web banner-salihara jazz buzz 2024-1920x1080

Tawaran Progresif dalam Musik Jazz
Melalui Salihara Jazz Buzz 2024

Teater Salihara, 24-25 Februari & 2 Maret 2024

 

Jakarta, 10 Februari 2024 – Mengawali 2024 dengan penuh antusias, Komunitas Salihara Arts Center menggelar festival musik jazz progresif dalam gelaran Salihara Jazz Buzz. Salihara Jazz Buzz rutin menampilkan pilihan genre, komposisi dan presentasi konsep musik baru setiap tahunnya. Tahun ini; Jazz Buzz menampilkan tiga musisi pilihan Undangan Terbuka yakni; A6 Ensemble, Borderline, dan Riki Danni. Ketiganya dipilih karena dapat memberikan tawaran baru dalam jazz tanah air selaras dengan visi/misi Salihara Jazz Buzz menurut pertimbangan para Dewan Juri.

Kurator Musik dan Tari Komunitas Salihara, Tony Prabowo mengatakan bahwa jazz dalam kehidupan musik di Indonesia menjadi salah satu genre musik yang banyak peminatnya dan Salihara hadir untuk memberikan tawaran kebaruan akan hal tersebut. Selain tawaran yang menarik, ketiga musisi jazz pilihan ini juga hadir dari latar belakang pendidikan yang menarik, 

“Ketiga grup ini terlihat menonjol di antara yang lain karena ketiganya mempunyai latar belakang pendidikan yang cukup baik, sekalipun mereka jelas harus bekerja keras untuk menambah pengalaman bermain, khususnya menyerap dan berjuang untuk mencari estetika baru pada karya-karya mereka.”

 

Tentang penampil dan musik yang dibawakan:

 

Penampil: Riki Danni | Sabtu, 24 Februari 2024 | 20:00 WIB

Riki merupakan seorang saksofonis dan komponis asal Indonesia. Ia terinspirasi dari musisi-musisi seperti Jaubi, Braxton Cook, Shubh Saran, Guernica Quartet, dan SOIL & “PIMP”. Riki gemar menciptakan karya-karya fusion jazz yang memiliki unsur-unsur etnis mancanegara dan elektronik, sebagai usaha untuk menghadirkan musik yang keluar dari kosabunyi jazz tradisional.

Musik: Principles

Principles adalah karya musik orisinil Riki Danni yang dikemas dengan gaya musik fusion jazz dan terinspirasi dari sejumlah konsep musik etnis, terutama dari Jepang, Eropa, dan Timur Tengah. Ia menggabungkan elemen-elemen musik elektronik dengan berbagai pengaruh budaya tersebut untuk menyampaikan narasi tentang pencarian jati diri. Tiap karya musik yang ditampilkan mengangkat narasi sebuah filosofi atau prinsip hidup tertentu, sekaligus mengajak penonton untuk mempertanyakan validitasnya. Pertunjukan musik ini dibawakan dalam format ensambel berisi saksofon, flute, gitar, keyboard, bas elektrik, perkusi, dan drum. Karya ini diwarnai dengan permainan improvisasi dari tiap instrumen sepanjang pertunjukkan.

 

Penampil: A6 Ensemble | Minggu, 25 Februari 2024 | 16:00 WIB

 

A6 Ensemble merupakan sebuah grup musik Instrumental Ethnic Fusion yang lahir di Yogyakarta pada pertengahan 2019. Perjalanan A6 Ensemble dimulai saat menjadi penampil pada pameran tunggal I Nyoman Sukari dan memperkenalkan diri sebagai A6 Percussion. Dengan fokus awal bermain perkusi, nama A6 diambil dari ukuran pada stik drum dan terbentuk untuk mengisi acara kesenian seperti pameran dan pertunjukan. Seiring berjalannya waktu, nama A6 Percussion kemudian diubah menjadi A6 Ensemble, dengan alasan adanya perubahan formasi yang tidak hanya fokus pada permainan perkusi saja.

Pada akhir 2019 hingga sekarang, A6 Ensemble mulai merambah ke penciptaan karya musik instrumental yang lebih serius dengan menentukan visi dan misi grup musik ini. Setelah melalui perjalanan panjang, pada Februari 2022 A6 Ensemble berhasil meluncurkan single pertama yang berjudul “LAGAS”. Pada akhir 2022, A6 Ensemble kembali merilis single kedua dengan judul “HOPE”. Karya-karya ini dapat didengarkan di seluruh platform musik digital.

 

Musik: A Resting Place

A Resting Place mengajak penonton untuk merefleksikan bunyi-bunyi tematik dari karya A6 Ensemble. Ide melodi utama dari karya-karya A6 Ensemble mencoba merepresentasikan suasana yang dialami oleh personilnya mulai dari suka cita, perasaan sedih, bahagia, haru serta refleksi mengenai perjalanan grup ini. A6 Ensemble akan membawakan pertunjukan musik jazz dengan konsep yang diadaptasi dari gagasan konsep film dan seni pertunjukan, yaitu naratif dan performatif. Naratif merujuk pada suatu bentuk skenario yang menawarkan cara pandang baru untuk menikmati musik instrumental. Konsep naratif akan dikemas dalam bentuk booklet yang berisi skenario mencakup judul dan narasi tiap karya yang akan ditampilkan pada Salihara Jazz Buzz 2024, tanpa memiliki kesinambungan dengan urutan karya saat ditampilkan. 

Konsep performatif mengacu pada aksi atau pertunjukan yang tidak hanya menyajikan suatu karya tetapi juga bertindak sebagai ekspresi seni dan identitas. A6 Ensemble mengedepankan unsur dinamika pertunjukan dalam sebuah pementasan. Selain itu, A6 Ensemble akan menghadirkan kolaborasi antara performance art, visual mapping, tata cahaya, dan gimik di atas panggung.

 

Penampil: Borderline | Sabtu, 2 Maret 2024 | 20:00 WIB

Borderline adalah grup jazz asal Indonesia yang terbentuk pada 2022 dan terdiri dari empat musisi muda internasional berusia 20–25 tahun, yaitu Muhammad Rega Dauna (harmonika), Brandon Julio (bas), Michael Ananda (gitar), dan Timoti Hutagalung (drum). Nama “Borderline” digunakan karena para anggotanya tinggal di perbatasan kota. Borderline memulai kariernya dengan bermain jazz di bar Jakarta. Borderline mulai tampil pada gigs kecil di Jakarta Selatan, kemudian tampil pada festival-festival besar seperti Ngayogjazz, Suara Festival, Java Jazz, dan Esplanade’s Jazz. Mereka juga mewakili Indonesia dalam Europe Tour 2022. Selama Europe Tour pada Agustus–Oktober 2022, Borderline menggelar konser jazz di 11 negara. Borderline merilis CD edisi Eropa berjudul “Eye of The Universe”, yang terdiri dari lima lagu berjudul Jakarta City, Blackrose, Gray Sun, Eye of The Universe, dan Ana Maria oleh Wayne Shorter.

 

Musik: Eye of The Universe

Eye of The Universe adalah judul album (juga pertunjukan) dari Borderline yang berisi musik-musik original yang diciptakan oleh masing-masing anggota dan dirombak kembali bersama-sama. Judul tersebut terinspirasi oleh bulan purnama yang mewujudkan sebuah mata. Eye of The Universe berfilosofi bahwa di atas langit masih ada sesuatu yang lebih agung, yang menyaksikan segala baik dan buruk. Eye of The Universe juga berarti bahwa di setiap gelap selalu ada terang. 

Secara musikal karya-karya di dalam Eye of The Universe terinspirasi dari musisi jazz seperti Herbie Hancock, Chic Corea, Spirit Fingers, dan Pat Metheny, dengan warna musik yang dipengaruhi oleh genre latin jazz, european jazz, fusion, polyrhythmic music, dan odd meter music. Karakter dari setiap anggota yang berbeda dan telah dipadukan dalam satu kesatuan musik akan menciptakan nuansa yang lebih luas.

Untuk dapat merasakan pengalaman mendengarkan secara langsung pengunjung bisa melakukan pemesanan via tiket.salihara.org dengan harga Rp. 110.000 (umum) dan Rp. 55.000 (pelajar/mahasiswa).

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________ 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

Mengapresiasi Kebaruan dalam Musik
Melalui Salihara Jazz Buzz 2024

Teater Salihara, 24-25 Februari & 02 Maret 2024

 

Jakarta, 10 Maret 2024 – Salihara Jazz Buzz 2024 telah sukses digelar dari 24 Februari –  02 Maret lalu. Acara ini menghadirkan tiga musisi hasil Undangan Terbuka yakni; A6 Ensemble, Borderline, dan Riki Danni. Ketiganya berhasil memukau lebih dari ratusan pasang mata yang menghadiri Salihara Jazz Buzz selama tiga hari pertunjukan tersebut.

Ketiga musisi pilihan dewan juri tersebut, hadir dengan membawa warna musik masing-masing dan menawarkan konsep yang progresif selayaknya nyawa dari Salihara Jazz Buzz yang selalu menawarkan kebaruan. Contohnya seperti A6 Ensemble–kelompok musik asal Yogyakarta– yang menghadirkan tradisi dan jaz dengan bunyi-bunyi tematiknya merepresentasikan beragam suasana yang dirasakan oleh tiap personilnya seperti senang, sedih, sukacita, dan didukung dengan tampilan visual arts di atas panggung.

A6 Ensemble dengan latar visualnya dalam pertunjukan di Salihara Jazz Buzz, Teater Salihara (25/02) Dok. Witjak Widhi Cahya

 

Selain A6 Ensemble, musisi Riki Danni yang menjadi pembuka dalam acara ini membawakan fusion jazz yang diiringi oleh alat musik saksofon, flute, gitar, keyboard, bas elektrik, perkusi, dan drum dengan sentuhan improvisasi tiap-tiap instrumen di dalam pertunjukannya. Riki mengaku bahwa bermain di Salihara Jazz Buzz merupakan pengalaman yang menyenangkan dan memotivasi dirinya untuk terus berkarya,

“Pengalaman yang asik, mengetahui bahwa ada wadah yang mengapresiasi kebaruan dalam musik menjadi motivasi saya untuk terus berkarya.”

Dorongan yang mengantarkan Riki dan rekan-rekan Jazz Buzz lainnya seperti A6 Ensemble dan Borderline, dilandasi oleh pengalaman musisi-musisi sebelumnya yang pernah mengikuti Undangan Terbuka ini di tahun-tahun sebelumnya.

Kembali mengingatkan, Salihara Jazz Buzz merupakan festival musik jaz persembahan Komunitas Salihara yang mengusung ide Jazz Sans Frontières, sebuah gagasan dan konsep musikal “lintas-batas”. Hal tersebut menjadikan Salihara Jazz Buzz sebagai salah satu acara yang paling diminati oleh pemirsa seni Komunitas Salihara. Salah satu upaya Komunitas Salihara untuk menemukan bakat-bakat terbaru dari musisi muda di bawah usia 35 tahun dalam bermusik jaz. Salihara mengadakan Undangan Terbuka untuk seluruh musisi yang memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh Dewan Juri. Dari hasil Undangan Terbuka yang sudah dilakukan sejak 2023 lalu, terpilihlah tiga musisi yang telah disebutkan di atas yakni: A6 Ensemble, Borderline, dan Riki Danni yang mendapat kesempatan untuk bermain di Teater Salihara pada 24 Februari (Riki Danni), 25 Februari (A6 Ensemble), dan 02 Maret (Borderline).

Semangat untuk menemukan estetika baru dalam mendengarkan jazz diharapkan masih terus berkobar untuk tahun-tahun kedepannya, mengingat antusias dan respons masyarakat yang begitu baik di tiap-tiap tahun penyelenggaraan Salihara Jazz Buzz. Salah satunya adalah Muhammad Febriyanto (29) yang mengatakan pengalaman menonton musik jaz yang dipersembahkan Riki Danni merupakan sesuatu yang baru dan membuat nyaman,

“Untuk sebuah showcase ini adalah pertunjukan yang membuat nyaman meskipun memang jenis musiknya tidak untuk semua kalangan. Vibes yang dibangun sangat menarik dan saya suka walaupun ini (konsep) acara musik jaz pertama kali saya lihat.”

Kurator Musik Salihara, Tony Prabowo berharap ke depannya Salihara sebagai presenter pada acara musik jaz tetap bisa menghadirkan tawaran yang lebih progresif terutama terhadap genre musik yang sesuai dengan visi/misi yang sudah dipegang Salihara selama lebih dari 15 tahun ini.

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________ 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

jokpin

Antara Senyum dan Renungan
Berpijar Kata dan Luka

Obituari Joko Pinurbo

 

Joko Pinurbo (Sukabumi, 11 Mei 1962-Yogyakarta, 27 April 2024) adalah anak kandung puisi Indonesia. Ia mengambil hampir semua kekuatan penting puisi Indonesia untuk membangun puisi-puisinya. Namun, ia kemudian menemukan jalan kepenyairannya yang khas dengan melahirkan puisi-puisi berwatak ganda: serius sekaligus lucu. Itulah yang membuat ia segera terbedakan dari penyair-penyair generasi sebelumnya yang telah menjadi sumber penciptaan puisi-puisinya.

Jika ia menyajikan humor yang memancing tawa—atau sekadar sunggingan senyum—sebenarnya itu hanyalah siasat sang penyair untuk mengajak pembaca memikirkan sesuatu di antara yang lucu-lucu sebelumnya. Puisi humornya hampir selalu dikunci dengan satu-dua larik yang menyadarkan pembaca bahwa tersenyum hanyalah momen pembebasan sesaat sebelum akhirnya pembaca harus selalu menyadari betapa hidup itu absurd dan derita menjadi tanpa batas. 

Puisi berwatak ganda seperti ini adalah khas Joko Pinurbo. Jika kita membandingkan puisi-puisinya dengan “puisi mbeling” yang diperkenalkan oleh Remy Sylado pada awal 1970-an, misalnya, kita akan segera menemukan perbedaan yang mencolok. Puisi mbeling memang berpretensi bermain-main, meledek yang kelewat serius, dengan protes di sana-sini, banal, lucu pun bisa. Kala itu ia menjadi guncangan satu-satunya untuk puisi lirik berbahasa Indonesia dan karenanya ia menjadi bernilai. Dan ia berhenti sampai di situ.

Sementara puisi-puisi Joko Pinurbo mengembalikan watak lain puisi, yaitu perenungan, yang sebelumnya telah ditolak puisi mbeling. Joko Pinurbo seakan-akan hendak menetapkan bahwa sifat bermain-main itu sudah harus dihentikan dan kita kembali kepada perenungan tadi, meski tindakan itu sendiri tidak diniatkan untuk menyelesaikan persoalan yang ada. Ia menghendaki pembacanya bersikap kritis dengan hati yang jembar; kembali kepada kepada hidup yang penuh masalah, dengan tidak gampang menyerah.

Untuk mencapai semua itu Joko Pinurbo mengambil, setidaknya, dua model utama: puisi lirik Sapardi Djoko Damono dan puisi balada Rendra. Dari Sapardi Joko Pinurbo menyerap kemahiran memainkan citraan dan bunyi, teka-teki dan melankoli—imajisme secara keseluruhan. Pada sajak-sajak awalnya Joko Pinurbo bahkan seperti mengulang begitu saja model persajakan Sapardi itu. Dalam kasus ini, Joko Pinurbo juga sesekali memainkan kembali jukstaposisi dan disonansi yang tajam yang sebelumnya kerap kita temukan dalam puisi-puisi Goenawan Mohamad.  

Sementara melalui langgam puisi balada Joko Pinurbo menghidupkan kembali tokoh-tokoh kecil dan ganjil dari kehidupan keseharian kita. Jika dalam puisi-puisi balada Renda tokoh-tokoh ini cenderung dipahlawankan, dimuliakan karena perlawanan mereka atas kebiadaban yang mengungkung mereka, maka-puisi dalam puisi Joko Pinurbo mereka hampir selalu berwatak “antiwira”. Joko Pinurbo memasang orang kecil yang tidak termasuk dalam statistika kota atau benda-benda keseharian yang selama ini tidak direken sebagai benda puitik—awalnya, celana, kelak, telepon genggam. 

Jika orang-orang kecil yang tertindas dibela habis-habisan oleh sajak-sajak protes—melalui sosok Rendra dan Wiji Thukul, misalnya—dalam sajak-sajak Joko Pinurbo, sebaliknya, orang-orang kecil yang menderita itu justru diledek habis-habisan, tanpa pembelaan sama sekali. Bukan sekali dua, ledekan itu mengarah kepada penyairnya sendiri. Dengan humor getir seperti ini Joko Pinurbo mengajukan “puitika cemooh” (Ralph M. Rosen, Making Mockery: The Poetics of Ancient Satire, 2007) yang jitu, yang hampir tidak pernah kita dapatkan dalam puisi Indonesia sebelumnya.

Sasaran cemooh itu juga kadang-kadang bergeser ke sosok-sosok dalam kehidupan iman Katolik. Sejatinya, sudah sejak awal, sebagai seorang penganut Katolik Joko Pinurbo mengolah kembali fragmen-fragmen Alkitab, terutama Perjanjian Baru, di seputar kehidupan Yesus, Maria dan Maria Magdalena. Dengan cara ini ia secara tidak langsung hendak mengajak kita untuk melenturkan sikap keagamaan kita, yang selama ini kelewat banyak tegang karena pelbagai gesekan dan lain-lainnya. 

Lebih jauh lagi, Joko Pinurbo juga mempersoalkan kembali tubuh manusia. Tubuh manusia—hampir seluruhnya penggambaran tubuh manusia ini mengacu kepada tubuh penyair yang tipis-ringkih—bukan sekadar bangunan biologis, tetapi medan penciptaan dan penafsiran kembali akan dunia luas. Tubuh dalam puisi-puisi Joko Pinurbo adalah medan yang telah dibersihkan, sebisa mungkin, dari erotisme. Jika pun ia menyerempet ke arah erotisme, sebetulnya itu hanyalah sejenak sebelum akhirnya ia menjelajahi kegetiran dan absurditas hidup melalui fenomena tubuh di atas ranjang atau tubuh di atas beca dan kuburan.

Celana (1999) adalah buku puisi Joko Pinurbo yang memberikannya ketetapan bahwa humor, juga kontemplasi dan kritik sosial, bisa berjalan bersamaan dalam puisi-puisinya. Di sini pengucapan puisi bukan ditentukan oleh hasrat penyair untuk menyadarkan pembaca agar bersikap kritis sebagaimana penyairnya—sebagaimana telah kita alami pada banyak puisi protes—sebaliknya untuk memberikan kita kesempatan untuk menginterogasi diri kita sendiri, untuk meledeknya, dan dari sana siapa tahu kita beroleh pencerahan baru, mencapai jiwa yang tersucikan. 

Buku-buku puisi Joko Pinurbo selanjutnya tidak banyak bergerak dari wilayah tematik yang telah ia bangunkan dalam Celana. Memang, pada tahun-tahun terakhir kepenyairannya ia mencoba menjadi penyair yang akomodatif, terbarukan, cepat tanggap, dengan menjelajahi tema-tema yang berkisar di media sosial atau sejenisnya. Ia juga menerbitkan sejumlah buku puisi dengan tema terkait. Tetapi, kekuatan puitika Joko Pinurbo justru masih bertahan pada buku-buku puisinya yang awal. 

Sepanjang itu, yang mesti dipujikan adalah bahasa Indonesia Joko Pinurbo yang jernih, sehingga membuat puisi-puisinya selama ini terbebas dari godaan “puisi gelap” yang pernah merebak pada dasawarsa 1990-an. Ia adalah penyair yang sadar diri bahwa bahasa Indonesia mesti diberdayakan terus agar penyair bisa menemukan pengucapan-pengucapan baru. Bahkan, ada waktunya ia menulis puisi-puisi yang berkaitan dengan pergaulannya dengan bahasa Indonesia yang telah menjadi bahasa utama puisi-puisinya. 

Joko Pinurbo telah mendapatkan sejumlah penghargaan sastra melalui buku puisi dan kiprahnya selama ini. Yang terakhir adalah Penghargaan Achmad Bakrie 2023 untuk Kesusastraan. Berkali-kali pula ia diundang ke festival sastra di Indonesia dan mancanegara. Ia pernah pula tampil di Komunitas Salihara sebagai penyair dan pengampu kelas penulisan puisi dalam Bienal Sastra Salihara 2015.

 

Selamat jalan, Joko Pinurbo.

debat2024

Kompetisi Debat Sastra Tingkat SMA 2024

Novel memberi kekayaan psikologis dan perspektif untuk memahami persoalan manusia dan dunia. Membaca dan membandingkan novel Indonesia dan asing juga menambah pengetahuan.  

Komunitas Salihara mendorong kreativitas dan intelektualitas generasi muda dengan kembali mengadakan: 

Membandingkan novel Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta karya Luis Sepúlveda (Chili) dengan Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis (Indonesia) dengan acuan berikut: 

Kedua novel ini bercerita, antara lain, tentang hubungan manusia dengan alam hutan, ekosistemnya, dan persoalan yang timbul akibat peradaban modern—suatu masalah yang menjadi semakin urgen belakangan ini. Kedua karya sastra ini ditulis di saat negeri masing-masing—Indonesia dan Chili—diperintah oleh diktator militer—Soeharto di Indonesia dan Pinochet di Chili. 

Fokus perbandingan yang diharapkan adalah: penggarapan sastrawi atas tema pembangunan dan ekologi, dan penggarapan atas tokoh-tokoh cerita. Penting juga untuk melihat apakah ide (tema atau pesan cerita) dan bentuk (bahasa, metafora, plot, dll.) berjalin seimbang sehingga novel ini nikmat dibaca.

Kompetisi Debat Sastra SMA 2024 didukung oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan melalui Program Pemanfaatan Hasil Kelola Dana Abadi Kebudayaan Tahun 2023.

  • Pendaftaran: 15 Maret–17 Juli 2024
  • Tenggat pengumpulan makalah: 17 Juli–05 Agustus 2024 (tanggal kirim surat elektronik)
  • Penjurian tahap 1: 06-27 Agustus 2024
  • Pengumuman finalis: 28 Agustus 2024
  • Final: 28 September 2024

Juara 1: Rp20.000.000

Juara 2: Rp15.000.000

Tiga makalah favorit (maksimal) masing-masing Rp3.000.000

*pajak ditanggung pemenang

  • Peserta adalah kelompok yang terdiri atas 3 (tiga) siswa dari satu sekolah setingkat SMA. Setiap sekolah boleh mengirimkan lebih dari satu kelompok. Peserta boleh memberi nama kelompoknya secara bebas; 
  • Peserta adalah siswa yang masih duduk di bangku SMA atau setara ketika final debat berlangsung pada 28 September 2024;
  • Kelompok dari sekolah yang telah menjadi juara 1 pada tahun sebelumnya tidak diperkenankan mendaftar;
  • Peserta yang telah melengkapi pendaftaran dan menerima karya, tetapi tidak mengumpulkan makalah hingga batas akhir pengumpulan, akan didiskualifikasi pada tahun penyelenggaraan berikutnya;
  • Karya yang ditelaah dapat diunduh setelah menyelesaikan proses pendaftaran (mengisi dan melengkapi formulir);
  • Peserta (atas nama kelompok) membuat telaah (berupa tulisan atau makalah) dalam bahasa Indonesia setelah membaca dan membandingkan karya sastra di atas;
  • Makalah dikirim tanpa mencantumkan identitas di dalam makalah dan tanpa menggunakan sampul (cover) berlogo sekolah atau nama kelompok. Tidak perlu menambahkan lembar persetujuan, lembar ucapan terima kasih maupun kata pengantar;
  • Telaah yang diunggulkan adalah yang menawarkan kedalaman pemahaman dan keluasan perspektif;
  • Format pelaksanaan final akan ditentukan dengan melihat perkembangan kondisi kesehatan (bila diadakan secara langsung di Salihara, Salihara akan menanggung akomodasi dan transportasi kelompok peserta dari luar Jabodetabek);
  • Kirim hasil telaah karya sesuai jadwal yang ditentukan ke alamat surel berikut:  edukasi@salihara.org dengan subyek: Kompetisi Debat Sastra Tingkat SMA (nama sekolah/kelompok).
  • Juri Tahap I menilai karya tulis berdasarkan mutu argumen, pendalaman dan penggalian masalah serta ketertiban dan keindahan bahasa Indonesia yang digunakan;
  • Masing-masing kelompok finalis boleh memilih satu wakil untuk presentasi atau mengatur anggota-anggota kelompok berbicara secara bergiliran (gaya presentasi bebas);
  • Juri Tahap II menilai keterampilan peserta dalam menyampaikan gagasan secara lisan dan kekuatan argumen dalam perdebatan;
  • Keputusan juri tidak dapat diganggu gugat.
  • Daftarkan diri dan kelompokmu dengan mengisi formulir pendaftaran di https://forms.gle/QVsqqwS7ZoA8Waue7
  • Buku materi Kompetisi Debat memiliki dua (2) format, yaitu berupa akses buku digital dan buku fisik:
    • Akses Buku Digital berupa voucher akan dikirimkan ke email penanggung jawab kelompok yang didaftarkan dalam formulir, dengan estimasi 2–3 hari kerja setelah submit pendaftaran;
    • Buku fisik akan dikirimkan ke alamat penanggung jawab kelompok yang didaftarkan dalam formulir, dengan estimasi  3–5 hari kerja setelah submit pendaftaran.
  • Uduh aplikasi MyEdisi reader di AppStore/PlayStore atau unduh melalui tautan berikut https://www.myedisi.com/reader (Aplikasi MyEdisi dapat diunduh pada smartphone berbasis Android/iOS);
  • Buat akun MyEdisi menggunakan masing-masing nama peserta kelompok yang didaftarkan;
  • Setelah membuat akun, silakan login ke aplikasi MyEdisi;
  • Setelah login, pilih ‘Garis 3’ di pojok kiri atas beranda aplikasi;
  • Pilih ‘Pengaturan’, lalu pilih ‘Voucher’;
  • Masukkan kode voucher (yang sudah dikirimkan melalui email penanggung jawab kelompok), lalu ‘Aktifkan Voucher’;
  • Konfirmasi voucher akan muncul, lalu pilih ‘Setuju & Gunakan Voucher’;
  • Akan muncul notifikasi ‘Klaim Voucher Berhasil’, lalu pilih ‘Unduh Sekarang’;
  • Setelah klaim berhasil, silakan kembali ke halaman beranda aplikasi, lalu pilih ‘Pustaka’ (ada di kanan bawah layar beranda);
  • Setelah masuk pustaka, silakan pilih ‘Kiriman’ dan konten ebook sudah siap untuk dibaca.
20240213-kf

Sekilas tentang Kritik Heidegger
pada Cara Berpikir Modern-Teknologis

Keseharian manusia berjalan semakin bising dan pesat, beberapa kebutuhan manusia telah terakomodir oleh teknologi yang semakin canggih. Fenomena ini muncul di tengah masyarakat kontemporer. Martin Heidegger, seorang filsuf Jerman abad ke-20 dan sering dianggap sebagai filsuf kontroversial, menawarkan kritik yang mendalam terhadap cara berpikir modern-teknologis yang menjadi landasan bagi perkembangan masyarakat kontemporer. Menurut Heidegger, teknologi tidak hanya menjadi alat atau instrumen bagi manusia, tetapi lebih dari itu, teknologi telah sampai pada fase menentukan cara pandang manusia terhadap dunia. Heidegger menyoroti bahwa kita cenderung memandang teknologi hanya sebagai alat yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tanpa mempertimbangkan dampak filosofis dan eksistensial yang lebih dalam.

Salah satu konsekuensi utama dari pandangan teknologis ini adalah alienasi manusia. Dalam mengejar kemajuan teknologi, manusia cenderung melupakan hubungannya dengan alam dan makna yang lebih dalam tentang kehadirannya di kehidupan. Heidegger menunjukkan bahwa kesadaran akan keterbatasan manusia dan ketergantungan mereka pada alam semakin terkikis oleh dominasi teknologi. Manusia mulai kehilangan makna dalam kehidupan manusia itu sendiri, karena teknologi tidak mampu memberikan jawaban atas pertanyaan eksistensial yang mendasar. 

Untuk menghadapi itu semua, Heidegger menawarkan konsep Dasein, bahwa manusia sejatinya memiliki kemampuan untuk menyadari diri sendiri dan menjadi sadar akan keberadaannya sendiri, dalam hal ini termasuk keberadaan manusia di dunia dan interaksinya dengan lingkungan. Untuk mengurai bagaimana manusia mampu menyadari keberadaannya, maka dibutuhkan pertanyaan-pertanyaan seperti “mengapa manusia ada?”, “mengapa manusia tiada?”, “apa posisi manusia di dunia ini?”, “apakah keberadaan manusia di dunia ini terbatas?”. Heidegger juga menawarkan konsep Aletheia (ketaktersembunyian). Istilah Aletheia merujuk pada penyingkapan tak henti realitas dari persembunyiannya. Manusia perlu memiliki upaya untuk menciptakan lingkungan yang memfasilitasi pengalaman kebenaran dan kehadiran yang otentik. 

Dalam dunia yang dikuasai oleh teknologi, manusia seringkali terjebak dalam kesibukan dan nyaris terperangkap dalam dunia digital yang mengaburkan pengalaman langsung dengan dunia nyata. Heidegger menyarankan agar kita kembali kepada pengalaman otentik, di mana kita dapat merasakan kehadiran diri kita sendiri dalam hubungan yang lebih intim dengan alam dan sesama manusia. Melalui kritiknya terhadap cara berpikir modern-teknologis, Heidegger mengajak kita untuk merefleksikan kembali hubungan kita sebagai makhluk hidup dengan teknologi dan alam. 

Urai lebih lengkap bagaimana kritik Heidegger atas cara berpikir modern-teknologis dalam Kelas Filsafat Salihara putaran pertama, Heidegger: Akar Filsafat Ilmu, yang juga akan membahas perspektif “akar heideggerian” untuk memahami perkembangan Filsafat Ilmu sejak tahun 1920 – 1970-an. Kelas Filsafat kali ini akan diampu oleh A. Setyo Wibowo dan F. Budi Hardiman. 

Screenshot 2024-01-29 142743

Obituari Ignas Kleden

Ignas Kleden adalah seorang intelektual yang tajam melancarkan kritik terhadap kinerja kaum intelektual itu sendiri. Kegemaran para cendekia kita untuk ramai-ramai berkomentar tentang isu-isu sosial-politik, bagi ia, adalah salah satu tanda bahwa mereka bukan mengerjakan gagasan, tetapi bermain-main dengan gagasan; bukan berdiskusi, tetapi mengobrol, bila bukan bergosip. Terhadap keterlibatan mendalam kaum ilmuwan sosial dalam kerja pembangunan, atau proyek modernisasi pada umumnya, ia mengingatkan bahwa “relevansi sosial” demikian justru membuat ilmu-ilmu sosial kehilangan dimensi ilmiahnya, dan dengan begitu sebenarnya juga memperkecil dampaknya dalam perubahan sosial.

Kepada kaum intelektual publik dan ilmuwan sosial, baik yang di kiri maupun yang di kanan, yang kerap menganggap diri garda depan perkembangan sosial, ia menyatakan bahwa kinerja ilmu-ilmu sosial (juga humaniora, ilmu hukum dan ilmu ekonomi), termasuk “indigenisasi”-nya di Indonesia, hanya akan berlaku baik bila para eksponennya menjalankan sikap waspada yang bersisi tiga. Yang pertama, ialah sisi epistemologis, yang memeriksa dasar-dasar kebenaran disiplin yang bersangkutan; yang kedua, ialah sisi historis, yang menunjukkan bahwa nilai “universal” yang teranut sesungguhnya hasil dari konteks sejarah yang bersifat khusus; yang ketiga adalah sisi etis, yang akan mengingatkan apakah kiprah yang bersangkutan adalah mencari kebenaran atau sekadar menjadi alat bagi ideologi dan kekuasaan.

Semua tulisan Ignas Kleden, untuk memakai ungkapannya sendiri, adalah kritik kebudayaan. Namun ia adalah intelektual yang begitu langka di Indonesia. Ia bukan hanya fasih memperkarakan perihal kebudayaan umum, tetapi menukik ke lingkup yang lebih spesifik: ia menulis kritik sastra. Di ranah kesastraan ini pun, ia menempuh jalan yang tersendiri. Sangat berbeda dengan sebagian besar kritikus sastra Indonesia, Ignas membuktikan bahwa karya sastra membuat makna yang terbaik bagi pembaca justru dengan berpisah dari konteks sosialnya dan dari niat si pengarang. Ia juga menunjukkan bahwa kekeliruan kritik sastra ilmiah ialah penerapan “teori” secara doktriner dan tanpa penghayatan.

Ia pernah hadir berbicara di Komunitas Salihara pada forum Kuliah Umum: Pramoedya dan Pemikiran Kebangsaan, 2011.

Buku-buku Ignas Kleden adalah Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan, Fragmen Sejarah Intelektual, dan Indonesia Sebagai Utopia. Ia lahir di Larantuka, Flores Timur, pada 19 Mei 1948, dan berpulang di Jakarta pada 22 Januari 2024.

abdulhadi

Abdul Hadi W.M.
Yang Remang, Yang Bernilai

Sebagai penyair Abdul Hadi W.M. (24 Juni 1946–19 Januari 2024) dikenal sebagai penyair sufistik. Tetapi, sebenarnya, itu adalah perkembangan yang lebih kemudian. Sajak-sajak awalnya melanjutkan—jika bukan memberi warna lain—tradisi puisi lirik yang sebelumnya telah diperkokoh oleh Goenawan Mohamad dan Sapardi Djoko Damono. Tilikannya terhadap alam (laut dan alam dan budaya Madura, misalnya) membuat sajak-sajaknya terasa menonjolkan lanskap alam yang sebelumnya tidak digarap oleh para penyair lirik sebelumnya.

Sapardi Djoko Damono dalam sebuah ulasannya tentang buku puisi Abdul Hadi Laut Belum Pasang (1969) menulis bahwa puisi-puisi Abdul Hadi “bermula dengan keremang-remangan dan berakhir pada keremang-remangan; suasana yang remang-remang yang muncul dari alam, alam yang lahir dari suasana yang remang-remang.” Jika kita bersepakat pada pendapat Sapardi, maka pada sajak Abdul Hadi yang menarik perhatian adalah sesuatu yang tidak jelas benar, antara ini dan itu—semacam suasana kebimbangan dalam sajak-sajak Goenawan Mohamad. 

Atau, disonansi yang kelewat kerap dalam satu bait yang membuat bangun puisinya secara keseluruhan kehilangan fokus dan kedalaman.

Tentu saja, yang remang-remang itu bukanlah yang gelap. Pada tampakan yang paling nyata, ia masih menampilkan panorama benda-benda atau bentang alam. Aku lirik puisi-puisi Abdul Hadi selalu kesulitan mengenali sesuatu dari pemandangan di depannya. Dalam sajak “Amsal Seekor Kucing”, rumusannya begini: “Selalu tak dapat kulihat kau dengan jelas/ Padahal aku tidak rabun dan kau tidak pula bercadar.” Yang kabur di situ pada akhirnya yang menimbulkan pesona.

Lebih dari itu, Abdul Hadi memasang penilaian yang kadang-kadang melampaui penampakan sesuatu dalam puisi. Terutama, ketika ia menarik penilaiannya kepada pernyataan filosofis atau menguncinya dengan satu dalil agama yang diambil dari Kitab Suci. Pernyataan filsafat atau politik itulah yang kemudian membuat sajak-sajak Abdul Hadi kehilangan spontanitas pengucapannya. Ia tersendat, misalnya, oleh pemikiran atau komentar sosial yang pada satu masa menjadi menu menarik puisi Indonesia juga.

Pada akhirnya Abdul Hadi mengerjakan semuanya untuk puisi-puisinya itu. Bukan hanya puisi suasana, sajak sufistik, tetapi juga puisi protes atau renungan kepada khazanah budaya Jawa yang menjadi akarnya. Ia berusaha menjadi penyair yang lengkap—sebagaimana bidang pekerjaan yang dia geluti selama ini. Begitulah, selama hidupnya, Abdul Hadi menjalani profesi yang beragam. Selain sebagai penyair, ia juga menulis esai, pernah bekerja sebagai wartawan, anggota Dewan Kesenian Jakarta, redaktur, kurator dan dosen. Pada Jumat, 19 Januari lalu ia berpulang.

Menilik Kartono Yudhokusumo: Gaya dan Cerita

“Saya tidak pernah kecewa karena saya tidak pernah mengharapkan apa pun.” 

Itulah sepenggal kalimat Kartono Yudhokusumo, seorang pelukis modern yang bakatnya sudah diakui sejak usia muda. Terbukti dalam pemberitaan harian Jawa Nippo (sebuah harian Jepang) pada 13 Agustus 1934, pelukis Jepang; Chiyoji Yazaki mengakui bakat seorang laki-laki dari Jawa berusia kira-kira 10 tahun yang diharapkan akan memiliki masa depan yang baik. Chiyoji Yazaki merupakan guru dari Kartono Yudhokusumo yang karya-karyanya bisa dilihat di Galeri Salihara hingga 21 Januari 2024 mendatang.

Dalam rangka mengapresiasi karya dan Kartono secara ketokohan, Komunitas Salihara menggelar sebuah pameran karya dan arsip dengan tajuk Kartono Yudhokusumo: Karya dan Arsip yang dikuratori oleh Amir Sidharta dan Asikin Hasan. Untuk mengenal sosok maestro seni rupa Indonesia tersebut, sebuah diskusi pun diadakan di Studio Musik Salihara pada 13 Desember lalu, menghadirkan Danuh Tyas Pradipta (Penulis dan Peneliti) dan Sally Texania (Seniman dan Kurator) yang membahas Kartono Yudhokusumo dari sisi kesejarahan hingga gaya lukisannya.

 

Kartono dan Linimasa Hidupnya

Diskusi dibuka oleh Danuh Tyas Pradipta yang banyak mengambil referensi dari penelitiannya yang ia tulis dalam Pusaka Seni Rupa pada 2017. Dalam temuannya, Kartono merupakan sosok yang sulit ditelusuri akibat minimnya referensi serta koleksi karyanya yang terbatas; walau dalam pandangan Danuh, Kartono adalah sosok yang menarik meski tak sepopuler S. Sudjojono dan Affandi (pelukis modern sezaman). Meski jarang disebut, kemampuan melukis Kartono dipuji sangat tinggi oleh S. Sudjojono yang juga merupakan gurunya sendiri,

“Meskipun Kartono tetap tinggal dalam bentuk biasa dalam gambar-gambarnya, tetapi anak yang baru berumur 19 tahun ini sudah gatal tangannya mulai mengubah warna-warna alam dengan kehebatan rasa ciptanya. Dengan warna, dia mulai terasa getar rasa cipta yang benar meskipun bentuk tetap konsekuen dihormatinya.” petikan S. Sudjojono ini yang dikutip oleh Danuh dalam paparannya mengenai bakat Kartono.

Paparan Danuh fokus terhadap sejarah Kartono secara kronologis. Dimulai dari pujian-pujian para seniornya tentang bakat sang pelukis di usia muda, hingga bagaimana Kartono hidup dengan menjual sketsa di Solo sebagai mata pencaharian. Pada 1952, Kartono pindah ke Bandung dan di tahun inilah Kartono menemukan gaya lukis dekoratifnya. Kartono juga mendapat hibah dari pemerintah sehingga ia dapat mendirikan sanggar seniman di sana.

Selama di Bandung, Kartono dianggap sebagai satu-satunya seniman yang berhasil di era tersebut (1954) dan menjadikan pusat kesenian Bandung bukan berasal dari Akademi Seni Rupa Bandung saja melainkan ada juga yang dari sanggar yang Kartono dirikan. 

Kekaryaan Kartono begitu singkat, ia meninggal di usia yang terbilang muda (33 tahun) akibat kecelakaan motor. Ia memang terkenal dengan motor Harley andalannya dan kerap merekam perjalanannya lewat lukisan yang ia ciptakan. Kusnadi–salah satu pelukis sezaman–mengatakan lukisan Kartono bukan sekadar alam tapi juga menceritakan kehidupan pribadinya di dalam lukisan tersebut. 

Danuh, di akhir paparan menyimpulkan mengapa Kartono sebagai pelukis yang menerima banyak pujian tersebut bisa tidak terkenal terletak dalam pribadi Kartono itu sendiri. Sebagai pelukis dia adalah orang yang low profile, tidak pernah diwawancara, dan tidak menulis sehingga mencari catatan lengkap mengenai dirinya begitu sulit di masa sekarang.

 

Melihat Barat Melalui Timur 

Diskusi beralih ke pemaparan Sally Texania yang ingin membahas hipotesis mengenai gaya Kartono yang (diduga) mengadaptasi gaya lukisan Barat yang diterjemahkan kembali oleh seniman-seniman Timur (Jepang). Sally membuka diskusi dengan menampilkan karya Kartono pada 1934 dengan judul Pemandangan.

Kartono Yudhokusumo, “Pemandangan”, 1934.

 

Lewat lukisan ini Sally berimajinasi terhadap perkembangan seni rupa di zaman tersebut. Ia menarik dari sejarah perkembangan seni rupa Jepang yang saat itu mengalami transfer budaya besar pada masa restorasi Meiji. Pengaruh Barat ini dibawa oleh guru-guru lukis Jepang yang belajar di Barat. Salah satu yang memopulerkan gaya Barat di Jepang adalah pelukis bernama Kuroda Seiki dengan gaya plein airism; yakni sebuah pendekatan lukis di ruang terbuka dan terpengaruh oleh impresionisme Prancis. Kuroda sendiri merupakan guru dari C. Yazaki yang kita tahu merupakan guru gambar dari Kartono Yudhokusumo.

Yazaki mulai melukis di Indonesia pada 1934 dan turut mengajar para pelukis muda Indonesia di sana. Hal ini mengindikasikan bahwa gaya plein airism ini juga sudah masuk di Indonesia di awal 1930-an. Paparan dilanjutkan dengan sebuah foto perbandingan antara lukisan Kartono dan Yazaki yang membuat Sally menduga adanya praktik lukis Kartono terpengaruh oleh gurunya tersebut.

Ada beberapa ciri dalam plein airism yang ditemukan Sally lewat lukisan Kartono yang ia temukan dan kecenderungan tersebut juga ditemukan dalam lukisan C. Yazaki seperti pola menggambar cepat, komposisi warna, dan titik hilang yang sama. Seniman lain yang juga terpengaruh gaya ini adalah Affandi dan Hendra Gunawan di 1941.

Pengaruh Timur yang melihat Barat dalam lukisan Kartono juga terlihat dalam karya-karya potret. Jejak kekaryaannya tidak hanya memberikan praktik dari satu seniman saja, tapi juga melihat berbagai tikungan dari seniman-seniman ternama di masa itu (1930-1940-an). Kartono dan para seniman sezaman memberikan jejak visual serupa mengenai pandangan barat sebagai negara yang pernah menjadi bekas kekuasaan imperialisme Jepang.

Screenshot 2023-12-18 155016

“Jazz Rock dan Godaan Kampung Halaman” Sampai “Musik Elektronik dan Suara yang Lain”

Seri diskusi FOKUS! kembali hadir di penghujung tahun dengan tema besar “Musik Baru dan Warisan Nusantara” yang diselenggarakan sebanyak empat sesi di bulan November 2023 lalu. Tema kali ini Komunitas Salihara menghadirkan pembicara dari kalangan pengajar, komponis, dan musisi untuk membedah perkembangan musik baru Indonesia dari perspektif kesejarahan. Pada sesi satu (Silang Pengaruh Eropa-Nusantara) dan sesi dua (Memperluas Tradisi di Sekolah) kita diajak untuk melihat bagaimana pengaruh musik-musik Eropa memberikan dampak kepada perkembangan musik Nusantara dan menemukan jawaban dari “Apa sebenarnya musik Nusantara?”. Di sesi tiga dan empat ini diskusi akan berfokus terhadap perkembangan jazz-rock dan musik elektronik dalam rangkuman sebagai berikut;

 

Jazz-Rock dan Godaan Kampung Halaman (Sesi 3)

Diskusi sesi ini dipandu oleh Halida Bunga Fisandra (Dida) sebagai moderator dan menghadirkan dua pembicara; David Tarigan dan Sri Hanuraga. Diskusi pertama dipaparkan oleh Sri Hanuraga (Aga) seorang pianis serta musisi yang telah meraih beberapa penghargaan bergengsi di tingkat internasional dan nasional. Menghadirkan presentasi dengan judul “Jazz dan Warisan Nusantara”. Ia mengatakan bahwa di paruh akhir abad ke-20 banyak musisi jazz Indonesia yang bereksperimen dengan warisan Nusantara contohnya adalah album Djanger Bali oleh Indonesian All Stars (1967) yang disebut-sebut sebagai puncak pencapaian jazz Indonesia.

Fenomena yang sama–bereksperimen dengan warisan Nusantara–juga ditemukan pada generasi setelahnya seperti karya-karya Dewa Budjana, Tohpati, Reza Arsyad, Krakatau Ethno, I Wayan Balawan, dan Aga sendiri. Untuk menjelaskan fenomena ini Aga merujuk kepada tulisan Yayoi Uno Everett (Musikolog) di buku Locating East Asia in Western Art Music yang menawarkan sistem kategorisasi kompositoris oleh para komponis-komponis musik baru abad 20 yakni: Pemindahan, Sinkretisme, dan Sintesis. Pemindahan merupakan strategi kompositoris di mana sumber kultural seperti teks, musik, dan filsafat dari timur dipinjam atau diapropriasi ke dalam konteks musi barat yang lebih dominan. Aga memberikan contoh musisi yang melakukan hal tersebut adalah Olivier Messiaen dengan karya Turangalila Symphony, Maurice Ravel dengan karya Sheherazade, dan John Zorn dengan Forbidden Fruit-nya. 

Selanjutnya adalah Sinkretisme yang merupakan suatu kondisi ketika idiom kultural yang berbeda digabungkan namun masing-masing anasirnya tetap dapat dibedakan. Contohnya adalah Chou Wen-Chung dengan karya Willows Are New. Terakhir adalah strategi kompositoris Sintesis di mana karya-karya berhasil mentransformasi idiom dan sumber kebudayaan yang berbeda menjadi suatu entitas hibrida yang anasirnya tidak dapat lagi dikenali. Dalam hal ini Aga mencontohkan karya Chou Wen-Chung, Metaphors. Untuk memahami hal itu semua, Aga mencoba menarik kembali dengan sejarah jazz dengan praktik musik jazz itu sendiri yang merupakan sintesis dari musik klasik Eropa dengan musik Afrika Barat di akhir abad ke-19. 

Dari situ Ia membawa kita untuk melihat upaya awal musik jazz bersentuhan dengan musik tradisi nusantara yang dilakukan oleh kelompok Indonesian All Stars dalam album Djanger Bali (1967). Di album ini kita dapat mendengarkan permainan ansambel gamelan Bali berhasil ditransplantasi dengan baik ke dalam sebuah ansambel jazz yang termasuk ke dalam kategori sinkretisme. Selain itu Aga juga mencontohkan musisi Indonesia lain yang melakukan strategi kompositoris yang sama seperti Dewa Budjana, Krakatau Ethno, Simakdialog, dan lain sebagainya.

Selanjutnya diskusi beralih ke pembicara David Tarigan yang membawakan presentasi mengenai musik rock di Indonesia dan irisannya dengan warisan budaya dalam presentasi yang berjudul Kedatangan Musik Rock dan Nasionalisme Orde Lama. Musik rock masuk di pertengahan 1950-an dan dinilai sebagai bentuk yang agresif karena hadir di usia Indonesia yang masih muda. Pada masa itu pengaruh dari luar (seperti musik rock) dinilai sebagai bentuk penjajahan baru di mana pemerintah menilai hal tersebut memprihatinkan dan menjadi ancaman walaupun banyak digemari banyak anak muda.

Upaya nasionalisme yang dilakukan Soekarno untuk mengerem gempuran musik rock adalah dengan menerbitkan aturan agar musik rock dilebur dengan elemen ekspresi nasionalisme untuk bisa dihadirkan dalam rekaman komersial. David mencontohkan rock yang melebur tersebut dibawakan oleh grup Eka Djaja Combo dalam lagu Angkat Sampoeng yang merupakan perpaduan antara Latin, Sunda, dan rock n roll. Secara kronologis David memperkenalkan bagaimana rock yang beririsan dengan musik tradisi dapat didengarkan dalam berbagai periode seperti pada 1970-an yang dicontohkan pada karya Harry Roesli dengan judul Sekar Jepun, periode 1980-an, 1990-an dan yang terakhir adalah era sekarang yang dicontohkan dengan karya-karya pada 2018-2019.

 

Musik Elektronik dan Suara yang Lain (Sesi 4)

Sesi keempat Fokus! akan membicarakan mengenai topik musik elektronik dan bagaimana musik nusantara menjadi bagian dalam irisannya. Aditya Surya Taruna (Kasimyn), pembicara di sesi ini mengatakan bahwa musik elektronik bukan hanya sekadar musik lantai dansa. Banyak hal yang bisa diperhatikan dari berbagai aspek terlebih terhadap musisi-musisi elektronik Indonesia.Kasimyn, sebagai pembicara membuka sesi kali ini. Ia merupakan seorang produser musik, DJ, dan sound artist. Seperti yang sudah dinyatakan olehnya, musik elektronik memiliki keterkaitan yang cukup dengan politik identitas serta kedekatan-kedekatannya dengan hal-hal yang eksperimentalis yang ia paparkan lewat presentasi yang berjudul Eksotisasi Teknologi & Sonic Baru

Dalam presentasi ini ia membagikan karya milik Sapto Raharjo dengan judul Win (1992) yang menampilkan musik elektronik dengan bunyi-bunyi eksperimental yang dinobatkan sebagai album paling influential dan penting menurut Kasimyn dalam hal penggabungan teknologi dan tradisi yang menjadikan adanya eksotisasi dari tradisi ke ranah teknologi. Selanjutnya Kasimyn mencontohkan Igor Tamerlan yang juga merupakan pionir dalam hal musik tradisi dan teknologi dengan album Bali Ethno-Fantasy yang mengapropriasi secara berhasil antara kontemporer, tradisi, dan rock yang tercatat keluar di 2014; meskipun beberapa musisi elektronik meyakini ini adalah album yang keluar di era 1990-an.

Selanjutnya Kasimyn mengajak peserta untuk mendengarkan karya dari Herman Barus dan mencoba menyimpulkan bahwa mutasi musik elektronik dan eksotisme teknologi ini terjadi akibat perayaan dan kecelakaan. Dalam hal ini kecelakaan yang dimaksud adalah adanya pengaruh iklim tropis yang dinilai ekstrim untuk beberapa jenis alat musik yang membuat hanya beberapa alat saja yang bertahan di kondisi tersebut sehingga menciptakan bentuk-bentuk baru / mutasi dari musik elektronik secara tidak sengaja. Sesi pun dilanjutkan oleh Harsya Wahono yang secara teknis menjelaskan bagaimana menganalisis mutasi-mutasi musik elektronik menjadi bentuk baru tersebut. 

Harsya–pembicara kedua di sesi ini–adalah seorang produser dan pelaku musik yang belajar Komposisi dan Produksi Kontemporer Berklee College of Music di Boston, AS. dalam paparan presentasinya Harsya mengatakan fenomena musik tradisi-elektronik dipengaruhi oleh arsip kebudayaan di mana musik itu berkembang. Arsip-arsip ini bisa dibagi ke dalam arsip tertulis, nirwujud, oral, dan sebagainya. Harysa membedahnya secara terperinci sehingga kita bisa membayangkan bagaimana tradisi masuk dan menjelma ke dalam teknologi; seperti yang Kasimyn katakan, di sini bukan elektronik/teknologi yang masuk ke dalam tradisi tetapi tradisilah yang membentuk keragaman musik Nusantara itu sendiri.

Harysa juga menampilkan analisisnya dalam membaca linimasa budaya musik elektronik yang kehadirannya dapat ditelisik dengan berbagai fenomena seperti hadir/berlatar belakang karena adanya kebebasan, unsur bermain-main, menyuarakan kemarjinalan, unsur kesatiran, perayaan sang introver (karena musik elektronik bisa tercipta tanpa banyak orang), dan ‘kecelakaan’. Kecelakaan yang dimaksud selaras dengan penjelasan Kasimyn–yang ia juga sebutkan–mengenai kasus alat-alat musik yang hanya bertahan di kondisi cuaca/iklim yang ekstrim.

blogfokus23

Silang Pengaruh Eropa-Nusantara dan Memperluas Tradisi di Sekolah

Catatan Pendek FOKUS! 2023 Sesi 1 dan Sesi 2

Komunitas Salihara menyelenggarakan kembali program seri diskusi FOKUS! dan mengusung tema besar “Musik Baru dan Warisan Nusantara”. Program ini dibagi dalam empat sesi dengan menghadirkan dua pembicara dan satu moderator pada tiap sesinya. Membicarakan perihal musik baru dan warisan Nusantara adalah upaya untuk melihat dan membedah kembali perkembangan musik baru Indonesia dalam perspektif kesejarahan. Selain itu, kita juga diajak untuk memaknai posisi karya-karya para komponis Indonesia yang mengeksplorasi musik baru dan warisan Nusantara. Empat sesi FOKUS! membagi pembahasan tentang gagasan dan karya komponis Indonesia dalam tajuk-tajuk berikut; Silang Pengaruh Eropa-Nusantara (Sesi 1), Memperluas Tradisi di Sekolah (Sesi 2), Jazz-Rock dan Godaan Kampung Halaman (Sesi 3), dan Musik Elektronik dan Suara yang Lain (Sesi 4). Tulisan ini hendak merangkum apa yang menjadi pembahasan pada sesi 1 dan sesi 2. 

 

Saling-Silang Eropa-Nusantara

Sesi 1 menghadirkan pembicara dua komponis muda, yaitu Gema Swaratyagita dan Matius Shanboone. Keduanya membahas perihal musik Eropa dan Nusantara yang saling bertaut dan bersilangan dieksplorasi oleh komponis Indonesia sejak abad 20. Tak hanya membahas bagaimana eksplorasi para komponis, sesi ini juga membedah bagaimana identitas bangsa, nasionalisme, serta pemikiran filsafat tertentu hadir dalam karya mereka. 

Dipandu Halida Bunga Fisandra (Dida) sebagai moderator, narasumber pertama yaitu Matius Shanboone (seorang komponis, konduktor orkestra dan dosen musik) memaparkan presentasinya. Dalam presentasinya “Musik Baru dan Warisan Nusantara: Kaitan dengan Musik Tradisi Eropa, Modernisme abad 20 dan Legasi Abad 21”, ia menyatakan bahwa hari ini kita harus berhati-hati dan menghindari pendefinisian sederhana dan pragmatis atau tidak mengkotak-kotakan musik baru Nusantara dan non-Nusantara berdasarkan aspek-aspek superfisial. Misalnya, penggunaan alat tradisi, penggunaan semangat nasionalisme semu, dan penggunaan atribut-atribut lokal sebagai pencapaian estetika. Salah satu upaya untuk menghindari pendefinisian tersebut adalah dengan menggali lebih jauh bentuk nyata dari musik baru di Indonesia dan nilai-nilai kebaharuan maupun keunikan karya-karya tersebut. 

Matius mengajak kita untuk mengidentifikasi “apa itu musik Nusantara” berdasarkan beberapa aspek, seperti geografis, sejarah, dan pengaruh luar (misalnya pengaruh penjajahan). Matius juga menyinggung tentang kebaharuan dalam konteks musik kontemporer Indonesia. Musik kontemporer di Indonesia memiliki keunikannya masing-masing karena telah mengalami proses kreativitas yang beragam dari para komponisnya. Dalam proses tersebut ada transformasi pengetahuan akan gaya musik tertentu menjadi sebuah karya yang personal. Matius menyebut nama-nama komponis Indonesia sebagai komponis pionir dengan gagasan karya yang terpengaruh budaya musik Barat, di antaranya Slamet Abdul Sjukur, Otto Sidharta, dan Tony Prabowo. Tak hanya sekadar terpengaruh, para komponis ini merefleksikan budaya Indonesia dari pengalaman dan ideologi estetika masing-masing komponis. Selain generasi ‘komponis pionir’, Matius juga menyebut dan menampilkan contoh karya-karya komponis generasi terkini, seperti Arham Aryadi, Nursalim Yadi, dan Irene Tanuwidjaya. 

Presentasi selanjutnya disampaikan oleh  Gema Swaratyagita (seorang komponis, musisi, dan pengajar musik), ia menyinggung persoalan tentang sejauh mana karya komponis Indonesia dianggap penting sebagai identitas musik Nusantara. Gema membedahnya melalui pendekatan genealogi komponis Indonesia yang berkaitan dengan penelusuran hubungan keturunan keluarga, lingkungan pendidikan, komunitas, jaringan kesenian komponis Indonesia, hingga warisan budaya leluhur. Kita patut mempertanyakan ulang narasi ‘warisan Nusantara adalah sebuah identitas negara’. 

 

Tradisi Tumbuh di Ruang Kelas

Kemunculan musik Baru di Indonesia tidak hanya muncul dari komponis yang berlatar pendidikan musik Eropa. Indonesia memiliki komponis musik Baru yang berlatar belakang pendidikan seni, misalnya dari Institute Seni Indonesia. Sesi 2 FOKUS! membahas tentang bagaimana musik tradisi tumbuh tidak hanya di panggung pertunjukan, namun juga tumbuh di ruang kelas, di sekolah, di ranah pendidikan seni. Musik tradisi inilah yang kemudian menjadi salah satu gagasan atau instrumen yang digunakan sebagai bahan menciptakan karya musik Baru oleh beberapa komponis Indonesia, di antaranya Rahayu Supanggah (1949-2020), Aloysius Suwardi, Dedek Wahyudi, Dewa Alit dan Iwan Gunawan.

Narasumber pertama dalam sesi ini adalah Rithaony Hutajulu (dosen musik dan pendiri kelompok musik Suarasama), memaparkan presentasi berjudul “Etnomusikologi, Karawitan, dan World Music di Indonesia: sumber Kreativitas Penciptaan Musik Baru Berbasis Nusantara”. Ritha menjelaskan tentang kemunculan studi Karawitan dan Etnomusikologi di Indonesia. Studi Karawitan muncul pada 1964 di Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Surakarta, sedangkan studi Etnomusikologi muncul pada 1979 di Universitas Sumatera Utara. Dua studi musik inilah yang kemudian mencetak para mahasiswa dengan karya musik Baru yang berangkat dari khasanah musik tradisi Nusantara. 

Kedua studi musik tersebut kemudian memunculkan istilah yang biasa digunakan untuk menyebut musik tradisi dunia, yaitu world music. istilah ini sebetulnya sudah biasa digunakan dalam diskursus akademik etnomusikologi Barat untuk menyebutkan ragam musik dunia. Istilah tersebut pertama kali dicetuskan oleh Robert E. Brown (seorang etnomusikolog) pada awal 1960-an. Ritha juga menyebutkan kemunculan festival-festival musik berbasis musik Nusantara di Indonesia dari era 1990-an hingga kini, di antaranya Yogyakarta Gamelan Festival, dan Bali World Music Festival. Festival-festival tersebut tidak lepas dari keterlibatan komponis musik Baru Indonesia berlatar pendidikan seni tradisi Nusantara. 

Selain kemunculan karya-karya musik Baru yang berangkat dari khasanah musik tradisi Nusantara, muncul beberapa permasalahan dalam penciptaannya. Penggunaan atau pemanfaatan elemen musik tradisi Nusantara yang kurang mempertimbangkan aspek etika, seperti kurangnya memperhatikan konteks dari asal budaya musik yang dipakai. Pengembangan karya baru yang mengambil suatu repertoar tertentu dan sudah dikenal oleh masyarakat asalnya, penting pula memperhatikan isu permasalahan tentang Hak Cipta. Bagi Ritha butuh lebih luas dan mudah untuk generasi hari ini mengakses musik-musik Nusantara. 

Paparan Ritha dilengkapi oleh narasumber kedua, Iwan Gunawan (komposer dan dosen musik) dengan presentasi berjudul “Memperluas Musik Tradisi di Sekolah sebagai Proses Interaksi Budaya Secara Global”. Iwan menajamkan persoalan pentingnya musik tradisi harus diperluas di sekolah atau ranah pendidikan Indonesia. Bahwa pengetahuan terhadap musik tradisi sangat memiliki relevansi dengan tujuan pendidikan nasional. Musik tradisi Nusantara yang sangat beragam bisa menjadi modal atau inspirasi untuk berkreasi seni dalam mengisi peradaban budaya dunia. 

Iwan memberikan beberapa tawaran sebagai upaya memperluas musik tradisi Nusantara di sekolah. Di antaranya adalah dengan melakukan riset dalam kekayaan tersembunyi tentang aspek musikal pada musik tradisi Nusantara. Melakukan eksperimentasi musik yang bersumber dari musik tradisi Nusantara dan melakukan pengarsipan digital atau memanfaatkan teknologi terkini. 

 

Menggali Sejarah

Pembicaraan mengenai musik Eropa yang turut memengaruhi karya-karya komponis Indonesia juga memiliki kaitan dengan bagaimana kemudian musik tradisi Nusantara yang muncul melalui pendidikan seni justru memperkaya gagasan musik Baru di Indonesia. Pengetahuan tentang keberagaman gagasan, konsep, instrumen, hingga faktor-faktor budaya yang memengaruhi terciptanya musik Baru di Indonesia sangat penting untuk kita gali lebih luas lagi. Pun juga mengetahui permasalahan apa yang kemudian muncul dalam proses penciptaan maupun proses distribusi pengetahuan tersebut, menjadi hal yang tidak kalah penting sebagai upaya untuk menggali tawaran baru agar kesejarahan musik Baru di Indonesia tak hanya berhenti di tangan para pencipta, yaitu komponis. Dua sesi diskusi FOKUS!: Musik Baru dan Warisan Nusantara yang telah berjalan tersebut masih bisa disimak kembali melalui website Kelas.Salihara.org.