya berbahasa Prancis serta para penerjemahnya untuk ditampilkan bagi pembaca Indonesia. Pemeran ini terbagi menjadi tiga wilayah. Wilayah pertama menampilkan komik-komik (bande dessinée) populer seperti Petualangan Tintin karya Hergé, Asterix karya René Goscinny dan Albert Uderzo, hingga novel grafis terkini, Persepolis karya Marjane Satrapi. Wilayah kedua memamerkan karya-karya sastra klasik dari Pangeran Kecil karya ‎Antoine de Saint-Exupéry, Memoar Hadrianus karya Marguerite Yourcenar hingga Malam yang Keramat oleh Tahar Ben Jelloun. Sedangkan wilayah terakhir menjejerkan terbitan-terbitan École française d’Extrême-Orient (EFEO), sebuah lembaga penelitian Prancis yang secara khusus meneliti kebudayaan di Asia. 

Makan Malam Sastra juga dihadirkan kembali bersama program Bintang-Bintang di Bawah Langit Jakarta. Menampilkan pembacaan karya oleh empat sastrawan muda yang menjadi bintang sekaligus mewakili tren dalam perkembangan sastra Indonesia mutakhir, yaitu tren tentang cerita silat, perihal tubuh dan citra-diri, puisi warna lokal dan puisi mbeling baru. Mereka adalah Amalia Yunus, Beni Satryo, Fitra Yanti, Pinto Anugrah. Musisi Monita Tahalea tampil membagikan pandangan dan gagasannya terhadap karya musisi Julien Oomen, seorang gitaris dan penulis lagu dari Belanda, ibunya berasal dari Prancis. Julien menjalani masa kanak di Indonesia, tempat sang ibu memperkenalkan ia pada gitar. Album Julien Les Cahiers de Marinette digarap dari puisi-puisi yang diam-diam disimpan ibunya, album ini juga bercerita tentang tiga generasi keluarga mereka. LIFEs 2023 juga menghadirkan dua program peluncuran buku, yaitu Surat Tentang Kekasih: Pembacaan Surat Menyurat Louis-Charles Damais dan Claire Holt menampilkan Marsha Habib dan Rizal Iwan sebagai pembaca dan Wabah dan Kolera karya Patrick Deville yang dibahas oleh penulis Andya Primanda. 

Jean Couteau, seorang intelektual, sejarawan seni dan pengulas seni budaya asal Prancis yang bermukim di Bali hadir dalam Ceramah Utama: Universalisme Prancis: Antara Imajinasi dan Realitas. Ceramah ini membahas tentang universalisme Prancis, dengan berbagai paradoksnya dan membahas pengaruh Prancis mutakhir yang bereaksi keras terhadap universalisme tersebut: pluralisme, dekonstruksi dan politik identitas. Program seminar dari Undangan Terbuka Menulis Makalah Prancis dan Frankofon dalam Sastra dan Gagasan, menampilkan narasumber terpilih antara lain Ferdy Thaeras, Joned Suryatmoko, Salira Ayatusyifa, Amos, Faiza Nuralifah Khairunnisa, Joesma Tjahjani, R.H. Authonul Muther, Ari Bagus Panuntun, Nilna Nabilatus Sholihah, dan Rifdah Aliifah Putri. Rangkaian program diskusi juga hadir dalam tajuk Klasik Nan Asyik: Membaca Dini, Sitor, dan Wing, Rewriting the World Map: Multilingual Writing Across Languages and Continents, Tamu dari Seberang, Venture of Language, Rancière untuk Seni Emansipatif Indonesia, Manusia, Mesin, Bahasa: Deleuze, Guattari, dsb, Puisi Mbeling, Prosa Merinding dan dan Kesetaraan Radikal dan Yang Tertindas. 

Selain menghadirkan program diskusi, pameran, dan pemutaran film, LIFEs 2023 menampilkan pembacaan dramatik dan pentas musik. Pembacaan dramatik oleh empat seniman peran yaitu  Asmara Abigail, Elghandiva Astrilia,Sha Ine Febriyanti, dan Sri Qadariatin dalam Erotika Feminis. Pembacaan dramatik ini menampilkan fragmen dari karya Anaïs Nin, Anne Cécile Desclos, Margueritte Duras, dan pemenang Nobel Annie Ernaux yang adalah penulis perempuan dengan karya-karya erotik. Klassikhaus tampil dalam konser Les Femmes sans Paroles, membawakan enam karya dari abad ke-17 hingga era kontemporer: Jacquet de La Guerre (1665), Pauline Viardot, Cécile Chaminade (1857), Germaine Taillefer (1892), hingga Betsy Jolas (1926). Pentas musik ini adalah perjalanan waktu spesial melalui ekspresi musik komponis perempuan. Selain itu ada pertunjukan monolog spesial dari Lorri Holt yang membawakan Colette Uncensored, sebuah monolog tentang kehidupan seru penulis Prancis Colette (1873–1954), yang punya banyak jejak bagi pemberdayaan perempuan, cinta alam, hingga pembebasan seksual. 

Untuk memberikan pengalaman secara langsung pada publik, LIFEs 2023 memiliki program lokakarya menulis cerita pendek, The Game of Writing bersama pengampu Johary Ravaloson, penulis dari Prancis yang lahir di Madagaskar. Program penting lainnya yang tidak kalah menarik adalah pemutaran dokumentasi wawancara antara penulis dan Direktur LIFEs 2023, Ayu Utami bersama tokoh-tokoh dari negeri Frankofon seperti filsuf Prancis Jacques Rancière, mantan pejuang kebebasan dan menteri luar negeri Aljazair Lakhdar Brahimi, kurator Arwad Esber dan penulis Grace Ly. Dari wawancara tersebut kita dapat membaca, mendedah dan mengetahui bagaimana kerja-kerja kesusastraan Prancis. 

LIFEs 2023: Mon Amour! memberikan pengalaman yang berharga mengenai perkembangan kesusastraan Frankofon yang berkaitan pula dengan Indonesia. Perhelatan sastra dan ide yang diadakan Komunitas Salihara setiap dua tahun ini penting untuk kita apresiasi, sebab tidak hanya menampilkan perkembangan sastra terkini, tapi menggarap tema agar ada kedalaman dalam keragaman aspek dan acara: sastra, filsafat, musik, teater, seminar, juga makan malam di bawah langit terbuka. Sampai jumpa pada LIFEs 2025 mendatang!

anubis

Anubis: Ritual Kematian dalam Balutan Puitis nan Humoris

Galeri Saliharanyaris gelap total. Numen Company, kelompok teater asal Jerman mengajak seluruh pengunjung memasuki ruangan. Di tengah panggung galeri, suasana alam kematian dimunculkan pada set sebuah makam dengan batu nisan dan sebuah lingkaran seperti altar mengelilinginya.. Suasana gelap sekaligus sendu di alam kematian semakin terasa setelah gong ketiga berbunyi. eorang aktor sebagai dalang dengan jubah hitam masuk ke tengah Galeri Salihara yang telah disulap menjadi ruang pertunjukan yang intim; bersiap untuk memulai ritual kematian dari Mesir Kuno bersama tokoh Anubis..

Lakon ini bertajuk Anubis, dibawakan oleh Numen Company dalam program u Salihara International Performing Arts Festival (SIPFest) 2024. Tibo Gebert, Direktur Artistik sekaligus dalang (puppeteer) dalam pementasan ini mengundang penonton untuk melihat Anubis dan dunia kematiannya melalui eksekusi panggung minimalis, namun penuh ketajaman misteri ketika pencahayaan panggung berpadu dengan pergerakan boneka Anubis. 

Sebagai kelompok teater boneka kontemporer, Numen Company dikenal akan karakteristiknya dalam menampilkan visual yang misterius, inventif, dan efektif. Anubis dalam cerita ini diambil dari kisah Anubis sang Dewa Mesir berkepala anjing jackal yang bertugas membimbing arwah-arwah ke dalam alam kematian. Selain membimbing, ia juga menimbang jiwa dari arwah-arwah tersebut untuk menentukan nasib mereka selanjutnya.

Dalam pertunjukan berdurasi 30 menit ini, Anubis datang menaiki perahu dari sisi kanan panggung; hendak memulai rutinitasnya. Boneka Anubis dimainkan oleh Tibo  dengan gerakan penuh wibawa layaknya dewa kematian yang misterius dan mengerikan. Mereka mulai mengekplorasi panggung, berjalan dengan langkah perlahan. Ia mengenakan jubah berwarna krem dengan tudung menutupi wajah dan bergerak harmonis dengan dalang yang mengendalikan. Selain mengeksplorasi ruang, Anubis melihat timbangan yang ia gunakan untuk mengukur jiwa manusia, hingga sesuatu yang tidak terduga terjadi; Anubis menari.

Semua kengerian dan nuansa mistis yang sudah dibangun berubah menjadi aktivitas yang jenaka. Anubis dengan rahang yang terbuka menari dari satu titik ke titik yang lain, serta bermain-main dengan timbangan sakral. Ia memberikan sisi lain yang jauh dari wibawa seorang dewa kematian Mesir kepada penonton.

Melihat Anubis yang humoris, nakal, dan ekspresif mengingatkan saya akan teknik Johari Window oleh psikolog abad 20, Joseph Luth dan Harrington Ingham. Sang dewa Mesir memperlihatkan jendela hidden di mana dia melakukan sesuatu yang mungkin hanya dia yang tahu. auh dari persona yang ia tampilkan di berbagai literatur dunia. Bila ditarik dari sisi empati, apakah gerakan menari, bercanda–diiringi musik yangt jenaka–, dan semuanya ia lakukan sebab ia bosan dengan rutinitas yang dijalani sejak awal peradaban manusia? Atau memang itu sifat aslinya yang tidak kita ketahui? Atau mungkin cerita ini juga ingin mengajak kita bagaimana memahami rasa kesepian yang begitu manusiawi dan ternyata  mengusik  dewa Agung Mesir?

Parodi yang ditampilkan dari Anubis menjadi salah satu tawaran eksperimen yang menarik dari Numen Company. Bagaimana dalam sebuah kesendirian, Anubis menemukan metode lain untuk menghibur dirinya. Tidak hanya itu, tawaran menarik lainnya adalah batas yang berbeda dari kebanyakan pemain boneka lainnya. Baik dalang dan Anubis adalah entitas yang berbeda, bukan merupakan suatu kesatuan. Di antara mereka terjadi interaksi dengan berdialog, menarik, dan bertatapan dalam sunyi.

Tibo mengatakan bahwa narasi puitis dari karya Death and the Fool oleh Hugo von Hofmannsthal dengan pertunjukan ini saling berkaitan. Nuansa dingin mengenai alam kematian dan kesepian yang dirasakan Anubis perlahan bangkit menuju akhir pertunjukan seiring dengan dibacakannya narasi-narasi puitis dari penggalan karya Hugo tersebut. Pertunjukan ini merupakan karya yang tepat bagi kita yang ingin merefleksikan kematian hingga rasa kesepian yang panjang dalam kemasan yang memanjakan panca indera.

 

lucy

One Single Action: Harmoni di Tengah Distorsi

Setelah enam tahun, Lucy Guerin Inc. —kelompok tari kontemporer asal Australia—kembali menginjakkan kakinya di panggung Salihara International Performing Arts Festival (SIPFest) 2024. Kali ini Lucy Guerin bersama dengan dua penarinya Amber McCartney dan Geoffrey Watson membawakan karya terbarunya One Single Action

One Single Action merupakan karya Lucy Guerin Inc. yang pertama kali dibawakan pada Juli 2024 dalam Festival Rising Melbourne, Australia. Karya ini dimulai oleh dua penari yang bekerja sama dalam irama yang sinkron mencapai satu tujuan; menghancurkan bola kaca yang tergantung. 

Adegan awal memperlihatkan penari wanita yang menggunakan palu memukul-mukul lantai diikuti penari pria. Keduanya begitu menyatu dalam irama gerak yang senada pula dengan scoring yang diputar. Bagaimana bisa? Berapa lama latihan yang dilakukan? Kira-kira seperti itulah reaksi yang terlintas saat melihat gerakan sinkron mereka yang tidak hanya seirama antar pemain namun juga dengan musik latarnya.

Gerakan repetitif yang dilakukan Amber dan Geoffrey dalam mencapai tujuan mereka mengunci fokus penonton, dari ujung atas kiri panggung bergerak diagonal ke kanan depan panggung dengan palu mereka. Setiap kali sampai di dekat bola kaca dan hendak memecahkan bola tersebut dengan palu, keduanya selalu gagal dan kembali lagi ke titik awal atau terkadang dimulai dari tengah panggung.

Greget! Begitu emosi yang terlintas setiap kali mereka mengurungkan niatnya memecahkan bola kaca. Hal yang mudah dilakukan di mata penonton namun begitu sulit diwujudkan, mau berapa lama mereka melakukannya? Namun di lain sisi, saya pun mendambakan gerakan-gerakan menarik lain yang mereka bawakan dengan multi-interpretasi yang disajikan dalam koreografi ini. 

Dalam catatan karya yang ditampilkan di laman web mereka, One Single Action merupakan kisah dua orang yang berkonspirasi untuk membuat perubahan bersama. Namun, ketika mereka berhasil dalam misi mereka, intensitas tindakan mereka menciptakan ketegangan dan ketidakpercayaan sehingga mereka terpecah belah tidak bisa didamaikan.

Membaca catatan tersebut ada rasa penasaran apa yang akan terjadi saat kaca itu pecah? Gerakan nan harmonis terus berulang hingga PRANG! Bola kaca–yang seperti bulan tersebut–akhirnya pecah, ada rasa lega yang akhirnya terbayarkan. Koreo memasuki babak kedua, penari laki-laki menata kembali apa yang sudah pecah tersebut dan menyusunnya ke dalam garis linier. Penari wanita; mengenakan jas hujan berbahan plastik tebal–dibantu oleh penari laki-laki– melengkapi dirinya dengan mikrofon di badan. 

Penari wanita tersebut dari ujung pecahan kaca yang telah disusun berguling; menciptakan suara ASMR renyah yang muncul dari gesekan kaca dan jas hujan plastik yang ia kenakan. Dari sini hingga akhir suasana menjadi berubah menjadi intens. Kedua penari seolah berkonflik, nuansa dari permainan lampu pun berubah, bukankah mereka tadi bekerja sama dalam memecahkan kaca? Konflik berakhir dengan kematian penari pria di panggung yang disebabkan oleh penari wanita. Ia lantas mengenakan atribut lain, yakni topeng berbentuk anjing dan menjelma menjadi binatang buas.

Ketegangan dan ketidakpercayaan yang tertulis dalam teks web Lucy Guerin Inc. seolah memberikan interpretasi pribadi: apakah sifat ‘binatang’ dalam diri akan muncul saat keteraturan (yang direpresentasikan oleh bola berbentuk bulan) bisa timbul saat hal tersebut hancur? Tanpa aturan manusia berlaku bagai binatang hingga mencelakai manusia lain–bahkan sebelumnya mereka baik-baik saja–apakah sebenarnya perubahan itu tidak diperlukan? 

Drama yang ditampilkan di atas panggung memberikan interpretasi yang luas bagi penonton terlebih saat memahami bahwa isu besar dalam pertunjukan ini mengangkat kompleksitas mengenai teknologi dan lingkungan sehingga kita juga bisa ikut berkontemplasi melalui alur yang diberikan. Namun demikian, dari makna yang hendak dicari dalam pertunjukan ini, One Single Action merupakan kemasan yang begitu menyenangkan. Permainan cahaya, sinkronitas dalam gerak dan suara, semuanya menyatu dalam harmoni yang memuaskan.

Lucy Guerin dan kedua penarinya tepat membawakan koreografi ini di Teater Salihara yang menjadikan pertunjukan ini begitu intim, eksperimental, dan berkesan.

alit

Gamelan Transendental ala Dewa Alit

Penulis: Ezra Reyhan M

Dewa Alit, komposer gamelan kontemporer, bersama grup musik Gamelan Salukat, pada 20-21 Agustus lalu, menampilkan pertunjukan Chasing the Phantom di SIPFest 2024. Dewa Alit menampilkan tiga repertoar bertajuk Ngejuk Memedi, Likad, dan Siklus, yang menggabungkan tradisi gamelan Bali dengan elemen modern.

Ngejuk Memedi adalah eksplorasi mistik tradisional Bali yang diharmonisasikan dengan sistem pelarasan baru. Inovasi ini menciptakan suara yang memadukan unsur musik Bali dan Barat, sehingga memberikan pengalaman auditif yang unik. Karya Likad, yang diciptakan selama pandemi, mencerminkan kecemasan Dewa Alit dan para musisi. Karya ini ditandai dengan struktur kompleks dan perubahan ritme yang mendadak, dan menciptakan dinamika penuh emosi yang menantang. Sementara itu, Siklus, satu-satunya repertoar yang bukan berasal dari album Chasing the Phantom, menonjolkan bagaimana modernisasi dapat membawa musik tradisional Bali ke dimensi baru. Setiap repertoar juga diperkaya dengan improvisasi dari para pemain, menjadikan setiap pertunjukan unik.

Pertunjukan ini terasa lebih spesial karena dimainkan secara langsung di Teater Salihara (berbeda saat pertunjukan daring, Musim Seni Salihara dalam karya GENETIC), sehingga membangkitkan getaran mistikal yang sulit dijelaskan. Suara gamelan yang menggema di teater menciptakan atmosfer transendental, menambah kedalaman pengalaman penonton. Penampilan ditutup dengan repertoar Ngejuk Memedi, yang dimulai dengan ritme bagaikan film fiksi ilmiah dan berakhir dengan nuansa tradisional, disertai dengan standing ovation dari penonton.

Dewa Alit berhasil menunjukkan bahwa tradisi gamelan tidak hanya dapat bertahan, tetapi juga berkembang. Ia memadukan elemen-elemen modern dengan esensi tradisional, menghasilkan harmonisasi baru yang jarang terdengar dalam komposisi gamelan klasik. Upayanya untuk memajukan kebudayaan gamelan Bali melalui teknik yang inovatif menciptakan pengalaman suara yang lain dari lainnya.

Salah satu aspek paling menonjol dari pertunjukan ini adalah penggunaan sistem pelarasan baru, yang menghasilkan warna timbral unik dan memperluas palet sonik gamelan. Ritme yang kompleks dan asimetris menambah dinamika musikal yang kaya, menjadikan Chasing the Phantom sebagai pengalaman yang sangat spesial. 

SIPFest 2024 menjadi panggung yang ideal bagi Gamelan Salukat untuk memperkenalkan inovasi ini kepada publik yang lebih luas. Pertunjukan ini tidak sekadar karya seni, tetapi juga merupakan pernyataan tentang identitas budaya Bali di era global. Dewa Alit telah membuktikan bahwa tradisi gamelan dapat terus relevan dengan konteks zaman tanpa kehilangan esensinya, sekaligus memperkaya khazanah musik Indonesia dan memperkenalkan gamelan Bali kepada khalayak yang lebih luas.

thumbnail loveis

LOVEISMADE TOBELIEVE

Made to Believe adalah proyek kedua dari grup jazz kontemporer LOVE IS. Grup ini beranggotakan Jason Mountario, Kelvin Andreas, Sri Hanuraga, dan Rainer James. Karya ini mengusung tema tentang ambiguitas pada puncak kebenaran. Baca catatan dibalik pentas LOVE IS di SIPFEST 2024:

thumbnail catatan lokakarya

Catatan lokakarya Animal Pop Family

Jecko Siompo dikenal sebagai koreografer dengan eksplorasi gerakan hewan. Ia menyusun karya terbarunya bertajuk KUSUKUSU II sejak 2022. Salah satu fragmen menarik dalam karya ini adalah refleksi Jecko pada pulau Nusa Tenggara Timur dan menciptakan koreografi yang terinspirasi dari gerak-gerik binatang komodo. Sebelum dipentaskan di SIPFest 2024, fragmen gerakan komodo ini sempat ditampilkan oleh Jecko dan penari Animal Pop di depan warga lokal NTT. Presentasi itu disambut baik oleh warga. Baca ulasan lokakarya Animal Pop di SIPFEST 2024 melalui tautan di bawah:

Musim Seni Salihara 2022 dalam Hibrida

Catatan pendek Musim Seni Salihara 2022

Seni adalah cara kita memuliakan kehidupan. Kita pernah berada pada dua tahun lebih mengalami pandemi Covid-19 yang berlaku di seluruh dunia, seni tetap menjumpai kita, dengan cara apa saja, untuk mengingatkan bahwa hidup selalu berharga dan makin berharga. Juga melalui dunia maya. Kita tahu bahwa situasi karantina sosial telah memaksa kaum profesional mencari pelbagai cara baru supaya tata kehidupan berjalan baik. Demikian juga kaum seniman. Kematian, derita dan rasa sakit di sekitar tidak bisa menghentikan kreativitas. Di tengah perkabungan dan solidaritas, tentu kita bersyukur untuk segala keindahan, kehalusan dan kecerdasan yang tetap datang kepada kita melalui seni dan ilmu melalui kanal-kanal internet dan media sosial. Pada 2022, kita memasuki waktu untuk bisa berwajah cerah ketika, di ujung pandemi saat itu, kehidupan sosial kita mulai bersemi kembali.

 Bersemi kembali—dan berseni kembali. Bukan berarti bahwa di hari-hari pandemi lalu kita kekurangan seni. Bukan sama sekali. Bukankah begitu berlimpah hasil eksperimentasi dari kaum seniman di media daring, tidak sedikit pula yang memperbaharui selera dan wawasan kita? Namun ada waktunya seni mengambil tempat lagi di tengah kancah hidup kita bersama, yakni bahwa kita, pemirsa, hadir berhadapan langsung dengan karya-karya seni—hadir dengan segala degup tubuh dan nyawa kita. Pameran seni rupa dan pertunjukan teater, misalnya, adalah peristiwa yang—sebaik-baiknya—kita alami langsung.

Musim Seni Salihara 2022 adalah tawaran untuk menyambut datangnya musim semi setelah musim dingin interaksi sosial dalam dua tahun terakhir (2020-2022). Ini adalah saat ketika kita semua, dengan sikap riang sekaligus berhati-hati, mulai kembali ke gelanggang re-kreasi bersama, melazimkan diri lagi untuk menonton bersama. Dengan tetap merawat dan mengembangkan pelbagai cara komunikasi dan format seni yang tercapai di masa karantina sosial. Para seniman pertunjukan, misalnya, telah mengupayakan pelbagai karya yang bersifat—tentu bukan hanya rekaman pertunjukan mereka—videografis dan interaktif melalui medium daring. Itu sebabnya Musim Seni Salihara 2022 menampilkan pelbagai sajian langsung maupun sajian daring. 

Musim Seni Salihara adalah kelanjutan Salihara International Performing Arts Festival (SipFest), peristiwa dua tahunan yang pernah kami selenggarakan sejak 2008 hingga 2018. Musim Seni Salihara 2022, secara khusus menampilkan sejumlah hasil eksperimentasi dari para seniman boneka kontemporer. Nusantara sangat kaya akan khazanah teater boneka dan wayang, dan sudah semestinya seni pertunjukan dan seni rupa kita mengambil inspirasi dari padanya. Warisan itu pula yang hadir dalam sajian musik di Musim Seni Salihara. Sejumlah komponis Indonesia menghadirkan karya-karya yang bertolak dari, dan tentu memperkaya, khazanah musik gamelan kita. Sikap serupa pula tampak dari karya-karya para koreografer di gelanggang yang sama. Sementara itu, ada pula pembicaraan tentang warisan Teater Baru Indonesia secara daring.

 

Program luring hingga daring. 

Musim Seni Salihara 2022 menampilkan sejumlah koreografer Indonesia, yaitu Josh Marcy dengan karya Performing Spiral, sebuah karya tari yang tidak hanya menjadi sebuah pertunjukan, namun juga dibayangkan sebagai sebuah praktik terbuka dan refleksi tubuh dalam praktik sosial sehari-hari. Josh Marcy menggagas pemanggungan karya ini sebagai suatu peleburan dari praktik terbuka dengan pertunjukan tari. Fitri Setyaningsih dalam karya Sleep Paralysis mengolah pengalaman tindihan (sleep paralysis) dengan mengurai mekanisme tidur dan mekanisme bangun dari kondisi sleep paralysis. Kelompok tari dari Taiwan Cloud Gate, turut mewarnai Musim Seni Salihara 2022 melalui karya 13 Tongues yang ditayangkan secara daring. Dalam 13 Tongues, koreografer Cheng Tsung-lung mengubah ingatan masa kecilnya tentang ritual Tao dan hiruk pikuk kehidupan jalanan Bangka menjadi dunia fantasi.  

 

Komposer Indonesia Marisa Sharon Hartanto, bersama kelompok musiknya Bar(u)atimur Ensemble menampilkan pertunjukan musik Lewat Masa Kritis. Pertunjukan musik ini menampilkan Gamelan Sunda degung temprak dengan instrumen Barat (flute, dua violin, viola, dan selo) disertai vokal kontemporer yang membawa kita pada perenungan bunyi melalui koridor masa kritis. Dewa Alit dan Gamelan Salukat hadir secara daring dengan karya GENETIC, karya ini berangkat dari sebuah ide genetik yang dilihat sebagai transformasi bentuk. Sinta Wulur (Belanda) juga hadir secara daring melalui karya Ritual Bells, Global Gongs, sebuah konser teatrikal yang memiliki nuansa Timur dan Barat.

 

Komunitas Sakatoya dan Ugo Untoro berkolaborasi menampilkan karya Amongraga, pertunjukan teater boneka yang menggunakan teks Amongraga dari Serat Centhini untuk dikembangkan menjadi dialog, alur cerita, penentuan tokoh karakter, dan kebutuhan artistik pertunjukan. Kelompok teater asal Bandung, Wayang Motekar yang dipimpin oleh seniman Herry Dim menampilkan Let’s Save the Earth. Karya ini menunjukkan perkembangan Wayang Motekar dari masa sebelumnya yang meletakkan aspek penceritaan pada bahasa verbal melalui narasi dalang, kini bergeser menggunakan bahasa rupa dan bunyi. Musim Seni Salihara 2022 juga menghadirkan Pentas Bincang secara daring bertajuk Mengapa Seni Peran?, menampilkan Tatiek Maliyati  alumni ATNI generasi pertama yang melanjutkan studi teaternya hingga rampung di Department of Drama-Fine Arts, Carnegie-Tech Pittsburgh, Pennsylvania, Amerika Serikat, pada 1961. Pentas Bincang ini memperbincangkan ihwal teater dan seni peran. Terutama seni peran yang dikembangkan oleh lembaga pendidikan teater semacam Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI), tempat Tatiek belajar teater dan seni peran hingga selesai. Perbincangan menyoal teater juga hadir dalam program gagasan khusus yang dikemas secara daring, yaitu Fokus!. Program ini membicarakan perihal pertumbuhan teater di Indonesia dan menghadirkan narasumber tokoh-tokoh seni yang dekat dengan wacana teater seperti Matthew Isaac Cohen, N. Riantiarno, Barbara Hatley, Goenawan Mohamad, Cahyaningrum Dewojati, M. Yoesoef, Benny Yohanes, Slamet Rahardjo, Kurniasih Zaitun, Yudi Ahmad Tajudin , Arthur S. Nalan dan Ibed S. Yuga. 

 

Tidak hanya menampilkan karya terbaru, Musim Seni Salihara 2022 membuka akses untuk melihat kembali arsip dokumentasi video pertunjukan program Komunitas Salihara terdahulut. Di antaranya pertunjukan Butterfly Dream karya Arica Theater Company (Jepang), Transducer karya Speak Percussion (Australia), Monolog Sutan Sjahrir yang disutradarai Rukman Rosadi, dan Cablaka karya koreografer Otniel Tasman. Semua dokumentasi ini dapat dilihat secara daring melalui website Musim Seni Salihara yang saat itu beralamat musimseni.salihara.org. 

Pada 2024, Komunitas Salihara akan kembali menghadirkan karya-karya seniman terbaik Indonesia dan mancanegara melalui SIPFest 2024. Nantikan karya-karya terbaik yang hadir di Komunitas Salihara. Kunjungi sipfest.salihara.org untuk informasi jadwal dan daftar penampil SIPFest 2024!

WhatsApp Image 2024-09-19 at 16.54.21

Cinta dan Ingatan: Menghidupkan Kisah Cinta Masyarakat Metropolitan bersama Dansity

Jakarta, 14 September 2024 – Komunitas Salihara kembali dengan program tari, menghadirkan rangkaian pertunjukan tari kontemporer dari Dansity pada 21-22 September mendatang. Acara ini menghadirkan empat karya dari empat koreografer (Josh Marcy, Nudiandra Sarasvati, Siko Setyanto, & Yola Yulfianti) dengan tajuk Cinta dan Ingatan

Cinta dan Ingatan tumbuh dari narasi tentang kota sebagai tempat hubungan cinta berkembang dan bersemi yang dihadirkan dalam empat karya tari. Suasana kota yang energik, keindahan arsitektur, dan keragaman budaya dapat menjadi latar belakang yang memainkan peran penting dalam menghidupkan cerita-cerita cinta. Di sisi lain, kota juga menyimpan ingatan yang melibatkan rasa sakit atau kehilangan. Kota juga mencerminkan perubahan zaman dan transformasi hubungan cinta. Ingatan kolektif tentang kota dalam konteks cinta, berdampak pada bagaimana kita menghubungkan cinta dan ingatan dengan kota tersebut. Empat karya tari ini menghadirkan ingatan kolektif yang melibatkan memori bersama tentang pengalaman dan perasaan dalam cinta. 

Kurator Tari Komunitas Salihara, Tony Prabowo mengatakan bahwa Dansity selalu berkomitmen dalam memberikan inovasi di bidang tari melalui eksperimen lintas media dalam seni pertunjukan.

“Grup ini berfokus pada eksplorasi tari kontemporer dan eksperimen lintas medium dalam seni pertunjukan, dengan komitmen terhadap profesionalisme dan inovasi di bidang tari.

Cinta dan Ingatan merupakan sebuah pertemuan 3 koreografer dan penari yang proses penciptaannya mengutamakan latihan terbuka ( open rehearsal ) yang telah mereka lakukan sejak akhir tahun lalu. Dalam prosesnya, keberlangsungan karya bertumbuh ini membutuhkan feedback dan mendiskusikan langsung dengan penontonnya.”

“Peran dan konsistensi Salihara sebagai art center /presenter diharapkan bisa memberikan sumbangan dalam mendorong pertumbuhan serta perkembangan tari kontemporer di Indonesia,” lanjutnya.

Dalam pertunjukan yang akan dibawakan di Teater Salihara pekan ini, Dansity menghadirkan empat judul koreografi dengan detail;

 

1. The LoversKoreografer: Josh Marcy | Penari: Josh Marcy & Nudiandra Sarasvati 

Sabtu, 21 September 2024 | 20:00 WIB

The Lovers mempertunjukan dua manusia, dua medan yang bertemu, bertaut, dan kelindan. Karya ini berupa kolase imaji bernuansa romansa, yang justru menemukan pemaknaannya yang sekilas-kilas melalui disrupsi terhadap apa yang dibayangkan sebagai romantisme. The Lovers ingin bermain-main dengan gairah, lalu dengan dingin menyingkap hal-hal yang tersembunyi di balik penggambarannya—pada hantu ingatan, mesin kekuasaan, kematian dan lahir kembali.

 

2. Longing You

Koreografer: Yola Yulfianti | Penari: Sri Qadariatin & Savika Refa Zahira

Sabtu, 21 September 2024 | 20:00 WIB

Longing You terinspirasi dari ketegangan dan konsistensi yang muncul dari aksi Kamisan. Suatu gerakan yang diinisiasi oleh Maria Catarina Sumarsih, atau orang tua Bernadinus Realino Norma Irmawan, salah satu korban dari Tragedi Semanggi I, 1998. Ibu Sumarsih menjadi simbol keteguhan dan keberanian. Ia berkomitmen dan konsisten dalam melawan penindasan dan berjuang untuk memperoleh keadilan terhadap hak asasi manusia dan penegakan hukum. Eksplorasi antara gerakan yang intens dan ketidakseimbangan tubuh merupakan dasar dari proses penciptaan karya ini. Bagaimana tubuh merespons dan beradaptasi serta berinteraksi dinamis antara kontrol dan kekacauan. Bagaimana ketegangan dan ketidakstabilan dapat memengaruhi ekspresi tubuh.

 

3. Ketika Menyala

Koreografer: Nudiandra Sarasvati | Penampil: Nudiandra Sarasvati

Minggu, 22 September 2024 | 16:00 WIB

Karya terbaru Nudiandra berasal dari ketakutannya sendiri akan penuaan tanpa melakukan apa-apa. Waktu terus berjalan tanpa henti dan ia ingin menghentikannya. Namun, apa yang akan  dilakukan jika waktu benar-benar berhenti? Bisakah kita menanggung konsekuensinya? Karya ini adalah pertunjukan berdasarkan naskah yang ditulis oleh Nusa Wicastya. Ketika Menyala juga mengajak keterlibatan penonton dalam karya ini.

 

4. Tentang Kamu Dulu, Aku Nanti

Koreografer: Siko Setyanto | Penampil: Siko Setyanto

Minggu, 22 September 2024 | 16:00 WIB

Siko merefleksikan masa duka dan trauma yang berdampak besar pada kehidupannya. Proses berat, gejolak batin, penerimaan dan berdamai dengan kesedihan dirangkai dalam adegan sebagai perwujudan salam perpisahan terakhir dan doa bagi yang telah pergi menuju ketenangan abadi.

 

Untuk bisa melihat empat karya dari empat koreografer Dansity secara langsung, calon pengunjung bisa melakukan pemesanan tiket di tiket.salihara.org dengan harga Rp110.000 (umum) dan Rp55.000 (pelajar/mahasiswa). Untuk pertunjukan The Lovers dikhususkan untuk calon pengunjung yang sudah berusia 21 tahun ke atas. 

____________________________________________________________________________________

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________ 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

tandacinta

Salihara International Performing Arts Festival (SIPFest) 2024: Ruang Bebas untuk Seni Bermutu Tinggi

Jakarta, 12 September 2024 – Pertunjukkan Tanda Cinta oleh Teater Koma menjadi penanda berakhirnya Salihara International Performing Arts Festival (SIPFest) 2024 pada 31 Agustus lalu. Sebelumnya SIPFest–yang menjadi festival terbesar Komunitas Salihara di tahun ini–diselenggarakan selama 1 bulan penuh dari 02-31 Agustus menampilkan berbagai kesenian bermutu tinggi dari dalam dan luar negeri.

Teater Koma menjadi penutup yang manis, sebab pertunjukannya di SIPFest merupakan kemunculan pertama kali Teater Koma setelah terakhir pentas di Salihara 14 tahun yang lalu. Sutradara Tanda Cinta, Rangga Riantiarno mengatakan bahwa bisa bermain di SIPFest merupakan kesempatan yang luar biasa bagi Teater Koma,

“Menurut saya, (ketika) kita bingung dengan kondisi Jakarta tidak ada gedung pertunjukan (serupa Salihara), bersyukur banget ada Salihara. Sangat luar biasa memberikan ruang untuk seniman menyajikan karya yang entah work in progress atau yang sudah jadi. Penontonnya intim sekali, ada banyak lakon potensial yang bisa dimainkan di Salihara. 

Dan bisa bermain di SIPFest adalah kesempatan yang luar biasa, karena udah 14 tahun berlalu kami terakhir di sini, dan kenalan lagi dengan penonton Salihara.” terang Rangga.

SIPFest merupakan festival seni pertunjukan yang menampilkan beragam pertunjukan tari, musik, teater, dan juga lokakarya yang bisa diikuti mulai dari anak-anak hingga dewasa.

“Orde Seni Baru” menjadi jargon dalam SIPFest tahun ini. Dalam keterangan tertulis, Nirwan Dewanto  menjelaskan bahwa “kita” tidak hanya punya orde politik melainkan juga ada orde seni yang dapat mengajak kita memperbarui diri dan membuka ruang-ruang kreativitas yang tertutup oleh kekuasaan resmi,

“Seni bukan hanya mengatasi politik, tapi juga mengisi ruang-ruang yang tidak diisi oleh politik. Seni memberikan alternatif terhadap klise dan kemandegan yang dijajakan oleh politik. Seni mengajak kita memperbarui diri kita dan masyarakat kita. 

Seni itu menggoda, mengejutkan, sekaligus menyenangkan. Membuka ruang-ruang kreativitas yang tertutupi kekuasaan resmi. Kita memimpikan orde yang lain melalui kesenian. Kita menyurung orde kesenian, alih-alih orde politik, untuk mengembangkan kebangsaan dan kemanusiaan.” 

Selama satu bulan penyelenggaraan, Komunitas Salihara telah menampilkan 15 kelompok seniman termasuk seniman dalam rangkaian program Work in Progress (menampilkan karya yang masih dalam tahap pengembangan) untuk ditampilkan kepada publik Komunitas Salihara. Dalam festival ini Komunitas Salihara juga menampilkan kelompok seniman luar negeri, antara lain dari  Australia, Jerman, Korea Selatan, dan Malaysia.

Sejumlah tokoh seniman dan public figure tanah air juga turut menjadi saksi akan keseruan rangkaian pertunjukan festival ini seperti; Guruh Soekarno Putra, Dewa Budjana, Maudy Koesnaedi, Ladya Cheryl, dan masih banyak lagi.

Untuk Melihat berbagai ulasan dari rangkaian program yang berjalan di SIPFest 2024, Anda bisa membacanya secara lengkap di blog.salihara.org. Dalam blog tersebut terangkum berbagai kegiatan seputar rangkuman pertunjukan yang telah dipentaskan dalam festival ini. Untuk jadwal pertunjukan dan buku program SIPFest 2024, sila mengunduh di sipfest.salihara.org.

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

__________________________________________________________________ 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

Screenshot_1

Komunitas Salihara Mendapatkan
Penghargaan Internasional dari The Japan Art Association

Jakarta, 10 September 2024 – Komunitas Salihara mendapatkan “The Praemium Imperiale Grant for Young Artists” dari The Japan Art Association atas upaya dalam merawat kebebasan berpikir dan berekspresi melalui penyediaan ruang kepada seniman-seniman muda di Indonesia. Penghargaan ini diberikan langsung oleh Hisashi Hieda (Direktur the Japan Art Association) pada 10 September, pukul 18:00 waktu setempat di Hotel Okura, Tokyo. 

Nirwan Dewanto (Direktur Utama) dan Ening Nurjanah (Direktur Program) mewakili Komunitas Salihara dalam konferensi pers dan serah terima tersebut. Acara penyerahan penghargaan ini dihadiri dan diliput oleh 60 media massa Jepang dan internasional.

The Praemium Imperiale Grant for Young Artists didirikan pada 1997 dengan tujuan mendukung dan mendorong kegiatan para seniman muda yang sejalan dengan visi dan misi Japan Art Association.

Penganugerahan ini diberikan setiap tahun kepada seniman maupun organisasi yang secara aktif berkontribusi pada pengembangan bakat artistik para generasi muda. Untuk bisa mendapatkannya, calon penerima harus melalui beberapa kriteria tertentu salah satunya merupakan seniman / lembaga seni profesional atau sedang dalam pelatihan menjadi profesional.

Direktur Utama Komunitas Salihara, Nirwan Dewanto menanggapi penganugerahan ini dengan bangga lewat keterangan tertulisnya, 

“Anugerah yang kami terima hari ini merupakan hal yang penting bagi kami, Komunitas Salihara dan juga komunitas seni di Indonesia, terutama dalam tiga hal. Pertama, hal ini mengingatkan kami agar selalu berada di garda depan dalam mendorong perkembangan talenta baru baik di panggung nasional dan internasional.

Kedua, pengakuan internasional seperti ini dapat membuat lembaga kami semakin ‘nyata’ di mata audiens Indonesia, serta mendorong kami untuk memperluas jaringan dengan seniman dan pemangku kepentingan seni di tingkat global.

Dan yang ketiga, ini adalah pengingat bagi semua orang di Indonesia bahwa ekosistem kita, yang begitu kaya akan warisan seni yang beragam, masih perlu membangun strategi yang lebih baik dalam mengembangkan bakat-bakat baru, mungkin melalui hibah seni, penghargaan yang adil, dan lain sebagainya bagi seniman serta penyelenggara seni.” 

Komunitas Salihara Arts Center merupakan institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta. Dalam mewujudkan seni yang berkelanjutan dan merawat kebebasan berpikir dan berekspresi, Komunitas Salihara hadir dengan berbagai program-program unggulan seperti:

  1.  Kelas Publik: Kelas Menulis Kreatif, Kelas Menulis Lakon, Kelas Akting, dan Kelas Filsafat 
  2. Undangan terbuka yang ditujukan untuk seniman/organisasi baru (emerging): Helatari (Tari), Helateater (teater), dan Salihara Jazz Buzz (musik)
  3. Festival skala internasional: Festival Sastra dan Gagasan (Literature and Ideas Festival – LIFEs) dan Festival Seni Pertunjukan Internasional (Salihara International Performing Arts Festival – SIPFest)
  4. Pameran (kontemporer, kesejarahan, hingga pameran lintas-disiplin)

Dalam pidato penerimaan, Nirwan Dewanto menyatakan, bahwa upaya Salihara dalam mendukung para seniman muda adalah bagian dari misi yang lebih luas untuk merawat kemerdekaan, demokrasi dan perdamaian di lingkungan masyarakat dunia.

Pada acara tersebut diumumkan juga para pemenang the Praemium Imperiale Award 2024, yaitu Ang Lee (sutradara film, Taiwan), Doris Salcedo (pematung, Kolombia), Sophie Calle (fotografer, Prancis), Maria Joao Pires (pianis, Portugal) dan Shigeru Ban (arsitek, Jepang).

___________________________________________________________________ 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org