Pameran Salihara: Wajah Indonesia dalam Relief Era Bung Karno

Jakarta,  20 Mei 2024 – Sebuah proyektor menampilkan video mengenai relief-relief yang dibangun di era Sukarno. Proyektor tersebut menampilkan salah satunya adalah karya S. Sudjojono yang berjudul Manusia Indonesia yang pernah menjadi bagian dari Bandara Internasional Kemayoran, Jakarta. Selain relief di dalam proyektor, kita juga dapat melihat cetak trimatra dari relief di Sarinah dan beberapa dokumentasi mengenai relief lain di era Presiden Sukarno. Baik relief, cetak trimatra, dokumentasi, dan arsip yang ditampilkan ini merupakan bagian dari pameran terbaru Komunitas Salihara dengan tajuk Relief Era Bung Karno yang berada di dalam Galeri Salihara.

Cetak trimatra relief Sarinah menggambarkan kehidupan rakyat Indonesia Dok. Komunitas Salihara/Witjak Widhi Cahya.

Pameran ini dibuka pada 11 Mei lalu di Serambi Salihara oleh Pendiri Komunitas Salihara, Goenawan Mohamad dan Kurator Galeri Salihara, Asikin Hasan. Relief Era Bung Karno hadir untuk menumbuhkan kembali apresiasi terhadap karya relief sebagai bagian dari tumbuh kembang kesenian modern serta bangsa Indonesia secara keseluruhan. Pameran ini memperkenalkan kepada publik tokoh-tokoh seniman seperti Harijadi Sumadidjaja, S. Sudjojono, Surono, Trubus Soedarsono, dan seniman dari Sanggar Pelukis Rakyat yang begitu dekat hubungan dengan Presiden Sukarno.

Hadir pula dalam pameran ini anak dari S. Sudjojono; Maya Sudjojono  dan Alexandra Pandanwangi Sudjojono serta anak dari Harijadi Sumadidjaja; Santu Wirono.

 

Suasana pembukaan pameran Relief Era Bung Karno di Galeri Salihara (11/05)
Dok.Komunitas Salihara / Witjak Widhi Cahya.

Relief Era Bung Karno dapat dikunjungi dari 11 Mei hingga 09 Juni 2024 (Senin dan libur nasional tutup) di Galeri Salihara. Kurator Pameran; Asikin Hasan dan Ibrahim Soetomo menulis tajuk “Wajah Indonesia dalam Pahatan Relief-relief di Masa Mercusuar Soekarno” yang dapat dilihat sesaat pengunjung memasuki galeri. Dalam tulisan tersebut dikatakan,

“Relief-relief modern–demi membedakannya dengan relief yang terdapat di berbagai candi dan pura–berisi nilai-nilai luhur masa lalu, gotong royong, cinta kasih pada sesama, solidaritas, semangat membebaskan Indonesia dari belenggu imperialisme dan seterusnya. Pendek kata–relief-relief tersebut bercerita–segala hal yang berkaitan dengan proyek mercusuar Bung Karno dan kebaikan moralitas Indonesia.”

Singkatnya, pameran ini—yang mengemas topik kesejarahan lewat seni rupa–mengajak pengunjung untuk melihat gagasan presiden Soekarno lewat proyek-proyek yang ia kerjakan dengan seniman sezaman dan kedekatannya dengan tokoh-tokoh seni rupa ternama tanah air.

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________ 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

relief

Manusia Indonesia dalam Warisan Relief Era Bung Karno

Manusia Indonesia dalam Warisan Relief Era Bung Karno

KARYA seni adalah salah  satu bagian yang bisa membantu kita untuk melacak bagaimana kondisi atau sejarah suatu bangsa dibentuk. Salah satunya dapat kita temukan dalam karya seni rupa, seperti mural, mozaik, lukisan, hingga relief. Presiden pertama Indonesia, Sukarno memiliki kedekatan dengan perupa Indonesia. Sukarno juga mengoleksi sejumlah karya seni rupa seperti lukisan dan patung di Istana Negara. Pada masa pemerintahannya, sekitar akhir 1950-1960-an, sejumlah perupa seperti  S. Sudjojono, Trubus Soedarsono, Harijadi Sumadidjaja, Surono, mengerjakan sebuah proyek relief yang tersebar di Bali, Sukabumi, Jakarta, dan Yogyakarta. 

Relief yang mereka kerjakan pada era Sukarno, beberapa jejaknya masih bisa kita temukan. Meski tak semuanya memiliki kondisi yang baik dan terawat. 

 

Penemuan harta karun Sarinah

Pada 2021 di pusat perbelanjaan Sarinah, Jakarta Pusat, ditemukan relief yang diperkirakan berusia 50 tahun. Relief itu sepanjang 12 meter dengan tinggi tiga meter, dan terbuat dari beton bertulang. Sosok petani dan nelayan tergambar dalam relief tersebut, lengkap dengan adegan aktivitas perdagangan seperti di pasar. Meski relief ini sudah direstorasi dan kini kita bisa menyaksikannya di lantai dasar Sarinah, hingga saat ini belum diketahui siapa seniman yang membuat relief tersebut. Sarinah dibangun pada 1962 dan saat itu Indonesia sedang dalam tahap pembangunan setelah kemerdekaan. Sarinah juga menjadi simbol cita-cita kemajuan ekonomi dan modernisasi di Indonesia. 

 

Jejak “Manusia Indonesia”

Pada 1957, Sukarno meminta beberapa perupa Indonesia untuk membangun relief di Bandara Kemayoran, Jakarta—bandara internasional pertama di Indonesia. Perupa yang membuat desain untuk relief tersebut adalah S. Sudjojono, Harijadi Sumadidjaja, Soerono, dan Seniman Indonesia Muda (SIM). Masing-masing relief tersebut memiliki tema kesejarahan. S. Sudjojono mendesain “Manusia Indonesia” dengan panjang 11,53 meter dan tinggi 2.10 meter. Soerono mendesain “Balada Sangkuriang” dengan panjang 13,56 meter dan tinggi 2,1 meter. Harijadi Sumadidjaja mendesain “Flora dan Fauna Indonesia” dengan panjang 9.6 meter dan 2,1 meter. Pada masanya, relief itu semestinya berada di lantai 1 dan lantai 2 ruang VIP Bandara Kemayoran sebagai tempat Sukarno menyambut para tamu negara. Namun di hari ini, kita tidak akan menemukan secara utuh relief tersebut, sebab bandara Kemayoran telah lama ditinggalkan dan terbengkalai, beberapa adegan reliefnya bahkan terbobol. 

UNTUK menelusuri relief apa saja yang dikerjakan pada era Sukarno, Komunitas Salihara menyelenggarakan pameran Relief Era Bung Karno yang bisa dikunjungi hingga 09 Juni 2024. Selain untuk mengapresiasi karya-karya relief perupa Indonesia di masa Sukarno, pameran ini membawa kita pada arsip-arsip tentang seperti apa sketsa awal relief yang dikerjakan oleh Sudjojono, Harijadi Sumadidjaja, Soerono dan lainnya. Kita masih bisa melihat seperti apa rancangan relief untuk bandara Kemayoran dan seperti apa sisa jejaknya sekarang. Kita juga akan kembali menengok seperti apa awal mula ditemukannya relief Sarinah, dan barangkali setelahnya kita akan menyisihkan waktu untuk mengunjungi keberadaan relief-relief tersebut. 

Pertemuan Sastra dan Guru dalam Lokakarya Peta Sastra Kebangsaan

Komunitas Salihara kembali menyelenggarakan lokakarya Peta Sastra Kebangsaan, pada 27-28 April 2024. Lokakarya ini pertama kali diselenggarakan pada 2017. Program ini bertujuan untuk mempermudah pengajaran dan pengenalan sastra Indonesia bagi pelajar maupun masyarakat awam. Pada Peta Sastra Kebangsaan 2024, lokakarya akan melibatkan 12 guru SMA terpilih dari Indonesia, di antaranya Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. 

Metode Peta Sastra Kebangsaan memperkenalkan garis besar sastra Indonesia dengan kata kunci yang dianggap relevan bagi pelajar. Tujuannya adalah agar pelajar merasa terlibat dengan materi yang dipelajari. Ini bukan peta geografis, melainkan peta logis-naratif (mind map). Sebagai metode, Peta Sastra Kebangsaan bisa dipresentasikan secara fleksibel. Yang telah Komunitas Salihara perkenalkan adalah peta sastra dengan sebelas kata kunci yang berhubungan dengan pertumbuhan mental seorang remaja menjadi dewasa, sebagaimana bertumbuhnya bangsa Indonesia. Pada sesi lokakarya Peta Sastra Kebangsaan, pilihan kata kunci ini bisa disesuaikan dan dikembangkan sesuai konteks. 

Dua belas peserta terpilih adalah Apip Kurniadin (Jawa Barat), Arsi Juwandi (Nusa Tenggara Timur), Ayu Kurniasih (Sumatera Barat), Christi Walangitan (Sulawesi Utara), Edi Purwanto (Lampung), Frederika Giay (Papua), Galih Mulyadi (Lombok), Restituta Devi (Yogyakarta), Rhendi Sepriany (Kalimantan Tengah), Titan Sadewo (Sumatera Utara), Walidha Tanjung Files (Jawa Timur), dan Wulan Dewi Saraswati (Bali). Lokakarya Peta Sastra Kebangsaan menghadirkan fasilitator, yaitu Debra Yatim, Ibrahim Soetomo, Sri Astuti, dan Stebby Julionatan. Serta menghadirkan pemateri Ayu Utami, Nirwan Dewanto, dan Zen Hae. 

 

Pengenalan dan pencarian kata kunci Peta Sastra

Sesi pertama lokakarya pada 27 April 2024, adalah mengajak 12 peserta ke Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin untuk melakukan tur, melihat praktik digitalisasi arsip, dan enkapsulasi karya sastra. Para peserta dengan dipandu oleh staf PDS H.B. Jassin, diajak melihat koleksi-koleksi arsip sastra yang tersimpan di sana. Peserta juga diperlihatkan bagaimana proses perawatan arsip-arsip dengan kondisi kertas yang sudah tua. Setelah peserta mengalami langsung dan melihat bagaimana penanganan arsip sastra dari penulis-penulis Indonesia, sesi selanjutnya bertempat di Ruang Berkarya, lantai 6 PDS H.B. Jassin, masuk pada pengenalan tiap peserta dan fasilitator serta pengenalan metode Peta Sastra oleh Ayu Utami,  Kurator Sastra dan Direktur Literature and Ideas Festival (LIFEs) di Komunitas Salihara serta Direktur Program Teater Utan Kayu. Dalam pengenalan metode Peta Sastra, Ayu Utami membahas tentang menentukan Peta Sastra melalui penelusuran tema menjadi kata kunci tertentu yang kemudian terkait dengan tokoh-tokoh sastra yang ada. Metode ini adalah tawaran baru dan lebih relevan selain menggunakan metode periodisasi yang lebih terikat pada suatu masa. Peserta juga bisa menanggapi tentang video 11+1 Peta Sastra Indonesia yang sebelumnya telah dikerjakan dan dapat disaksikan melalui Youtube Komunitas Salihara. 

Setelah sesi pertama di PDS H.B. Jassin usai, para peserta menuju ke Komunitas Salihara untuk masuk pada Sesi Berbagi. Peserta pada sesi ini memiliki kesempatan untuk berbagi masalah dan tantangan pengajaran sastra yang dialami guru. Sesi ini juga dilanjutkan dengan presentasi Ayu Utami yang mengurai satu-persatu tema 11+1 Peta Sastra Indonesia dan dilanjutkan dengan tanya-jawab dari para peserta. Sesi ketiga di hari pertama ini dilanjutkan dengan Sesi Berbagi bersama Nirwan Dewanto, sastrawan yang telah menerbitkan beberapa buku antara lain, Buli-Buli Lima Kaki dan Dua Marga (keduanya puisi); Satu Setengah Mata-Mata dan Kaki Kata (keduanya esai); Buku Merah dan Buku Jingga (keduanya fiksi). Nirwan Dewanto berbagi pengalamannya dari pertama kali mengenal sastra hingga kemudian menjadi seorang sastrawan. Ketika memasuki sesi tanya-jawab dengan para peserta, dibahas juga isu tentang AI dalam penciptaan karya sastra yang kemudian ditanggapi oleh Nirwan Dewanto. Setelah sesi bersama Nirwan Dewanto, peserta masuk pada sesi keempat untuk pengembangan peta sastra menggunakan model baru atau yang sudah dikembangkan Salihara. Pengembangan ini mempertimbangkan ketersediaan materi, waktu, dan taraf pengetahuan murid dengan capaian menetapkan kata kunci dan susunannya dan mempertanggungjawabkan logika susunan tersebut. Dipandu oleh Ayu Utami, peserta berdiskusi dengan kelompok yang sudah ditentukan oleh panitia. Mereka mendapat tugas untuk menentukan kata kunci dan materi apa yang digunakan untuk mewakili kata kunci tersebut. Tugas ini juga dipandu oleh tiga fasilitator untuk teman diskusi peserta. Hasil dari tugas pertama ini akan dipresentasikan pada hari kedua. 

Memasuki hari kedua bertempat di Komunitas Salihara, peserta mengawali sesi pertama dengan Sesi Berbagi bersama Zen Hae, Kurator Gagasan di Komunitas Salihara. Dalam sesi ini Zen Hae berbagi pengalaman tentang tahap-tahap sastrawan bertumbuh dari anak menjadi sastrawan mapan, serta pengembangan perspektif guru untuk menginspirasi murid. Peserta diperbolehkan untuk bertanya dan menanggapi pada sesi tanya-jawab. Banyak pula peserta yang berbagi bagaimana kesulitan yang dihadapi ketika membagikan bacaan-bacaan sastra kepada sekolahnya. Sesi selanjutnya adalah melanjutkan latihan peserta untuk pengembangan peta sastra, pembuatan narasi dan memilih contoh teks. Sesi terakhir adalah bagian presentasi Peta Sastra Kebangsaan oleh peserta lokakarya, sesi-sesi ini dipandu oleh Ayu Utami. Pada sesi terakhir, tiap kelompok diwakili oleh satu peserta untuk memaparkan hasil kerja kelompoknya. Beberapa kata kunci turut muncul dari presentasi peserta, salah satunya isu tentang lingkungan. Hasil presentasi ini diharapkan dapat menjadi materi untuk para guru mengenalkan sastra pada murid-murid di daerahnya. 

Lokakarya selama dua hari tersebut berjalan dengan lancar dan membuka isu-isu penting tentang bagaimana sastra hidup dan berkembang di sekolah-sekolah setingkat SMA di berbagai daerah Indonesia.

 

Didukung oleh:

harimau

Manusia dan Alam dalam Dua Novel

Sekilas tentang novel Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis dan novel Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta karya Luis Sepúlveda.

 

Novel Harimau! Harimau! (1975) karya Mochtar Lubis adalah salah satu novel yang memiliki pengaruh penting dalam sastra Indonesia. Melalui novel tersebut, Mochtar Lubis menggambarkan realitas sosial-politik Indonesia pada masa Orde Baru. Hubungan antar manusia dan keresahan pada munculnya harimau di hutan Sumatra pada novel ini adalah cerminan kondisi ketegangan masyarakat Indonesia di tengah kekangan, pemerintahan yang otoriter dan pembungkaman pendapat di masa Orde Baru. Bahkan, buku-buku Mochtar Lubis termasuk Harimau! Harimau!, dilarang beredar pada masa itu. 

Mochtar Lubis membuka ruang untuk mempertanyakan dan merenungkan tentang kondisi masyarakat pada masa itu. Harimau! Harimau! meski berada pada daftar bacaan yang dilarang, namun tetap memiliki peran penting sebagai alat untuk membangkitkan kesadaran akan kebebasan berekspresi dan keadilan sosial. Novel ini masih sangat relevan untuk kita baca di hari ini. 

Tidak hanya menggambarkan ketegangan hubungan sosial-politik, Harimau! Harimau! juga menggambarkan bagaimana rumitnya hubungan manusia dan alam. Harimau dalam hal ini mewakili kekuatan alam liar yang terangsek oleh ulah manusia, baik karena pemukiman, penambangan maupun perburuan yang telah menjadi tradisi panjang masyarakat setempat. Sumber makanan harimau menipis dan membuatnya kelaparan. Itulah kenapa sang harimau menuntut balas, memangsa manusia. Sebaliknya, korban-korban yang berjatuhan menjadi alasan manusia untuk memburu harimau. Pada akhirnya, sang harimau mati di tangan para pemburu. Dengan begitu, salah satu kekuatan alam telah ditaklukkan oleh manusia itu sendiri. 

 

Sang harimau telah dua hari menderita lapar. Dia telah tua. Tenaganya tak cukup cepat lagi untuk mengejar buruannya yang biasa seperti babi atau rusa. Dia dahulu sungguh seekor harimau jantan yang gagah perkasa, dan lama sekali menjadi raja di hutan besar. Sepanjang ingatannya tak pernah dia menderita kelaparan seperti sekarang. 

— petikan novel Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis. 

 

Selain novel Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis, kita juga akan menemukan gambaran hubungan manusia dan alam pada novel Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta (1989) karya Luis Sepúlveda (berdasarkan terjemahan Ronny Agustinus).  Luis Sepúlveda adalah penulis dan wartawan asal Chili, ia juga seorang pembela kebebasan dan lingkungan hidup. Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta adalah salah satu karya Luis Sepúlveda yang paling terkenal. Novel ini tentang perjalanan seorang pria tua yang tinggal di hutan hujan Amazon dan menemukan kehidupan baru melalui buku-buku cinta yang ia baca.

 

Antonio José Bolívar Proaño, yang tak pernah berpikir soal kata “kebebasan”, kini menikmati kebebasan tak terbatas di hutan. 

— petikan novel Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta karya Luis Sepúlveda. 

 

Kedua novel ini sama-sama memberikan pelajaran betapa pentingnya merawat alam dan menghormati apa-apa yang ada di dalamnya. Tanpa kesadaran ini maka perusakan alam (dalam hal ini: perburuan dan penambangan) akan terus terjadi. Dua pengarang, dengan cara masing-masing, telah menunjukkan betapa konflik antara manusia dan harimau hampir selalu dimulai dari terancamnya sang harimau oleh manusia. Manusia yang kelewat rakus menjarah hasil hutan akan menanggung akibat kemarahan para penghuni rimba raya. Tetapi, manusia selalu dimenangkan dalam konflik ini.

Membandingkan kedua novel ini berarti membandingkan juga dua budaya dalam melihat alam dan rimba raya. Termasuk cara pandang masyarakat dalam melihat ancaman harimau. Antara yang melihatnya dengan cara pandang realistis-pragmatis dan yang melihatnya dengan bumbu mitos harimau jadi-jadian. Antara cara pengarang yang tangkas dan penuh humor dan pengarang yang bertele-tele dan penuh petuah. Antara sapuan erotisme yang samar-samar dan maksud politik jahat penguasa setempat. Masing-masing novel hadir dengan kekuatan dan kelemahannya.

Kompetisi Debat Sastra Tingkat SMA yang diselenggarakan oleh Komunitas Salihara, tahun ini menggunakan tema membandingkan kedua novel tersebut. Perbandingan seperti apa yang akan diurai dan ditelaah oleh pembaca tingkat SMA di hari ini? Apakah kita akan menemukan pembacaan baru dan segar dari novel Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis dan novel Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta karya Luis Sepúlveda? Mari menunggu jadwal Kompetisi Debat Sastra Tingkat SMA 2024 di September mendatang!

Di Seni Senang dalam SIPFest 2018

Catatan pendek SIPFest 2018

Pada SIPFest 2018 memasuki penyelenggaraan yang ketujuh bertepatan dengan peringatan sepuluh tahun Komunitas Salihara. Peringatan ini dirayakan dengan menampilkan pementasan perdana (premiere) dua buah karya seniman Indonesia yang diproduksi oleh Komunitas Salihara. SIPFest yang ketujuh ini hadir dengan 12 kelompok seni musik tari, teater dan musik dengan reputasi tinggi dari mancanegara maupun Indonesia. Mereka yang sudah mencapai status “kanonik” turut tampil maupun mereka yang muda-segar dan akan menjadi penting di tahun-tahun mendatang.

Dengan 1001 masalah yang harus dipecahkannya, ternyata Jakarta bisa memiliki sejumlah peristiwa seni-budaya yang edgy, yang membuat ia punya tempat tersendiri di peta seni pertunjukan kontemporer dunia. SIPFest adalah salah satunya. Masyarakat Jakarta, sebagaimana diwakili oleh penonton Komunitas Salihara, membuktikan bahwa Jakarta bisa melompat tinggi dan jauh ke depan. Membuat Jakarta bergaya dan bergengsi.

Di seni senang adalah slogan yang dibawa SIPFest 2018. Happy go artsy. Seni itu menyenangkan, justru ketika ia mengajak kita menyelam lebih dalam ke dalam kehidupan. Seni itu menggoda, mengejutkan, sekaligus menyenangkan. Untuk menggarisbawahi keistimewaan SIPFest 2018, Saihara juga secara khusus memproduksi sebuah karya tari kontemporer berdasarkan khazanah lengger Banyumasan bersama koreografer Otniel Tasman, dan sebuah karya teater Monolog Sutan Sjahrir bersama sutradara Rukman Rosadi dan aktor Rendra Pamungkas. Yang baru dalam SIPFest 2018 adalah juga ceramah-pertunjukan, lecture as performance, bersama Ananda Sukarlan (musik), Didik Nini Thowok (tari), dan Jim Adhi Limas (teater). Ada pula showcase, forum bagi karya-karya para seniman tari dan teater yang sedang tumbuh.

Pameran di ruang terbuka

SIPFest 2018 mengundang tiga perupa muda untuk menanggapi ruang luar Komunitas Salihara. Mereka mengembangkan gagasan visual menjadi tiga karya trimatra yang dibangun berdasarkan kondisi dan kontur ruang luar Komunitas Salihara. Di area depan, pengunjung bisa melihat instalasi neon There’s Never A Forever Things karya Achmad Krisgatha. Di bawah tangga menuju Teater Salihara, ada instalasi Mneme karya Meliantha Muliawan, berupa bebulir imaji benda-benda personal yang digambar dengan tinta akrilik serta helaian kain kanvas yang dibalut dengan resin bening. Adapun di area Anjung Salihara Gabriel Aries Setiadi membangun Personifikasi, instalasi yang dapat menyala dalam gelap akibat LED dan sensor gelap-terang yang memanfaatkan cahaya matahari.

Mereka telah beroleh pengakuan di dunia seni rupa. Achmad Krisgatha banyak berkontribusi bagi industri kreatif di Indonesia. Meliantha Muliawan baru saja memenangi Young Artist Award ARTJOG 2018 untuk seri karya terbarunya. Gabriel Aries Setiadi banyak melahirkan beberapa karya yang terpasang di ruang publik di Jakarta dan Bandung.

 

Pertunjukan, dan Showcases

SIPFest menampilkan koreografer dari dalam dan luar negeri. Koreografer asal Australia, Lucy Guerin menampilkan karya Split dengan dua penari menghadapi ruang yang kian menyempit dan waktu yang makin habis. Dari Indonesia, koreografer Otniel Tasman membawakan karya Cablaka, sebuah karya kontemporer yang bertolak dari kosagerak lengger Banyumasan dan pentas dangdut. Karya ini juga dapat disebut sebagai dialog antara tradisi, baik secara gerak maupun simbolisasi.  Abderzak Houmi bersama kelompok tari Compagnie X-press , koreografi Prancis mementaskan Paralleles, berupa tarian hip-hop kontemporer. Koreografer Ayelen Parolin dari Belgia, mementaskan Heretics, karya tari yang didasarkan pada pengulangan dan daya tahan tubuh atas konstruksi gerakan tangan secara matematis. Selain pertunjukan tari, Salihara juga menampilkan Lecture Performance: Transgender dalam Tari Tradisi Indonesia oleh Didik Nini Thowok, ia adalah satu dari sedikit seniman yang meneruskan tradisi panjang seni lintas gender dalam bentuk tarian. 

Dari pertunjukan teater, SIPFest 2018 menampilkan diskusi dan pertunjukan pembacaan naskah oleh tokoh teater Indonesia Jim Adhi Limas yang saat ini bermukim di Prancis. Salihara juga memproduksi karya teater Monolog Sutan Sjahrir yang disutradarai oleh Rukman Rosadi, naskah ditulis oleh Ahda Imran dan diperankan oleh aktor Rendra Bagus Pamungkas. Aktor Reza Rahadian dan Sita Nursanti turut tampil dengan membacakan naskah yang segelnya baru dibuka ketika pentas akan dimulai, yaitu naskah White Rabbit Red Rabbit ditulis oleh Nassim Soleimanpour, seniman teater multidisiplin asal Iran. Karya ini dimainkan dengan tata cahaya dan ruang minimalis, tanpa latihan, sutradara dan kehadiran si penulis naskah. Pertunjukan teater yang menggali arsip sejarah sebuah bangsa juga ditampilkan oleh kelompok Five Arts Centre (Malaysia) dalam pertunjukan Baling. 

Penampilan spesial Ananda Sukarlan, pianis Indonesia turut memeriahkan pertunjukan musik dalam SIPFest 2018. Dari Kanada kelompok musik Quatuor Bozzini tampil membawakan karya empat komposer muda Indonesia secara perdana. Quatuor Bozzini yang sama-sama dari Kanada, tampil membawakan karya-karya akustik dan campuran yang dimainkan dengan ciri khas kwartet saksofon kontemporer. Ju Percussion Group, kelompok musik dari Taiwan membawakan komposisi yang memperlihatkan keanggunan musik perkusi, perpaduan antara irama-irama Amerika Latin hingga karya yang lahir dari mitologi tradisi Asia, terutama Taiwan dan Cina, dengan penggunaan perkusi yang bervariasi. Kelompok musik dari Malaysia, Toccata Studio menampilkan pertunjukan lintas disiplin yang menempatkan musik, seni rupa dan sains dalam satu ruang.

SIPFest 2018 juga memberi ruang pada karya yang sedang bertumbuh dalam program Showcases, menampilkan koreografer dan seniman teater muda Indonesia. Seniman tersebut adalah koreografer Daniel Espe, Densiel Lebang, Eyi Lesar, Fitri Anggraini, Irfan Setiawan, dan Alisa Soelaeman. Sementara seniman teater di antaranya, Komunitas Arteri, Mainteater Bandung, Teater Ghanta, dan Bandung Performing Arts Forum. 

Tak hanya pertunjukan dan showcases, SIPFest 2018 juga menyediakan program diskusi dan lokakarya musik dan tari dari beberapa penampil luar negeri, seperti Lucy Guerin, Quatuor Bozzini, dan Ju Percussion Group. Jangan lewatkan program menarik lainnya dari SIPFest mendatang!

Festival Salihara dalam SIPFest

Catatan pendek program SIPFest 2016

SIPFest (Salihara International Performing-arts Festival) adalah festival dua tahunan yang menghadirkan kelompok-kelompok seni penting dari Indonesia dan mancanegara dalam bidang-bidang musik, tari dan teater. SIPFest adalah sebentuk rebranding Festival Salihara. Dengan tetap mengedepankan visi internasional yang sudah diusung Festival Salihara, SIPFest 2016 memperkuat kembali aspek rekreatif, dalam arti bahwa kreasi seniman akan menjadi penghiburan, sekaligus re-kreasi (proses ikut menciptakan kembali, merangsang daya cipta) oleh masyarakat penonton. 

Pada 2016, SIPFest menampilkan 14 kelompok musik, tari dan teater—empat di antaranya adalah kelompok musik perkusi. SIPFest 2016 memiliki “warna khusus” musik perkusi, karena menampilkan tiga kelompok musik perkusi dari Indonesia dengan karya eksperimentasi dan interpretasi baru atas berbagai tradisi perkusi Nusantara. Salihara juga menampilkan seniman dari Australia dengan eksperimentasi yang tak kalah menarik.


Dari bidang tari, Salihara menampilkan dua koreografer Indonesia yaitu Eko Supriyanto dan Fitri Setyaningsih, masing-masing dengan karya tari baru berdasarkan khazanah Nusantara. Sementara Kalanari Theatre Movement menampilkan pentas teater site-specific. Saat itu pementasan karya baru Eko Supriyanto dan Kalanari adalah perdana-dunia. Kelompok-kelompok dari luar negeri juga banyak yang tampil dengan karya-karya yang bersifat world premiere atau Asia premiere. Misalnya, Benoît Lachambre & Montréal Danse (Kanada), She She Pop (Jerman), Lukas Ligeti & Hypercolor (Austria dan AS), The Human Zoo Theatre Company (Inggris) dan Chong Kee Yong (Malaysia).

Di Ruang-Ruang Terbuka Salihara

Tidak hanya menampilkan karya seni pertunjukan, dari program seni rupa menyajikan pameran site-specific di ruang-ruang terbuka Komunitas Salihara yang bisa dinikmati pengunjung. Ini program yang mencoba menantang kreativitas seniman dalam berhadapan dengan ruang sebagai tempat penciptaan karya. Hasilnya adalah beragam karya dengan beragam pendekatan dan gaya. Karya seni rupa yang dipamerkan adalah instalasi Gurita Salihara karya Nus Salomo di dinding atas Anjung Salihara, instalasi Migration (Memori Eksistensi Alam) karya I Made Wiguna Valasara berupa sekelompok burung terbang. Sementara Purjito menampilkan patung Abdurrahman Wahid, mantan Presiden RI dan pemikir Islam yang amat menghargai keberagaman dan kebebasan individu. Indyra menggambar mural trimatra berjudul Be A Daydreamer & A Night Thinker yang menyiratkan posisi Komunitas Salihara sebagai tempat merawat gagasan dan pemikiran

Empat perupa ini telah mendapatkan pengakuan nasional dan internasional atas kiprah mereka. Valasara pernah menjadi Finalis UOB Painting of the Year, Singapura (2012). Indyra banyak mengeksplorasi tubuh perempuan dalam lukisan-lukisannya. Nus Salomo punya bekerja di industri hiburan Hollywood. Purjito berpengalaman dalam mengerjakan patung publik di sejumlah kota di Indonesia. 

 

Menjelajah karya seni pertunjukan

Beragam penampil dari dalam dan luar negeri menyuguhkan karya terbaik mereka, di antaranya karya musisi Indonesia Ryan Saputro bersama grup Total Perkusi yang mengolah musik perkusi terinspirasi oleh khazanah tradisi dan kehidupan sehari-hari. Komposer Al. Suwardi tampil bersama grup Planet Harmonik dengan musik yang berpijak pada pandangan Pythagoras bahwa pergerakan semesta, termasuk perputaran planet-planet, menghasilkan dengung suara, namun telinga manusia tidak mampu menangkapnya. Pertunjukan musik itu dimainkan dengan instrumen baru yang diciptakan oleh Al. Suwardi berdasarkan instrumen gamelan Jawa. Ada pula komposer Iwan Gunawan bersama grup Ensemble Kyai Fatahillah, memadukan musik gamelan Sunda, tradisi lisan dan kemampuan membaca notasi balok yang memiliki interpretasi baru dalam bermusik. Kelompok musik Australia Speak Percussion, menampilkan instrumen pencahayaan dikombinasikan dengan instrumen perkusi untuk membuat suasana ketika musik dan cahaya menjadi sebuah kesatuan. Komposer Chong Kee Yong (Malaysia) menampilkan sebuah konser musik teater yang dimainkan oleh penari Bali, dengan iringan gabungan instrumen musik Asia (gamelan Bali, guzheng, sheng dan sanxian dari Tiongkok), viola, instrumen perkusi, proyeksi video dan aneka bebunyian elektronik. Serta Lukas Ligeti dan Hypercolor (Austria & AS) membawakan repertoar dari album Hypercolor: Tzadik yang dirilis pada 2015. 

Dari pertunjukan teater, kita bisa menyaksikan karya teater site-specific Kalanari Theatre Movement bertajuk Yo-he-ho’s Sites dengan narasi yang bergerak mulai dari teori evolusi hingga mitos-mitos penciptaan bahasa manusia. Dari Jepang, Arica Theater Company hadir dengan pertunjukan bertajuk Butterfly Dream, teater tanpa kata-kata ini menampilkan pencarian makna hidup melalui pertemuan dua manusia. Lewat pentas ini Arica Theater Company mengusung jenis teater fisik yang terinspirasi oleh pertumbuhan teater garda depan Jepang sepanjang 1960-1970-an. The Girl who Fell in Love with the Moon karya The Human Zoo (Inggris) adalah perihal obsesi manusia kepada langit, keingintahuan yang besar atas rahasia yang luas dan hitam di dalamnya. The Human Zoo memadukan cerita, puisi, tari dan musik ke dalam imajinasi visual. She She Pop (Jerman) dengan pertunjukan The Rite of Spring as Performed by She She Pop and Their Mothers membawa tafsir baru dan tidak biasa atas mahakarya Igor Stravinsky yang berfokus pada pengorbanan perempuan dalam keluarga dan masyarakat. 

SIPFest 2016 menampilkan pertunjukan tari karya Fitri Setyaningsih bertajuk Mega Mendung, menampilkan musik, koreografi, set dan kostum penari yang bergelembung seperti gumpalan awan adalah rancangan dari gradasi tujuh warna megamendung, motif batik yang berwarna dasar putih menuju biru tua. Koreografer Eko Supriyanto membawakan karya barunya Balabala yang menampilkan lima penari muda perempuan dari Jailolo, Maluku Utara. Mereka bersuara untuk masyarakat terpencil di Indonesia timur. Selain koreografer Indonesia, Salihara juga menampilkan karya koreografer Norwegia, Ingun Bjørnsgaard. Ia menampilkan karya Praeambulum, dalam alunan perpaduan musik Barok dan kontemporer, para penari berperan sebagai bahan bangunan di sebuah rumah yang belum selesai. Benoît Lachambre (Kanada) bersama grup Montréal Danse membawakan karya Prisms yang mengajak penonton ke dalam permainan persepsi tentang kehadiran tubuh dan pancaran cahaya, juga penjelajahan pelbagai kemungkinan tubuh dalam berinteraksi dan berkomunikasi. 

SIPFest akan selalu hadir dengan penampilan dan karya-karya seniman menarik lainnya. Nantikan SIPFest selanjutnya!

Screenshot 2024-05-20 120208

LIFEs 2021 yang Asyik dalam Arab Asyiq

Catatan pendek dari LIFEs 2021: Arab Asyiq

Khazanah kebahasaan dan kesusastraan Arab menyebar ke penjuru dunia bersamaan dengan penyebaran agama Islam sejak pertengahan abad ke-7 masehi. Dari satu perspektif, agama Islam dan bahasa Arab tidak bisa dipisahkan. Tapi, dari perspektif lain, keduanya tidak selamanya melekat. Ada kompleksitas, khazanah dan kekayaan pemikiran yang lahir dari persoalan itu.

Pada 2021, LIFEs (Literature and Ideas Festival Salihara) yang hadir dengan jargon Arab Asyiq, mengajak kita semua untuk merayakan kekayaan intelektual dari khazanah kesusastraan Arab. Kita diajak menyaksikan beragam program seru dari seminar, pembacaan karya, ceramah dan pentas musik yang berlangsung pada 25 September – 02 Oktober 2021. Berbeda dengan LIFEs 2017 dan 2019 yang diadakan secara langsung di Komunitas Salihara, LIFEs 2021 diadakan secara daring (online) melalui Zoom dan Youtube. Penyelenggaraan melalui daring ini juga salah satu upaya untuk tetap menghidupkan kesenian di tengah situasi pandemi. 

 Selama enam hari LIFEs mengajak kita untuk memperbincangkan bagaimana pengaruh tradisi pemikiran dan sastra Arab di Indonesia. Berangkat dari perbincangan tokoh, budaya, hingga karya sastra yang kemudian banyak mempengaruhi karya sastra di Nusantara. LIFEs 2021 dibuka dengan Bintang-Bintang di Bawah Langit Jakarta yang menampilkan Usman Arrumy, Heru Joni Putra, Sasti Gotama dan Andre Setiawan, para sastrawan yang dalam beberapa tahun belakangan ini telah menghasilkan karya-karya menarik dan tercatat dalam beberapa penghargaan sastra di Indonesia. Bersama Sakdiyah Ma’ruf yang menampilkan komedi tunggal, empat sastrawan ini membacakan karya-karya mutakhir mereka dalam pembukaan LIFEs Bintang-Bintang di Bawah Langit Jakarta.

Tak hanya pembacaan karya, LIFEs juga menghadirkan lokakarya Goresan Kaligrafi dalam Bait-Bait Puisi bersama Boby es-Syawal el-Iskandar. Belajar menulis kaligrafi bisa membentuk kemahiran gerakan tangan, melatih kesabaran, ketenangan dan kreativitas diri. Di lokakarya ini peserta belajar menulis kaligrafi dari penggalan syair Abu Nawas, sajak Mahmoud Darwish dan Umru al-Qais. Lokakarya ini terbuka untuk semua kalangan, para peserta bisa menggunakan alat tulis dan media yang mudah dan sederhana untuk menulis kaligrafi.

Pembahasan tentang urusan dagang, pertemuan masyarakat Arab dengan Nusantara yang diiringi dengan akulturasi agama dan kebudayaan, khususnya sastra dihadirkan dalam seminar Identitas Arab dan Wajah Kita bersama Ulil Abshar Abdalla dan Zacky Khairul Umam. Seminar ini membahas pengaruh kesusastraan Arab pramodern pada bentuk-bentuk sastra yang ditulis oleh kaum santri, terutama dalam bahasa Melayu dan Jawa. Seminar ini juga mengangkat pengaruh modernisasi pada kebudayaan Arab dan bagaimana pembacaan kita pada kesusastraan Arab yang ditulis di zaman modern. Seminar tersebut adalah salah satu rangkaian seminar berseri dengan tajuk Sastra Arab dan Gemanya pada Kita. Menghadirkan pula peneliti-peneliti muda dengan temuan termutakhir dan menggali serta menelusuri kompleksitas masalah dan kekayaan intelektual dari khazanah kesusastraan Arab dan pengaruhnya ke khazanah sastra dan pemikiran di Nusantara. Dibagi dalam lima sesi, tema seminar LIFEs 2021 mengangkat beragam persoalan menarik berdasarkan apa yang mungkin kita pahami sekaligus keliru dalam kebudayaan Arab yang hadir di Nusantara. Pembicara seri ini di antaranya adalah  Adib M. Islam, Muhammad Aswar, Neneng Nurjanah, Nuruddin Al Akbar, Rosida Erowati, Akhmad Idris, Lilis Shofiyanti, Frengki Nur Fariya Pratama, Mashuri, Rofiq Hamzah, Abdullah Maulani, Rahmatia dan dipandu oleh kurator tamu LIFEs 2021, Hamzah Muhammad. 

Program Ceramah Kunci juga dihadirkan dalam LIFEs 2021, dengan tajuk Sastra, Islam, dan Keragaman di Nusantara yang dipaparkan oleh Oman Fathurahman. Khazanah kesusastraan Arab (dan Persia) muncul seiring dengan masuknya Islam ke Nusantara sejak akhir abad ke-8. Sastra sebagai bagian dari kehidupan intelektual muslim adalah juga bagian yang terserap menjadi salah satu penanda peradaban Melayu-Islam Nusantara. Ceramah kunci ini memaparkan bagaimana proses penyerapan pengaruh sastra Arab dan Persia hingga ia menjadi sebuah karya baru dalam khazanah Melayu klasik. Lebih luas, bagaimana hal tersebut menciptakan sebuah keragaman budaya di Nusantara.

Selain membicarakan kesusastraan Arab, dalam program ini kita juga diajak membicarakan dua pemikir tentang Islam di Nusantara yang memiliki pandangan berbeda. Hamka dan Muhammad Radjab adalah dua penulis dari Sumatra Barat yang berkarya pada periode yang hampir bersamaan. Tapi pergulatan pemikiran mereka tentang islam, adat Minangkabau dan modernisme memiliki perbedaan dan pertautan. Sesi ini membicarakan bagaimana Hamka dan Radjab mengambil posisi selaku muslim pemikir dan membagi sikap antara yang-agama dan yang-kultural. Sesi diskusi bertajuk Hamka dan Muhammad Radjab: Pergulatan Adat, Modernisme, Agama ini menghadirkan penulis Heru Joni Putra dan Sudarmoko. Sesi diskusi tentang pemikir Islam di Indonesia ini dirangkum dalam seri diskusi Klasik nan Asyik. Beberapa pemikir Islam di Indonesia yang dibicarakan di antara Ali Audah, Mustofa Bisri dan D. Zawawi Imron. 

Pembicaraan tentang kompleksitas komunitas Arab di Indonesia sebagai pemaknaan terhadap identitas dan kritik terhadap politik identitas juga dihadirkan dalam acara ini melalui dua pembicara, Sakdiyah Ma’ruf dan Zeffry Alkatiri. Zeffry Alkatiri (sastrawan) kerap menulis sajak dan esai mengenai tema ini, terutama keberadaan komunitas Arab Hadrami di Indonesia. Sakdiyah Ma’ruf (aktivis dan komedian) memanfaatkan medium baru, yaitu stand-up comedy untuk membagikan pengalaman personalnya sebagai perempuan yang lahir dan tumbuh di komunitas Arab. 

Tak hanya menghadirkan pembicara, penulis dan peneliti dalam negeri, Salihara juga menghadirkan pembicara dari mancanegara. Dikemas dalam program Bincang Sastrawan yang menghadirkan Ibtisam Barakat (Palestina-Amerika Serikat), Navid Kermani (Jerman-Iran), dan Milton Hatoum (Brasil). LIFEs 2021 juga menghadirkan peluncuran buku Albert Camus: Tubuh dan Sejarah karya Goenawan Mohamad. Buku ini adalah riset baru tentang pemikiran Albert Camus dari sudut yang berbeda. Ide Camus tentang keadilan tidak berasal dari argumen filosofis melainkan dari pengalaman penderitaan. Camus berbicara tentang kelas, bukan etnis dan identitas. Karya Goenawan Mohamad ini menegaskan kembali rasa solidaritas Albert Camus dengan penderitaan masyarakat Arab. 

Setelah asyik membicarakan pengaruh khazanah kesusastraan Arab di Indonesia melalui seri diskusi, seminar, lokakarya, dan ceramah kunci, LIFEs 2021 Arab Asyiq ditutup dengan pertunjukan musik bertajuk Lintas Raso yang menampilkan METAdomus dengan komposer Syahrial Tando. METAdomus (METAMORFOKA-Indonesian Music) adalah kelompok musik asal Minangkabau. Berbasis musik tradisi, METAdomus menggabungkan berbagai macam alat dan nuansa musik untuk menghasilkan musik kontemporer. METAdomus menampilkan perpaduan dua nuansa musik: Arab dan Minangkabau melalui instrumen Hulusi, Biola, Darabuka, dan gambus. 


Seperti apa topik dan perbincangan menarik lainnya dalam LIFEs 2023 mendatang? Tema apa yang akan dihadirkan di tahun tersebut? Ikuti info selengkapnya di salihara.org.

WhatsApp Image 2024-05-10 at 14.36.46

Menyelami Kesenian Modern Indonesia dalam Pameran “Relief Era Bung Karno” di Galeri Salihara

Jakarta, 03 Mei 2024 – Memasuki Mei 2024, Komunitas Salihara mempersembahkan pameran berbasis kesejarahan dengan tajuk Relief Era Bung Karno yang akan resmi dibuka pada 11 Mei 2024 di Galeri Salihara. Pameran ini bisa dikunjungi umum mulai dari 11 Mei – 09 Juni 2024. 

Soekarno sebagai Presiden pertama Republik Indonesia dikenal memang dekat dengan dunia kesenian. Ia tidak hanya mengoleksi beragam lukisan dan patung di Istana Negara tetapi juga mengenalkan berbagai bentuk seni rupa lain seperti mural, mozaik, dan relief. Sebagai negarawan, Soekarno juga dekat dengan beberapa seniman ternama seperti Harijadi Sumadidjaja, S. Sudjojono, Surono, Trubus Soedarsono, dan Sanggar Pelukis Rakyat untuk mengerjakan proyek-proyek relief di era 1950-1960-an.

Kurator Galeri Komunitas Salihara, Asikin Hasan mengatakan bahwa pameran ini diselenggarakan untuk menumbuhkan kembali apresiasi terhadap karya relief sebagai bagian dari tumbuh kembang kesenian modern serta bangsa Indonesia secara keseluruhan,

“Pameran ini berencana menggunakan pendekatan seni media baru, seperti proyeksi video dan digital sculpting, sebagai media ungkap termutakhir yang dapat menjangkau pelaku dan penikmat seni generasi baru di Indonesia. Penggunaan media baru ini juga menjadi upaya pengarsipan digital sejarah kesenian modern Indonesia.” lanjut  Asikin dalam keterangan tertulis.

Relief Era Bung Karno akan menampilkan arsip dan dokumentasi terkait karya-karya relief di Indonesia dalam bentuk foto, video, digital sculpting, dan 3D print ke dalam sebuah pameran yang diolah secara artistik. Dalam proses pelaksanaannya, tim Galeri Salihara bekerja sama dengan fotografer dan seniman yang ahli dalam bidang digital sculpting dan 3D printing untuk membuat dan mencetak sebagian panel atau subjek relief terpilih. Relief-relief yang akan ditampilkan di antaranya adalah relief yang  berada di Bali Beach (Bali), Samudra Beach (Sukabumi), hingga Hotel Ambarrukmo (Yogyakarta).

Melalui pameran ini pengunjung akan melihat gagasan Presiden Soekarno tidak hanya lewat proyek-proyek yang ia gagas bersama seniman sezaman namun juga melalui video wawancara dengan kurator, seniman, dan instalasi-instalasi yang padu. 

Pameran ini dapat dikunjungi mulai  11 Mei 2024 hingga 25 Juni 2024 (Senin & libur nasional tutup) di Galeri Salihara. dari jam 11:00 – 19:00 WIB. Pengunjung cukup membayar Rp35.000 untuk bisa menikmati pameran ini secara penuh. Informasi pembelian tiket bisa melalui tiket.salihara.org.

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________ 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

Presentation1

Melihat Kembali “Aduh” Karya Putu Wijaya
Setelah 50 Tahun Berlalu di Teater Salihara

10-12 Mei 2024 | Sabtu & Minggu | Teater Salihara

 

Jakarta, 03 Mei 2024 – Dalam dunia sastra dan teater tanah air, Putu Wijaya dikenal sebagai seorang seniman yang lengkap. Ia piawai dalam menulis esai, cerita pendek, novel, naskah lakon, dan juga cerita film. Kekaryaan Putu Wijaya dan jejaknya terentang dari 1964 saat ia masih merantau di Yogyakarta, ia menghasilkan karya-karya yang dekat dengan realisme, antara lain Dalam Cahaya Bulan, Lautan Bernyanyi dan Bila Malam Bertambah Malam.

Di Jakarta, Putu melahirkan kembali Bila Malam Bertambah Malam sebagai novel yang pertunjukannya juga pernah ditampilkan di Teater Salihara pada 2013. Putu merupakan seorang penulis yang mahir membangun cerita. Ia pernah menulis novel Telegram dan berhasil menjadi pemenang Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta (1972) disusul oleh novel-novel lainnya yang memenangkan penghargaan seperti Stasiun, Pabrik, dan lain-lain. Sebagai penulis, ia piawai menjelajahi prosa dan produktif melahirkan karya beragam bentuk. Tidak hanya novel, karya dramanya pun juga menarik untuk disimak salah satunya adalah naskah Aduh yang ia tulis pada 1971. Naskah ini; seperti karya-karya Putu Wijaya lainnya juga memenangkan Lomba Penulisan Lakon DKJ dan dipentaskan pertama kali pada 1974. 

Cerita di dalam naskah ini terinspirasi dari konflik manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk individu. Apakah komunitas yang sudah menzolimi individu atau individu yang sejatinya menindas komunitas, keputusannya diserahkan kepada penonton. Setelah 50 tahun atau setengah abad Aduh, naskah ini ditampilkan kembali di Teater Salihara. 

“Naskah ini masih relevan dengan situasi di Indonesia saat ini, di mana banyak yang hanya berbicara tanpa bertindak, bahkan dalam situasi kritis.” ujar Hendromasto Prasetyo, Kurator Teater Komunitas Salihara dalam keterangan tertulis.

Aduh pada 1974 menandai jejak karya teater Putu menjauh dari realisme. Absurditas mulai lekat padanya. Pasca Aduh, Putu konsisten mencipta teater dengan judul-judul singkat dan hanya terdiri dari satu suku kata. Dalam kesempatan kali ini Komunitas Salihara kembali mengajak penonton untuk meneroka naskah-naskah Putu Wijaya dalam rangkaian program seperti diskusi, pembacaan karya, dan pertunjukan teater dalam tajuk Setengah Abad “Aduh”.

Dalam rangkaian Setengah Abad “Aduhini kita akan melihat naskah Telegram dan Aduh–dan tidak menutup kemungkinan naskah-naskah lainnya–dibahas secara mendalam bersama dengan tokoh-tokoh seni seperti Goenawan Mohamad dan Cobina Gillitt.

Rangkaian ini juga menampilkan pembacaan fragmen karya-karya Putu Wijaya yang akan dipentaskan oleh alumni Kelas Akting Salihara serta tentunya pertunjukan Aduh oleh Teater Mandiri—disutradarai oleh Putu Wijaya—yang akan dipentaskan selama dua hari di Teater Salihara. 

 

Berikut adalah rangkaian program Setengah Abad Aduh yang akan dilaksanakan 10-12 Mei 2024:

Apa Kabar Telegram? [Diskusi]
Pembicara: Goenawan Mohamad 
Jumat, 10 Mei 2024 | 16:00 WIB | Teater Salihara

Putu Wijaya mahir membangun cerita. Sebelum Putu Wijaya dikenal sebagai nama penting dalam ranah teater di Indonesia, ia lebih dulu muncul sebagai penulis sastra. Karya sastranya telah terbit semasa ia masih tercatat sebagai mahasiswa di UGM maupun Asdrafi (Akademi Seni Drama dan Film) di periode 1960-an. Salah satu karyanya, novel Telegram (Pustaka Jaya, 1973), Putu Wijaya memilin yang nyata dan khayal dalam tokoh Aku sebagai nadi cerita. Telegram memiliki modus penceritaan yang berulang-alih antara kenyataan dan halusinasi. Bersama Goenawan Mohamad, diskusi ini akan membahas lebih dalam tidak hanya seputar naskah Telegram, namun juga karya-karya sastra Putu Wijaya lainnya.  

 

Malam Pembacaan Karya Putu Wijaya [Pentas]
Penampil: Budi Suryadi, Firly Savitri, Fransisca Lolo, Henry C. Widjaja, Sita Nursanti
Jumat, 10 Mei 2024 | 20:00 WIB | Teater Salihara

Malam pembacaan menyajikan sepilihan karya-karya Putu Wijaya baik berupa petikan cerita pendek, novel, maupun naskah teater. Alumni Kelas Akting Salihara menjadi pembaca karya-karya tersebut. Sejumlah karya yang dibacakan antara lain Stasiun, Telegram, dan Bila Malam Bertambah Malam.

 

Aduh [Teater]
Penampil: Teater Mandiri | Sutradara: Putu Wijaya
Sabtu, 11 Mei 2024 | 20:00 WIB & Minggu, 12 Mei 2024 | 16:00 WIB | Teater Salihara
Tiket: Rp110.000 (umum) & Rp55.000 (Pelajar)

 

Aduh oleh Teater Mandiri pertama kali dipentaskan pada 1974. Aduh menegaskan kehadiran yang absurd di ranah teater Indonesia kala lakon-lakon realis tengah berkibar. Sejak kemunculannya setengah abad lampau, Aduh menjadi salah satu naskah karya Putu Wijaya yang kerap dimainkan oleh banyak kelompok teater di Indonesia hingga hari ini. Bagi Putu Wijaya yang mendirikan Teater Mandiri, Aduh merupakan babak baru penjelajahan artistiknya. 

Aduh menampilkan tokoh tanpa nama yang mengerang dan mengaduh kesakitan di tengah kesibukan orang banyak. Orang-orang sibuk berdebat, perlukah memberi pertolongan tanpa pernah bertindak hingga yang sakit akhirnya mati. Mereka panik lalu susah payah membuang mayat yang sakit ke sumur. Tanpa sadar, di antara mereka ada yang terjebak di dalam sumur. Dari sumur itu lantas muncul suara mengaduh minta tolong di sela erangan. Lagi-lagi mereka berdebat perlukah menolong tanpa pernah bertindak hingga suara itu lenyap bersama ajal yang menjemputnya. 

Setelah setengah abad, Aduh masih terasa dekat dengan kenyataan di Indonesia hari ini. Bukankah hingga kini masih banyak di antara kita yang sibuk berkata-kata tanpa bertindak hingga berujung fatal?

 

Aduh Setelah 50 Tahun [Diskusi]
Pembicara: Cobina Gillitt
Minggu, 12 Mei 2024 | 14:00 WIB | Teater Salihara

Seri kedua diskusi Setengah Abad “Aduh” secara khusus membicarakan naskah lakon Aduh sebagai karya penting Putu Wijaya, yang menegaskan kehadiran Teater Mandiri di dunia teater Indonesia. Pada diskusi ini Cobina Gillitt menjadi pembicara tunggal yang akan membagikan pengalamannya dengan naskah Aduh. Pengalamannya sebagai anggota Teater Mandiri, menerjemahkan Aduh dan memainkannya dalam bahasa Inggris menjadi materi diskusi yang dapat diikuti sebelum karya tersebut dipentaskan di Teater Salihara.

Untuk melakukan pemesanan tiket, calon pengunjung bisa melakukan pembelian di tiket.salihara.org.

 

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________ 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

debat2024

KOMUNITAS SALIHARA MEMBUKA PENDAFTARAN
“KOMPETISI DEBAT SASTRA TINGKAT SMA 2024”

Pendaftaran: 15 Maret–17 Juli 2024
Final: 28 September 2024
Total Hadiah: Rp44.000.000

 

Jakarta, 17 Maret 2024– Membaca karya sastra penting dilakukan sejak usia dini sebab sastra seperti novel, cerpen, atau puisi dapat memberikan kekayaan psikologis dan perspektif dalam memahami persoalan manusia atau dunia. Untuk mendukung minat baca sejak dini serta mendorong peningkatan intelektualitas generasi muda, Komunitas Salihara kembali membuka pendaftaran untuk Kompetisi Debat Sastra Tingkat SMA 2024. 

Kompetisi debat ini telah menjadi kalender rutin bagi Komunitas Salihara yang ingin berkontribusi dalam membuka wawasan kritis bagi pelajar muda di Indonesia dan di tahun ini kami hadir dengan  “Membandingkan novel Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta karya Luis Sepúlveda (Chili) dengan Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis (Indonesia)”.

Kedua novel ini dipilih untuk dibandingkan karena keduanya ditulis di saat negeri masing-masing—Indonesia dan Chili—diperintah oleh diktator militer—Soeharto di Indonesia dan Pinochet di Chili. Selain itu dari konteks juga keduanya bercerita antara lain tentang hubungan manusia dengan alam hutan, ekosistemnya, dan persoalan yang timbul akibat peradaban modern—suatu masalah yang menjadi semakin urgen belakangan ini.

Fokus perbandingan yang diminta adalah: penggarapan sastrawi atas tema pembangunan dan ekologi, dan penggarapan atas tokoh-tokoh cerita. Penting juga untuk melihat apakah ide (tema atau pesan cerita) dan bentuk (bahasa, metafora, plot, dll.) berjalin seimbang sehingga novel ini nikmat dibaca.

Bagi calon peserta yang ingin mengikuti “Kompetisi Debat Sastra Tingkat SMA” ini diharapkan untuk membentuk tim yang terdiri dari 3 (tiga) siswa tingkat SMA/sederajat dari sekolah yang sama. Tiap sekolah dapat mengirimkan lebih dari 1 (satu) tim. Siswa/i yang mendaftar harus merupakan siswa yang masih bersekolah di bangku SMA ketika final debat berlangsung di 28 September 2024.

Kompetisi ini tertutup bagi sekolah yang sudah menjadi juara 1 (satu) di tahun sebelumnya. Peserta yang mendaftar akan membuat karya tulisan telaah (berupa tulisan atau makalah) dalam bahasa Indonesia setelah membaca dan membandingkan kedua karya (Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta dan Harimau! Harimau!) yang dapat diunduh setelah proses pendaftaran.

Pendaftaran sudah dimulai sejak 15 Maret–17 Juli 2024, sedangkan untuk makalah dapat dikumpulkan mulai 17 Juli–05 Agustus 2024 (tenggat kirim surat elektronik). Perlu diingat, sekolah yang mendaftar namun tidak mengirimkan makalahnya akan didiskualifikasi pada tahun penyelenggaraan berikutnya.

Makalah yang terpilih akan dilihat dari mutu argumen, pendalaman, penggalian masalah, dan ketertiban serta keindahan bahasa Indonesia yang digunakan. Pemenang Kompetisi Debat Sastra akan mendapatkan hadiah uang tunai sebesar Rp20.000.000 dan Rp15.000.000 untuk pemenang kedua. Tiga makalah favorit juga akan mendapatkan masing-masing Rp3.000.000 (pajak ditanggung pemenang). 

Di tahun ini Kompetisi Debat Sastra Tingkat SMA 2024 didukung oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan melalui Program Pemanfaatan Hasil Kelola Dana Abadi Kebudayaan Tahun 2023. Bagi Calon peserta yang tertarik untuk mengikuti kompetisi ini bisa mengunjungi laman salihara.org atau menghubungi edukasi@salihara.org.

 

Tentang Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta dan Harimau! Harimau! 

Ditulis oleh: Kurator Edukasi dan Gagasan Komunitas Salihara, Zen Hae

Novel Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis dan Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta karya Luis Sepúlveda adalah dua novel tentang konflik manusia dengan harimau. Yang pertama berlangsung di hutan Sumatra, yang kedua di belantara Ekuador. Harimau dalam hal ini mewakili kekuatan alam liar yang terusik oleh ulah manusia, baik karena pemukiman, penambangan maupun perburuan yang telah menjadi tradisi panjang masyarakat setempat. Sumber makanan harimau menipis dan membuatnya kelaparan. Itulah kenapa sang harimau menuntut balas, memangsa manusia. Sebaliknya, korban-korban yang berjatuhan menjadi alasan manusia untuk memburu harimau. Pada akhirnya, sang harimau mati di tangan para pemburu. Dengan begitu, salah satu kekuatan alam telah ditaklukkan. 

Kedua novel ini sama-sama memberikan pelajaran betapa pentingnya merawat alam dan menghormati apa-apa yang ada di dalamnya. Tanpa kesadaran ini maka perusakan alam (dalam hal ini: perburuan dan penambangan) akan terus terjadi. Dua pengarang, dengan cara masing-masing, telah menunjukkan betapa konflik antara manusia dan harimau hampir selalu dimulai dari terancamnya sang harimau oleh manusia. Manusia yang kelewat rakus menjarah hasil hutan akan menanggung akibat kemarahan para penghuni rimba raya. Tetapi, manusia selalu dimenangkan dalam konflik ini.

Membandingkan kedua novel ini berarti membandingkan juga dua budaya dalam melihat alam dan rimba raya. Termasuk cara pandang masyarakat dalam melihat ancaman harimau. Antara yang melihatnya dengan cara pandang realistis-pragmatis dan yang melihatnya dengan bumbu mitos harimau jadi-jadian. Antara cara pengarang yang tangkas dan penuh humor dan pengarang yang bertele-tele dan penuh petuah. Antara sapuan erotisme yang samar-samar dan maksud politik jahat penguasa setempat. Masing-masing novel hadir dengan kekuatan dan kelemahannya. 

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________ 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org