abdulhadi

Abdul Hadi W.M.
Yang Remang, Yang Bernilai

Sebagai penyair Abdul Hadi W.M. (24 Juni 1946–19 Januari 2024) dikenal sebagai penyair sufistik. Tetapi, sebenarnya, itu adalah perkembangan yang lebih kemudian. Sajak-sajak awalnya melanjutkan—jika bukan memberi warna lain—tradisi puisi lirik yang sebelumnya telah diperkokoh oleh Goenawan Mohamad dan Sapardi Djoko Damono. Tilikannya terhadap alam (laut dan alam dan budaya Madura, misalnya) membuat sajak-sajaknya terasa menonjolkan lanskap alam yang sebelumnya tidak digarap oleh para penyair lirik sebelumnya.

Sapardi Djoko Damono dalam sebuah ulasannya tentang buku puisi Abdul Hadi Laut Belum Pasang (1969) menulis bahwa puisi-puisi Abdul Hadi “bermula dengan keremang-remangan dan berakhir pada keremang-remangan; suasana yang remang-remang yang muncul dari alam, alam yang lahir dari suasana yang remang-remang.” Jika kita bersepakat pada pendapat Sapardi, maka pada sajak Abdul Hadi yang menarik perhatian adalah sesuatu yang tidak jelas benar, antara ini dan itu—semacam suasana kebimbangan dalam sajak-sajak Goenawan Mohamad. 

Atau, disonansi yang kelewat kerap dalam satu bait yang membuat bangun puisinya secara keseluruhan kehilangan fokus dan kedalaman.

Tentu saja, yang remang-remang itu bukanlah yang gelap. Pada tampakan yang paling nyata, ia masih menampilkan panorama benda-benda atau bentang alam. Aku lirik puisi-puisi Abdul Hadi selalu kesulitan mengenali sesuatu dari pemandangan di depannya. Dalam sajak “Amsal Seekor Kucing”, rumusannya begini: “Selalu tak dapat kulihat kau dengan jelas/ Padahal aku tidak rabun dan kau tidak pula bercadar.” Yang kabur di situ pada akhirnya yang menimbulkan pesona.

Lebih dari itu, Abdul Hadi memasang penilaian yang kadang-kadang melampaui penampakan sesuatu dalam puisi. Terutama, ketika ia menarik penilaiannya kepada pernyataan filosofis atau menguncinya dengan satu dalil agama yang diambil dari Kitab Suci. Pernyataan filsafat atau politik itulah yang kemudian membuat sajak-sajak Abdul Hadi kehilangan spontanitas pengucapannya. Ia tersendat, misalnya, oleh pemikiran atau komentar sosial yang pada satu masa menjadi menu menarik puisi Indonesia juga.

Pada akhirnya Abdul Hadi mengerjakan semuanya untuk puisi-puisinya itu. Bukan hanya puisi suasana, sajak sufistik, tetapi juga puisi protes atau renungan kepada khazanah budaya Jawa yang menjadi akarnya. Ia berusaha menjadi penyair yang lengkap—sebagaimana bidang pekerjaan yang dia geluti selama ini. Begitulah, selama hidupnya, Abdul Hadi menjalani profesi yang beragam. Selain sebagai penyair, ia juga menulis esai, pernah bekerja sebagai wartawan, anggota Dewan Kesenian Jakarta, redaktur, kurator dan dosen. Pada Jumat, 19 Januari lalu ia berpulang.

Menilik Kartono Yudhokusumo: Gaya dan Cerita

“Saya tidak pernah kecewa karena saya tidak pernah mengharapkan apa pun.” 

Itulah sepenggal kalimat Kartono Yudhokusumo, seorang pelukis modern yang bakatnya sudah diakui sejak usia muda. Terbukti dalam pemberitaan harian Jawa Nippo (sebuah harian Jepang) pada 13 Agustus 1934, pelukis Jepang; Chiyoji Yazaki mengakui bakat seorang laki-laki dari Jawa berusia kira-kira 10 tahun yang diharapkan akan memiliki masa depan yang baik. Chiyoji Yazaki merupakan guru dari Kartono Yudhokusumo yang karya-karyanya bisa dilihat di Galeri Salihara hingga 21 Januari 2024 mendatang.

Dalam rangka mengapresiasi karya dan Kartono secara ketokohan, Komunitas Salihara menggelar sebuah pameran karya dan arsip dengan tajuk Kartono Yudhokusumo: Karya dan Arsip yang dikuratori oleh Amir Sidharta dan Asikin Hasan. Untuk mengenal sosok maestro seni rupa Indonesia tersebut, sebuah diskusi pun diadakan di Studio Musik Salihara pada 13 Desember lalu, menghadirkan Danuh Tyas Pradipta (Penulis dan Peneliti) dan Sally Texania (Seniman dan Kurator) yang membahas Kartono Yudhokusumo dari sisi kesejarahan hingga gaya lukisannya.

 

Kartono dan Linimasa Hidupnya

Diskusi dibuka oleh Danuh Tyas Pradipta yang banyak mengambil referensi dari penelitiannya yang ia tulis dalam Pusaka Seni Rupa pada 2017. Dalam temuannya, Kartono merupakan sosok yang sulit ditelusuri akibat minimnya referensi serta koleksi karyanya yang terbatas; walau dalam pandangan Danuh, Kartono adalah sosok yang menarik meski tak sepopuler S. Sudjojono dan Affandi (pelukis modern sezaman). Meski jarang disebut, kemampuan melukis Kartono dipuji sangat tinggi oleh S. Sudjojono yang juga merupakan gurunya sendiri,

“Meskipun Kartono tetap tinggal dalam bentuk biasa dalam gambar-gambarnya, tetapi anak yang baru berumur 19 tahun ini sudah gatal tangannya mulai mengubah warna-warna alam dengan kehebatan rasa ciptanya. Dengan warna, dia mulai terasa getar rasa cipta yang benar meskipun bentuk tetap konsekuen dihormatinya.” petikan S. Sudjojono ini yang dikutip oleh Danuh dalam paparannya mengenai bakat Kartono.

Paparan Danuh fokus terhadap sejarah Kartono secara kronologis. Dimulai dari pujian-pujian para seniornya tentang bakat sang pelukis di usia muda, hingga bagaimana Kartono hidup dengan menjual sketsa di Solo sebagai mata pencaharian. Pada 1952, Kartono pindah ke Bandung dan di tahun inilah Kartono menemukan gaya lukis dekoratifnya. Kartono juga mendapat hibah dari pemerintah sehingga ia dapat mendirikan sanggar seniman di sana.

Selama di Bandung, Kartono dianggap sebagai satu-satunya seniman yang berhasil di era tersebut (1954) dan menjadikan pusat kesenian Bandung bukan berasal dari Akademi Seni Rupa Bandung saja melainkan ada juga yang dari sanggar yang Kartono dirikan. 

Kekaryaan Kartono begitu singkat, ia meninggal di usia yang terbilang muda (33 tahun) akibat kecelakaan motor. Ia memang terkenal dengan motor Harley andalannya dan kerap merekam perjalanannya lewat lukisan yang ia ciptakan. Kusnadi–salah satu pelukis sezaman–mengatakan lukisan Kartono bukan sekadar alam tapi juga menceritakan kehidupan pribadinya di dalam lukisan tersebut. 

Danuh, di akhir paparan menyimpulkan mengapa Kartono sebagai pelukis yang menerima banyak pujian tersebut bisa tidak terkenal terletak dalam pribadi Kartono itu sendiri. Sebagai pelukis dia adalah orang yang low profile, tidak pernah diwawancara, dan tidak menulis sehingga mencari catatan lengkap mengenai dirinya begitu sulit di masa sekarang.

 

Melihat Barat Melalui Timur 

Diskusi beralih ke pemaparan Sally Texania yang ingin membahas hipotesis mengenai gaya Kartono yang (diduga) mengadaptasi gaya lukisan Barat yang diterjemahkan kembali oleh seniman-seniman Timur (Jepang). Sally membuka diskusi dengan menampilkan karya Kartono pada 1934 dengan judul Pemandangan.

Kartono Yudhokusumo, “Pemandangan”, 1934.

 

Lewat lukisan ini Sally berimajinasi terhadap perkembangan seni rupa di zaman tersebut. Ia menarik dari sejarah perkembangan seni rupa Jepang yang saat itu mengalami transfer budaya besar pada masa restorasi Meiji. Pengaruh Barat ini dibawa oleh guru-guru lukis Jepang yang belajar di Barat. Salah satu yang memopulerkan gaya Barat di Jepang adalah pelukis bernama Kuroda Seiki dengan gaya plein airism; yakni sebuah pendekatan lukis di ruang terbuka dan terpengaruh oleh impresionisme Prancis. Kuroda sendiri merupakan guru dari C. Yazaki yang kita tahu merupakan guru gambar dari Kartono Yudhokusumo.

Yazaki mulai melukis di Indonesia pada 1934 dan turut mengajar para pelukis muda Indonesia di sana. Hal ini mengindikasikan bahwa gaya plein airism ini juga sudah masuk di Indonesia di awal 1930-an. Paparan dilanjutkan dengan sebuah foto perbandingan antara lukisan Kartono dan Yazaki yang membuat Sally menduga adanya praktik lukis Kartono terpengaruh oleh gurunya tersebut.

Ada beberapa ciri dalam plein airism yang ditemukan Sally lewat lukisan Kartono yang ia temukan dan kecenderungan tersebut juga ditemukan dalam lukisan C. Yazaki seperti pola menggambar cepat, komposisi warna, dan titik hilang yang sama. Seniman lain yang juga terpengaruh gaya ini adalah Affandi dan Hendra Gunawan di 1941.

Pengaruh Timur yang melihat Barat dalam lukisan Kartono juga terlihat dalam karya-karya potret. Jejak kekaryaannya tidak hanya memberikan praktik dari satu seniman saja, tapi juga melihat berbagai tikungan dari seniman-seniman ternama di masa itu (1930-1940-an). Kartono dan para seniman sezaman memberikan jejak visual serupa mengenai pandangan barat sebagai negara yang pernah menjadi bekas kekuasaan imperialisme Jepang.

Screenshot 2023-12-18 155016

“Jazz Rock dan Godaan Kampung Halaman” Sampai “Musik Elektronik dan Suara yang Lain”

Seri diskusi FOKUS! kembali hadir di penghujung tahun dengan tema besar “Musik Baru dan Warisan Nusantara” yang diselenggarakan sebanyak empat sesi di bulan November 2023 lalu. Tema kali ini Komunitas Salihara menghadirkan pembicara dari kalangan pengajar, komponis, dan musisi untuk membedah perkembangan musik baru Indonesia dari perspektif kesejarahan. Pada sesi satu (Silang Pengaruh Eropa-Nusantara) dan sesi dua (Memperluas Tradisi di Sekolah) kita diajak untuk melihat bagaimana pengaruh musik-musik Eropa memberikan dampak kepada perkembangan musik Nusantara dan menemukan jawaban dari “Apa sebenarnya musik Nusantara?”. Di sesi tiga dan empat ini diskusi akan berfokus terhadap perkembangan jazz-rock dan musik elektronik dalam rangkuman sebagai berikut;

 

Jazz-Rock dan Godaan Kampung Halaman (Sesi 3)

Diskusi sesi ini dipandu oleh Halida Bunga Fisandra (Dida) sebagai moderator dan menghadirkan dua pembicara; David Tarigan dan Sri Hanuraga. Diskusi pertama dipaparkan oleh Sri Hanuraga (Aga) seorang pianis serta musisi yang telah meraih beberapa penghargaan bergengsi di tingkat internasional dan nasional. Menghadirkan presentasi dengan judul “Jazz dan Warisan Nusantara”. Ia mengatakan bahwa di paruh akhir abad ke-20 banyak musisi jazz Indonesia yang bereksperimen dengan warisan Nusantara contohnya adalah album Djanger Bali oleh Indonesian All Stars (1967) yang disebut-sebut sebagai puncak pencapaian jazz Indonesia.

Fenomena yang sama–bereksperimen dengan warisan Nusantara–juga ditemukan pada generasi setelahnya seperti karya-karya Dewa Budjana, Tohpati, Reza Arsyad, Krakatau Ethno, I Wayan Balawan, dan Aga sendiri. Untuk menjelaskan fenomena ini Aga merujuk kepada tulisan Yayoi Uno Everett (Musikolog) di buku Locating East Asia in Western Art Music yang menawarkan sistem kategorisasi kompositoris oleh para komponis-komponis musik baru abad 20 yakni: Pemindahan, Sinkretisme, dan Sintesis. Pemindahan merupakan strategi kompositoris di mana sumber kultural seperti teks, musik, dan filsafat dari timur dipinjam atau diapropriasi ke dalam konteks musi barat yang lebih dominan. Aga memberikan contoh musisi yang melakukan hal tersebut adalah Olivier Messiaen dengan karya Turangalila Symphony, Maurice Ravel dengan karya Sheherazade, dan John Zorn dengan Forbidden Fruit-nya. 

Selanjutnya adalah Sinkretisme yang merupakan suatu kondisi ketika idiom kultural yang berbeda digabungkan namun masing-masing anasirnya tetap dapat dibedakan. Contohnya adalah Chou Wen-Chung dengan karya Willows Are New. Terakhir adalah strategi kompositoris Sintesis di mana karya-karya berhasil mentransformasi idiom dan sumber kebudayaan yang berbeda menjadi suatu entitas hibrida yang anasirnya tidak dapat lagi dikenali. Dalam hal ini Aga mencontohkan karya Chou Wen-Chung, Metaphors. Untuk memahami hal itu semua, Aga mencoba menarik kembali dengan sejarah jazz dengan praktik musik jazz itu sendiri yang merupakan sintesis dari musik klasik Eropa dengan musik Afrika Barat di akhir abad ke-19. 

Dari situ Ia membawa kita untuk melihat upaya awal musik jazz bersentuhan dengan musik tradisi nusantara yang dilakukan oleh kelompok Indonesian All Stars dalam album Djanger Bali (1967). Di album ini kita dapat mendengarkan permainan ansambel gamelan Bali berhasil ditransplantasi dengan baik ke dalam sebuah ansambel jazz yang termasuk ke dalam kategori sinkretisme. Selain itu Aga juga mencontohkan musisi Indonesia lain yang melakukan strategi kompositoris yang sama seperti Dewa Budjana, Krakatau Ethno, Simakdialog, dan lain sebagainya.

Selanjutnya diskusi beralih ke pembicara David Tarigan yang membawakan presentasi mengenai musik rock di Indonesia dan irisannya dengan warisan budaya dalam presentasi yang berjudul Kedatangan Musik Rock dan Nasionalisme Orde Lama. Musik rock masuk di pertengahan 1950-an dan dinilai sebagai bentuk yang agresif karena hadir di usia Indonesia yang masih muda. Pada masa itu pengaruh dari luar (seperti musik rock) dinilai sebagai bentuk penjajahan baru di mana pemerintah menilai hal tersebut memprihatinkan dan menjadi ancaman walaupun banyak digemari banyak anak muda.

Upaya nasionalisme yang dilakukan Soekarno untuk mengerem gempuran musik rock adalah dengan menerbitkan aturan agar musik rock dilebur dengan elemen ekspresi nasionalisme untuk bisa dihadirkan dalam rekaman komersial. David mencontohkan rock yang melebur tersebut dibawakan oleh grup Eka Djaja Combo dalam lagu Angkat Sampoeng yang merupakan perpaduan antara Latin, Sunda, dan rock n roll. Secara kronologis David memperkenalkan bagaimana rock yang beririsan dengan musik tradisi dapat didengarkan dalam berbagai periode seperti pada 1970-an yang dicontohkan pada karya Harry Roesli dengan judul Sekar Jepun, periode 1980-an, 1990-an dan yang terakhir adalah era sekarang yang dicontohkan dengan karya-karya pada 2018-2019.

 

Musik Elektronik dan Suara yang Lain (Sesi 4)

Sesi keempat Fokus! akan membicarakan mengenai topik musik elektronik dan bagaimana musik nusantara menjadi bagian dalam irisannya. Aditya Surya Taruna (Kasimyn), pembicara di sesi ini mengatakan bahwa musik elektronik bukan hanya sekadar musik lantai dansa. Banyak hal yang bisa diperhatikan dari berbagai aspek terlebih terhadap musisi-musisi elektronik Indonesia.Kasimyn, sebagai pembicara membuka sesi kali ini. Ia merupakan seorang produser musik, DJ, dan sound artist. Seperti yang sudah dinyatakan olehnya, musik elektronik memiliki keterkaitan yang cukup dengan politik identitas serta kedekatan-kedekatannya dengan hal-hal yang eksperimentalis yang ia paparkan lewat presentasi yang berjudul Eksotisasi Teknologi & Sonic Baru

Dalam presentasi ini ia membagikan karya milik Sapto Raharjo dengan judul Win (1992) yang menampilkan musik elektronik dengan bunyi-bunyi eksperimental yang dinobatkan sebagai album paling influential dan penting menurut Kasimyn dalam hal penggabungan teknologi dan tradisi yang menjadikan adanya eksotisasi dari tradisi ke ranah teknologi. Selanjutnya Kasimyn mencontohkan Igor Tamerlan yang juga merupakan pionir dalam hal musik tradisi dan teknologi dengan album Bali Ethno-Fantasy yang mengapropriasi secara berhasil antara kontemporer, tradisi, dan rock yang tercatat keluar di 2014; meskipun beberapa musisi elektronik meyakini ini adalah album yang keluar di era 1990-an.

Selanjutnya Kasimyn mengajak peserta untuk mendengarkan karya dari Herman Barus dan mencoba menyimpulkan bahwa mutasi musik elektronik dan eksotisme teknologi ini terjadi akibat perayaan dan kecelakaan. Dalam hal ini kecelakaan yang dimaksud adalah adanya pengaruh iklim tropis yang dinilai ekstrim untuk beberapa jenis alat musik yang membuat hanya beberapa alat saja yang bertahan di kondisi tersebut sehingga menciptakan bentuk-bentuk baru / mutasi dari musik elektronik secara tidak sengaja. Sesi pun dilanjutkan oleh Harsya Wahono yang secara teknis menjelaskan bagaimana menganalisis mutasi-mutasi musik elektronik menjadi bentuk baru tersebut. 

Harsya–pembicara kedua di sesi ini–adalah seorang produser dan pelaku musik yang belajar Komposisi dan Produksi Kontemporer Berklee College of Music di Boston, AS. dalam paparan presentasinya Harsya mengatakan fenomena musik tradisi-elektronik dipengaruhi oleh arsip kebudayaan di mana musik itu berkembang. Arsip-arsip ini bisa dibagi ke dalam arsip tertulis, nirwujud, oral, dan sebagainya. Harysa membedahnya secara terperinci sehingga kita bisa membayangkan bagaimana tradisi masuk dan menjelma ke dalam teknologi; seperti yang Kasimyn katakan, di sini bukan elektronik/teknologi yang masuk ke dalam tradisi tetapi tradisilah yang membentuk keragaman musik Nusantara itu sendiri.

Harysa juga menampilkan analisisnya dalam membaca linimasa budaya musik elektronik yang kehadirannya dapat ditelisik dengan berbagai fenomena seperti hadir/berlatar belakang karena adanya kebebasan, unsur bermain-main, menyuarakan kemarjinalan, unsur kesatiran, perayaan sang introver (karena musik elektronik bisa tercipta tanpa banyak orang), dan ‘kecelakaan’. Kecelakaan yang dimaksud selaras dengan penjelasan Kasimyn–yang ia juga sebutkan–mengenai kasus alat-alat musik yang hanya bertahan di kondisi cuaca/iklim yang ekstrim.

blogfokus23

Silang Pengaruh Eropa-Nusantara dan Memperluas Tradisi di Sekolah

Catatan Pendek FOKUS! 2023 Sesi 1 dan Sesi 2

Komunitas Salihara menyelenggarakan kembali program seri diskusi FOKUS! dan mengusung tema besar “Musik Baru dan Warisan Nusantara”. Program ini dibagi dalam empat sesi dengan menghadirkan dua pembicara dan satu moderator pada tiap sesinya. Membicarakan perihal musik baru dan warisan Nusantara adalah upaya untuk melihat dan membedah kembali perkembangan musik baru Indonesia dalam perspektif kesejarahan. Selain itu, kita juga diajak untuk memaknai posisi karya-karya para komponis Indonesia yang mengeksplorasi musik baru dan warisan Nusantara. Empat sesi FOKUS! membagi pembahasan tentang gagasan dan karya komponis Indonesia dalam tajuk-tajuk berikut; Silang Pengaruh Eropa-Nusantara (Sesi 1), Memperluas Tradisi di Sekolah (Sesi 2), Jazz-Rock dan Godaan Kampung Halaman (Sesi 3), dan Musik Elektronik dan Suara yang Lain (Sesi 4). Tulisan ini hendak merangkum apa yang menjadi pembahasan pada sesi 1 dan sesi 2. 

 

Saling-Silang Eropa-Nusantara

Sesi 1 menghadirkan pembicara dua komponis muda, yaitu Gema Swaratyagita dan Matius Shanboone. Keduanya membahas perihal musik Eropa dan Nusantara yang saling bertaut dan bersilangan dieksplorasi oleh komponis Indonesia sejak abad 20. Tak hanya membahas bagaimana eksplorasi para komponis, sesi ini juga membedah bagaimana identitas bangsa, nasionalisme, serta pemikiran filsafat tertentu hadir dalam karya mereka. 

Dipandu Halida Bunga Fisandra (Dida) sebagai moderator, narasumber pertama yaitu Matius Shanboone (seorang komponis, konduktor orkestra dan dosen musik) memaparkan presentasinya. Dalam presentasinya “Musik Baru dan Warisan Nusantara: Kaitan dengan Musik Tradisi Eropa, Modernisme abad 20 dan Legasi Abad 21”, ia menyatakan bahwa hari ini kita harus berhati-hati dan menghindari pendefinisian sederhana dan pragmatis atau tidak mengkotak-kotakan musik baru Nusantara dan non-Nusantara berdasarkan aspek-aspek superfisial. Misalnya, penggunaan alat tradisi, penggunaan semangat nasionalisme semu, dan penggunaan atribut-atribut lokal sebagai pencapaian estetika. Salah satu upaya untuk menghindari pendefinisian tersebut adalah dengan menggali lebih jauh bentuk nyata dari musik baru di Indonesia dan nilai-nilai kebaharuan maupun keunikan karya-karya tersebut. 

Matius mengajak kita untuk mengidentifikasi “apa itu musik Nusantara” berdasarkan beberapa aspek, seperti geografis, sejarah, dan pengaruh luar (misalnya pengaruh penjajahan). Matius juga menyinggung tentang kebaharuan dalam konteks musik kontemporer Indonesia. Musik kontemporer di Indonesia memiliki keunikannya masing-masing karena telah mengalami proses kreativitas yang beragam dari para komponisnya. Dalam proses tersebut ada transformasi pengetahuan akan gaya musik tertentu menjadi sebuah karya yang personal. Matius menyebut nama-nama komponis Indonesia sebagai komponis pionir dengan gagasan karya yang terpengaruh budaya musik Barat, di antaranya Slamet Abdul Sjukur, Otto Sidharta, dan Tony Prabowo. Tak hanya sekadar terpengaruh, para komponis ini merefleksikan budaya Indonesia dari pengalaman dan ideologi estetika masing-masing komponis. Selain generasi ‘komponis pionir’, Matius juga menyebut dan menampilkan contoh karya-karya komponis generasi terkini, seperti Arham Aryadi, Nursalim Yadi, dan Irene Tanuwidjaya. 

Presentasi selanjutnya disampaikan oleh  Gema Swaratyagita (seorang komponis, musisi, dan pengajar musik), ia menyinggung persoalan tentang sejauh mana karya komponis Indonesia dianggap penting sebagai identitas musik Nusantara. Gema membedahnya melalui pendekatan genealogi komponis Indonesia yang berkaitan dengan penelusuran hubungan keturunan keluarga, lingkungan pendidikan, komunitas, jaringan kesenian komponis Indonesia, hingga warisan budaya leluhur. Kita patut mempertanyakan ulang narasi ‘warisan Nusantara adalah sebuah identitas negara’. 

 

Tradisi Tumbuh di Ruang Kelas

Kemunculan musik Baru di Indonesia tidak hanya muncul dari komponis yang berlatar pendidikan musik Eropa. Indonesia memiliki komponis musik Baru yang berlatar belakang pendidikan seni, misalnya dari Institute Seni Indonesia. Sesi 2 FOKUS! membahas tentang bagaimana musik tradisi tumbuh tidak hanya di panggung pertunjukan, namun juga tumbuh di ruang kelas, di sekolah, di ranah pendidikan seni. Musik tradisi inilah yang kemudian menjadi salah satu gagasan atau instrumen yang digunakan sebagai bahan menciptakan karya musik Baru oleh beberapa komponis Indonesia, di antaranya Rahayu Supanggah (1949-2020), Aloysius Suwardi, Dedek Wahyudi, Dewa Alit dan Iwan Gunawan.

Narasumber pertama dalam sesi ini adalah Rithaony Hutajulu (dosen musik dan pendiri kelompok musik Suarasama), memaparkan presentasi berjudul “Etnomusikologi, Karawitan, dan World Music di Indonesia: sumber Kreativitas Penciptaan Musik Baru Berbasis Nusantara”. Ritha menjelaskan tentang kemunculan studi Karawitan dan Etnomusikologi di Indonesia. Studi Karawitan muncul pada 1964 di Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Surakarta, sedangkan studi Etnomusikologi muncul pada 1979 di Universitas Sumatera Utara. Dua studi musik inilah yang kemudian mencetak para mahasiswa dengan karya musik Baru yang berangkat dari khasanah musik tradisi Nusantara. 

Kedua studi musik tersebut kemudian memunculkan istilah yang biasa digunakan untuk menyebut musik tradisi dunia, yaitu world music. istilah ini sebetulnya sudah biasa digunakan dalam diskursus akademik etnomusikologi Barat untuk menyebutkan ragam musik dunia. Istilah tersebut pertama kali dicetuskan oleh Robert E. Brown (seorang etnomusikolog) pada awal 1960-an. Ritha juga menyebutkan kemunculan festival-festival musik berbasis musik Nusantara di Indonesia dari era 1990-an hingga kini, di antaranya Yogyakarta Gamelan Festival, dan Bali World Music Festival. Festival-festival tersebut tidak lepas dari keterlibatan komponis musik Baru Indonesia berlatar pendidikan seni tradisi Nusantara. 

Selain kemunculan karya-karya musik Baru yang berangkat dari khasanah musik tradisi Nusantara, muncul beberapa permasalahan dalam penciptaannya. Penggunaan atau pemanfaatan elemen musik tradisi Nusantara yang kurang mempertimbangkan aspek etika, seperti kurangnya memperhatikan konteks dari asal budaya musik yang dipakai. Pengembangan karya baru yang mengambil suatu repertoar tertentu dan sudah dikenal oleh masyarakat asalnya, penting pula memperhatikan isu permasalahan tentang Hak Cipta. Bagi Ritha butuh lebih luas dan mudah untuk generasi hari ini mengakses musik-musik Nusantara. 

Paparan Ritha dilengkapi oleh narasumber kedua, Iwan Gunawan (komposer dan dosen musik) dengan presentasi berjudul “Memperluas Musik Tradisi di Sekolah sebagai Proses Interaksi Budaya Secara Global”. Iwan menajamkan persoalan pentingnya musik tradisi harus diperluas di sekolah atau ranah pendidikan Indonesia. Bahwa pengetahuan terhadap musik tradisi sangat memiliki relevansi dengan tujuan pendidikan nasional. Musik tradisi Nusantara yang sangat beragam bisa menjadi modal atau inspirasi untuk berkreasi seni dalam mengisi peradaban budaya dunia. 

Iwan memberikan beberapa tawaran sebagai upaya memperluas musik tradisi Nusantara di sekolah. Di antaranya adalah dengan melakukan riset dalam kekayaan tersembunyi tentang aspek musikal pada musik tradisi Nusantara. Melakukan eksperimentasi musik yang bersumber dari musik tradisi Nusantara dan melakukan pengarsipan digital atau memanfaatkan teknologi terkini. 

 

Menggali Sejarah

Pembicaraan mengenai musik Eropa yang turut memengaruhi karya-karya komponis Indonesia juga memiliki kaitan dengan bagaimana kemudian musik tradisi Nusantara yang muncul melalui pendidikan seni justru memperkaya gagasan musik Baru di Indonesia. Pengetahuan tentang keberagaman gagasan, konsep, instrumen, hingga faktor-faktor budaya yang memengaruhi terciptanya musik Baru di Indonesia sangat penting untuk kita gali lebih luas lagi. Pun juga mengetahui permasalahan apa yang kemudian muncul dalam proses penciptaan maupun proses distribusi pengetahuan tersebut, menjadi hal yang tidak kalah penting sebagai upaya untuk menggali tawaran baru agar kesejarahan musik Baru di Indonesia tak hanya berhenti di tangan para pencipta, yaitu komponis. Dua sesi diskusi FOKUS!: Musik Baru dan Warisan Nusantara yang telah berjalan tersebut masih bisa disimak kembali melalui website Kelas.Salihara.org.

kartono-pers

Mengamati Harta Karun Sejarah Seni Rupa Indonesia dalam Pameran Kartono Yudhokusumo

Pameran: 10 Desember 2023 – 21 Januari 2024
Jam Buka: Selasa – Minggu | 11:00 – 19:00 WIB
Senin & Libur Nasional Tutup

 

Jakarta, 08 Desember 2023 – Menutup tahun 2023, Komunitas Salihara menyelenggarakan programpameran karya dan arsip dari salah satu tokoh seni rupa Indonesia; Kartono Yudhokusumo. Pameran ini menghadirkan kurator tamu Amir Sidharta, seorang kolektor, pengamat seni, penulis, dan juga pemilik dari rumah lelang ternama “Sidharta Auctioneer”. Pameran yangberlangsung dari 10 Desember 2023 – 21 Januari 2024 ini akan memperlihatkan beragam karya-karya drawing dari Kartono yang hampir tidak pernah diperlihatkan kepada publik, dan pameran kali ini menjadi kesempatan yang tepat untuk melihat harta karun sejarah seni rupa Indonesia.

 

Asikin Hasan, Kurator Galeri Salihara mengatakan bahwa Kartono Yudhokusumo merupakan tokoh penting yang gagasan artistiknya belum banyak dibicarakan. “Kartono Yudhokusumo adalah satu dari tokoh penting pelukis Indonesia yang gagasan artistiknya belum banyak dibicarakan. Ia mengembangkan gaya seni lukis dekoratif yang sangat khas. Kita dapat melihat jejak tradisi, sekaligus artikulasi modern dalam banyak lukisannya.” Melalui pameran ini kita tidak hanya melihat karyanya saja, namun juga dapat melihat perjalanan hidupnya melalui dokumentasi baik berupa gambar, lukisan, artefak, catatan, dan berita tentang dirinya yang dimuat di media massa.

 

Siapa Kartono Yudhokusumo?

Lahir di Lubuk Pakam, Sumatera Utara, pada 18 Desember 1924,  Kartono telah belajar melukis sejak usia belia. Sejak muda ia banyak berguru kepada pelukis-pelukis pemandangan ternama seperti Chiyoji Yazaki, S. Sudjojono, B.J.A. Rutgers dan W.F.M Bosschaert. . Kartono banyak melukis pemandangan, alam benda, bangunan, suasana revolusi, dan objek sehari-hari dengan berbagai medium seperti cat air, pastel, cat minyak, tinta cina, dan masih banyak lainnya.

Kemampuan melukis Kartono sudah diakui sejak usia muda. Terbukti dalam pemberitaan harian Jawa Nippo (sebuah harian Jepang) pada 13 Agustus 1934, pelukis Jepang; Chiyoji Yazaki mengakui bakat seorang laki-laki dari Jawa berusia kira-kira 10 tahun yang diharapkan akan memiliki masa depan yang baik. Karya-karyanya dari 1934 kemungkinan besar dibuat ketika Kartono muda sedang ikut dalam kegiatan Masyarakat Pelukis Pastel, yang beberapa kali keliling kota Batavia untuk melukis bersama di bawah bimbingan pelukis senior Yazaki sebagai ketua kelompok itu.

Di masa pendudukan Jepang, Kartono mendapat penghargaan dan kesempatan untuk berpameran. Menurut pemberitaan di harian Soeara Asia, 16 Oktober 1943, dalam pameran yang diselenggarakan 12 hingga 26 Oktober 1943 itu dipamerkan 43 karyanya yang dibuatnya selama 8 tahun.

Kartono Juga sempat menggambar tema-tema perjuangan dan revolusi saat masa kemerdekaan Indonesia. Objek prajurit baris-berbaris, berlatih, dan istirahat sering menjadi sumber inspirasi Kartono dalam melukis. Kartono menggambarkan aksi perjuangan dalam lukisan yang berjudul Penyerangan pada Pengok dan Wonosari, yang mengisahkan upaya perjuangan pejuang-pejuang Indonesia melawan Belanda yang kembali ingin menjajah tanah air.

Setelah pengakuan kedaulatan di 1949, Kartono pindah ke Bandung dan banyak melahirkan lukisan-lukisan pemandangan dari tempat-tempat yang ia kunjungi. Bahkan di Bandung, Kartono terus menggambar dan melukis pemandangan Bandung dan beragam tempat lain di Jawa Barat dengan mengendarai motor besarnya. Kartono meninggal di usia 33 tahun dan pameran ini akan mengajak kita untuk melihat kekaryaan hidupnya yang terbilang singkat serta mengapresiasi apa yang telah ia tinggalkan untuk sejarah seni rupa Indonesia.

Pameran Kartono Yudhokusumo: Karya dan Arsip mulai dibuka untuk umum dari 10 Desember 2023 – 21 Januari 2024 dengan jam buka Selasa-Minggu dari 11:00 – 19:00 WIB. Pengunjung bisa melakukan pemesanan tiket melalui tiket.salihara.org atau datang langsung dengan biaya masuk Rp35.000 (Umum) dan Rp25.000 (Pelajar).

Selain pameran, juga akan ada diskusi dengan tajuk Menilik Kartono Yudhokusumo yang akan diselenggarakan di Komunitas Salihara padaRabu, 13 Desember 2023 pukul 19:00 WIB. Diskusi ini akan menghadirkan Danuh Tyas Pradipta dan  Sally Texania yang merupakan kurator dan periset yang akan mencoba menggali dan melebarkan makna pada karya-karya Kartono dari segi-segi artistik, tematik, dan situasi yang melingkupinya di masa itu.

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

 

web banner-salihara jazz buzz 2024-1920x1080

BERITA ACARA PENJURIAN
UNDANGAN TERBUKA JAZZ BUZZ 2024

Pada hari Rabu, 22 November 2023, telah dilaksanakan Penjurian Jazz Buzz 2024 di Komunitas Salihara secara luring. Dewan Juri yang melakukan penilaian terhadap pendaftar Jazz Buzz 2024 adalah:

  1. Mery Kasiman
  2. Indra Perkasa
  3. Tony Prabowo

Berdasarkan hasil rapat Dewan Juri, musisi dan grup pendaftar yang terpilih untuk tampil dalam Jazz Buzz 2024 adalah sebagai berikut:

  1. A6 Ensemble dengan judul karya “Jasmine” dan “Pulang”;
  2. Borderline dengan judul karya “Jakarta City” dan “The Eye of Universe”; dan
  3. Riki Danni dengan judul karya “Freshman’s Overture” dan “Pirate’s Compass”.

Kelompok musik dan musisi pelamar Jazz Buzz 2024, terlihat merata baik dalam sisi teknis maupun gaya musiknya. Sebagian besar mereka memakai gaya fusion dan dengan berbagai gaya improvisasi yang cukup menarik. 

Dewan Juri memutuskan tiga grup terpilih yang karyanya mengutamakan unsur kebaharuan melalui konsep “lintas-batas”, sesuai dengan gagasan Jazz Buzz tahun ini. Ketiga grup terpilih ini memiliki komposisi musik dengan tema, gaya ritme, motif, serta warna yang dinamis dan memberi peluang yang menarik untuk eksplorasi lebih jauh dalam karya-karya selanjutnya. 

 

Jakarta, 30 November 2023

 

jb2023

Menilik Dinamika Sejarah dan Identitas Diri Bangsa Korea Selatan dalam Koreans Week di Salihara

Pameran: 18-26 November 2023 (11-19:00 WIB)
Pertunjukan: 18 November 2023, 20:00 WIB & 19 November 2023, 16:00 WIB

 

Jakarta, 10 November 2023 – Memperingati 50 tahun hubungan diplomatik antara Korea-Indonesia, Komunitas Salihara bekerja sama dengan Kementerian Kebudayaan, Olahraga dan Pariwisata Korea Selatan menyelenggarakan rangkaian pameran dan pertunjukan dalam Koreans Week. Pekan kebudayaan ini akan berlangsung dari 18-26 November 2023 di Teater dan Galeri Salihara. Pengunjung bisa menikmati persembahan karya dari 12 seniman asal Korea Selatan termasuk pertunjukan tari yang akan dibawakan pada 18-19 November mendatang.

Berangkat dari dinamika sejarah bangsa Korea Selatan yang unik, emosional, dan penuh nilai historis, delapan kurator yang tergabung dalam sebuah kolektif seni yang berbasis di Seoul, WESS, Korea Selatan menghadirkan sebuah projek trilogi dengan tajuk “Natural Born Odds” yang khusus dibuat untuk para penyimak di Indonesia. 

Koreans Week menampilkan12 seniman/kolektif yang memperlihatkan bagaimana identitas visual Seoul–kota dengan penduduk terbanyak di Korea Selatan–menjelma dalam bentuk simbol, tontonan, dan bentuk tertentu. Dua belas seniman Korea Selatan tersebut adalah: Minhee Kim, Sungsil Ryu, Donghoon Rhee, Chorong An, Hyun Nahm, Choi Yongjoon, Don Sun Pil, Moony Perry, Youngzoo Im, Jeamin Cha, Yeoreum Jeong, dan Mu:p.

“Karya-karya (seniman kami) menampilkan bagaimana identitas visual Seoul menjelma simbol, bentuk, dan tontonan tertentu. Sebagian besar lahir pada 1980–1990-an, para seniman ini mencirikan Korea Selatan kontemporer, misalnya, melalui perpaduan antara tradisi dan realitas masa kini, keingintahuan terhadap media dan teknologi mutakhir, dan percepatan pembangunan infrastruktur perkotaan yang tak wajar.” Ujar WESS dalam keterangan tertulisnya.

Koreans Week menghadirkanpameran yang berlangsung selama sepekan penuh di Galeri Salihara dan Studio Musik Salihara. Selain pameran, rangkaian program ini akan menampilkanpertunjukan tari oleh Mu:p yang diselenggarakan pada 18-19 November 2023 di Teater Salihara dengan judul Further, Higher, Faster_A boring accelerating city; sebuah karya yang membicarakan gerak kinetik tubuh dan irisannya dengan jarak, kecepatan, dan permainan ruang yang akan mengisi Teater Salihara. Mu:p adalah kolektif seni dengan delapan tim yang disutradarai oleh Hyeongjun Cho dan Minsun Son yang merupakan koreografer dan arsitek. Karya ini dihadirkan atas ketertarikan mereka berdua terhadap ruang dan fenomena yang muncul ketika tubuh atau objek disusun dalam konteks spasial tertentu. Sebelumnya pertunjukan ini pernah dibawakan pada 2017 namun diperbarui kembali di 2023.

WESS sebagai kurator dalam acara ini ingin menghadirkan bagaimana Indonesia dan Korea–terutama Jakarta dan Seoul–menjadi titik referensi dan berharap bahwa kedua negara, dalam rangka merayakan 50 tahun hubungan diplomatiknya, dapat membina komunikasi melalui seni kontemporer.

Bagi pengunjung yang ingin menyaksikan langsung bagaimana karya dari para seniman muda Korea bisa langsung mendaftarkan diri di tiket.salihara.org. Baik pameran dan pertunjukan yang diselenggarakan gratis. Informasi mengenai jadwal pertunjukan dan jam buka pameran silakan kunjungi laman tiket atau media sosial resmi Komunitas Salihara.

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________ 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

videografer

Final Kompetisi Debat Sastra Tingkat SMA 2023:
Melihat Perspektif Kritis terhadap Sastra dari Kacamata Siswa SMA

Jakarta, 20 Oktober 2023– Setelah melalui proses seleksi yang panjang sejak Maret lalu, Komunitas Salihara telah menetapkan tiga kelompok dari 50+ pendaftar untuk mengikuti Final Kompetisi Debat Sastra Tingkat SMA 2023. Proses seleksi dilakukan pada 27 September lalu oleh tiga dewan juri yakni; Ari Bagus Panuntun, Areispine Dymussaga Sevilla Miraviori, dan Ari Bagus Panuntun. Ketiganya memutuskan bahwa kelompok-kelompok di bawah ini terpilih untuk menjadi finalis dalam Kompetisi Debat Sastra Tingkat SMA 2023:

  1. “Coup de Coeur; Hasrat, Ambisi, dan Moralitas Perempuan dalam Novel Nyonya Bovary karya Gustave Flaubert dan Novel Kerudung Merah Kirmizi karya Remy Sylado” oleh kelompok La Lutte Continue – SMAN 7 Garut.
  2. “Gelap Terang Jiwa Manusia: Reinterpretasi Perempuan Feminis dalam Novel Nyonya Bovary dan Kerudung Merah Kirmizi” oleh kelompok Srikandi – SMAN 7 Garut.
  3. “Analisis Novel Nyonya Bovary dan Kerudung Merah Kirmizi: Sebuah Realita Entitas Perempuan dalam Utopia Laki-laki” oleh Kelompok Sekolah Cikal Serpong – Sekolah Cikal Serpong

Sebelumnya, Komunitas Salihara membuka pendaftaran pada 16 Maret 2023 dengan acuan untuk membandingkan novel Nyonya Bovary karya Gustave Flaubert (Prancis) dengan Kerudung Merah Kirmizi karya Remy Sylado (Indonesia).

Kedua novel ini dipilih untuk dibandingkan karena sama-sama mengangkat tokoh utama perempuan yang ditulis oleh pengarang laki-laki. Meski jarak antara kedua novel tersebut adalah 150 tahun–Nyonya Bovary terbit pada 1857 dan Kerudung Merah Kirmizi terbit pada 2002–masing-masing ditulis dalam kuatnya sensor negara serta hadir di tengah masyarakat dengan budaya patriarki yang kuat.  

Fokus perbandingan yang diminta adalah: penggarapan atas tokoh utama perempuan dalam hubungan dengan tokoh-tokoh lainnya serta bagaimana penggarapan itu merupakan kritik atau justru konfirmasi atas nilai-nilai masyarakat zamannya. Pendaftaran ditutup pada 17 Agustus 2023 dan bertepatan dengan Hari Kemerdekaan Indonesia.

Para peserta yang terpilih saat ini sedang memasuki masa persiapan sebelum mereka mempresentasikan makalah di hadapan Dewan Juri pada 28 Oktober 2023 di Teater Salihara. Salah satunya adalah Ainaya Qurrota A’yuni dari kelompok La Lutte Continue (SMAN 7 Garut) yang mengapresiasi kegiatan ini dan membuka pola pikirnya terhadap proses kritik yang bisa dilakukan dengan berbagai cara.

“Sangat menyenangkan, menantang, dan membuka pola pikir dan pandangan saya terhadap perempuan. Tak hanya itu saya juga menjadi sadar bahwasannya kritik terhadap pemerintahan tidak melulu harus dilakukan dalam bentuk aksi demo, melainkan melalui tulisan yang mampu menyuarakan protes terhadap kebijakan yang justru menurut saya lebih memberikan dampak yang besar.

Saya juga berharap agar Komunitas Salihara bisa terus menyelenggarakan Kompetisi Debat Sastra Tingkat SMA karena memberikan manfaat yang sangat besar seperti meningkatkan minat baca siswa SMA dan memberikan kesempatan untuk menyampaikan sudut pandang siswa terhadap suatu karya.” tutup Ainaya.

Bagi umum yang ingin melihat keseruan Final Kompetisi Debat Sastra 2023 bisa hadir secara daring di Komunitas Salihara pada Sabtu, 28 Oktober 2023 pukul 13:00 WIB dengan melakukan registrasi di tiket.salihara.org. Pengumuman pemenang Kompetisi Debat Sastra Tingkat SMA 2023 serta pemenang makalah terbaik diumumkan di Komunitas Salihara dan disiarkan di kanal YouTube Peta Sastra Indonesia pada 28 Oktober 2023, 17:00 WIB. Jangan sampai terlewatkan!

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________ 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

fundraising

Siniar Salihara 2023
Ngomong-ngomong Soal: Intervensi Digital dalam Seni, Sastra dan Ilmu Pengetahuan

Jakarta, 16 Oktober 2023 – Setelah sukses menyelenggarakan Siniar Salihara musim ketiga di awal 2023 dengan tema Penulis Perempuan kali ini Salihara hadir kembali dengan Ngomong-ngomong Soal: Intervensi Digital dalam Seni, Sastra dan Ilmu Pengetahuan. Dalam musim keempat ini program Siniar Salihara akan dipandu oleh moderator, Rebecca Kezia yang akan berbincang mengenai Humaniora Digital atau Digital Humanities terhadap posisi sentral manusia. Dalam pembahasan tiga episode ini kita akan diajak merenungkan bagaimana teknologi beririsan dengan cabang-cabang disiplin seni dan mengubah cara pandang manusia dalam mengapresiasi dan menciptakan seni. Tidak hanya itu, diskusi ini juga akan mendiskusikan bagaimana respons manusia saat teknologi mulai masuk ke kehidupan sehari-hari dan bagaimana kita berinteraksi dengannya.

Siniar Salihara 2023 musim keempat sudah bisa didengarkan melalui kanal-kanal audio dan video Komunitas Salihara. Berikut adalah jadwal penayangan program kami:

 

Episode 1: Reformasi Ilmu dalam Budaya Digital

Narasumber: Fajar Ibnu Thufail | Tayang Perdana: 09 Oktober 2023

*******

Hampir semua aspek kehidupan manusia dipengaruhi oleh teknologi digital serta mengubah cara bertindak dan cara berinteraksi kita dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, pengaruh teknologi digital masuk dalam salah satu cabang ilmu pengetahuan yaitu humaniora, yang mempertanyakan kembali tentang manusia dan sekitarnya. Tapi, bagaimana posisi manusia ketika teknologi digital telah masuk dalam ilmu humaniora? Apakah ada yang berubah dan apakah perubahan ini memperkaya cara pandang kita dalam memaknai kehidupan?

 

Episode 2: Puitika Mesin: Pedang Bermata Dua

Narasumber: Martin Suryajaya | Tayang Perdana: 16 Oktober 2023

********

Sastra sebagai salah satu cabang penciptaan sebuah kesenian yang lekat dengan unsur kepengarangan seperti adanya konteks, sejarah, dan bentuk bahasa yang menjadi ekspresi pengarangnya, kini telah dimasuki oleh sesuatu yang lebih objektif melalui kerja teknologi digital seperti adanya perangkat kecerdasan atau AI. Dalam episode ini kita akan melihat bagaimana Martin Suryajaya melatih mesin kecerdasan untuk menciptakan puisi dan apakah pemanfaatan teknologi ini merupakan sebuah temuan yang positif atau pedang bermata dua?

 

Episode 3: Imajinasi, Manipulasi dan Ilusi dalam Rupa Digital

Narasumber: Bob Edrian | Tayang Perdana: 23 Oktober 2023

Hubungan antara teknologi digital dengan seni rupa sebetulnya bukanlah hal yang baru. Hubungan tersebut juga tidak lepas dari beberapa aspek yang memengaruhi pemutakhiran teknologi dalam kehidupan sehari-hari kita. Melalui prinsip kerja ini dan semakin canggihnya teknologi digital yang bisa kita gunakan untuk mencipta atau mengapresiasi, adakah perubahan dalam cara kita memandang seni? Dan bagaimana relasi antara seniman, teknologi, karya, dan audiensnya?

 

Diskusi lengkap terkait tiga topik intervensi digital ini sudah bisa didengarkan melalui  kanal Siniar Salihara di Spotify, Apple Podcast dan aplikasi NOICE, serta dapat ditonton di kanal YouTube Komunitas Salihara. 

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________ 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

pexels-tara-winstead-8386440

Sekilas AI dan Penciptaan Karya Seni

Di hari ini, teknologi digital sudah memengaruhi kehidupan manusia, termasuk dalam proses penciptaan karya sastra dan seni. Mesin dengan kecerdasan buatan atau sering kita dengar dengan istilah AI, bahkan mampu menciptakan karya sastra, misalkan dalam penggunaan ChatGPT. AI bekerja dengan perintah operator, hanya dengan memasukkan kata kunci atau tema-tema tertentu. Semakin banyak dan bervariasi data atau tema yang masuk dalam sistem AI, semakin mahir pula AI meramu kalimat-kalimatnya hingga menjadi karya sastra. Tak hanya menghasilkan karya sastra, AI juga mampu menciptakan puisi, lukisan, karya fotografi, musik, esai, dan sebagainya. 

Kemampuan AI yang makin pesat ini, kemudian juga digunakan dalam kerja-kerja manusia. Misalkan sekadar membuat tulisan pendek untuk mendampingi unggahan sebuah foto di media sosial. Operator, yaitu manusia pengguna gawai hanya tinggal memasukkan sejumlah bahan dan tema melalui ChatGPT, lalu seketika, tak sampai dua menit tulisan itu telah selesai. 

Dalam seni visual, pada 2018 muncul lukisan “Portrait of Edmond Belamy”, sebuah lukisan yang berhasil diciptakan oleh algoritma AI. Bahkan lukisan ini mendapatkan penawaran lelang seharga 6.5 miliar, angka fantastis. Lukisan ini tidak muncul dari mesin dengan sendirinya. Ia juga muncul dari ide operator, ide dari pikiran manusia, mereka adalah sekelompok orang yang menyebut dirinya Obvious yang terdiri dari tiga mahasiswa asal Prancis. Fenomena ini bisa kita katakan sebagai bentuk kesadaran kolaborasi antara kecerdasan manusia dengan kecerdasan mesin. 

Munculnya kemungkinan kolaborasi antara manusia dan mesin dalam menciptakan karya seni juga dampak dari AI yang mampu membaca ribuan data hingga bisa menjadi material mentah penciptaan sebuah karya seni. Misalnya, AI mampu menghasilkan puluhan jenis gambar hanya dengan memasukkan satu foto wajah manusia. Ia mampu mengubahnya menjadi gambar sketsa wajah, gambar lukisan, hingga gambar yang nampak menggunakan teknik cetak saring. 

Namun, keresahan pun muncul, isu yang paling kuat adalah: apakah kemudian posisi sentral sang manusia—sebagai pengubah dunia—sudah tergusur? Apakah kemudian manusia seluruhnya—bahkan barangkali idenya—akan tergantikan oleh kecerdasan buatan ini? Atau justru kembali pada kemungkinan yang lebih menarik tentang kolaborasi antara kecerdasan manusia dan kecerdasan buatan. Atau jangan-jangan kemunculan AI adalah sekadar proyek kaum elite, kaum spesialis, yang berebut kuasa politik-kepakaran?

Pembahasan ini akan diurai lebih jauh dalam seri Siniar Salihara Ngomong-Ngomong Soal: Intervensi Digital dalam Seni, Sastra, dan Ilmu Pengetahuan.