?????????????????????????????????

Pameran Rupa Panggung: Sepilihan Skenografi Indonesia Hadir di Galeri Salihara

06 Juli – 04 Agustus 2024 | Selasa – Minggu | 11:00 – 19:00 WIB

Jakarta, 04 Juli 2024 – Dalam upaya memperkenalkan salah satu unsur produksi panggung dalam dunia teater, Komunitas Salihara menyelenggarakan sebuah pameran dengan tajuk Rupa Panggung: Sepilihan Skenografi Indonesia. Skenografi–dalam keterangan tertulis yang dibuat oleh Kurator Galeri Salihara, Asikin Hasan–adalah sisi seni rupa dalam pertunjukan dan merupakan bagian penting dalam pentas teater dan tari.

Perwujudan skenografi antara lain berbentuk komposisi tata panggung, cahaya, suara, unsur gambar, dan aroma. Skenografi menjadi penting sebab seorang skenografer dapat memberikan pengalaman inderawi serta menyakinkan penonton akan suatu dunia dalam panggung pertunjukan.

Rupa Panggung di Galeri Salihara ini adalah pameran yang sangat langka, bahkan belum pernah diadakan di Indonesia. Kami menampilkan beberapa skenografi terpilih dalam bentuk rancangan, foto, sketsa, maket dan rekonstruksi-bagian, dari sejumlah pentas tari dan teater dalam 50 tahun terakhir. Ini adalah pameran dokumentasi yang menunjukkan skenografi sebagai tulang punggung bagi khazanah seni pentas Indonesia. Mari kita saksikan karya-karya para pemuka skenografer kita, antara lain Roedjito, Danarto, Jay Subyakto.” Terang Direktur Program Komunitas Salihara, Nirwan Dewanto.

Di Indonesia kesadaran pada pentingnya skenografi dalam pentas teater sudah ada di awal abad ke-20, seiring dengan tumbuhnya sandiwara modern ketika bentuk-bentuk komedi stambul beringsut ke arah tonil (teater). Dalam perkembangannya, kehadiran Taman Ismail Marzuki (TIM) di masa awal Orde Baru menempatkan skenografi sebagai medan kerja sama antara orang-orang yang bertugas dalam tata panggung, properti, musik, cahaya, hingga busana.

Di era Orde Baru tersebut muncul nama-nama penting yang bekerja untuk skenografi pertunjukan antara lain seniman Roedjito, Danarto, dan Rusli. Pameran ini hendak menghadirkan kerja skenografi dalam berbagai aspek pertunjukan yang menghubungkan skenografi dengan penyutradaraan, aktor-aktor, dan naskah secara keseluruhan. 

Secara khusus, pameran ini menghadirkan karya, pemikiran dan berbagai aspek pertunjukan teater dan tari Indonesia seperti Sumur Tanpa Dasar, Danarto, Teater Kecil (1971), Dhemit, Roedjito, Teater Gandrik (1987), Sampek Engtay, Sjaeful Anwar, Teater Koma (1988), Biografi Yanti setelah 12 Menit, Teater Sae (1992), The Birds, Farida Oetoyo, Ballet Sumber Cipta (2001), Ariah, Jay Subyakto, Atilah Soeryadjaya (2011) dan Nggiring Angin, Roedjito, Bagong Kusudiarjo (1986), baik melalui rekonstruksi, maket, sketsa, serta dokumentasi foto dan video. Pameran ini menunjukkan panggung pertunjukan di Indonesia tak pernah jauh dari seni rupa dan para pelakunya.

Rupa Panggung: Sepilihan Skenografi Indonesia akan dibuka pada 06 Juli 2024 di Galeri Salihara, 16:00 WIB yang dapat dikunjungi secara gratis dengan mengisi tautan: Bit.ly/rsvpskenografi. Setelahnya, pameran ini dapat dikunjungi hingga 04 Agustus 2024 setiap Selasa-Minggu dari 11:00-19:00 WIB. Bagi calon pengunjung yang tertarik untuk hadir dalam pameran ini dapat membeli tiket sebesar Rp35.000 (umum) dan Rp25.000 (pelajar) dengan mengunjungi tiket.salihara.org

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________ 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

bannersipfest2024-D

TENTANG SIPFEST 2024: ORDE SENI BARU

Setiap dua tahun—yaitu pada tahun genap, seperti tahun 2024 ini—kami menghadirkan sebuah program sangat istimewa yang berlangsung selama sebulan penuh. Program ini bernama SIPFest, Salihara International Performing-arts Festival.

Boleh dikatakan bahwa SIPFest adalah puncak dari seluruh program kami selama dua tahun terakhir.

Pada SIPFest kali ini akan hadir para seniman maupun kelompok seni tari, teater dan musik dengan reputasi tinggi maupun mereka yang muda-segar dan akan menjadi penting di tahun-tahun mendatang.

Para penampil dari Australia, Jerman, Korea Selatan, Malaysia, dan Indonesia ini akan memberikan tontonan bermutu tinggi selama 03-31 Agustus di tahun ini.

SIPFest kali ini menjadi lebih istimewa lagi: ia hadir secara luring sepenuhnya, setelah pada masa pandemi Covid-19 ia hanya bisa hadir secara daring pada 2020 dan secara hibrida pada 2022.

Dengan SIPFest 2024 ini, kami hendak mengajak para pemirsa berekreasi dengan sesungguh-sungguhnya. Re-kreasi: ikut menciptakan kembali kesenian dan kebudayaan dengan penuh kegembiraan dan kemerdekaan. Menciptakan masyarakat yang sehat dan peka akan perubahan dan kemajuan.

Jakarta layak jadi setara dengan kota-kota besar terkemuka di dunia ini. Yaitu bahwa ia mampu membanggakan diri dengan festival seni pertunjukan kontemporer yang sungguh berkelas. SIPFest mendorong kota kita ke arah sana.

Masyarakat Jakarta, sebagaimana terwakili oleh penonton Komunitas Salihara, membuktikan bahwa Jakarta bisa melompat tinggi dan jauh ke depan. Membuat Jakarta bergaya, bergengsi, dan berciri dengan rangkaian pentas seni kontemporer yang sangat terpilih.

Orde Seni Baru, begitu kata SIPFest kali ini. Yang kita punya bukan hanya orde politik, namun juga orde seni. Seni bukan hanya mengatasi politik, tapi juga mengisi ruang-ruang yang tidak diisi oleh politik. Seni memberikan alternatif terhadap klise dan kemandegan yang dijajakan oleh politik. Seni mengajak kita memperbaharui diri kita dan masyarakat kita. 

Seni itu menggoda, mengejutkan, sekaligus menyenangkan. Membuka ruang-ruang kreativitas yang tertutupi kekuasaan resmi. Kita memimpikan orde yang lain melalui kesenian. Kita menyurung orde kesenian, alih-alih orde politik, untuk mengembangkan kebangsaan dan kemanusiaan.

Demikianlah jalan kita sekarang pada SIPFest 2024 bersama, antara lain, kelompok-seniman Lucy Guerin, CCOTBBAT, Chong Kee-Yong & Studio C, Jason Mountario & Trio, Numen Company, Jecko Siompo, Megatruh Banyu Mili, Annastasya Verina, dan Teater Koma.

SIPFest 2024 adalah gelanggang bagi para seniman-penampil dan masyarakat penonton untuk berbagi kreativitas, kebaruan dan kegembiraan. Sebuah daya-upaya untuk mengembangkan orde yang lain, yang tidak biasa-biasa saja.

 

Kembali ke SIPFest 2024

Screenshot 2024-06-19 114043

Mempertanyakan Eksistensi Manusia lewat Pertunjukan “Hutan” di Salihara

22-23 Juni 2024 | Sabtu & Minggu | 14:00 – 22:00 WIB | Teater Salihara

 

Jakarta, 10 Juni 2024 – Komunitas Salihara–bekerja sama dengan Goethe-Institut–mempersembahkan sebuah pertunjukan dengan judul “Hutan”. Pertunjukan ini merupakan instalasi suara performatif di mana pengunjung akan menikmati pengalaman suara yang diambil dari hutan Rungan, Kalimantan Tengah dengan koreografi yang imajinatif dan eksploratif. 

“Hutan” merupakan karya dari Katia Engel dan Ari Ersandi yang dikerjakan oleh para seniman dari penari, koreografer serta penata  suara dan masing-masing berasal dari Long Penaneh (Kalimantan Tengah), Lampung, Berlin, Budapest dan Yogyakarta ketika mendengarkan rekaman suara hutan Runggan di Kalteng. 

Karya ini merupakan sebuah kontemplasi tentang krisis saat ini, yang bukan melulu tentang lingkungan, tetapi juga perseptual. “Hutan” mengajak kita untuk merasakan suasana hutan Rungan yang diputar terus selama 8 jam di dalam Teater Salihara di mana pengunjung bebas keluar masuk dari 14:00 – 22:00 WIB. Tidak hanya menampilkan instalasi suara, karya ini juga menghadirkan koreografi tiga penari yang bisa dinikmati oleh pengunjung.

“Hutan” merupakan sebuah jawaban atas rangkaian pertanyaan tertulis oleh Katia dan Ari sebagai latar belakang dari karya yang akan dipresentasikan di Salihara,

“Jika hutan bisa bersuara, apa yang bisa ia ungkapkan tentang eksistensi kita, manusia? Dapatkah paduan suara hutan yang kompleks ditimbang sebagai bagian ingatan kolektif tubuh kita semua? Apakah mendengarkan irama dan frekuensi non-manusia di dalam hutan menciptakan pergeseran di dalam indra pendengaran kita?”

Berbeda dengan beberapa pertunjukan di Teater Salihara sebelumnya, karya yang berlangsung selama 8 jam ini mereplika siklus hari dari sebelum matahari terbit hingga gelap malam. Pengunjung bebas untuk masuk dan keluar ruang teater selama durasi; dan di dalam, mereka pun bebas berdiri, duduk atau berbaring, menikmati.

Untuk bisa menikmati pengalaman ini secara langsung, calon pengunjung bisa melakukan pemesanan tiket di tiket.salihara.org dengan harga Rp110.000 (umum) dan Rp55.000 (pelajar/mahasiswa). Instalasi suara performatif ini akan dilangsungkan pada 22-23 Juni 2024 di mana pada 15:00 – 17:00 WIB merupakan waktu yang terbaik bagi pengunjung anak-anak.

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________ 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

Setengah Abad “Aduh”: Tetap Relevan Meski Setengah Abad Berjalan

10-12 Mei 2024

 

Jakarta,  20 Mei 2024 – Komunitas Salihara telah sukses menggelar rangkaian Setengah Abad “Aduh” di Salihara Arts Center yang terbagi ke dalam kegiatan diskusi, pembacaan, dan pertunjukan. Setengah Abad “Aduh” merupakan rangkaian yang diselenggarakan untuk menampilkan kembali karya tokoh teater ternama Indonesia; Putu Wijaya di mana salah satu naskahnya yang berjudul “Aduh” kembali dipentaskan setelah 50 tahun lamanya di Teater Salihara.

Selama tiga hari penyelenggaraan pada 10-12 Mei lalu, pengunjung dapat mengenal Putu Wijaya lebih dalam lewat kekaryaannya dalam diskusi Apa Kabar Telegram yang dibawakan oleh Goenawan Mohamad (10/05) dan Aduh Setelah 50 Tahun bersama  Cobina Gillitt (12/05). Selain dua diskusi tersebut, Komunitas Salihara juga mempersembahkan alumni Kelas Akting Salihara untuk membacakan fragmen karya dari Putu Wijaya dalam Malam Pembacaan Putu Wijaya (10/05). Rangkaian acara ini juga dihadiri oleh sejumlah tokoh seniman tanah air seperti Jajang C. Noer, Niniek L. Karim, Butet Kartaredjasa, dan lainnya.

Sebagai puncak dari rangkaian ini, pertunjukan “Aduh” yang dibawakan oleh Teater Mandiri dan disutradarai oleh Putu Wijaya ditampilkan selama dua hari pada 11-12 Mei. Tiket terjual habis dengan lebih dari 400 pasang mata menyaksikan “Aduh” setelah 50 tahun lamanya. 

Di depan awak media pascapementasan; dalam penggarapan “Aduh” yang dipentaskan di Teater Salihara, Putu mengatakan bahwa apa yang dia garap menggunakan process oriented

“Berbeda dengan product oriented yang dilakukan di barat–di mana semuanya sudah jelas dan tahu apa yang dituju–apa yang saya garap saya tidak tahu. Ketika masuk, bertemu dengan pemain, bertemu dengan kesulitan di lapangan, menimbulkan masalah yang menyebabkan saya berpikir dan setelah berpikir saya memanfaatkan apa yang ada.”

 

Para tokoh sibuk berdebat terhadap nasib “tokoh” yang terkapar tanpa ada aksi pertolongan dalam pentas Aduh di Teater Salihara
Dok. Komunitas Salihara/Witjak Widhi Cahya.

 

Aduh merupakan pementasan yang menceritakan tokoh tanpa nama yang mengerang dan mengaduh kesakitan di tengah kesibukan orang banyak. Orang-orang sibuk berdebat, perlukah memberi pertolongan hingga yang sakit akhirnya mati. Mereka panik lalu susah payah membuang mayat yang sakit ke sumur. Tanpa sadar, di antara mereka ada yang terjebak di dalam sumur. Dari sumur itu lantas muncul suara mengaduh minta tolong di sela erangan. Lagi-lagi mereka berdebat perlukah menolong tanpa pernah bertindak hingga suara itu lenyap bersama ajal yang menjemputnya.  

Meski naskah ini dimainkan pertama kali di 1974, Putu menceritakan bahwa Aduh pernah dibawakan di 2010 meskipun tidak utuh. Sehingga pementasan di Salihara menjadi sesuatu yang begitu spesial baginya.

 

Siapakah Putu Wijaya?

Dalam dunia sastra dan teater tanah air, Putu Wijaya dikenal sebagai seorang seniman yang lengkap. Ia piawai dalam menulis esai, cerita pendek, novel, naskah lakon, dan juga cerita film. Kekaryaan Putu Wijaya dan jejaknya terentang dari 1964 saat ia masih merantau di Yogyakarta, ia menghasilkan karya-karya yang dekat dengan realisme, antara lain Dalam Cahaya Bulan, Lautan Bernyanyi dan Bila Malam Bertambah Malam.

Di Jakarta, Putu melahirkan kembali Bila Malam Bertambah Malam sebagai novel yang pertunjukannya juga pernah ditampilkan di Teater Salihara pada 2013. Putu merupakan seorang penulis yang mahir membangun cerita. Ia pernah menulis novel Telegram dan berhasil menjadi pemenang Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta (1972) disusul oleh novel-novel lainnya yang memenangkan penghargaan seperti Stasiun, Pabrik, dan lain-lain. Sebagai penulis, ia piawai menjelajahi prosa dan produktif melahirkan karya beragam bentuk. Tidak hanya novel, karya dramanya pun juga menarik untuk disimak salah satunya adalah naskah Aduh yang ia tulis pada 1971. Naskah ini; seperti karya-karya Putu Wijaya lainnya juga memenangkan Lomba Penulisan Lakon DKJ dan dipentaskan pertama kali pada 1974. 

Cerita di dalam naskah ini terinspirasi dari konflik manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk individu. Apakah komunitas yang sudah menzolimi individu atau individu yang sejatinya menindas komunitas, keputusannya diserahkan kepada penonton. Setelah 50 tahun atau setengah abad Aduh, naskah ini ditampilkan kembali di Teater Salihara. 

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________ 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

Pameran Salihara: Wajah Indonesia dalam Relief Era Bung Karno

Jakarta,  20 Mei 2024 – Sebuah proyektor menampilkan video mengenai relief-relief yang dibangun di era Sukarno. Proyektor tersebut menampilkan salah satunya adalah karya S. Sudjojono yang berjudul Manusia Indonesia yang pernah menjadi bagian dari Bandara Internasional Kemayoran, Jakarta. Selain relief di dalam proyektor, kita juga dapat melihat cetak trimatra dari relief di Sarinah dan beberapa dokumentasi mengenai relief lain di era Presiden Sukarno. Baik relief, cetak trimatra, dokumentasi, dan arsip yang ditampilkan ini merupakan bagian dari pameran terbaru Komunitas Salihara dengan tajuk Relief Era Bung Karno yang berada di dalam Galeri Salihara.

Cetak trimatra relief Sarinah menggambarkan kehidupan rakyat Indonesia Dok. Komunitas Salihara/Witjak Widhi Cahya.

Pameran ini dibuka pada 11 Mei lalu di Serambi Salihara oleh Pendiri Komunitas Salihara, Goenawan Mohamad dan Kurator Galeri Salihara, Asikin Hasan. Relief Era Bung Karno hadir untuk menumbuhkan kembali apresiasi terhadap karya relief sebagai bagian dari tumbuh kembang kesenian modern serta bangsa Indonesia secara keseluruhan. Pameran ini memperkenalkan kepada publik tokoh-tokoh seniman seperti Harijadi Sumadidjaja, S. Sudjojono, Surono, Trubus Soedarsono, dan seniman dari Sanggar Pelukis Rakyat yang begitu dekat hubungan dengan Presiden Sukarno.

Hadir pula dalam pameran ini anak dari S. Sudjojono; Maya Sudjojono  dan Alexandra Pandanwangi Sudjojono serta anak dari Harijadi Sumadidjaja; Santu Wirono.

 

Suasana pembukaan pameran Relief Era Bung Karno di Galeri Salihara (11/05)
Dok.Komunitas Salihara / Witjak Widhi Cahya.

Relief Era Bung Karno dapat dikunjungi dari 11 Mei hingga 09 Juni 2024 (Senin dan libur nasional tutup) di Galeri Salihara. Kurator Pameran; Asikin Hasan dan Ibrahim Soetomo menulis tajuk “Wajah Indonesia dalam Pahatan Relief-relief di Masa Mercusuar Soekarno” yang dapat dilihat sesaat pengunjung memasuki galeri. Dalam tulisan tersebut dikatakan,

“Relief-relief modern–demi membedakannya dengan relief yang terdapat di berbagai candi dan pura–berisi nilai-nilai luhur masa lalu, gotong royong, cinta kasih pada sesama, solidaritas, semangat membebaskan Indonesia dari belenggu imperialisme dan seterusnya. Pendek kata–relief-relief tersebut bercerita–segala hal yang berkaitan dengan proyek mercusuar Bung Karno dan kebaikan moralitas Indonesia.”

Singkatnya, pameran ini—yang mengemas topik kesejarahan lewat seni rupa–mengajak pengunjung untuk melihat gagasan presiden Soekarno lewat proyek-proyek yang ia kerjakan dengan seniman sezaman dan kedekatannya dengan tokoh-tokoh seni rupa ternama tanah air.

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________ 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

relief

Manusia Indonesia dalam Warisan Relief Era Bung Karno

Manusia Indonesia dalam Warisan Relief Era Bung Karno

KARYA seni adalah salah  satu bagian yang bisa membantu kita untuk melacak bagaimana kondisi atau sejarah suatu bangsa dibentuk. Salah satunya dapat kita temukan dalam karya seni rupa, seperti mural, mozaik, lukisan, hingga relief. Presiden pertama Indonesia, Sukarno memiliki kedekatan dengan perupa Indonesia. Sukarno juga mengoleksi sejumlah karya seni rupa seperti lukisan dan patung di Istana Negara. Pada masa pemerintahannya, sekitar akhir 1950-1960-an, sejumlah perupa seperti  S. Sudjojono, Trubus Soedarsono, Harijadi Sumadidjaja, Surono, mengerjakan sebuah proyek relief yang tersebar di Bali, Sukabumi, Jakarta, dan Yogyakarta. 

Relief yang mereka kerjakan pada era Sukarno, beberapa jejaknya masih bisa kita temukan. Meski tak semuanya memiliki kondisi yang baik dan terawat. 

 

Penemuan harta karun Sarinah

Pada 2021 di pusat perbelanjaan Sarinah, Jakarta Pusat, ditemukan relief yang diperkirakan berusia 50 tahun. Relief itu sepanjang 12 meter dengan tinggi tiga meter, dan terbuat dari beton bertulang. Sosok petani dan nelayan tergambar dalam relief tersebut, lengkap dengan adegan aktivitas perdagangan seperti di pasar. Meski relief ini sudah direstorasi dan kini kita bisa menyaksikannya di lantai dasar Sarinah, hingga saat ini belum diketahui siapa seniman yang membuat relief tersebut. Sarinah dibangun pada 1962 dan saat itu Indonesia sedang dalam tahap pembangunan setelah kemerdekaan. Sarinah juga menjadi simbol cita-cita kemajuan ekonomi dan modernisasi di Indonesia. 

 

Jejak “Manusia Indonesia”

Pada 1957, Sukarno meminta beberapa perupa Indonesia untuk membangun relief di Bandara Kemayoran, Jakarta—bandara internasional pertama di Indonesia. Perupa yang membuat desain untuk relief tersebut adalah S. Sudjojono, Harijadi Sumadidjaja, Soerono, dan Seniman Indonesia Muda (SIM). Masing-masing relief tersebut memiliki tema kesejarahan. S. Sudjojono mendesain “Manusia Indonesia” dengan panjang 11,53 meter dan tinggi 2.10 meter. Soerono mendesain “Balada Sangkuriang” dengan panjang 13,56 meter dan tinggi 2,1 meter. Harijadi Sumadidjaja mendesain “Flora dan Fauna Indonesia” dengan panjang 9.6 meter dan 2,1 meter. Pada masanya, relief itu semestinya berada di lantai 1 dan lantai 2 ruang VIP Bandara Kemayoran sebagai tempat Sukarno menyambut para tamu negara. Namun di hari ini, kita tidak akan menemukan secara utuh relief tersebut, sebab bandara Kemayoran telah lama ditinggalkan dan terbengkalai, beberapa adegan reliefnya bahkan terbobol. 

UNTUK menelusuri relief apa saja yang dikerjakan pada era Sukarno, Komunitas Salihara menyelenggarakan pameran Relief Era Bung Karno yang bisa dikunjungi hingga 09 Juni 2024. Selain untuk mengapresiasi karya-karya relief perupa Indonesia di masa Sukarno, pameran ini membawa kita pada arsip-arsip tentang seperti apa sketsa awal relief yang dikerjakan oleh Sudjojono, Harijadi Sumadidjaja, Soerono dan lainnya. Kita masih bisa melihat seperti apa rancangan relief untuk bandara Kemayoran dan seperti apa sisa jejaknya sekarang. Kita juga akan kembali menengok seperti apa awal mula ditemukannya relief Sarinah, dan barangkali setelahnya kita akan menyisihkan waktu untuk mengunjungi keberadaan relief-relief tersebut. 

Pertemuan Sastra dan Guru dalam Lokakarya Peta Sastra Kebangsaan

Komunitas Salihara kembali menyelenggarakan lokakarya Peta Sastra Kebangsaan, pada 27-28 April 2024. Lokakarya ini pertama kali diselenggarakan pada 2017. Program ini bertujuan untuk mempermudah pengajaran dan pengenalan sastra Indonesia bagi pelajar maupun masyarakat awam. Pada Peta Sastra Kebangsaan 2024, lokakarya akan melibatkan 12 guru SMA terpilih dari Indonesia, di antaranya Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. 

Metode Peta Sastra Kebangsaan memperkenalkan garis besar sastra Indonesia dengan kata kunci yang dianggap relevan bagi pelajar. Tujuannya adalah agar pelajar merasa terlibat dengan materi yang dipelajari. Ini bukan peta geografis, melainkan peta logis-naratif (mind map). Sebagai metode, Peta Sastra Kebangsaan bisa dipresentasikan secara fleksibel. Yang telah Komunitas Salihara perkenalkan adalah peta sastra dengan sebelas kata kunci yang berhubungan dengan pertumbuhan mental seorang remaja menjadi dewasa, sebagaimana bertumbuhnya bangsa Indonesia. Pada sesi lokakarya Peta Sastra Kebangsaan, pilihan kata kunci ini bisa disesuaikan dan dikembangkan sesuai konteks. 

Dua belas peserta terpilih adalah Apip Kurniadin (Jawa Barat), Arsi Juwandi (Nusa Tenggara Timur), Ayu Kurniasih (Sumatera Barat), Christi Walangitan (Sulawesi Utara), Edi Purwanto (Lampung), Frederika Giay (Papua), Galih Mulyadi (Lombok), Restituta Devi (Yogyakarta), Rhendi Sepriany (Kalimantan Tengah), Titan Sadewo (Sumatera Utara), Walidha Tanjung Files (Jawa Timur), dan Wulan Dewi Saraswati (Bali). Lokakarya Peta Sastra Kebangsaan menghadirkan fasilitator, yaitu Debra Yatim, Ibrahim Soetomo, Sri Astuti, dan Stebby Julionatan. Serta menghadirkan pemateri Ayu Utami, Nirwan Dewanto, dan Zen Hae. 

 

Pengenalan dan pencarian kata kunci Peta Sastra

Sesi pertama lokakarya pada 27 April 2024, adalah mengajak 12 peserta ke Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin untuk melakukan tur, melihat praktik digitalisasi arsip, dan enkapsulasi karya sastra. Para peserta dengan dipandu oleh staf PDS H.B. Jassin, diajak melihat koleksi-koleksi arsip sastra yang tersimpan di sana. Peserta juga diperlihatkan bagaimana proses perawatan arsip-arsip dengan kondisi kertas yang sudah tua. Setelah peserta mengalami langsung dan melihat bagaimana penanganan arsip sastra dari penulis-penulis Indonesia, sesi selanjutnya bertempat di Ruang Berkarya, lantai 6 PDS H.B. Jassin, masuk pada pengenalan tiap peserta dan fasilitator serta pengenalan metode Peta Sastra oleh Ayu Utami,  Kurator Sastra dan Direktur Literature and Ideas Festival (LIFEs) di Komunitas Salihara serta Direktur Program Teater Utan Kayu. Dalam pengenalan metode Peta Sastra, Ayu Utami membahas tentang menentukan Peta Sastra melalui penelusuran tema menjadi kata kunci tertentu yang kemudian terkait dengan tokoh-tokoh sastra yang ada. Metode ini adalah tawaran baru dan lebih relevan selain menggunakan metode periodisasi yang lebih terikat pada suatu masa. Peserta juga bisa menanggapi tentang video 11+1 Peta Sastra Indonesia yang sebelumnya telah dikerjakan dan dapat disaksikan melalui Youtube Komunitas Salihara. 

Setelah sesi pertama di PDS H.B. Jassin usai, para peserta menuju ke Komunitas Salihara untuk masuk pada Sesi Berbagi. Peserta pada sesi ini memiliki kesempatan untuk berbagi masalah dan tantangan pengajaran sastra yang dialami guru. Sesi ini juga dilanjutkan dengan presentasi Ayu Utami yang mengurai satu-persatu tema 11+1 Peta Sastra Indonesia dan dilanjutkan dengan tanya-jawab dari para peserta. Sesi ketiga di hari pertama ini dilanjutkan dengan Sesi Berbagi bersama Nirwan Dewanto, sastrawan yang telah menerbitkan beberapa buku antara lain, Buli-Buli Lima Kaki dan Dua Marga (keduanya puisi); Satu Setengah Mata-Mata dan Kaki Kata (keduanya esai); Buku Merah dan Buku Jingga (keduanya fiksi). Nirwan Dewanto berbagi pengalamannya dari pertama kali mengenal sastra hingga kemudian menjadi seorang sastrawan. Ketika memasuki sesi tanya-jawab dengan para peserta, dibahas juga isu tentang AI dalam penciptaan karya sastra yang kemudian ditanggapi oleh Nirwan Dewanto. Setelah sesi bersama Nirwan Dewanto, peserta masuk pada sesi keempat untuk pengembangan peta sastra menggunakan model baru atau yang sudah dikembangkan Salihara. Pengembangan ini mempertimbangkan ketersediaan materi, waktu, dan taraf pengetahuan murid dengan capaian menetapkan kata kunci dan susunannya dan mempertanggungjawabkan logika susunan tersebut. Dipandu oleh Ayu Utami, peserta berdiskusi dengan kelompok yang sudah ditentukan oleh panitia. Mereka mendapat tugas untuk menentukan kata kunci dan materi apa yang digunakan untuk mewakili kata kunci tersebut. Tugas ini juga dipandu oleh tiga fasilitator untuk teman diskusi peserta. Hasil dari tugas pertama ini akan dipresentasikan pada hari kedua. 

Memasuki hari kedua bertempat di Komunitas Salihara, peserta mengawali sesi pertama dengan Sesi Berbagi bersama Zen Hae, Kurator Gagasan di Komunitas Salihara. Dalam sesi ini Zen Hae berbagi pengalaman tentang tahap-tahap sastrawan bertumbuh dari anak menjadi sastrawan mapan, serta pengembangan perspektif guru untuk menginspirasi murid. Peserta diperbolehkan untuk bertanya dan menanggapi pada sesi tanya-jawab. Banyak pula peserta yang berbagi bagaimana kesulitan yang dihadapi ketika membagikan bacaan-bacaan sastra kepada sekolahnya. Sesi selanjutnya adalah melanjutkan latihan peserta untuk pengembangan peta sastra, pembuatan narasi dan memilih contoh teks. Sesi terakhir adalah bagian presentasi Peta Sastra Kebangsaan oleh peserta lokakarya, sesi-sesi ini dipandu oleh Ayu Utami. Pada sesi terakhir, tiap kelompok diwakili oleh satu peserta untuk memaparkan hasil kerja kelompoknya. Beberapa kata kunci turut muncul dari presentasi peserta, salah satunya isu tentang lingkungan. Hasil presentasi ini diharapkan dapat menjadi materi untuk para guru mengenalkan sastra pada murid-murid di daerahnya. 

Lokakarya selama dua hari tersebut berjalan dengan lancar dan membuka isu-isu penting tentang bagaimana sastra hidup dan berkembang di sekolah-sekolah setingkat SMA di berbagai daerah Indonesia.

 

Didukung oleh:

harimau

Manusia dan Alam dalam Dua Novel

Sekilas tentang novel Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis dan novel Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta karya Luis Sepúlveda.

 

Novel Harimau! Harimau! (1975) karya Mochtar Lubis adalah salah satu novel yang memiliki pengaruh penting dalam sastra Indonesia. Melalui novel tersebut, Mochtar Lubis menggambarkan realitas sosial-politik Indonesia pada masa Orde Baru. Hubungan antar manusia dan keresahan pada munculnya harimau di hutan Sumatra pada novel ini adalah cerminan kondisi ketegangan masyarakat Indonesia di tengah kekangan, pemerintahan yang otoriter dan pembungkaman pendapat di masa Orde Baru. Bahkan, buku-buku Mochtar Lubis termasuk Harimau! Harimau!, dilarang beredar pada masa itu. 

Mochtar Lubis membuka ruang untuk mempertanyakan dan merenungkan tentang kondisi masyarakat pada masa itu. Harimau! Harimau! meski berada pada daftar bacaan yang dilarang, namun tetap memiliki peran penting sebagai alat untuk membangkitkan kesadaran akan kebebasan berekspresi dan keadilan sosial. Novel ini masih sangat relevan untuk kita baca di hari ini. 

Tidak hanya menggambarkan ketegangan hubungan sosial-politik, Harimau! Harimau! juga menggambarkan bagaimana rumitnya hubungan manusia dan alam. Harimau dalam hal ini mewakili kekuatan alam liar yang terangsek oleh ulah manusia, baik karena pemukiman, penambangan maupun perburuan yang telah menjadi tradisi panjang masyarakat setempat. Sumber makanan harimau menipis dan membuatnya kelaparan. Itulah kenapa sang harimau menuntut balas, memangsa manusia. Sebaliknya, korban-korban yang berjatuhan menjadi alasan manusia untuk memburu harimau. Pada akhirnya, sang harimau mati di tangan para pemburu. Dengan begitu, salah satu kekuatan alam telah ditaklukkan oleh manusia itu sendiri. 

 

Sang harimau telah dua hari menderita lapar. Dia telah tua. Tenaganya tak cukup cepat lagi untuk mengejar buruannya yang biasa seperti babi atau rusa. Dia dahulu sungguh seekor harimau jantan yang gagah perkasa, dan lama sekali menjadi raja di hutan besar. Sepanjang ingatannya tak pernah dia menderita kelaparan seperti sekarang. 

— petikan novel Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis. 

 

Selain novel Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis, kita juga akan menemukan gambaran hubungan manusia dan alam pada novel Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta (1989) karya Luis Sepúlveda (berdasarkan terjemahan Ronny Agustinus).  Luis Sepúlveda adalah penulis dan wartawan asal Chili, ia juga seorang pembela kebebasan dan lingkungan hidup. Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta adalah salah satu karya Luis Sepúlveda yang paling terkenal. Novel ini tentang perjalanan seorang pria tua yang tinggal di hutan hujan Amazon dan menemukan kehidupan baru melalui buku-buku cinta yang ia baca.

 

Antonio José Bolívar Proaño, yang tak pernah berpikir soal kata “kebebasan”, kini menikmati kebebasan tak terbatas di hutan. 

— petikan novel Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta karya Luis Sepúlveda. 

 

Kedua novel ini sama-sama memberikan pelajaran betapa pentingnya merawat alam dan menghormati apa-apa yang ada di dalamnya. Tanpa kesadaran ini maka perusakan alam (dalam hal ini: perburuan dan penambangan) akan terus terjadi. Dua pengarang, dengan cara masing-masing, telah menunjukkan betapa konflik antara manusia dan harimau hampir selalu dimulai dari terancamnya sang harimau oleh manusia. Manusia yang kelewat rakus menjarah hasil hutan akan menanggung akibat kemarahan para penghuni rimba raya. Tetapi, manusia selalu dimenangkan dalam konflik ini.

Membandingkan kedua novel ini berarti membandingkan juga dua budaya dalam melihat alam dan rimba raya. Termasuk cara pandang masyarakat dalam melihat ancaman harimau. Antara yang melihatnya dengan cara pandang realistis-pragmatis dan yang melihatnya dengan bumbu mitos harimau jadi-jadian. Antara cara pengarang yang tangkas dan penuh humor dan pengarang yang bertele-tele dan penuh petuah. Antara sapuan erotisme yang samar-samar dan maksud politik jahat penguasa setempat. Masing-masing novel hadir dengan kekuatan dan kelemahannya.

Kompetisi Debat Sastra Tingkat SMA yang diselenggarakan oleh Komunitas Salihara, tahun ini menggunakan tema membandingkan kedua novel tersebut. Perbandingan seperti apa yang akan diurai dan ditelaah oleh pembaca tingkat SMA di hari ini? Apakah kita akan menemukan pembacaan baru dan segar dari novel Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis dan novel Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta karya Luis Sepúlveda? Mari menunggu jadwal Kompetisi Debat Sastra Tingkat SMA 2024 di September mendatang!

Di Seni Senang dalam SIPFest 2018

Catatan pendek SIPFest 2018

Pada SIPFest 2018 memasuki penyelenggaraan yang ketujuh bertepatan dengan peringatan sepuluh tahun Komunitas Salihara. Peringatan ini dirayakan dengan menampilkan pementasan perdana (premiere) dua buah karya seniman Indonesia yang diproduksi oleh Komunitas Salihara. SIPFest yang ketujuh ini hadir dengan 12 kelompok seni musik tari, teater dan musik dengan reputasi tinggi dari mancanegara maupun Indonesia. Mereka yang sudah mencapai status “kanonik” turut tampil maupun mereka yang muda-segar dan akan menjadi penting di tahun-tahun mendatang.

Dengan 1001 masalah yang harus dipecahkannya, ternyata Jakarta bisa memiliki sejumlah peristiwa seni-budaya yang edgy, yang membuat ia punya tempat tersendiri di peta seni pertunjukan kontemporer dunia. SIPFest adalah salah satunya. Masyarakat Jakarta, sebagaimana diwakili oleh penonton Komunitas Salihara, membuktikan bahwa Jakarta bisa melompat tinggi dan jauh ke depan. Membuat Jakarta bergaya dan bergengsi.

Di seni senang adalah slogan yang dibawa SIPFest 2018. Happy go artsy. Seni itu menyenangkan, justru ketika ia mengajak kita menyelam lebih dalam ke dalam kehidupan. Seni itu menggoda, mengejutkan, sekaligus menyenangkan. Untuk menggarisbawahi keistimewaan SIPFest 2018, Saihara juga secara khusus memproduksi sebuah karya tari kontemporer berdasarkan khazanah lengger Banyumasan bersama koreografer Otniel Tasman, dan sebuah karya teater Monolog Sutan Sjahrir bersama sutradara Rukman Rosadi dan aktor Rendra Pamungkas. Yang baru dalam SIPFest 2018 adalah juga ceramah-pertunjukan, lecture as performance, bersama Ananda Sukarlan (musik), Didik Nini Thowok (tari), dan Jim Adhi Limas (teater). Ada pula showcase, forum bagi karya-karya para seniman tari dan teater yang sedang tumbuh.

Pameran di ruang terbuka

SIPFest 2018 mengundang tiga perupa muda untuk menanggapi ruang luar Komunitas Salihara. Mereka mengembangkan gagasan visual menjadi tiga karya trimatra yang dibangun berdasarkan kondisi dan kontur ruang luar Komunitas Salihara. Di area depan, pengunjung bisa melihat instalasi neon There’s Never A Forever Things karya Achmad Krisgatha. Di bawah tangga menuju Teater Salihara, ada instalasi Mneme karya Meliantha Muliawan, berupa bebulir imaji benda-benda personal yang digambar dengan tinta akrilik serta helaian kain kanvas yang dibalut dengan resin bening. Adapun di area Anjung Salihara Gabriel Aries Setiadi membangun Personifikasi, instalasi yang dapat menyala dalam gelap akibat LED dan sensor gelap-terang yang memanfaatkan cahaya matahari.

Mereka telah beroleh pengakuan di dunia seni rupa. Achmad Krisgatha banyak berkontribusi bagi industri kreatif di Indonesia. Meliantha Muliawan baru saja memenangi Young Artist Award ARTJOG 2018 untuk seri karya terbarunya. Gabriel Aries Setiadi banyak melahirkan beberapa karya yang terpasang di ruang publik di Jakarta dan Bandung.

 

Pertunjukan, dan Showcases

SIPFest menampilkan koreografer dari dalam dan luar negeri. Koreografer asal Australia, Lucy Guerin menampilkan karya Split dengan dua penari menghadapi ruang yang kian menyempit dan waktu yang makin habis. Dari Indonesia, koreografer Otniel Tasman membawakan karya Cablaka, sebuah karya kontemporer yang bertolak dari kosagerak lengger Banyumasan dan pentas dangdut. Karya ini juga dapat disebut sebagai dialog antara tradisi, baik secara gerak maupun simbolisasi.  Abderzak Houmi bersama kelompok tari Compagnie X-press , koreografi Prancis mementaskan Paralleles, berupa tarian hip-hop kontemporer. Koreografer Ayelen Parolin dari Belgia, mementaskan Heretics, karya tari yang didasarkan pada pengulangan dan daya tahan tubuh atas konstruksi gerakan tangan secara matematis. Selain pertunjukan tari, Salihara juga menampilkan Lecture Performance: Transgender dalam Tari Tradisi Indonesia oleh Didik Nini Thowok, ia adalah satu dari sedikit seniman yang meneruskan tradisi panjang seni lintas gender dalam bentuk tarian. 

Dari pertunjukan teater, SIPFest 2018 menampilkan diskusi dan pertunjukan pembacaan naskah oleh tokoh teater Indonesia Jim Adhi Limas yang saat ini bermukim di Prancis. Salihara juga memproduksi karya teater Monolog Sutan Sjahrir yang disutradarai oleh Rukman Rosadi, naskah ditulis oleh Ahda Imran dan diperankan oleh aktor Rendra Bagus Pamungkas. Aktor Reza Rahadian dan Sita Nursanti turut tampil dengan membacakan naskah yang segelnya baru dibuka ketika pentas akan dimulai, yaitu naskah White Rabbit Red Rabbit ditulis oleh Nassim Soleimanpour, seniman teater multidisiplin asal Iran. Karya ini dimainkan dengan tata cahaya dan ruang minimalis, tanpa latihan, sutradara dan kehadiran si penulis naskah. Pertunjukan teater yang menggali arsip sejarah sebuah bangsa juga ditampilkan oleh kelompok Five Arts Centre (Malaysia) dalam pertunjukan Baling. 

Penampilan spesial Ananda Sukarlan, pianis Indonesia turut memeriahkan pertunjukan musik dalam SIPFest 2018. Dari Kanada kelompok musik Quatuor Bozzini tampil membawakan karya empat komposer muda Indonesia secara perdana. Quatuor Bozzini yang sama-sama dari Kanada, tampil membawakan karya-karya akustik dan campuran yang dimainkan dengan ciri khas kwartet saksofon kontemporer. Ju Percussion Group, kelompok musik dari Taiwan membawakan komposisi yang memperlihatkan keanggunan musik perkusi, perpaduan antara irama-irama Amerika Latin hingga karya yang lahir dari mitologi tradisi Asia, terutama Taiwan dan Cina, dengan penggunaan perkusi yang bervariasi. Kelompok musik dari Malaysia, Toccata Studio menampilkan pertunjukan lintas disiplin yang menempatkan musik, seni rupa dan sains dalam satu ruang.

SIPFest 2018 juga memberi ruang pada karya yang sedang bertumbuh dalam program Showcases, menampilkan koreografer dan seniman teater muda Indonesia. Seniman tersebut adalah koreografer Daniel Espe, Densiel Lebang, Eyi Lesar, Fitri Anggraini, Irfan Setiawan, dan Alisa Soelaeman. Sementara seniman teater di antaranya, Komunitas Arteri, Mainteater Bandung, Teater Ghanta, dan Bandung Performing Arts Forum. 

Tak hanya pertunjukan dan showcases, SIPFest 2018 juga menyediakan program diskusi dan lokakarya musik dan tari dari beberapa penampil luar negeri, seperti Lucy Guerin, Quatuor Bozzini, dan Ju Percussion Group. Jangan lewatkan program menarik lainnya dari SIPFest mendatang!

Festival Salihara dalam SIPFest

Catatan pendek program SIPFest 2016

SIPFest (Salihara International Performing-arts Festival) adalah festival dua tahunan yang menghadirkan kelompok-kelompok seni penting dari Indonesia dan mancanegara dalam bidang-bidang musik, tari dan teater. SIPFest adalah sebentuk rebranding Festival Salihara. Dengan tetap mengedepankan visi internasional yang sudah diusung Festival Salihara, SIPFest 2016 memperkuat kembali aspek rekreatif, dalam arti bahwa kreasi seniman akan menjadi penghiburan, sekaligus re-kreasi (proses ikut menciptakan kembali, merangsang daya cipta) oleh masyarakat penonton. 

Pada 2016, SIPFest menampilkan 14 kelompok musik, tari dan teater—empat di antaranya adalah kelompok musik perkusi. SIPFest 2016 memiliki “warna khusus” musik perkusi, karena menampilkan tiga kelompok musik perkusi dari Indonesia dengan karya eksperimentasi dan interpretasi baru atas berbagai tradisi perkusi Nusantara. Salihara juga menampilkan seniman dari Australia dengan eksperimentasi yang tak kalah menarik.


Dari bidang tari, Salihara menampilkan dua koreografer Indonesia yaitu Eko Supriyanto dan Fitri Setyaningsih, masing-masing dengan karya tari baru berdasarkan khazanah Nusantara. Sementara Kalanari Theatre Movement menampilkan pentas teater site-specific. Saat itu pementasan karya baru Eko Supriyanto dan Kalanari adalah perdana-dunia. Kelompok-kelompok dari luar negeri juga banyak yang tampil dengan karya-karya yang bersifat world premiere atau Asia premiere. Misalnya, Benoît Lachambre & Montréal Danse (Kanada), She She Pop (Jerman), Lukas Ligeti & Hypercolor (Austria dan AS), The Human Zoo Theatre Company (Inggris) dan Chong Kee Yong (Malaysia).

Di Ruang-Ruang Terbuka Salihara

Tidak hanya menampilkan karya seni pertunjukan, dari program seni rupa menyajikan pameran site-specific di ruang-ruang terbuka Komunitas Salihara yang bisa dinikmati pengunjung. Ini program yang mencoba menantang kreativitas seniman dalam berhadapan dengan ruang sebagai tempat penciptaan karya. Hasilnya adalah beragam karya dengan beragam pendekatan dan gaya. Karya seni rupa yang dipamerkan adalah instalasi Gurita Salihara karya Nus Salomo di dinding atas Anjung Salihara, instalasi Migration (Memori Eksistensi Alam) karya I Made Wiguna Valasara berupa sekelompok burung terbang. Sementara Purjito menampilkan patung Abdurrahman Wahid, mantan Presiden RI dan pemikir Islam yang amat menghargai keberagaman dan kebebasan individu. Indyra menggambar mural trimatra berjudul Be A Daydreamer & A Night Thinker yang menyiratkan posisi Komunitas Salihara sebagai tempat merawat gagasan dan pemikiran

Empat perupa ini telah mendapatkan pengakuan nasional dan internasional atas kiprah mereka. Valasara pernah menjadi Finalis UOB Painting of the Year, Singapura (2012). Indyra banyak mengeksplorasi tubuh perempuan dalam lukisan-lukisannya. Nus Salomo punya bekerja di industri hiburan Hollywood. Purjito berpengalaman dalam mengerjakan patung publik di sejumlah kota di Indonesia. 

 

Menjelajah karya seni pertunjukan

Beragam penampil dari dalam dan luar negeri menyuguhkan karya terbaik mereka, di antaranya karya musisi Indonesia Ryan Saputro bersama grup Total Perkusi yang mengolah musik perkusi terinspirasi oleh khazanah tradisi dan kehidupan sehari-hari. Komposer Al. Suwardi tampil bersama grup Planet Harmonik dengan musik yang berpijak pada pandangan Pythagoras bahwa pergerakan semesta, termasuk perputaran planet-planet, menghasilkan dengung suara, namun telinga manusia tidak mampu menangkapnya. Pertunjukan musik itu dimainkan dengan instrumen baru yang diciptakan oleh Al. Suwardi berdasarkan instrumen gamelan Jawa. Ada pula komposer Iwan Gunawan bersama grup Ensemble Kyai Fatahillah, memadukan musik gamelan Sunda, tradisi lisan dan kemampuan membaca notasi balok yang memiliki interpretasi baru dalam bermusik. Kelompok musik Australia Speak Percussion, menampilkan instrumen pencahayaan dikombinasikan dengan instrumen perkusi untuk membuat suasana ketika musik dan cahaya menjadi sebuah kesatuan. Komposer Chong Kee Yong (Malaysia) menampilkan sebuah konser musik teater yang dimainkan oleh penari Bali, dengan iringan gabungan instrumen musik Asia (gamelan Bali, guzheng, sheng dan sanxian dari Tiongkok), viola, instrumen perkusi, proyeksi video dan aneka bebunyian elektronik. Serta Lukas Ligeti dan Hypercolor (Austria & AS) membawakan repertoar dari album Hypercolor: Tzadik yang dirilis pada 2015. 

Dari pertunjukan teater, kita bisa menyaksikan karya teater site-specific Kalanari Theatre Movement bertajuk Yo-he-ho’s Sites dengan narasi yang bergerak mulai dari teori evolusi hingga mitos-mitos penciptaan bahasa manusia. Dari Jepang, Arica Theater Company hadir dengan pertunjukan bertajuk Butterfly Dream, teater tanpa kata-kata ini menampilkan pencarian makna hidup melalui pertemuan dua manusia. Lewat pentas ini Arica Theater Company mengusung jenis teater fisik yang terinspirasi oleh pertumbuhan teater garda depan Jepang sepanjang 1960-1970-an. The Girl who Fell in Love with the Moon karya The Human Zoo (Inggris) adalah perihal obsesi manusia kepada langit, keingintahuan yang besar atas rahasia yang luas dan hitam di dalamnya. The Human Zoo memadukan cerita, puisi, tari dan musik ke dalam imajinasi visual. She She Pop (Jerman) dengan pertunjukan The Rite of Spring as Performed by She She Pop and Their Mothers membawa tafsir baru dan tidak biasa atas mahakarya Igor Stravinsky yang berfokus pada pengorbanan perempuan dalam keluarga dan masyarakat. 

SIPFest 2016 menampilkan pertunjukan tari karya Fitri Setyaningsih bertajuk Mega Mendung, menampilkan musik, koreografi, set dan kostum penari yang bergelembung seperti gumpalan awan adalah rancangan dari gradasi tujuh warna megamendung, motif batik yang berwarna dasar putih menuju biru tua. Koreografer Eko Supriyanto membawakan karya barunya Balabala yang menampilkan lima penari muda perempuan dari Jailolo, Maluku Utara. Mereka bersuara untuk masyarakat terpencil di Indonesia timur. Selain koreografer Indonesia, Salihara juga menampilkan karya koreografer Norwegia, Ingun Bjørnsgaard. Ia menampilkan karya Praeambulum, dalam alunan perpaduan musik Barok dan kontemporer, para penari berperan sebagai bahan bangunan di sebuah rumah yang belum selesai. Benoît Lachambre (Kanada) bersama grup Montréal Danse membawakan karya Prisms yang mengajak penonton ke dalam permainan persepsi tentang kehadiran tubuh dan pancaran cahaya, juga penjelajahan pelbagai kemungkinan tubuh dalam berinteraksi dan berkomunikasi. 

SIPFest akan selalu hadir dengan penampilan dan karya-karya seniman menarik lainnya. Nantikan SIPFest selanjutnya!