Presentation1

Melihat Kembali “Aduh” Karya Putu Wijaya
Setelah 50 Tahun Berlalu di Teater Salihara

10-12 Mei 2024 | Sabtu & Minggu | Teater Salihara

 

Jakarta, 03 Mei 2024 – Dalam dunia sastra dan teater tanah air, Putu Wijaya dikenal sebagai seorang seniman yang lengkap. Ia piawai dalam menulis esai, cerita pendek, novel, naskah lakon, dan juga cerita film. Kekaryaan Putu Wijaya dan jejaknya terentang dari 1964 saat ia masih merantau di Yogyakarta, ia menghasilkan karya-karya yang dekat dengan realisme, antara lain Dalam Cahaya Bulan, Lautan Bernyanyi dan Bila Malam Bertambah Malam.

Di Jakarta, Putu melahirkan kembali Bila Malam Bertambah Malam sebagai novel yang pertunjukannya juga pernah ditampilkan di Teater Salihara pada 2013. Putu merupakan seorang penulis yang mahir membangun cerita. Ia pernah menulis novel Telegram dan berhasil menjadi pemenang Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta (1972) disusul oleh novel-novel lainnya yang memenangkan penghargaan seperti Stasiun, Pabrik, dan lain-lain. Sebagai penulis, ia piawai menjelajahi prosa dan produktif melahirkan karya beragam bentuk. Tidak hanya novel, karya dramanya pun juga menarik untuk disimak salah satunya adalah naskah Aduh yang ia tulis pada 1971. Naskah ini; seperti karya-karya Putu Wijaya lainnya juga memenangkan Lomba Penulisan Lakon DKJ dan dipentaskan pertama kali pada 1974. 

Cerita di dalam naskah ini terinspirasi dari konflik manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk individu. Apakah komunitas yang sudah menzolimi individu atau individu yang sejatinya menindas komunitas, keputusannya diserahkan kepada penonton. Setelah 50 tahun atau setengah abad Aduh, naskah ini ditampilkan kembali di Teater Salihara. 

“Naskah ini masih relevan dengan situasi di Indonesia saat ini, di mana banyak yang hanya berbicara tanpa bertindak, bahkan dalam situasi kritis.” ujar Hendromasto Prasetyo, Kurator Teater Komunitas Salihara dalam keterangan tertulis.

Aduh pada 1974 menandai jejak karya teater Putu menjauh dari realisme. Absurditas mulai lekat padanya. Pasca Aduh, Putu konsisten mencipta teater dengan judul-judul singkat dan hanya terdiri dari satu suku kata. Dalam kesempatan kali ini Komunitas Salihara kembali mengajak penonton untuk meneroka naskah-naskah Putu Wijaya dalam rangkaian program seperti diskusi, pembacaan karya, dan pertunjukan teater dalam tajuk Setengah Abad “Aduh”.

Dalam rangkaian Setengah Abad “Aduhini kita akan melihat naskah Telegram dan Aduh–dan tidak menutup kemungkinan naskah-naskah lainnya–dibahas secara mendalam bersama dengan tokoh-tokoh seni seperti Goenawan Mohamad dan Cobina Gillitt.

Rangkaian ini juga menampilkan pembacaan fragmen karya-karya Putu Wijaya yang akan dipentaskan oleh alumni Kelas Akting Salihara serta tentunya pertunjukan Aduh oleh Teater Mandiri—disutradarai oleh Putu Wijaya—yang akan dipentaskan selama dua hari di Teater Salihara. 

 

Berikut adalah rangkaian program Setengah Abad Aduh yang akan dilaksanakan 10-12 Mei 2024:

Apa Kabar Telegram? [Diskusi]
Pembicara: Goenawan Mohamad 
Jumat, 10 Mei 2024 | 16:00 WIB | Teater Salihara

Putu Wijaya mahir membangun cerita. Sebelum Putu Wijaya dikenal sebagai nama penting dalam ranah teater di Indonesia, ia lebih dulu muncul sebagai penulis sastra. Karya sastranya telah terbit semasa ia masih tercatat sebagai mahasiswa di UGM maupun Asdrafi (Akademi Seni Drama dan Film) di periode 1960-an. Salah satu karyanya, novel Telegram (Pustaka Jaya, 1973), Putu Wijaya memilin yang nyata dan khayal dalam tokoh Aku sebagai nadi cerita. Telegram memiliki modus penceritaan yang berulang-alih antara kenyataan dan halusinasi. Bersama Goenawan Mohamad, diskusi ini akan membahas lebih dalam tidak hanya seputar naskah Telegram, namun juga karya-karya sastra Putu Wijaya lainnya.  

 

Malam Pembacaan Karya Putu Wijaya [Pentas]
Penampil: Budi Suryadi, Firly Savitri, Fransisca Lolo, Henry C. Widjaja, Sita Nursanti
Jumat, 10 Mei 2024 | 20:00 WIB | Teater Salihara

Malam pembacaan menyajikan sepilihan karya-karya Putu Wijaya baik berupa petikan cerita pendek, novel, maupun naskah teater. Alumni Kelas Akting Salihara menjadi pembaca karya-karya tersebut. Sejumlah karya yang dibacakan antara lain Stasiun, Telegram, dan Bila Malam Bertambah Malam.

 

Aduh [Teater]
Penampil: Teater Mandiri | Sutradara: Putu Wijaya
Sabtu, 11 Mei 2024 | 20:00 WIB & Minggu, 12 Mei 2024 | 16:00 WIB | Teater Salihara
Tiket: Rp110.000 (umum) & Rp55.000 (Pelajar)

 

Aduh oleh Teater Mandiri pertama kali dipentaskan pada 1974. Aduh menegaskan kehadiran yang absurd di ranah teater Indonesia kala lakon-lakon realis tengah berkibar. Sejak kemunculannya setengah abad lampau, Aduh menjadi salah satu naskah karya Putu Wijaya yang kerap dimainkan oleh banyak kelompok teater di Indonesia hingga hari ini. Bagi Putu Wijaya yang mendirikan Teater Mandiri, Aduh merupakan babak baru penjelajahan artistiknya. 

Aduh menampilkan tokoh tanpa nama yang mengerang dan mengaduh kesakitan di tengah kesibukan orang banyak. Orang-orang sibuk berdebat, perlukah memberi pertolongan tanpa pernah bertindak hingga yang sakit akhirnya mati. Mereka panik lalu susah payah membuang mayat yang sakit ke sumur. Tanpa sadar, di antara mereka ada yang terjebak di dalam sumur. Dari sumur itu lantas muncul suara mengaduh minta tolong di sela erangan. Lagi-lagi mereka berdebat perlukah menolong tanpa pernah bertindak hingga suara itu lenyap bersama ajal yang menjemputnya. 

Setelah setengah abad, Aduh masih terasa dekat dengan kenyataan di Indonesia hari ini. Bukankah hingga kini masih banyak di antara kita yang sibuk berkata-kata tanpa bertindak hingga berujung fatal?

 

Aduh Setelah 50 Tahun [Diskusi]
Pembicara: Cobina Gillitt
Minggu, 12 Mei 2024 | 14:00 WIB | Teater Salihara

Seri kedua diskusi Setengah Abad “Aduh” secara khusus membicarakan naskah lakon Aduh sebagai karya penting Putu Wijaya, yang menegaskan kehadiran Teater Mandiri di dunia teater Indonesia. Pada diskusi ini Cobina Gillitt menjadi pembicara tunggal yang akan membagikan pengalamannya dengan naskah Aduh. Pengalamannya sebagai anggota Teater Mandiri, menerjemahkan Aduh dan memainkannya dalam bahasa Inggris menjadi materi diskusi yang dapat diikuti sebelum karya tersebut dipentaskan di Teater Salihara.

Untuk melakukan pemesanan tiket, calon pengunjung bisa melakukan pembelian di tiket.salihara.org.

 

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________ 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

debat2024

KOMUNITAS SALIHARA MEMBUKA PENDAFTARAN
“KOMPETISI DEBAT SASTRA TINGKAT SMA 2024”

Pendaftaran: 15 Maret–17 Juli 2024
Final: 28 September 2024
Total Hadiah: Rp44.000.000

 

Jakarta, 17 Maret 2024– Membaca karya sastra penting dilakukan sejak usia dini sebab sastra seperti novel, cerpen, atau puisi dapat memberikan kekayaan psikologis dan perspektif dalam memahami persoalan manusia atau dunia. Untuk mendukung minat baca sejak dini serta mendorong peningkatan intelektualitas generasi muda, Komunitas Salihara kembali membuka pendaftaran untuk Kompetisi Debat Sastra Tingkat SMA 2024. 

Kompetisi debat ini telah menjadi kalender rutin bagi Komunitas Salihara yang ingin berkontribusi dalam membuka wawasan kritis bagi pelajar muda di Indonesia dan di tahun ini kami hadir dengan  “Membandingkan novel Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta karya Luis Sepúlveda (Chili) dengan Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis (Indonesia)”.

Kedua novel ini dipilih untuk dibandingkan karena keduanya ditulis di saat negeri masing-masing—Indonesia dan Chili—diperintah oleh diktator militer—Soeharto di Indonesia dan Pinochet di Chili. Selain itu dari konteks juga keduanya bercerita antara lain tentang hubungan manusia dengan alam hutan, ekosistemnya, dan persoalan yang timbul akibat peradaban modern—suatu masalah yang menjadi semakin urgen belakangan ini.

Fokus perbandingan yang diminta adalah: penggarapan sastrawi atas tema pembangunan dan ekologi, dan penggarapan atas tokoh-tokoh cerita. Penting juga untuk melihat apakah ide (tema atau pesan cerita) dan bentuk (bahasa, metafora, plot, dll.) berjalin seimbang sehingga novel ini nikmat dibaca.

Bagi calon peserta yang ingin mengikuti “Kompetisi Debat Sastra Tingkat SMA” ini diharapkan untuk membentuk tim yang terdiri dari 3 (tiga) siswa tingkat SMA/sederajat dari sekolah yang sama. Tiap sekolah dapat mengirimkan lebih dari 1 (satu) tim. Siswa/i yang mendaftar harus merupakan siswa yang masih bersekolah di bangku SMA ketika final debat berlangsung di 28 September 2024.

Kompetisi ini tertutup bagi sekolah yang sudah menjadi juara 1 (satu) di tahun sebelumnya. Peserta yang mendaftar akan membuat karya tulisan telaah (berupa tulisan atau makalah) dalam bahasa Indonesia setelah membaca dan membandingkan kedua karya (Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta dan Harimau! Harimau!) yang dapat diunduh setelah proses pendaftaran.

Pendaftaran sudah dimulai sejak 15 Maret–17 Juli 2024, sedangkan untuk makalah dapat dikumpulkan mulai 17 Juli–05 Agustus 2024 (tenggat kirim surat elektronik). Perlu diingat, sekolah yang mendaftar namun tidak mengirimkan makalahnya akan didiskualifikasi pada tahun penyelenggaraan berikutnya.

Makalah yang terpilih akan dilihat dari mutu argumen, pendalaman, penggalian masalah, dan ketertiban serta keindahan bahasa Indonesia yang digunakan. Pemenang Kompetisi Debat Sastra akan mendapatkan hadiah uang tunai sebesar Rp20.000.000 dan Rp15.000.000 untuk pemenang kedua. Tiga makalah favorit juga akan mendapatkan masing-masing Rp3.000.000 (pajak ditanggung pemenang). 

Di tahun ini Kompetisi Debat Sastra Tingkat SMA 2024 didukung oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan melalui Program Pemanfaatan Hasil Kelola Dana Abadi Kebudayaan Tahun 2023. Bagi Calon peserta yang tertarik untuk mengikuti kompetisi ini bisa mengunjungi laman salihara.org atau menghubungi edukasi@salihara.org.

 

Tentang Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta dan Harimau! Harimau! 

Ditulis oleh: Kurator Edukasi dan Gagasan Komunitas Salihara, Zen Hae

Novel Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis dan Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta karya Luis Sepúlveda adalah dua novel tentang konflik manusia dengan harimau. Yang pertama berlangsung di hutan Sumatra, yang kedua di belantara Ekuador. Harimau dalam hal ini mewakili kekuatan alam liar yang terusik oleh ulah manusia, baik karena pemukiman, penambangan maupun perburuan yang telah menjadi tradisi panjang masyarakat setempat. Sumber makanan harimau menipis dan membuatnya kelaparan. Itulah kenapa sang harimau menuntut balas, memangsa manusia. Sebaliknya, korban-korban yang berjatuhan menjadi alasan manusia untuk memburu harimau. Pada akhirnya, sang harimau mati di tangan para pemburu. Dengan begitu, salah satu kekuatan alam telah ditaklukkan. 

Kedua novel ini sama-sama memberikan pelajaran betapa pentingnya merawat alam dan menghormati apa-apa yang ada di dalamnya. Tanpa kesadaran ini maka perusakan alam (dalam hal ini: perburuan dan penambangan) akan terus terjadi. Dua pengarang, dengan cara masing-masing, telah menunjukkan betapa konflik antara manusia dan harimau hampir selalu dimulai dari terancamnya sang harimau oleh manusia. Manusia yang kelewat rakus menjarah hasil hutan akan menanggung akibat kemarahan para penghuni rimba raya. Tetapi, manusia selalu dimenangkan dalam konflik ini.

Membandingkan kedua novel ini berarti membandingkan juga dua budaya dalam melihat alam dan rimba raya. Termasuk cara pandang masyarakat dalam melihat ancaman harimau. Antara yang melihatnya dengan cara pandang realistis-pragmatis dan yang melihatnya dengan bumbu mitos harimau jadi-jadian. Antara cara pengarang yang tangkas dan penuh humor dan pengarang yang bertele-tele dan penuh petuah. Antara sapuan erotisme yang samar-samar dan maksud politik jahat penguasa setempat. Masing-masing novel hadir dengan kekuatan dan kelemahannya. 

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________ 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

web banner-salihara jazz buzz 2024-1920x1080

Tawaran Progresif dalam Musik Jazz
Melalui Salihara Jazz Buzz 2024

Teater Salihara, 24-25 Februari & 2 Maret 2024

 

Jakarta, 10 Februari 2024 – Mengawali 2024 dengan penuh antusias, Komunitas Salihara Arts Center menggelar festival musik jazz progresif dalam gelaran Salihara Jazz Buzz. Salihara Jazz Buzz rutin menampilkan pilihan genre, komposisi dan presentasi konsep musik baru setiap tahunnya. Tahun ini; Jazz Buzz menampilkan tiga musisi pilihan Undangan Terbuka yakni; A6 Ensemble, Borderline, dan Riki Danni. Ketiganya dipilih karena dapat memberikan tawaran baru dalam jazz tanah air selaras dengan visi/misi Salihara Jazz Buzz menurut pertimbangan para Dewan Juri.

Kurator Musik dan Tari Komunitas Salihara, Tony Prabowo mengatakan bahwa jazz dalam kehidupan musik di Indonesia menjadi salah satu genre musik yang banyak peminatnya dan Salihara hadir untuk memberikan tawaran kebaruan akan hal tersebut. Selain tawaran yang menarik, ketiga musisi jazz pilihan ini juga hadir dari latar belakang pendidikan yang menarik, 

“Ketiga grup ini terlihat menonjol di antara yang lain karena ketiganya mempunyai latar belakang pendidikan yang cukup baik, sekalipun mereka jelas harus bekerja keras untuk menambah pengalaman bermain, khususnya menyerap dan berjuang untuk mencari estetika baru pada karya-karya mereka.”

 

Tentang penampil dan musik yang dibawakan:

 

Penampil: Riki Danni | Sabtu, 24 Februari 2024 | 20:00 WIB

Riki merupakan seorang saksofonis dan komponis asal Indonesia. Ia terinspirasi dari musisi-musisi seperti Jaubi, Braxton Cook, Shubh Saran, Guernica Quartet, dan SOIL & “PIMP”. Riki gemar menciptakan karya-karya fusion jazz yang memiliki unsur-unsur etnis mancanegara dan elektronik, sebagai usaha untuk menghadirkan musik yang keluar dari kosabunyi jazz tradisional.

Musik: Principles

Principles adalah karya musik orisinil Riki Danni yang dikemas dengan gaya musik fusion jazz dan terinspirasi dari sejumlah konsep musik etnis, terutama dari Jepang, Eropa, dan Timur Tengah. Ia menggabungkan elemen-elemen musik elektronik dengan berbagai pengaruh budaya tersebut untuk menyampaikan narasi tentang pencarian jati diri. Tiap karya musik yang ditampilkan mengangkat narasi sebuah filosofi atau prinsip hidup tertentu, sekaligus mengajak penonton untuk mempertanyakan validitasnya. Pertunjukan musik ini dibawakan dalam format ensambel berisi saksofon, flute, gitar, keyboard, bas elektrik, perkusi, dan drum. Karya ini diwarnai dengan permainan improvisasi dari tiap instrumen sepanjang pertunjukkan.

 

Penampil: A6 Ensemble | Minggu, 25 Februari 2024 | 16:00 WIB

 

A6 Ensemble merupakan sebuah grup musik Instrumental Ethnic Fusion yang lahir di Yogyakarta pada pertengahan 2019. Perjalanan A6 Ensemble dimulai saat menjadi penampil pada pameran tunggal I Nyoman Sukari dan memperkenalkan diri sebagai A6 Percussion. Dengan fokus awal bermain perkusi, nama A6 diambil dari ukuran pada stik drum dan terbentuk untuk mengisi acara kesenian seperti pameran dan pertunjukan. Seiring berjalannya waktu, nama A6 Percussion kemudian diubah menjadi A6 Ensemble, dengan alasan adanya perubahan formasi yang tidak hanya fokus pada permainan perkusi saja.

Pada akhir 2019 hingga sekarang, A6 Ensemble mulai merambah ke penciptaan karya musik instrumental yang lebih serius dengan menentukan visi dan misi grup musik ini. Setelah melalui perjalanan panjang, pada Februari 2022 A6 Ensemble berhasil meluncurkan single pertama yang berjudul “LAGAS”. Pada akhir 2022, A6 Ensemble kembali merilis single kedua dengan judul “HOPE”. Karya-karya ini dapat didengarkan di seluruh platform musik digital.

 

Musik: A Resting Place

A Resting Place mengajak penonton untuk merefleksikan bunyi-bunyi tematik dari karya A6 Ensemble. Ide melodi utama dari karya-karya A6 Ensemble mencoba merepresentasikan suasana yang dialami oleh personilnya mulai dari suka cita, perasaan sedih, bahagia, haru serta refleksi mengenai perjalanan grup ini. A6 Ensemble akan membawakan pertunjukan musik jazz dengan konsep yang diadaptasi dari gagasan konsep film dan seni pertunjukan, yaitu naratif dan performatif. Naratif merujuk pada suatu bentuk skenario yang menawarkan cara pandang baru untuk menikmati musik instrumental. Konsep naratif akan dikemas dalam bentuk booklet yang berisi skenario mencakup judul dan narasi tiap karya yang akan ditampilkan pada Salihara Jazz Buzz 2024, tanpa memiliki kesinambungan dengan urutan karya saat ditampilkan. 

Konsep performatif mengacu pada aksi atau pertunjukan yang tidak hanya menyajikan suatu karya tetapi juga bertindak sebagai ekspresi seni dan identitas. A6 Ensemble mengedepankan unsur dinamika pertunjukan dalam sebuah pementasan. Selain itu, A6 Ensemble akan menghadirkan kolaborasi antara performance art, visual mapping, tata cahaya, dan gimik di atas panggung.

 

Penampil: Borderline | Sabtu, 2 Maret 2024 | 20:00 WIB

Borderline adalah grup jazz asal Indonesia yang terbentuk pada 2022 dan terdiri dari empat musisi muda internasional berusia 20–25 tahun, yaitu Muhammad Rega Dauna (harmonika), Brandon Julio (bas), Michael Ananda (gitar), dan Timoti Hutagalung (drum). Nama “Borderline” digunakan karena para anggotanya tinggal di perbatasan kota. Borderline memulai kariernya dengan bermain jazz di bar Jakarta. Borderline mulai tampil pada gigs kecil di Jakarta Selatan, kemudian tampil pada festival-festival besar seperti Ngayogjazz, Suara Festival, Java Jazz, dan Esplanade’s Jazz. Mereka juga mewakili Indonesia dalam Europe Tour 2022. Selama Europe Tour pada Agustus–Oktober 2022, Borderline menggelar konser jazz di 11 negara. Borderline merilis CD edisi Eropa berjudul “Eye of The Universe”, yang terdiri dari lima lagu berjudul Jakarta City, Blackrose, Gray Sun, Eye of The Universe, dan Ana Maria oleh Wayne Shorter.

 

Musik: Eye of The Universe

Eye of The Universe adalah judul album (juga pertunjukan) dari Borderline yang berisi musik-musik original yang diciptakan oleh masing-masing anggota dan dirombak kembali bersama-sama. Judul tersebut terinspirasi oleh bulan purnama yang mewujudkan sebuah mata. Eye of The Universe berfilosofi bahwa di atas langit masih ada sesuatu yang lebih agung, yang menyaksikan segala baik dan buruk. Eye of The Universe juga berarti bahwa di setiap gelap selalu ada terang. 

Secara musikal karya-karya di dalam Eye of The Universe terinspirasi dari musisi jazz seperti Herbie Hancock, Chic Corea, Spirit Fingers, dan Pat Metheny, dengan warna musik yang dipengaruhi oleh genre latin jazz, european jazz, fusion, polyrhythmic music, dan odd meter music. Karakter dari setiap anggota yang berbeda dan telah dipadukan dalam satu kesatuan musik akan menciptakan nuansa yang lebih luas.

Untuk dapat merasakan pengalaman mendengarkan secara langsung pengunjung bisa melakukan pemesanan via tiket.salihara.org dengan harga Rp. 110.000 (umum) dan Rp. 55.000 (pelajar/mahasiswa).

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________ 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

Mengapresiasi Kebaruan dalam Musik
Melalui Salihara Jazz Buzz 2024

Teater Salihara, 24-25 Februari & 02 Maret 2024

 

Jakarta, 10 Maret 2024 – Salihara Jazz Buzz 2024 telah sukses digelar dari 24 Februari –  02 Maret lalu. Acara ini menghadirkan tiga musisi hasil Undangan Terbuka yakni; A6 Ensemble, Borderline, dan Riki Danni. Ketiganya berhasil memukau lebih dari ratusan pasang mata yang menghadiri Salihara Jazz Buzz selama tiga hari pertunjukan tersebut.

Ketiga musisi pilihan dewan juri tersebut, hadir dengan membawa warna musik masing-masing dan menawarkan konsep yang progresif selayaknya nyawa dari Salihara Jazz Buzz yang selalu menawarkan kebaruan. Contohnya seperti A6 Ensemble–kelompok musik asal Yogyakarta– yang menghadirkan tradisi dan jaz dengan bunyi-bunyi tematiknya merepresentasikan beragam suasana yang dirasakan oleh tiap personilnya seperti senang, sedih, sukacita, dan didukung dengan tampilan visual arts di atas panggung.

A6 Ensemble dengan latar visualnya dalam pertunjukan di Salihara Jazz Buzz, Teater Salihara (25/02) Dok. Witjak Widhi Cahya

 

Selain A6 Ensemble, musisi Riki Danni yang menjadi pembuka dalam acara ini membawakan fusion jazz yang diiringi oleh alat musik saksofon, flute, gitar, keyboard, bas elektrik, perkusi, dan drum dengan sentuhan improvisasi tiap-tiap instrumen di dalam pertunjukannya. Riki mengaku bahwa bermain di Salihara Jazz Buzz merupakan pengalaman yang menyenangkan dan memotivasi dirinya untuk terus berkarya,

“Pengalaman yang asik, mengetahui bahwa ada wadah yang mengapresiasi kebaruan dalam musik menjadi motivasi saya untuk terus berkarya.”

Dorongan yang mengantarkan Riki dan rekan-rekan Jazz Buzz lainnya seperti A6 Ensemble dan Borderline, dilandasi oleh pengalaman musisi-musisi sebelumnya yang pernah mengikuti Undangan Terbuka ini di tahun-tahun sebelumnya.

Kembali mengingatkan, Salihara Jazz Buzz merupakan festival musik jaz persembahan Komunitas Salihara yang mengusung ide Jazz Sans Frontières, sebuah gagasan dan konsep musikal “lintas-batas”. Hal tersebut menjadikan Salihara Jazz Buzz sebagai salah satu acara yang paling diminati oleh pemirsa seni Komunitas Salihara. Salah satu upaya Komunitas Salihara untuk menemukan bakat-bakat terbaru dari musisi muda di bawah usia 35 tahun dalam bermusik jaz. Salihara mengadakan Undangan Terbuka untuk seluruh musisi yang memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh Dewan Juri. Dari hasil Undangan Terbuka yang sudah dilakukan sejak 2023 lalu, terpilihlah tiga musisi yang telah disebutkan di atas yakni: A6 Ensemble, Borderline, dan Riki Danni yang mendapat kesempatan untuk bermain di Teater Salihara pada 24 Februari (Riki Danni), 25 Februari (A6 Ensemble), dan 02 Maret (Borderline).

Semangat untuk menemukan estetika baru dalam mendengarkan jazz diharapkan masih terus berkobar untuk tahun-tahun kedepannya, mengingat antusias dan respons masyarakat yang begitu baik di tiap-tiap tahun penyelenggaraan Salihara Jazz Buzz. Salah satunya adalah Muhammad Febriyanto (29) yang mengatakan pengalaman menonton musik jaz yang dipersembahkan Riki Danni merupakan sesuatu yang baru dan membuat nyaman,

“Untuk sebuah showcase ini adalah pertunjukan yang membuat nyaman meskipun memang jenis musiknya tidak untuk semua kalangan. Vibes yang dibangun sangat menarik dan saya suka walaupun ini (konsep) acara musik jaz pertama kali saya lihat.”

Kurator Musik Salihara, Tony Prabowo berharap ke depannya Salihara sebagai presenter pada acara musik jaz tetap bisa menghadirkan tawaran yang lebih progresif terutama terhadap genre musik yang sesuai dengan visi/misi yang sudah dipegang Salihara selama lebih dari 15 tahun ini.

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________ 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

jokpin

Antara Senyum dan Renungan
Berpijar Kata dan Luka

Obituari Joko Pinurbo

 

Joko Pinurbo (Sukabumi, 11 Mei 1962-Yogyakarta, 27 April 2024) adalah anak kandung puisi Indonesia. Ia mengambil hampir semua kekuatan penting puisi Indonesia untuk membangun puisi-puisinya. Namun, ia kemudian menemukan jalan kepenyairannya yang khas dengan melahirkan puisi-puisi berwatak ganda: serius sekaligus lucu. Itulah yang membuat ia segera terbedakan dari penyair-penyair generasi sebelumnya yang telah menjadi sumber penciptaan puisi-puisinya.

Jika ia menyajikan humor yang memancing tawa—atau sekadar sunggingan senyum—sebenarnya itu hanyalah siasat sang penyair untuk mengajak pembaca memikirkan sesuatu di antara yang lucu-lucu sebelumnya. Puisi humornya hampir selalu dikunci dengan satu-dua larik yang menyadarkan pembaca bahwa tersenyum hanyalah momen pembebasan sesaat sebelum akhirnya pembaca harus selalu menyadari betapa hidup itu absurd dan derita menjadi tanpa batas. 

Puisi berwatak ganda seperti ini adalah khas Joko Pinurbo. Jika kita membandingkan puisi-puisinya dengan “puisi mbeling” yang diperkenalkan oleh Remy Sylado pada awal 1970-an, misalnya, kita akan segera menemukan perbedaan yang mencolok. Puisi mbeling memang berpretensi bermain-main, meledek yang kelewat serius, dengan protes di sana-sini, banal, lucu pun bisa. Kala itu ia menjadi guncangan satu-satunya untuk puisi lirik berbahasa Indonesia dan karenanya ia menjadi bernilai. Dan ia berhenti sampai di situ.

Sementara puisi-puisi Joko Pinurbo mengembalikan watak lain puisi, yaitu perenungan, yang sebelumnya telah ditolak puisi mbeling. Joko Pinurbo seakan-akan hendak menetapkan bahwa sifat bermain-main itu sudah harus dihentikan dan kita kembali kepada perenungan tadi, meski tindakan itu sendiri tidak diniatkan untuk menyelesaikan persoalan yang ada. Ia menghendaki pembacanya bersikap kritis dengan hati yang jembar; kembali kepada kepada hidup yang penuh masalah, dengan tidak gampang menyerah.

Untuk mencapai semua itu Joko Pinurbo mengambil, setidaknya, dua model utama: puisi lirik Sapardi Djoko Damono dan puisi balada Rendra. Dari Sapardi Joko Pinurbo menyerap kemahiran memainkan citraan dan bunyi, teka-teki dan melankoli—imajisme secara keseluruhan. Pada sajak-sajak awalnya Joko Pinurbo bahkan seperti mengulang begitu saja model persajakan Sapardi itu. Dalam kasus ini, Joko Pinurbo juga sesekali memainkan kembali jukstaposisi dan disonansi yang tajam yang sebelumnya kerap kita temukan dalam puisi-puisi Goenawan Mohamad.  

Sementara melalui langgam puisi balada Joko Pinurbo menghidupkan kembali tokoh-tokoh kecil dan ganjil dari kehidupan keseharian kita. Jika dalam puisi-puisi balada Renda tokoh-tokoh ini cenderung dipahlawankan, dimuliakan karena perlawanan mereka atas kebiadaban yang mengungkung mereka, maka-puisi dalam puisi Joko Pinurbo mereka hampir selalu berwatak “antiwira”. Joko Pinurbo memasang orang kecil yang tidak termasuk dalam statistika kota atau benda-benda keseharian yang selama ini tidak direken sebagai benda puitik—awalnya, celana, kelak, telepon genggam. 

Jika orang-orang kecil yang tertindas dibela habis-habisan oleh sajak-sajak protes—melalui sosok Rendra dan Wiji Thukul, misalnya—dalam sajak-sajak Joko Pinurbo, sebaliknya, orang-orang kecil yang menderita itu justru diledek habis-habisan, tanpa pembelaan sama sekali. Bukan sekali dua, ledekan itu mengarah kepada penyairnya sendiri. Dengan humor getir seperti ini Joko Pinurbo mengajukan “puitika cemooh” (Ralph M. Rosen, Making Mockery: The Poetics of Ancient Satire, 2007) yang jitu, yang hampir tidak pernah kita dapatkan dalam puisi Indonesia sebelumnya.

Sasaran cemooh itu juga kadang-kadang bergeser ke sosok-sosok dalam kehidupan iman Katolik. Sejatinya, sudah sejak awal, sebagai seorang penganut Katolik Joko Pinurbo mengolah kembali fragmen-fragmen Alkitab, terutama Perjanjian Baru, di seputar kehidupan Yesus, Maria dan Maria Magdalena. Dengan cara ini ia secara tidak langsung hendak mengajak kita untuk melenturkan sikap keagamaan kita, yang selama ini kelewat banyak tegang karena pelbagai gesekan dan lain-lainnya. 

Lebih jauh lagi, Joko Pinurbo juga mempersoalkan kembali tubuh manusia. Tubuh manusia—hampir seluruhnya penggambaran tubuh manusia ini mengacu kepada tubuh penyair yang tipis-ringkih—bukan sekadar bangunan biologis, tetapi medan penciptaan dan penafsiran kembali akan dunia luas. Tubuh dalam puisi-puisi Joko Pinurbo adalah medan yang telah dibersihkan, sebisa mungkin, dari erotisme. Jika pun ia menyerempet ke arah erotisme, sebetulnya itu hanyalah sejenak sebelum akhirnya ia menjelajahi kegetiran dan absurditas hidup melalui fenomena tubuh di atas ranjang atau tubuh di atas beca dan kuburan.

Celana (1999) adalah buku puisi Joko Pinurbo yang memberikannya ketetapan bahwa humor, juga kontemplasi dan kritik sosial, bisa berjalan bersamaan dalam puisi-puisinya. Di sini pengucapan puisi bukan ditentukan oleh hasrat penyair untuk menyadarkan pembaca agar bersikap kritis sebagaimana penyairnya—sebagaimana telah kita alami pada banyak puisi protes—sebaliknya untuk memberikan kita kesempatan untuk menginterogasi diri kita sendiri, untuk meledeknya, dan dari sana siapa tahu kita beroleh pencerahan baru, mencapai jiwa yang tersucikan. 

Buku-buku puisi Joko Pinurbo selanjutnya tidak banyak bergerak dari wilayah tematik yang telah ia bangunkan dalam Celana. Memang, pada tahun-tahun terakhir kepenyairannya ia mencoba menjadi penyair yang akomodatif, terbarukan, cepat tanggap, dengan menjelajahi tema-tema yang berkisar di media sosial atau sejenisnya. Ia juga menerbitkan sejumlah buku puisi dengan tema terkait. Tetapi, kekuatan puitika Joko Pinurbo justru masih bertahan pada buku-buku puisinya yang awal. 

Sepanjang itu, yang mesti dipujikan adalah bahasa Indonesia Joko Pinurbo yang jernih, sehingga membuat puisi-puisinya selama ini terbebas dari godaan “puisi gelap” yang pernah merebak pada dasawarsa 1990-an. Ia adalah penyair yang sadar diri bahwa bahasa Indonesia mesti diberdayakan terus agar penyair bisa menemukan pengucapan-pengucapan baru. Bahkan, ada waktunya ia menulis puisi-puisi yang berkaitan dengan pergaulannya dengan bahasa Indonesia yang telah menjadi bahasa utama puisi-puisinya. 

Joko Pinurbo telah mendapatkan sejumlah penghargaan sastra melalui buku puisi dan kiprahnya selama ini. Yang terakhir adalah Penghargaan Achmad Bakrie 2023 untuk Kesusastraan. Berkali-kali pula ia diundang ke festival sastra di Indonesia dan mancanegara. Ia pernah pula tampil di Komunitas Salihara sebagai penyair dan pengampu kelas penulisan puisi dalam Bienal Sastra Salihara 2015.

 

Selamat jalan, Joko Pinurbo.

debat2024

Kompetisi Debat Sastra Tingkat SMA 2024

Novel memberi kekayaan psikologis dan perspektif untuk memahami persoalan manusia dan dunia. Membaca dan membandingkan novel Indonesia dan asing juga menambah pengetahuan.  

Komunitas Salihara mendorong kreativitas dan intelektualitas generasi muda dengan kembali mengadakan: 

Membandingkan novel Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta karya Luis Sepúlveda (Chili) dengan Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis (Indonesia) dengan acuan berikut: 

Kedua novel ini bercerita, antara lain, tentang hubungan manusia dengan alam hutan, ekosistemnya, dan persoalan yang timbul akibat peradaban modern—suatu masalah yang menjadi semakin urgen belakangan ini. Kedua karya sastra ini ditulis di saat negeri masing-masing—Indonesia dan Chili—diperintah oleh diktator militer—Soeharto di Indonesia dan Pinochet di Chili. 

Fokus perbandingan yang diharapkan adalah: penggarapan sastrawi atas tema pembangunan dan ekologi, dan penggarapan atas tokoh-tokoh cerita. Penting juga untuk melihat apakah ide (tema atau pesan cerita) dan bentuk (bahasa, metafora, plot, dll.) berjalin seimbang sehingga novel ini nikmat dibaca.

Kompetisi Debat Sastra SMA 2024 didukung oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan melalui Program Pemanfaatan Hasil Kelola Dana Abadi Kebudayaan Tahun 2023.

  • Pendaftaran: 15 Maret–17 Juli 2024
  • Tenggat pengumpulan makalah: 17 Juli–05 Agustus 2024 (tanggal kirim surat elektronik)
  • Penjurian tahap 1: 06-27 Agustus 2024
  • Pengumuman finalis: 28 Agustus 2024
  • Final: 28 September 2024

Juara 1: Rp20.000.000

Juara 2: Rp15.000.000

Tiga makalah favorit (maksimal) masing-masing Rp3.000.000

*pajak ditanggung pemenang

  • Peserta adalah kelompok yang terdiri atas 3 (tiga) siswa dari satu sekolah setingkat SMA. Setiap sekolah boleh mengirimkan lebih dari satu kelompok. Peserta boleh memberi nama kelompoknya secara bebas; 
  • Peserta adalah siswa yang masih duduk di bangku SMA atau setara ketika final debat berlangsung pada 28 September 2024;
  • Kelompok dari sekolah yang telah menjadi juara 1 pada tahun sebelumnya tidak diperkenankan mendaftar;
  • Peserta yang telah melengkapi pendaftaran dan menerima karya, tetapi tidak mengumpulkan makalah hingga batas akhir pengumpulan, akan didiskualifikasi pada tahun penyelenggaraan berikutnya;
  • Karya yang ditelaah dapat diunduh setelah menyelesaikan proses pendaftaran (mengisi dan melengkapi formulir);
  • Peserta (atas nama kelompok) membuat telaah (berupa tulisan atau makalah) dalam bahasa Indonesia setelah membaca dan membandingkan karya sastra di atas;
  • Makalah dikirim tanpa mencantumkan identitas di dalam makalah dan tanpa menggunakan sampul (cover) berlogo sekolah atau nama kelompok. Tidak perlu menambahkan lembar persetujuan, lembar ucapan terima kasih maupun kata pengantar;
  • Telaah yang diunggulkan adalah yang menawarkan kedalaman pemahaman dan keluasan perspektif;
  • Format pelaksanaan final akan ditentukan dengan melihat perkembangan kondisi kesehatan (bila diadakan secara langsung di Salihara, Salihara akan menanggung akomodasi dan transportasi kelompok peserta dari luar Jabodetabek);
  • Kirim hasil telaah karya sesuai jadwal yang ditentukan ke alamat surel berikut:  edukasi@salihara.org dengan subyek: Kompetisi Debat Sastra Tingkat SMA (nama sekolah/kelompok).
  • Juri Tahap I menilai karya tulis berdasarkan mutu argumen, pendalaman dan penggalian masalah serta ketertiban dan keindahan bahasa Indonesia yang digunakan;
  • Masing-masing kelompok finalis boleh memilih satu wakil untuk presentasi atau mengatur anggota-anggota kelompok berbicara secara bergiliran (gaya presentasi bebas);
  • Juri Tahap II menilai keterampilan peserta dalam menyampaikan gagasan secara lisan dan kekuatan argumen dalam perdebatan;
  • Keputusan juri tidak dapat diganggu gugat.
  • Daftarkan diri dan kelompokmu dengan mengisi formulir pendaftaran di https://forms.gle/QVsqqwS7ZoA8Waue7
  • Buku materi Kompetisi Debat memiliki dua (2) format, yaitu berupa akses buku digital dan buku fisik:
    • Akses Buku Digital berupa voucher akan dikirimkan ke email penanggung jawab kelompok yang didaftarkan dalam formulir, dengan estimasi 2–3 hari kerja setelah submit pendaftaran;
    • Buku fisik akan dikirimkan ke alamat penanggung jawab kelompok yang didaftarkan dalam formulir, dengan estimasi  3–5 hari kerja setelah submit pendaftaran.
  • Uduh aplikasi MyEdisi reader di AppStore/PlayStore atau unduh melalui tautan berikut https://www.myedisi.com/reader (Aplikasi MyEdisi dapat diunduh pada smartphone berbasis Android/iOS);
  • Buat akun MyEdisi menggunakan masing-masing nama peserta kelompok yang didaftarkan;
  • Setelah membuat akun, silakan login ke aplikasi MyEdisi;
  • Setelah login, pilih ‘Garis 3’ di pojok kiri atas beranda aplikasi;
  • Pilih ‘Pengaturan’, lalu pilih ‘Voucher’;
  • Masukkan kode voucher (yang sudah dikirimkan melalui email penanggung jawab kelompok), lalu ‘Aktifkan Voucher’;
  • Konfirmasi voucher akan muncul, lalu pilih ‘Setuju & Gunakan Voucher’;
  • Akan muncul notifikasi ‘Klaim Voucher Berhasil’, lalu pilih ‘Unduh Sekarang’;
  • Setelah klaim berhasil, silakan kembali ke halaman beranda aplikasi, lalu pilih ‘Pustaka’ (ada di kanan bawah layar beranda);
  • Setelah masuk pustaka, silakan pilih ‘Kiriman’ dan konten ebook sudah siap untuk dibaca.
20240213-kf

Sekilas tentang Kritik Heidegger
pada Cara Berpikir Modern-Teknologis

Keseharian manusia berjalan semakin bising dan pesat, beberapa kebutuhan manusia telah terakomodir oleh teknologi yang semakin canggih. Fenomena ini muncul di tengah masyarakat kontemporer. Martin Heidegger, seorang filsuf Jerman abad ke-20 dan sering dianggap sebagai filsuf kontroversial, menawarkan kritik yang mendalam terhadap cara berpikir modern-teknologis yang menjadi landasan bagi perkembangan masyarakat kontemporer. Menurut Heidegger, teknologi tidak hanya menjadi alat atau instrumen bagi manusia, tetapi lebih dari itu, teknologi telah sampai pada fase menentukan cara pandang manusia terhadap dunia. Heidegger menyoroti bahwa kita cenderung memandang teknologi hanya sebagai alat yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tanpa mempertimbangkan dampak filosofis dan eksistensial yang lebih dalam.

Salah satu konsekuensi utama dari pandangan teknologis ini adalah alienasi manusia. Dalam mengejar kemajuan teknologi, manusia cenderung melupakan hubungannya dengan alam dan makna yang lebih dalam tentang kehadirannya di kehidupan. Heidegger menunjukkan bahwa kesadaran akan keterbatasan manusia dan ketergantungan mereka pada alam semakin terkikis oleh dominasi teknologi. Manusia mulai kehilangan makna dalam kehidupan manusia itu sendiri, karena teknologi tidak mampu memberikan jawaban atas pertanyaan eksistensial yang mendasar. 

Untuk menghadapi itu semua, Heidegger menawarkan konsep Dasein, bahwa manusia sejatinya memiliki kemampuan untuk menyadari diri sendiri dan menjadi sadar akan keberadaannya sendiri, dalam hal ini termasuk keberadaan manusia di dunia dan interaksinya dengan lingkungan. Untuk mengurai bagaimana manusia mampu menyadari keberadaannya, maka dibutuhkan pertanyaan-pertanyaan seperti “mengapa manusia ada?”, “mengapa manusia tiada?”, “apa posisi manusia di dunia ini?”, “apakah keberadaan manusia di dunia ini terbatas?”. Heidegger juga menawarkan konsep Aletheia (ketaktersembunyian). Istilah Aletheia merujuk pada penyingkapan tak henti realitas dari persembunyiannya. Manusia perlu memiliki upaya untuk menciptakan lingkungan yang memfasilitasi pengalaman kebenaran dan kehadiran yang otentik. 

Dalam dunia yang dikuasai oleh teknologi, manusia seringkali terjebak dalam kesibukan dan nyaris terperangkap dalam dunia digital yang mengaburkan pengalaman langsung dengan dunia nyata. Heidegger menyarankan agar kita kembali kepada pengalaman otentik, di mana kita dapat merasakan kehadiran diri kita sendiri dalam hubungan yang lebih intim dengan alam dan sesama manusia. Melalui kritiknya terhadap cara berpikir modern-teknologis, Heidegger mengajak kita untuk merefleksikan kembali hubungan kita sebagai makhluk hidup dengan teknologi dan alam. 

Urai lebih lengkap bagaimana kritik Heidegger atas cara berpikir modern-teknologis dalam Kelas Filsafat Salihara putaran pertama, Heidegger: Akar Filsafat Ilmu, yang juga akan membahas perspektif “akar heideggerian” untuk memahami perkembangan Filsafat Ilmu sejak tahun 1920 – 1970-an. Kelas Filsafat kali ini akan diampu oleh A. Setyo Wibowo dan F. Budi Hardiman. 

Screenshot 2024-01-29 142743

Obituari Ignas Kleden

Ignas Kleden adalah seorang intelektual yang tajam melancarkan kritik terhadap kinerja kaum intelektual itu sendiri. Kegemaran para cendekia kita untuk ramai-ramai berkomentar tentang isu-isu sosial-politik, bagi ia, adalah salah satu tanda bahwa mereka bukan mengerjakan gagasan, tetapi bermain-main dengan gagasan; bukan berdiskusi, tetapi mengobrol, bila bukan bergosip. Terhadap keterlibatan mendalam kaum ilmuwan sosial dalam kerja pembangunan, atau proyek modernisasi pada umumnya, ia mengingatkan bahwa “relevansi sosial” demikian justru membuat ilmu-ilmu sosial kehilangan dimensi ilmiahnya, dan dengan begitu sebenarnya juga memperkecil dampaknya dalam perubahan sosial.

Kepada kaum intelektual publik dan ilmuwan sosial, baik yang di kiri maupun yang di kanan, yang kerap menganggap diri garda depan perkembangan sosial, ia menyatakan bahwa kinerja ilmu-ilmu sosial (juga humaniora, ilmu hukum dan ilmu ekonomi), termasuk “indigenisasi”-nya di Indonesia, hanya akan berlaku baik bila para eksponennya menjalankan sikap waspada yang bersisi tiga. Yang pertama, ialah sisi epistemologis, yang memeriksa dasar-dasar kebenaran disiplin yang bersangkutan; yang kedua, ialah sisi historis, yang menunjukkan bahwa nilai “universal” yang teranut sesungguhnya hasil dari konteks sejarah yang bersifat khusus; yang ketiga adalah sisi etis, yang akan mengingatkan apakah kiprah yang bersangkutan adalah mencari kebenaran atau sekadar menjadi alat bagi ideologi dan kekuasaan.

Semua tulisan Ignas Kleden, untuk memakai ungkapannya sendiri, adalah kritik kebudayaan. Namun ia adalah intelektual yang begitu langka di Indonesia. Ia bukan hanya fasih memperkarakan perihal kebudayaan umum, tetapi menukik ke lingkup yang lebih spesifik: ia menulis kritik sastra. Di ranah kesastraan ini pun, ia menempuh jalan yang tersendiri. Sangat berbeda dengan sebagian besar kritikus sastra Indonesia, Ignas membuktikan bahwa karya sastra membuat makna yang terbaik bagi pembaca justru dengan berpisah dari konteks sosialnya dan dari niat si pengarang. Ia juga menunjukkan bahwa kekeliruan kritik sastra ilmiah ialah penerapan “teori” secara doktriner dan tanpa penghayatan.

Ia pernah hadir berbicara di Komunitas Salihara pada forum Kuliah Umum: Pramoedya dan Pemikiran Kebangsaan, 2011.

Buku-buku Ignas Kleden adalah Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan, Fragmen Sejarah Intelektual, dan Indonesia Sebagai Utopia. Ia lahir di Larantuka, Flores Timur, pada 19 Mei 1948, dan berpulang di Jakarta pada 22 Januari 2024.

abdulhadi

Abdul Hadi W.M.
Yang Remang, Yang Bernilai

Sebagai penyair Abdul Hadi W.M. (24 Juni 1946–19 Januari 2024) dikenal sebagai penyair sufistik. Tetapi, sebenarnya, itu adalah perkembangan yang lebih kemudian. Sajak-sajak awalnya melanjutkan—jika bukan memberi warna lain—tradisi puisi lirik yang sebelumnya telah diperkokoh oleh Goenawan Mohamad dan Sapardi Djoko Damono. Tilikannya terhadap alam (laut dan alam dan budaya Madura, misalnya) membuat sajak-sajaknya terasa menonjolkan lanskap alam yang sebelumnya tidak digarap oleh para penyair lirik sebelumnya.

Sapardi Djoko Damono dalam sebuah ulasannya tentang buku puisi Abdul Hadi Laut Belum Pasang (1969) menulis bahwa puisi-puisi Abdul Hadi “bermula dengan keremang-remangan dan berakhir pada keremang-remangan; suasana yang remang-remang yang muncul dari alam, alam yang lahir dari suasana yang remang-remang.” Jika kita bersepakat pada pendapat Sapardi, maka pada sajak Abdul Hadi yang menarik perhatian adalah sesuatu yang tidak jelas benar, antara ini dan itu—semacam suasana kebimbangan dalam sajak-sajak Goenawan Mohamad. 

Atau, disonansi yang kelewat kerap dalam satu bait yang membuat bangun puisinya secara keseluruhan kehilangan fokus dan kedalaman.

Tentu saja, yang remang-remang itu bukanlah yang gelap. Pada tampakan yang paling nyata, ia masih menampilkan panorama benda-benda atau bentang alam. Aku lirik puisi-puisi Abdul Hadi selalu kesulitan mengenali sesuatu dari pemandangan di depannya. Dalam sajak “Amsal Seekor Kucing”, rumusannya begini: “Selalu tak dapat kulihat kau dengan jelas/ Padahal aku tidak rabun dan kau tidak pula bercadar.” Yang kabur di situ pada akhirnya yang menimbulkan pesona.

Lebih dari itu, Abdul Hadi memasang penilaian yang kadang-kadang melampaui penampakan sesuatu dalam puisi. Terutama, ketika ia menarik penilaiannya kepada pernyataan filosofis atau menguncinya dengan satu dalil agama yang diambil dari Kitab Suci. Pernyataan filsafat atau politik itulah yang kemudian membuat sajak-sajak Abdul Hadi kehilangan spontanitas pengucapannya. Ia tersendat, misalnya, oleh pemikiran atau komentar sosial yang pada satu masa menjadi menu menarik puisi Indonesia juga.

Pada akhirnya Abdul Hadi mengerjakan semuanya untuk puisi-puisinya itu. Bukan hanya puisi suasana, sajak sufistik, tetapi juga puisi protes atau renungan kepada khazanah budaya Jawa yang menjadi akarnya. Ia berusaha menjadi penyair yang lengkap—sebagaimana bidang pekerjaan yang dia geluti selama ini. Begitulah, selama hidupnya, Abdul Hadi menjalani profesi yang beragam. Selain sebagai penyair, ia juga menulis esai, pernah bekerja sebagai wartawan, anggota Dewan Kesenian Jakarta, redaktur, kurator dan dosen. Pada Jumat, 19 Januari lalu ia berpulang.

Menilik Kartono Yudhokusumo: Gaya dan Cerita

“Saya tidak pernah kecewa karena saya tidak pernah mengharapkan apa pun.” 

Itulah sepenggal kalimat Kartono Yudhokusumo, seorang pelukis modern yang bakatnya sudah diakui sejak usia muda. Terbukti dalam pemberitaan harian Jawa Nippo (sebuah harian Jepang) pada 13 Agustus 1934, pelukis Jepang; Chiyoji Yazaki mengakui bakat seorang laki-laki dari Jawa berusia kira-kira 10 tahun yang diharapkan akan memiliki masa depan yang baik. Chiyoji Yazaki merupakan guru dari Kartono Yudhokusumo yang karya-karyanya bisa dilihat di Galeri Salihara hingga 21 Januari 2024 mendatang.

Dalam rangka mengapresiasi karya dan Kartono secara ketokohan, Komunitas Salihara menggelar sebuah pameran karya dan arsip dengan tajuk Kartono Yudhokusumo: Karya dan Arsip yang dikuratori oleh Amir Sidharta dan Asikin Hasan. Untuk mengenal sosok maestro seni rupa Indonesia tersebut, sebuah diskusi pun diadakan di Studio Musik Salihara pada 13 Desember lalu, menghadirkan Danuh Tyas Pradipta (Penulis dan Peneliti) dan Sally Texania (Seniman dan Kurator) yang membahas Kartono Yudhokusumo dari sisi kesejarahan hingga gaya lukisannya.

 

Kartono dan Linimasa Hidupnya

Diskusi dibuka oleh Danuh Tyas Pradipta yang banyak mengambil referensi dari penelitiannya yang ia tulis dalam Pusaka Seni Rupa pada 2017. Dalam temuannya, Kartono merupakan sosok yang sulit ditelusuri akibat minimnya referensi serta koleksi karyanya yang terbatas; walau dalam pandangan Danuh, Kartono adalah sosok yang menarik meski tak sepopuler S. Sudjojono dan Affandi (pelukis modern sezaman). Meski jarang disebut, kemampuan melukis Kartono dipuji sangat tinggi oleh S. Sudjojono yang juga merupakan gurunya sendiri,

“Meskipun Kartono tetap tinggal dalam bentuk biasa dalam gambar-gambarnya, tetapi anak yang baru berumur 19 tahun ini sudah gatal tangannya mulai mengubah warna-warna alam dengan kehebatan rasa ciptanya. Dengan warna, dia mulai terasa getar rasa cipta yang benar meskipun bentuk tetap konsekuen dihormatinya.” petikan S. Sudjojono ini yang dikutip oleh Danuh dalam paparannya mengenai bakat Kartono.

Paparan Danuh fokus terhadap sejarah Kartono secara kronologis. Dimulai dari pujian-pujian para seniornya tentang bakat sang pelukis di usia muda, hingga bagaimana Kartono hidup dengan menjual sketsa di Solo sebagai mata pencaharian. Pada 1952, Kartono pindah ke Bandung dan di tahun inilah Kartono menemukan gaya lukis dekoratifnya. Kartono juga mendapat hibah dari pemerintah sehingga ia dapat mendirikan sanggar seniman di sana.

Selama di Bandung, Kartono dianggap sebagai satu-satunya seniman yang berhasil di era tersebut (1954) dan menjadikan pusat kesenian Bandung bukan berasal dari Akademi Seni Rupa Bandung saja melainkan ada juga yang dari sanggar yang Kartono dirikan. 

Kekaryaan Kartono begitu singkat, ia meninggal di usia yang terbilang muda (33 tahun) akibat kecelakaan motor. Ia memang terkenal dengan motor Harley andalannya dan kerap merekam perjalanannya lewat lukisan yang ia ciptakan. Kusnadi–salah satu pelukis sezaman–mengatakan lukisan Kartono bukan sekadar alam tapi juga menceritakan kehidupan pribadinya di dalam lukisan tersebut. 

Danuh, di akhir paparan menyimpulkan mengapa Kartono sebagai pelukis yang menerima banyak pujian tersebut bisa tidak terkenal terletak dalam pribadi Kartono itu sendiri. Sebagai pelukis dia adalah orang yang low profile, tidak pernah diwawancara, dan tidak menulis sehingga mencari catatan lengkap mengenai dirinya begitu sulit di masa sekarang.

 

Melihat Barat Melalui Timur 

Diskusi beralih ke pemaparan Sally Texania yang ingin membahas hipotesis mengenai gaya Kartono yang (diduga) mengadaptasi gaya lukisan Barat yang diterjemahkan kembali oleh seniman-seniman Timur (Jepang). Sally membuka diskusi dengan menampilkan karya Kartono pada 1934 dengan judul Pemandangan.

Kartono Yudhokusumo, “Pemandangan”, 1934.

 

Lewat lukisan ini Sally berimajinasi terhadap perkembangan seni rupa di zaman tersebut. Ia menarik dari sejarah perkembangan seni rupa Jepang yang saat itu mengalami transfer budaya besar pada masa restorasi Meiji. Pengaruh Barat ini dibawa oleh guru-guru lukis Jepang yang belajar di Barat. Salah satu yang memopulerkan gaya Barat di Jepang adalah pelukis bernama Kuroda Seiki dengan gaya plein airism; yakni sebuah pendekatan lukis di ruang terbuka dan terpengaruh oleh impresionisme Prancis. Kuroda sendiri merupakan guru dari C. Yazaki yang kita tahu merupakan guru gambar dari Kartono Yudhokusumo.

Yazaki mulai melukis di Indonesia pada 1934 dan turut mengajar para pelukis muda Indonesia di sana. Hal ini mengindikasikan bahwa gaya plein airism ini juga sudah masuk di Indonesia di awal 1930-an. Paparan dilanjutkan dengan sebuah foto perbandingan antara lukisan Kartono dan Yazaki yang membuat Sally menduga adanya praktik lukis Kartono terpengaruh oleh gurunya tersebut.

Ada beberapa ciri dalam plein airism yang ditemukan Sally lewat lukisan Kartono yang ia temukan dan kecenderungan tersebut juga ditemukan dalam lukisan C. Yazaki seperti pola menggambar cepat, komposisi warna, dan titik hilang yang sama. Seniman lain yang juga terpengaruh gaya ini adalah Affandi dan Hendra Gunawan di 1941.

Pengaruh Timur yang melihat Barat dalam lukisan Kartono juga terlihat dalam karya-karya potret. Jejak kekaryaannya tidak hanya memberikan praktik dari satu seniman saja, tapi juga melihat berbagai tikungan dari seniman-seniman ternama di masa itu (1930-1940-an). Kartono dan para seniman sezaman memberikan jejak visual serupa mengenai pandangan barat sebagai negara yang pernah menjadi bekas kekuasaan imperialisme Jepang.