web banner-salihara jazz buzz 2024-1920x1080

Open Call Salihara Jazz Buzz 2024:
Upaya Menemukan Kebaharuan Musik Jazz Tanah Air

Penutupan pendaftaran: 16 November 2023

 

Jakarta, 10 September 2023 – Salah satu program unggulan yang mendapat tanggapan dan perhatian besar dari publik terkait Komunitas Salihara Arts Center adalah Salihara Jazz Buzz; sebuah festival jazz tahunan yang menampilkan pilihan genre, komposisi dan presentasi konsep musik baru. Kali ini, Komunitas Salihara kembali membuka kesempatan dan mengundang musisi-musisi Jazz termasuk grup-grup muda di seluruh tanah air untuk mempresentasikan musik mereka dalam Salihara Jazz Buzz 2024.

Sejak 2016, Salihara Jazz Buzz selalu mengusung ide besar Jazz Sans Frontières, sebuah gagasan dan konsep musikal “lintas-batas”. Hal tersebut menjadikan Salihara Jazz Buzz sebagai salah satu acara yang paling diminati oleh pemirsa seni Komunitas Salihara. Undangan terbuka Jazz Buzz berawal dari 2019 dengan harapan ingin membuka kesempatan seluas-luasnya kepada seluruh musisi muda tanah air untuk menambah warna dalam bermusik jazz. Undangan ini juga selaras dengan visi dan misi Komunitas Salihara yang dibangun sejak 15 tahun lalu dan selalu menawarkan sesuatu yang baru dan progresif.

Kurator Musik dan Tari Komunitas Salihara, Tony Prabowo mengatakan bahwa jazz dalam kehidupan musik di Indonesia menjadi salah satu genre musik yang banyak peminatnya dan salihara hadir untuk memberikan tawaran kebaharuan akan hal tersebut, “jazz dalam kehidupan musik di Indonesia menjadi salah satu ‘genre musik’ yang cukup banyak peminatnya. Salihara sebagai presenter pada acara Jazz Buzz memberikan tawaran yang lain yang lebih progresif dan tawaran akan kebaharuan akan genre jazz ini.” 

Melalui Undangan Terbuka, Salihara Jazz Buzz memperluas proses kuratorial untuk mencari grup yang dapat menawarkan kebaharuan dalam musik jazz tanah air. Bagi grup yang terpilih nantinya, akan mendapatkan bantuan produksi maksimal Rp25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah) disesuaikan dengan besaran ensambel. Selain bantuan produksi, Komunitas Salihara juga memberikan bantuan berupa fasilitas yang tersedia: ruang pentas dan fasilitas pendukung, promosi dan publikasi acara, dokumentasi, serta akomodasi di Wisma Salihara. 

Untuk bisa menjadi bagian dari Salihara Jazz Buzz calon pendaftar adalah warga negara Republik Indonesia dan belum berusia 35 tahun pada 31 Desember 2023 dan menampilkan materi konser paling sedikit 4 (empat) karya baru, termasuk aransemen atau komposisi ulang yang mengandung unsur kebaharuan. Durasi konser antara 60-90 menit dengan format grup mulai dari dua (2) hingga 12 musisi.    

Musisi yang tertarik dapat mendaftarkan dirinya dengan mengikuti prosedur yang tertera di laman salihara.org atau buka tautan mulai dari 06 September–16 November 2023. Undangan terbuka ini tidak berlaku untuk anggota keluarga inti karyawan Komunitas Salihara dan anggota Tim Juri. 

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________ 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

BERITA ACARA PENJURIAN
FINALIS KOMPETISI DEBAT SASTRA TINGKAT SMA 2023

Pada Rabu, 27 September 2023, telah dilaksanakan Penjurian Tahap I Kompetisi Debat Sastra 2023 Komunitas Salihara melalui platform virtual, Zoom. Dewan Juri dalam Penjurian Tahap I ini, yaitu:

  1. Ari Bagus Panuntun
  2. Areispine Dymussaga Sevilla Miraviori
  3. Rio Johan

Selain itu, Dewan Juri juga memutuskan tiga makalah yang terpilih menjadi Finalis Kompetisi Debat Sastra 2023, sebagai berikut:

  1. Coup de Coeur; Hasrat, Ambisi, dan Moralitas Perempuan dalam Novel Nyonya Bovary karya Gustave Flaubert dan Novel Kerudung Merah Kirmizi karya Remy Sylado” (La Lutte Continue – SMAN 7 GARUT)
  2. Gelap Terang Jiwa Manusia: Reinterpretasi Perempuan Feminis dalam Novel Nyonya Bovary dan Kerudung Merah Kirmizi” (Srikandi – SMAN 7 GARUT)
  3. “Analisis Novel Nyonya Bovary dan Kerudung Merah Kirmizi: Sebuah Realita Entitas Perempuan dalam Utopia Laki-laki” (Sekolah Cikal Serpong – Sekolah Cikal Serpong)

Demikian berita acara ini kami sampaikan hendaknya diterima. Keputusan Dewan Juri tidak dapat diganggu gugat.

 

 

Jakarta, 27 September 2023

Dewan Juri,

Sehari Multikultural di LIFEs 2023

Bagaimana ragam budaya Frankofon dapat disajikan dalam satu hari rangkaian acara? Literature and Ideas Festival (LIFEs) 2023 mewujudkannya pada Jumat (11/08) lalu lewat rangkaian diskusi hingga musik selama satu hari. Lewat rangkaian program satu hari ini kita diajak melihat bagaimana literatur yang multikultur menghubungkan antar sesama penulis, seniman, pemikir, dan para pembaca dari berbagai belahan dunia.

 

15:00 – Rewriting the World Map: Multilingual Writing Across Languages and Continents
Pembicara: Abu Maha, Mozhdeh Ahmad, Gladhys Ellionai | Moderator: Primadita Rahma

Judul di atas merupakan pembuka dalam rangkaian sehari multikultur di Jumat pagi. Diskusi ini menghadirkan The Archipelago; sebuah kolektif berbasis literasi yang menghadirkan tulisan-tulisan dari para penulis yang mayoritas berasal dari daerah konflik seperti Sudan, Myanmar, dan Afganistan. Diskusi ini menghadirkan perwakilan dari The Archipelago; Mozhdeh Ahmadi, Penulis: Abu Maha, dan Gladhys Elliona, dimoderatori oleh Primadita Rahma. Diskusi dibuka oleh Mozhdeh yang menjelaskan apa itu Archipelago dan apa yang mereka kerjakan.

Archipelago tak hanya menjadi kolektif yang memberi ruang bagi penulis asing untuk menerbitkan tulisannya; mereka juga hadir untuk memberikan pelatihan bahasa atau penulisan atau membantu menghubungkan penulis-penulis tersebut dengan penerbit rekanan agar bisa menerbitkan tulisan-tulisan mereka. Archipelago aktif menerjemahkan tulisan-tulisan berbahasa asing ke bahasa Inggris agar tulisan mereka dapat tersampaikan secara universal. Tulisan-tulisan tersebut bisa berisi situasi di daerah konflik, harapan, serta impian tentang “rumah”. Sebab banyak penulis–dalam kolektif ini–yang akhirnya meninggalkan rumah atau tanah kelahiran mereka demi mendapatkan kehidupan yang aman jauh dari teror.

Inti dari diskusi ini berbicara mengenai suka dan duka Mozhdeh, Abu, dan Gladhys yang menulis dalam bahasa yang bukan bahasa asli mereka. Menulis bukan dalam bahasa ibu seperti yang sudah dijelaskan diperlukan untuk bisa menyasar audiens yang lebih luas. Namun ada beberapa ketakutan seperti tafsir yang berbeda, adanya sentimen bahwa penulis tidak merepresentasikan budaya yang diterjemahkan, dan lain sebagainya. Namun, dari diskusi ini jawaban atas ketakutan-ketakutan tersebut adalah “menerima keindahan dari ketidaktahuan selama proses menulis/menerjemahkan.” Dengan menerimanya, kita dapat belajar serta meningkatkan empati lewat proses tersebut.

(Dari Kiri ke kanan) Primadita Rahma bersama dengan pembicara: Mozhdeh Ahmad, Abu Maha, Gladhys Ellionai

Sebelum menuju sesi tanya jawab dengan peserta, diskusi diakhiri dengan pembacaan fragmen tulisan dari karya masing-masing pembicara. Yang pertama adalah Gladhys dengan judul “Lembur di Selatan” sebuah tulisan yang menceritakan kehidupan orang-orang pesisir yang ia terjemahkan ke bahasa Inggris dengan judul To Vanish in the South. Selanjutnya adalah pembacaan fragmen tulisan dari Abu Maha berjudul Secrets of Nyala Market yang menceritakan kehidupannya yang mendapat perlakuakn tidak adil ketika  di kota Nyala, Sudan. Bagaimana Abu (dalam persepektif “aku”) diceritakan menerima perlakuan keji oleh aparat kepolisian yang dipicu oleh sikap rasisme dan menyebabkan dirinya harus pergi meninggalkan kota asalnya tersebut. Tulisan Abu tentang pasar Nyala ini mengantarkan ia menjadi pemenang dalam Archipelago’s 2021 Writing Competition. Terakhir adalah pembacaan puisi yang ditulis oleh Mozhdeh yang berjudul False Hope.

 

16:30 – Venture of Language
Pembicara: Elizabeth D. Inandiak | Moderator: Debra Yatim

Setelah berkelana mendengarkan cerita para penulis asing dari The Archipelago, kali ini Komunitas Salihara akan membawa pengunjung untuk mengikuti petualangan linguistik dari Elizabeth D. Inandiak yang terkenal dengan tafsiran dan terjemahan Serat Centhini–Yang diklaim oleh Elizabeth sebagai sebuah kisah yang sejajar dengan karya-karya Shakespeare dan Mahabarata–dari bahasa Jawa ke berbagai bahasa seperti Prancis dan Indonesia.

Elizabeth D. Inandiak menjelaskan petualangan linguistiknya di Galeri Salihara

 

Dalam diskusi ini Elizabeth juga menceritakan kisah dari novel terbarunya yang berjudul Dreams from the Golden Island yang berasal dari kisah-kisah yang dituturkan oleh penduduk di wilayah Muara Jambi yang tersedia dalam empat bahasa yaitu Mandarin, Indonesia, Prancis, dan Inggris. Buku ini menampilkan dongeng-dongeng, penelitian, dan catatan perjalanan dari masa lampau yang dikemas dengan narasi puitis lengkap dengan gambar-gambar yang–Elizabeth sendiri katakan–persis seperti manga di dunia modern.

 

 

19:00 – Tamu dari Seberang
Pembicara: Jean-Baptiste Phou, Johary Ravaloson, Zack Rogow
Moderator: Ajeng Kamaratih

(Kiri ke Kanan) Zack Rogow, Jean- Baptiste Phou, dan Johary Ravaloson bersama penerjemah
dalam diskusi di Teater Salihara

 

Setelah mengarungi perjalanan Elizabeth dengan petualangan linguistiknya, kali ini kita akan melihat perjalanan kreatif para penulis asing dari berbagai daerah di negara Frankofon seperti Madagaskar, Prancis, dan Amerika lewat karya-karya mereka. Dimoderatori oleh presenter; Ajeng Kamaratih, kita akan mengulas karya dari Jean-Baptiste Phou (Prancis), Johary Ravaloson (Madagaskar), dan  Zack Rogow (Amerika) dalam tema Multikulturalisme. Dalam diskusi ini, ketiga negara yang diwakilkan adalah Amerika (Zack), Prancis (John-Baptiste dan Johary) yang memiliki keterikatan dengan Indonesia dengan multikultural. Amerika dan Prancis misalnya yang  menjadi daerah tujuan para imigran dalam mencari penghidupan lebih layak dan Indonesia yang dikenal dengan keragaman etnis, agama, budaya, dsb. Diskusi ini melihat bagaimana ketiga seniman ini merepresentasikan keragaman tersebut dalam karya-karya mereka.

Zack Rogow, sebagai seorang Amerika banyak menulis puisi dan naskah drama. Salah satu naskah dramanya yang berjudul Colette Uncensored dimainkan di Salihara dan IFI Yogyakarta. Zack menceritakan akar dari puisi-puisinya banyak terinspirasi dari anaknya serta perjalanan spiritualnya terutama dalam karyanya yang bila diterjemahkan ke bahasa Indonesia sebagai Dzikir Mbeling.

Berbicara tentang spiritual, kita juga akan berkenalan dengan Johary Ravaloson; seorang penulis asal Madagaskar yang menetap di Prancis, karyanya baru saja terbit dalam bahasa Indonesia dengan judul Perburuan. Dalam Perburuan Johary menyematkan unsur spiritual yang akrab dengan masyarakat Madagaskar lewat mantra dan ritual. Dalam novel yang ia tulis, diceritakan Sikid–seorang reporter yang memburu berita– meninggal di pertengahan cerita. Mantra-mantra inilah yang ditulis guna membangkitkan Sikid dari alam kematian, yang terinspirasi dari budaya ritual Madagaskar dengan cara menyemai biji-bijian sebagai bagian dari ritual; memberikan nuansa etnik dalam kekaryaannya.

Penonton pun diajak membaca cuplikan dari mantra yang Johary tulis di dalam novelnya:

 

“Bangun! Bangun!

Bangunlah Sikid nan suci.

 Sikid yang kubangkitkan atas nama Sang Pencipta dan atas nama Pengatur Alam Semesta!

 

Bangun! Bangun!

Bangunlah Sikid Nan Suci, yang kepadanya telah kami salurkan tujuh kekuatan langit!”

 

Johary kini menetap di Prancis dan aktif sebagai seorang penulis. Selain Johary, hadir juga penulis Prancis keturunan Kamboja bernama Jean-Baptiste Phou. Berbeda dengan Johary yang sadar akan akar tradisinya, Jean tidak pernah tahu dari mana ia berasal. Ia lahir dan besar di Prancis, orang tuanya meninggalkan tanah kelahiran mereka karena situasi politik dan tidak pernah membahas masalah ini dengan dirinya.

Jean menceritakan bahwa orang Prancis memiliki kecenderungan untuk menilai siapapun yang berwarga negara Prancis adalah orang Prancis sendiri. Tidak ada istilah pembeda seperti Black-France, Chinese-France, dsb sehingga dia merasa tidak ada bedanya dengan warga Prancis lainnya. Ketertarikan bahwa dirinya “mungkin” tidak terlalu Prancis baru hadir di 90-an. Dia merasa ada sesuatu yang tersembunyi dari akar keluarganya yang akhirnya memicu dirinya untuk berkeliling ke berbagai negara di Asia. Setelah mendengarkan perjalanan kekaryaan dan sumber inspirasi dari Jean-Baptiste yang juga merupakan penulis, aktor, dan juga filmmaker. Setelah diskusi penonton diajak untuk melihat sebuah adegan dari pertunjukan teater Prancis yang berkisah mengenai stereotip orang Prancis terhadap orang-orang Asia dibalut dengan garapan komikal yang mengundang tawa.

Sebagai penutup, Ajeng menanyakan bagaimana pandangan ketiga seniman ini terhadap literatur Prancis dan negara Frankofon; Zack menjawab bahwa dengan banyaknya peraih Nobel sastra dari Prancis membuat literatur Frankofon menjadi lebih dikenal oleh dunia. Pernyataan ini juga diperkuat oleh Jean dan Johary yang menyatakan bahkan di Prancis saat ini banyak sekali penerbit yang tertarik untuk menerbitkan karya-karya dari negara Frankofon. Hal ini berbeda dengan zaman dulu di mana karya dari negara Frankofon kurang dilirik oleh penerbit di Prancis.

Rangkaian acara satu hari ini ditutup dengan pertunjukan musik khas Prancis dan Frankofon oleh kelompok musik Klassikhaus. Untuk mengetahui ulasan lengkapnya sila membaca di sini.

Colette dan Kebebasan Tanpa Sensor

Sebagai seorang tokoh penulis perempuan; Sidonie-Gabrielle Colette atau akrab dengan sebutan Colette, dikenal akan karya-karyanya yang kontroversial di kalangan penulis dan kritikus sezaman. Kritik dan ujaran “sastra selera rendah” pun pernah ia terima, di sisi lain karya-karyanya juga dicintai bahkan diapresiasi hingga masa sekarang. Colette merupakan penulis dengan kisah yang menarik; ia hadir sebagai penulis perempuan di awal abad 20, di mana dunia sastra dan literatur masih didominasi oleh laki-laki.

Karya, persona, dan jalan hidupnya telah menginspirasi dan menjelma ke berbagai kesenian modern seperti film, pertunjukan, tulisan, dan teater; terutama yang ditulis oleh Zack Rogow dan diperankan oleh aktris Lorri Holt dalam pertunjukan Colette Uncensored yang dimainkan di Salihara Sabtu lalu (12/08). Colette Uncensored merupakan pertunjukan tunggal–One-Woman Show– yang diperankan oleh aktris Amerika; Lorri Holt sebagai Colette.

Meski berwarga negara Amerika, Zack Rogow, sebagai penulis merasa terinspirasi oleh sepak terjang Colette dalam dunia kesusastraan Prancis. Tidak hanya karya, cara pandang Colette pun berhasil menyihir Zack bahkan mengilhami dirinya dalam membuat pertunjukan ini.

“Colette menginspirasi saya baik sebagai penulis dan secara pribadi karena ia berani menjalani hidup sesuai dengan identitasnya yang begitu kompleks baik sebagai wanita, kekasih, dan tokoh sastra. Dia adalah pelopor dalam banyak bidang, termasuk kecintaannya yang mendalam dan rasa hormat terhadap semua makhluk hidup.”

Dalam pertunjukan di Teater Salihara, tata ruang dibuat sederhana hanya ada podium dan sepasang meja kursi dengan bejana berisi air yang berbahan kaca. Lorri; sebagai Colette hadir dan mulai menceritakan hidupnya. Tidak hanya sebagai Colette, terkadang ada beberapa peran kecil yang dia tirukan, untuk membangun suasana seperti tokoh ibu Colette (Sido) dan beberapa peran lainnya yang bisa kita nikmati lewat perubahan gestur dan mimik dari Lorri.

Adegan dimulai dengan adegan  Colette menyambut penonton yang seolah hadir dalam peluncuran novel terbarunya berjudul Gigi. Dengan nada yang sarkastik, Colette membawa kita untuk menelusuri kehidupannya dari awal sampai ke titik sekarang. Kita diceritakan bagaimana ia muda dan hidup bersama ibunya, hingga pertemuannya dengan Willy; yang menikahi Colette dengan perbedaan umur yang terpaut jauh. Saat itu Colette masih 20 tahun, dan Willy 14 tahun lebih tua. Willy yang diceritakan suka bermain perempuan dan memiliki nafsu tidak terkendali menjadi gerbang pertama dalam karir menulis Colette dicerita ini. Willy adalah seorang yang tidak kompeten, ia sering menyuruh penulis-penulis muda untuk menulis cerita mesum dan diterbitkan atas nama dirinya. Sebanyak 50 novel ia terbitkan tanpa pernah ia tulis sendiri.

Kali ini giliran Colette, bahkan lebih parahnya setelah sukses menerbitkan novel pertama dengan judul Claudine, Colette dikurung di sebuah kamar oleh suaminya selama empat jam setiap hari. Colette adalah sapi perah baru bagi Willy. Apakah Colette menderita? Tidak, bahkan dia menikmati kesendirian itu di dalam ruangannya. Ia senang menulis dan membayangkan tokoh Claudine bahkan baik ia dan pembaca merasa Claudine adalah Colette.

Babak bagian awal dari kehidupan Colette sebagai penulis cukup panjang. Hubungan Willy dan Colette bak skandal yang memalukan bagi keluarga Willy, namun entah mengapa mereka senang menjalaninya. Menggoda, digoda, bahkan mempermainkan perasaan orang hanya demi sumber inspirasi bagi cerita-cerita Claudine lazim mereka lakukan; dalam kasus ini korban mereka adalah Georgie–seorang kaya raya dari Amerika– yang menuntut mereka berdua karena menjadikan dirinya sebagai objek yang digambarkan gila seks dalam cerita Claudine.

Masa awal kehidupan Colette dan Willy pun berakhir dengan perceraian. Dinarasikan Colette bergabung dengan kelompok pantomim dan ia begitu senang dengan kelompok ini, meski pertunjukannya banyak memantik amarah publik dengan keamoralan cerita di dalamnya, nyatanya banyak tur keliling yang sukses besar. Selesai tur Colette langsung mengutarakan keinginannya kepada sang suami untuk segera bercerai.

Seperti nama judulnya; Colette: Tanpa Sensor sepanjang adegan kita akan dinarasikan oleh kisah-kisah erotis yang diceritakan seolah tanpa filter. Hubungan dengan wanita, dengan tiga orang, dan entah-sama-siapa diceritakan mewarnai perjalanan ia selama bersama kelompok ini. Hingga akhirnya hubungan ini ia hentikan dan memulai hidup baru bersama Henry; seorang kaya yang sering menonton pertunjukan Colette. Begitulah Colette dan kisah cintanya. Kita tidak membicarakan keburukannya atau sikap-sikapnyayang tidak elegan di panggung ini, kita lebih merayakan kebebasannya dalam mengekspresikan apa yang dia mau. Kembali ke pernyataan Zack sang penulis, perjalanan Colette walaupun kompleks namun tetap menunjukkan cinta dan rasa hormat yang mendalam dan Colette melakukan semua itu (baik dan buruk tindakannya) dengan sepenuh hati.

One-Woman-Show ini membuktikannya, tidak serta-merta kehidupan tanpa sensornya yang diutarakan namun juga sisi humanis dari sang tokoh juga diperlihatkan. Misalnya dalam bagian terakhir di mana Colette bertemu dengan anaknya; Bel-Gazou (hasil pernikahan dengan Henry) saat perang dunia terjadi. Colette rela memberikan segalanya meskipun dia hampir tidak pernah menemui anaknya.

Kisah ini ditutup seiring dengan berakhirnya kenangan Colette akan masa lalunya. Ia kembali mengajak penonton untuk mengingat bahwa pementasan ini dibuka dengan latar peluncuran bukunya yang berjudul “Gigi”. Gigi merupakan permainan kata dari Gabri (nama kecil Colette) Sido–ibunya– dan Willy–suami pertama– memanggil Colette dengan sebutan tersebut sebelum akhirnya dia memutuskan untuk dipanggil dengan Colette. Dalam paparannya, buku ini (yang berisi perjalanan hidup sang tokoh yang besar di sebuah desa kecil di Burgundy, Prancis) menjadi laris dan dipentaskan di Hollywood dan Broadway, sebuah negeri yang sangat jauh dari Prancis. Buku yang ditulis di masa perang yang kelam berbuah apresiasi yang begitu gemilang. Lewat buku ini Colette menitikberatkan tentang arti kebebasan; kebebasan untuk mencintai, membuat pilihan, dan kebebasan untuk berbuat kesalahan. Lorri membungkuk, semua bertepuk tangan.

cover

Yang Klasik dan Asyik dalam Membaca Dini, Sitor, dan Wing

Catatan pendek program Klasik Nan Asyik: Membaca Dini, Sitor, dan Wing dalam LIFEs 2023.

Pada 10 Agustus, LIFEs 2023 menghadirkan salah satu program pilihan, bertajuk Klasik Nan Asyik. Program ini adalah panggung untuk membicarakan kembali sastrawan dan karyanya yang sudah menjadi klasik dalam sastra Indonesia di masa kini. Program ini dikemas dalam bentuk diskusi dan pembacaan karya. Generasi muda dan penikmat sastra hari ini, perlu mengenal kembali sebanyak mungkin khazanah sastra Indonesia modern yang terbilang klasik. Tahun 2023, Klasik Nan Asyik menghadirkan tiga sastrawan yang akan berbagi tentang pengarang dan karya sastra klasik Indonesia yang terkait dengan Prancis.

Para sastrawan yang diperkenalkan dalam program ini adalah Nh. Dini, Sitor Situmorang dan Wing Kardjo. Tiga pengarang ini bukan hanya nama penting dalam kesusastraan Indonesia modern, tetapi juga mereka secara langsung mengalami atau bersentuhan dengan apa-apa yang terkait Prancis, baik sastra, budaya maupun masyarakatnya. Pengalaman mereka bersentuhan atau bergelut dengan Prancis, dibahas dan ditampilkan dalam forum ini. Terutama untuk melihat bagaimana kontribusi dan nilai penting karya-karya mereka bagi kita hari ini. 

Menariknya, pembahasan tentang tiga pengarang ini disampaikan oleh tiga pengarang masa kini, yaitu Avianti Armand, JJ Rizal, dan Zen Hae. Avianti Armand membahas tentang perjalanan kesusastraan Nh. Dini, JJ. Rizal membahas Sitor Situmorang dan karya-karyanya, dan Zen Hae membahas tentang penyair sekaligus penerjemah sastra, Wing Kardjo. 

 

previous arrow
next arrow
Slider

 

Nh. Dini dan Permulaan Sastra Feminis
Pembicara: Avianti Armand

Nh. Dini (1936-2018) adalah satu dari sedikit pengarang perempuan Indonesia yang muncul pada dekade 1950-an. Ia muncul saat sastra Indonesia didominasi oleh sastrawan laki-laki. Pada sesi ini, Avianti Armand membicarakan bagaimana karya-karya Nh. Dini muncul dan menjadi salah satu tonggak penting sastra feminis dalam khazanah sastra Indonesia modern. Meskipun sebelum Dini ada beberapa nama penulis perempuan, tetapi pengarang perempuan yang cukup berani menyuarakan sikap keperempuanan adalah Nh. Dini. Pergaulannya sangat internasional—salah satu sebabnya karena perkawinannya dengan diplomat Prancis—dan pandangannya tentang perempuan, cinta dan perkawinan sangat pribadi dan berani. Avianti juga menyampaikan tentang bagaimana mula-mula kemunculan Nh. Dini dalam dunia sastra Indonesia pada akhir 1950-an. 

 

Sitor Situmorang: Pengelana Cinta yang Kesepian
Pembicara: JJ Rizal

Sitor Situmorang (1924-2014) adalah sastrawan Angkatan 45 yang mereguk pengalaman internasional melebihi Chairil Anwar, Asrul Sani dan Rivai Apin. Jika Chairil, Asrul dan Rivai banyak masuk ke gelanggang internasional melalui bacaan berbahasa Belanda dan Inggris, Sitor justru memasukinya dengan kehidupan pribadinya secara langsung. Pengalamannya tinggal di Belanda dan Prancis membentuk puisi dan cerpen Sitor selanjutnya. Dalam artian, ia memperluas lanskap penulisan puisi dan cerpen dari generasinya dengan menggunakan pendekatan autobiografis manusia Indonesia di Barat. Tegangan antara budaya nasional dan daerah—Batak dalam hal ini—dengan kehidupan di Barat yang sama sekali berbeda adalah momen-momen yang membentuk watak puisi dan cerpen Sitor. Hasrat pengelanaan di satu sisi mesti dibayar dengan kesepian yang mencekam, petualangan asmara dan erotisme mesti pula dibayar dengan perpisahan dan perjumpaan dengan dunia baru lainnya. JJ Rizal menyampaikan bagaimana Sitor menggunakan pendekatan autobiografis dalam menulis karya-karyanya. Meskipun ia menolak pendekatan autobiografis dalam penilaian karya seorang penyair, laku Sitor sebagai sastrawan tidak jauh-jauh dari mengolah segala sesuatu yang autobiografis tadi. 

 

Wing Kardjo: Jembatan Sastra Prancis dari Bandung
Pembicara: Zen Hae

Wing Kardjo Wangsaatmadja (1937-2002) adalah penyair dan penerjemah sastra Prancis yang penting pada masa 1970-an. Sebagai penyair mungkin Wing bukanlah yang kuat—puisi-puisinya terlampau berhasrat kepada bentuk klasik soneta dan mengimbuhkan sebanyak mungkin napas kritik sosial di dalamnya; kurang peduli pada bentuk—tetapi sebagai penerjemah dialah yang secara sungguh-sungguh memperkenalkan puisi-puisi modern Prancis ke bahasa Indonesia melalui Sajak-Sajak Modern Perancis dalam Dua Bahasa / Anthologie Bilingue de la Poezie Moderne Francaise (Pustaka Jaya, 1975). Yang lain, ia juga menerjemahkan satu cerita anak Prancis yang penting: Pangeran Kecil karya Antoine de Saint-Exupéry (Pustaka Jaya, 1979). Buku puisinya yang menghimpun puisi-puisi bergaya soneta adalah Fragmen Malam: Setumpuk Soneta (Pustaka Jaya, 1997). Zen Hae membahas tentang sosok dan karya Wing Kardjo yang menempatkan puisi-puisinya dalam korpus puisi Indonesia modern masa 1970-an dan sesudahnya. Ia juga menjelaskan tentang yang dimaksud soneta oleh Wing dalam himpunan puisinya. Zen Hae menjelaskan peran Wing sebagai “Jembatan Sastra Prancis” bisa dilihat dalam upayanya menerjemahkan sajak-sajak modern Prancis dan cerita anak Antoine Saint de Exupery. 

Sesi diskusi ini sangat menarik untuk diikuti, selain membahas tentang kedekatan tiga sastrawan Indonesia dengan Prancis, juga kemudian menggulirkan pertanyaan “kenapa Prancis begitu menggiurkan bagi para ketiga pengarang tersebut?”.

menulis23

Kelas Menulis Kreatif Tingkat Lanjut

Pengampu: Ayu Utami
Setiap Sabtu 02, 09, 16, 23, 30 September 2023
07, 14, & 21 Oktober 2023 | 13:00 WIB
Serambi Salihara 

 

Jakarta, 15 Agustus 2023 – Komunitas Salihara kembali lagi dengan salah satu kelas unggulannya yakni Kelas Menulis Kreatif bersama Ayu Utami. Berbeda dengan tahun sebelumnya–Kelas Menulis Kreatif yang Berbobot: Dimulai dari Karakter–yang bisa diikuti oleh tingkat pemula, dalam kelas kali ini peserta diwajibkan sudah pernah menerbitkan karyanya atau mengikuti Kelas Menulis Salihara agar bisa berpartisipasi dalam Kelas Menulis Tingkat Lanjut.

Dalam Kelas Menulis Tingkat Lanjut peserta diminta untuk sudah menguasai struktur dasar narasi gramatika, dan pengejaan yang benar. Sebab, dalam kelas ini hal-hal seperti itu tidak akan diajarkan lagi. Menariknya, peserta yang  karyanya sudah pernah diterbitkan atau akan diterbitkan, karya tersebut bisa dibahas di dalam kelas ini. Bagi yang belum pernah menerbitkan karya, peserta setidaknya sudah pernah mengikuti Kelas Menulis Kreatif sebelumnya atau pernah mengikuti kursus menulis. Peserta juga diwajibkan untuk memiliki ketertarikan membaca karya sastra. 

Di kelas ini peserta akan mempelajari:

  • Apa itu tulisan yang standar dan yang tidak?
  • Memilih antara plot dan suasana.
  • Apa saja unsur dalam suasana dan peristiwa, dan bagaimana mengembangkannya?
  • Memahami dan mengembangkan potensi.
  • Keseimbangan antara rencana besar dan garapan kecil.
  • Keseimbangan antara ketertiban dan keliaran.
  • Menganalisa diri dan unsur-unsur yang menghambat proses penulisan.
  • Inventarisasi dan distribusi tema.
  • Memilih suara yang tepat.
  • Memahami solusi mudah dan paradoks.

Untuk bisa mengikuti kelas ini, peserta bisa langsung mendaftarkan diri melalui laman resmi kami di kelas.salihara.org dengan biaya Rp2.500.000 per orang. Kelas akan diadakan setiap Sabtu mulai dari 02 September hingga 21 Oktober 2023. Kedelapan sesi ini akan berlangsung selama dua jam di Serambi Salihara, Ps. Minggu, Jakarta Selatan. 

 

Tentang Pengampu

Ayu Utami adalah salah satu penulis yang dianggap sebagai pendobrak kemapanan, khususnya masalah seks dan agama yang ia angkat dalam karya-karyanya. Karya-karya yang ditulisnya mengangkat wacana seksualitas dari sudut pandang perempuan.

Novel pertamanya, Saman (1998), memenangkan Sayembara Penulisan Roman Terbaik Dewan Kesenian Jakarta tahun 1998. Beberapa karya sastranya yang lain adalah Bilangan Fu (2008) yang beroleh Khatulistiwa Literary Award 2008 dan yang termutakhir Anatomi Rasa (2019). Atas kiprah di dunia sastra, Ayu Utami meraih Prince Claus Award pada tahun 2000 dari Prince Claus Fund (Belanda), sebuah yayasan yang memberi penghargaan kepada individu dan organisasi yang berkontribusi dalam kebudayaan.

Ayu Utami adalah salah satu pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan ikut membangun Komunitas Utan Kayu, sebuah pusat seni, pemikiran dan kebebasan informasi. Saat ini Ayu Utami aktif sebagai kurator sastra dan Direktur Literature and Ideas Festival (LIFEs) di Komunitas Salihara serta Direktur Program Teater Utan Kayu.

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________ 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

illusion

Meretas Batas antara Ada dan Tiada dalam New Illusion

20 Agustus 2023 | 16:00 & 20:00 WIB

Teater Salihara

 

Jakarta, 04 Juli 2023 – Apa yang terjadi saat pertunjukan menampilkan aktor yang tidak ada namun kehadirannya dapat dirasakan? Kira-kira begitulah gambaran New Illusion karya Chelfitsch Theater Company yang akan ditampilkan di Komunitas Salihara Arts Center, Minggu 20 Agustus 2023. Acara ini merupakan acara kerja sama dengan Dewan Kesenian Jakarta dalam program Djakarta International Theater Platform 2023, di mana Salihara menjadi salah satu mitra venue dalam rangkaian acara tersebut.

Chelfitsch Theater Company didirikan 1997 oleh Toshiki Okada sekaligus sebagai sutradara dan penulis dari semua produksinya. Kelompok ini dikenal sebagai teater kontemporer yang secara konstan meneroka metode yang didasari oleh hubungan antara ucapan dan pergerakan fisik.

Dalam beberapa tahun terakhir, Toshiki dan Shimpei Yamada (perancang video panggung) mengembangkan “EIZO-Theater”, sebuah jenis teater yang mencoba mengubah ruang tampilan menjadi ruang teater dengan memanfaatkan efek gambar proyeksi untuk memengaruhi sensibilitas manusia.  Tidak hanya fokus terhadap tampilan teknik dan bentuk, EIZO-Theater juga mencermati karakteristik yang memengaruhi pengalaman sensoris, seperti cara penonton memandang para aktor yang “hadir” dalam visual yang ditampilkan dari gambar-gambar yang diproyeksikan.

Awalnya, Toshiki hanya menampilkan karya-karya EIZO-Theater di museum seni atau ruang pameran (bukan sebagai pertunjukan pada umumnya). Namun dalam pertunjukan New Illusion yang dibawakan di Salihara, Toshiki secara khusus menampilkan dalam bentuk pementasan panggung (secara umum) dengan penonton yang dapat melihat langsung dari tempat duduk mereka.

Perjalanan Chelfitsch Theater Company sebagai sebuah kelompok dengan skala internasional cukup panjang. Kelompok ini baru melakukan debutnya dalam mementaskan karya mereka di luar negeri menampilkan Five Days in March di Kunstenfestivaldesarts, Brussels, Belgia pada 2007. Selain itu, teater ini juga sudah memproduksi beberapa karya, di antaranyaGrand and Floor (2013) di Kunstenfestivaldesarts, Super Premium Soft Double Vanilla Rich (2017), New Illusion (2022), Metamorphosis of a Living Room (2023), dan telah melakukan ko-produksi bersama beberapa teater dan festival. Teater ini juga sudah mementaskan karya-karya mereka di lebih dari 90 kota di seluruh dunia.

Dalam pementasan New Illusion yang dibawakan di Salihara, karya ini akan menggabungkan aktor dan multimedia seperti proyektor dalam membicarakan realita, fiksi, ada dan tiada, masa lalu dan masa sekarang yang saling tumpang tindih di atas panggung.

 

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

penutupanlifes

(LIFEs) Literature and Ideas Festival 2023
Mon Amour!
Sastra dan Gagasan Prancis dan Frankofon dalam Satu Pekan

Jakarta, 21 Agustus 2023 – Ditutupnya pameran  Les Liaisons Amoureuses 20 Agustus lalu menjadi penutup dari rangkaian LIFEs (Literature and Ideas Festival) yang mengangkat tema Frankofon (sebutan untuk negara-negara penutur bahasa Prancis). Selama satu minggu (05-12 Agustus) LIFEs  mengajak pengunjung menggali dan merayakan khazanah kekayaan intelektual dari para pemikir dan penulis asal Prancis dan negara Frankofon lewat beragam program menarik seperti diskusi, film, lokakarya, pertunjukan teater, musik, seminar, peluncuran buku, dan kuliner.

Direktur LIFEs dan Kurator Sastra Komunitas Salihara Arts Center, Ayu Utami mengatakan pemilihan Prancis dan negara Frankofon sebagai tema LIFEs tahun ini karena Prancis merupakan kiblat pemikiran para intelektual Indonesia. “Prancis selalu merupakan kiblat pemikiran para intelektual Indonesia, selain Prancis juga menjadi kiblat fesyen, dan lain-lain.  Kesusastraan Prancis itu selalu dirujuk oleh pendiri bangsa ini.,” tutur Ayu Utami. 

Festival ini telah menarik minat dari ribuan pecinta dan penikmat sastra dan gagasan yang tersebar di Jakarta dan sekitarnya dalam seminggu pelaksanaan. Selama berlangsung, LIFEs 2023 menghadirkan rangkaian acara yang menampilkan keragaman budaya dari negara Frankofon serta relasinya yang banyak menginspirasi para pemikir Indonesia.

Zack Rogow, penulis dalam pertunjukan Colette Uncensored mengungkapkan rasa bangganya telah menjadi bagian dari LIFEs 2023. “Menjadi kebanggaan bagi saya bisa berpartisipasi dalam LIFEs 2023. Ini adalah kesempatan yang baik mengenal Salihara sebagai komunitas dan tempat berkumpul bagi mereka yang mencintai seni dan berinteraksi dengan semangat yang sama.” 

Colette Uncensored merupakan pertunjukan tunggal–One-Woman Show–yang ditulis oleh Zack Rogow dan dibintangi oleh Lorri Holt menceritakan kehidupan Colette; seorang penulis perempuan Prancis dengan gaya satir komedi. Selain dibawakan di Salihara, pertunjukan ini juga dibawakan di Yogyakarta sebagai bagian dari program satelit LIFEs.

Tidak hanya di Jakarta, LIFEs pun juga mengadakan beberapa program satelit seperti lokakarya di Universitas Indonesia bersama Zack dan Lorri yang diikuti oleh kurang lebih 15 peserta dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya prodi Prancis. Dalam lokakarya ini, Zack dan Lorri mengajak peserta untuk menulis naskah monolog dan mempresentasikannya di akhir kegiatan. Menariknya, program ini juga diikuti oleh aktris sekaligus penampil dalam LIFEs; Asmara Abigail.

Selain lokakarya, program satelit LIFEs juga menampilkan pementasan Colette Uncensored serta pemutaran film My Mother’s Tongue oleh Jean-Baptiste Phou di Yogyakarta dari tanggal 14-16 Agustus 2023 kemarin. Untuk Melihat berbagai ulasan dari rangkaian program yang berjalan di LIFEs 2023, Anda bisa membacanya secara lengkap di blog.salihara.org. Dalam blog tersebut terangkum berbagai kegiatan seputar LIFEs 2023 mulai dari ulasan pertunjukan, musik, diskusi, dan seminar.

__________________________________________________________________

Tentang Literature and Ideas Festival

LIFEs (Literature and Ideas Festival) merupakan festival sastra dan gagasan berskala internasional yang mempertunjukan perkembangan sastra kontemporer Indonesia dan dunia, selain juga kekayaan karya-karya klasik dan tradisional. Festival ini berisi program diskusi, pentas bincang, ceramah kunci dan pertunjukan.

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________ 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

web banner-salihara jazz buzz 2024-1920x1080

Undangan Terbuka
Salihara Jazz Buzz 2024

Komunitas Salihara membuka kesempatan seluas-luasnya kepada musisi di seluruh indonesia untuk tampil di acara Salihara Jazz Buzz 2024. 

Sejak berdirinya Salihara (2008) salah satu acara yang paling diminati musisi dan penonton adalah acara Jazz Buzz. Tim kurator Salihara selalu mengupayakan mencari tema baru dan memilih musisi berkualitas yang berminat terhadap karya-karya inovatif. Selama kurang lebih enam tahun ini Salihara menggunakan pendekatan “sans frontieres”, sebuah gagasan musikal yang mengetengahkan kebaharuan melalui konsep “lintas-batas”. Program Jazz Buzz selalu berusaha mencari format baru dalam kaitannya dengan pilihan genre, komposisi maupun presentasi musik.

  1. Musisi adalah warga negara Republik Indonesia dan belum berusia 35 tahun pada tanggal 31 Desember 2024; 
  2. Materi konser paling sedikit menampilkan empat (4) karya baru, termasuk aransemen atau komposisi ulang yang mengandung unsur kebaharuan;       
  3. Durasi konser antara 60 – 90 menit;
  4. Format grup mulai dari duet hingga maksimal 12 musisi;
  5. Dewan Juri akan memilih maksimum empat (4) grup untuk tampil dalam rangkaian Jazz Buzz 2024;
  6. Bantuan produksi untuk setiap musisi terpilih maksimal Rp25.000.000 (disesuaikan dengan format ensambel);
  7. Selain bantuan produksi, Komunitas Salihara juga memberikan bantuan berupa fasilitas yang tersedia: ruang pentas dan fasilitas pendukungnya, promosi dan publikasi acara, dokumentasi (foto dan video), dan akomodasi di Wisma Salihara;
  8. Komunitas Salihara tidak menanggung biaya transportasi dan konsumsi musisi terpilih;
  9. Selama persiapan pementasan, musisi terpilih akan mendapatkan pendampingan dari Dewan Kurator Komunitas Salihara.
  1. Mengisi formulir pendaftaran, menyertakan CV dan RAB (Rencana Anggaran Biaya);
  2. Formulir pendaftaran, CV dan RAB produksi bisa diunduh di sini;
  3. Membuat surat pernyataan yang ditandatangani musisi di atas kertas bermeterai Rp10.000,- bahwa karya tersebut adalah karya asli, bukan karya jiplakan atau plagiat;
  4. Mengirimkan formulir pendaftaran, RAB produksi, portofolio musisi, KTP musisi, surat pernyataan orisinalitas karya dan dua (2) contoh karya terbaru (belum pernah diterbitkan dalam bentuk apapun) termasuk aransemen/komposisi ulang yang mengandung kebaharuan ke opencall@salihara.org. Seluruh berkas dikirim dengan subjek Undangan Terbuka Jazz Buzz 2024_Nama Musisi paling lambat 16 November 2023 pukul 23:59 WIB;
  5. Contoh rekaman karya dikirim dalam format audio mp3 melalui tautan Google Drive, We Transfer, atau melalui cakram padat (CD) ke alamat Komunitas Salihara Jl. Salihara No. 16, Pasar Minggu, Jakarta 12520 paling lambat 16 November 2023 (cap pos atau faktur pengiriman);
  6. Karya tersebut belum pernah dipentaskan di Komunitas Salihara dan tidak sedang diikutkan dalam perlombaan mana pun.

Pengiriman proposal: 06 September-16 November 2023;
Pengumuman: 30 November 2023;
Pentas di Teater Salihara: Februari-Maret 2024.

Tim Juri

Dewan Kurator Salihara

Lain-Lain

Anggota keluarga inti para karyawan Komunitas Salihara dan Dewan Juri tidak diperbolehkan mengikuti Undangan Terbuka ini.

queer

Queer hingga Refleksi Situasi Kolonialisme di Masa Lalu

Catatan pendek Seminar Prancis dan Frankofon dalam Sastra dan Gagasan.

Beberapa Minggu menuju LIFEs, Komunitas Salihara membuka Undangan Menulis Makalah Seminar LIFEs 2023 dengan tema Prancis dan Frankofon dalam Sastra dan Gagasan: Ruang Pertemuan Budaya, Identitas, dan Kritik Sosial. Program ini bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Makalah yang terpilih adalah makalah dengan pembahasan mengenai Prancis dan Frankofon yang mewakili beberapa subtema atau perspektif, di antaranya kritik poskolonialisme, konflik identitas dan kritik sosial, tantangan multikulturalisme, gender dan budaya patriakal, tubuh dan perlawanan perempuan, hubungan indonesia dan prancis, pemikiran tentang seni dan estetika mutakhir. Komunitas Salihara kemudian memilih beberapa nama pemakalah yang dibagi dalam tiga sesi presentasi. 

 

Sesi 1
Kritik Supremasi dari Kamar Tidur
Pembicara : Joned Suryatmoko/Ferdy Thaeras, Salira Ayatusyifa
Tanggal & Waktu : Selasa, 08 Agustus 2023, 16:00 WIB

Sesi ini menampilkan dua pemakalah yang sama-sama membahas naskah Les Bonnes (1947) karya Jean Genet. Naskah ini berkisah tentang dua perempuan kakak-beradik yang bekerja sebagai pelayan di rumah Madame, majikannya. Dua tokoh pelayan ini adalah Solange dan Claire, mereka lantas berpura-pura memainkan peran sebagai Madame ketika majikan mereka tidak di rumah. Naskah drama ini menarik karena memiliki bentuk role playing atau permainan peran di dalamnya, yang menciptakan pembacaan serta pemaknaan yang berlapis. 

Salira Ayatusyifa sebagai pemakalah pertama adalah seorang aktor teater yang mengenyam pendidikan seni teater di ISBI Bandung. Makalahnya berjudul “Les Bonnes: Hegemoni Hasrat dan Politik Asap Dapur”. Salira membedah naskah Les Bonnes dengan pendekatan Hegemoni ala Antonio Gramsci dan  membagi penjelasannya dalam tiga poin. Poin pertama, Salira menjelaskan tentang ilusi kuasa pelayan dalam dominasi kuasa Madame sebagai majikan. Dominasi kuasa yang dilakukan oleh sosok Madame sebagai manusia berstatus borjuis dan memperlakukan dua pelayannya sesuka hati, menimbulkan perlawanan dari kedua pelayan. Perlawanan itu diwujudkan dalam permainan peran sebagai Madame yang diperagakan secara bergantian oleh Solange dan Claire. Serta dari sanalah muncul hegemoni hasrat dari kedua tokoh di mana keduanya menjadi kelompok subaltern yang menurut Gramsci adalah kelompok yang hendak berkuasa. Poin kedua, Salira menjelaskan bahwa Salange adalah wujud tokoh intelektual yang mampu membangkitkan hasrat hegemoni untuk menciptakan strategi memberontak pada dominasi Madame. Ia juga menjelaskan bagaimana Genet menggambarkan posisi antar perempuan beda kelas di masa sejarah Prancis 1685. Poin terakhirnya menampilkan bagaimana tokoh Solange dan semangat kolektifnya untuk melawan tetap menjadi objek yang kalah dan bayangan kemenangan hanya ada dalam kepalanya. Hal ini disebabkan oleh dominasi kuasa yang lebih kuat dari Madame

Pemakalah kedua, Joned dan Ferdy mempresentasikan makalah dengan judul “Les Bonnes: Melihat Jean Genet dari Kamar Tidur Orang Kulit Berwarna”. Makalah ini membahas naskah Les Bonnes dalam dua lapisan, lapisan pertama membedahnya dengan teori identitas kontemporer ala Judith Butler, serta pembacaan teoritis Les Bonnes dalam mempercakapkan dramaturgi dan teori identitas antara Prancis dan Amerika Utara. Lapisan kedua membahas bagaimana Les Bonnes digunakan sebagai pemandu praktik artistik perupa Ferdy Thaeras dalam posisinya sebagai seniman kulit berwarna selama residensi mandirinya di New York City pada 2022. Joned juga membahas hubungan karya Genet dengan Queer, Teatrikalitas dan Teatrikalitas-Queer, bahwa dalam karya Genet tidak lagi menempatkan gagasan queer semata-mata dalam konteks homoseksualitas, tetapi lebih pada hubungan antara penolakan, penghancuran diri, anti-komunitarianisme, dan juga keterikatan kultural lainnya. Joned mengatakan bahwa gagasan tentang pelebih-lebihan, penghilangan, dan ambiguitas terlihat jelas dalam Les Bonnes yang menguraikan elemen-elemen tersebut ke dalam satu gagasan tunggal tentang teatrikalitas-queer memungkinkan kita untuk memeriksa lebih jauh dari apa yang dapat kita temukan jika kita menerapkan gagasan tersebut secara tunggal. Menurut Joned dalam Les Bonnes, ketika satu hal dibesar-besarkan, pada saat yang sama hal tersebut dihilangkan, dan hal tersebut membuka interpretasi yang ambigu. Presentasi ditutup dengan penjelasan Ferdy pada proses artistiknya dan pembacaan teks performancenya pada pameran bertajuk Les Bonnes. 

Sesi ini diikuti dengan tanya jawab yang kemudian turut menambah dan memperjelas bagaimana pandangan ketiga pemakalah dalam membahas naskah Les Bonnes. 

 

previous arrow
next arrow
Slider

 

Sesi 2
Perspektif Sejarah: Dari Kawin Kontrak hingga Yang Ilahiah
Pembicara : Amos, Faiza Nuralifah Khairunnisa, & R.H. Authonul Muther
Tanggal & Waktu : Rabu, 09 Agustus 2023, 16:00 WIB

Diskusi ini menampilkan tiga pembicara yang membahas sejumlah perspektif sejarah dari ranah Frankofon: analisis pascakolonial atas novel bertemakan rasisme dan dampak kolonialisme Prancis, gagasan estetika simtom yang diterapkan dalam kritik seni rupa, hingga tawaran metode historiografi yang berakar dari gagasan sejumlah sejarawan Frankofon. Faiza Nuralifah Khairunnisa, mengulas novel Le mariage de Plaisir karya Tahar Ben Jelloun, ia membahasnya dalam makalah berjudul Internalisasi Rasisme dalam Novel Le Mariage De Plaisir Karya Tahar Ben Jelloun. Ia memaparkan bahwa novel Le Mariage de Plaisir adalah sebuah kritik Tahar Ben Jelloun pada situasi rasisme di Maroko yang telah terinternalisasi. Novel ini menyajikan gambaran sebuah keluarga yang terbentuk dari kawin kontrak atas nama Islam dan berfungsi sebagai unit sosial terkecil, dan rasisme hadir melalui proses internalisasi yang kemudian melekat pada kepribadian tokoh. Dengan kata lain, keluarga adalah lingkup terdekat yang mampu mewariskan sifat rasisme pada anggotanya. Bagi Faiza, rasisme tidak dapat dihentikan hanya dari hal-hal yang kasat mata, namun perlu untuk memutus rantai rasisme dengan menerima masa lalu dan mendefinisikan posisi diri secara jelas dalam rasisme. 

Makalah kedua berjudul Di Hadapan Marmi Finti, Sabda Menjadi Daging: Georges Didi-Huberman dan Estetika Simtom ditulis dan dipaparkan oleh R.H. Authonul Muther.  Ia membahas gagasan estetika simtom oleh sejarawan seni dan filsuf George Didi-Huberman yang membahas lukisan The Lacemaker karya Johannes Vermeer dan The Holy Conversation karya Fra Angelico, serta menawarkan metode untuk memetakan historiografi Indonesia dengan meminjam gagasan Frantz Fanon dan Aimé Césaire. Diskusi ini ditutup dengan paparan makalah berjudul Dapatkah Subaltern Menulis Sejarah?: Menempatkan Kritik Pascakolonial dalam Polemik Historiografi Indonesia, karya Amos. Ia memiliki tawaran tentang penerapan kritik pascakolonial dalam metode penulisan historiografi Indonesia, mengedepankan gagasan antikolonial dari Frantz Fanon dan Aimé Césaire. 

Diskusi ini membawa kita pada tawaran pada satu simpul: kekayaan perspektif sejarah dari ranah Frankofon yang bahkan dapat menjadi tawaran untuk menengok kembali historiografi negeri kita sendiri.

 

Sesi 3
Dari Dunia Frankofon: Takhayul dan Kekerasan
Pembicara : Ari Bagus Panuntun, Nilna Nabilatus Shalihah, & Rifda Aliifah Putri Aspihan
Tanggal & Waktu : Kamis, 10 Agustus 2023 16:00 WIB

Sesi terakhir seminar tentang Prancis dan Frankofon dalam sastra dan gagasan, membahas tiga novel karya sastrawan negara-negara Frankofon: L’Enfant noir karya Camara Laye (Guinea), Le Silence de L’Innocence karya Somaly Mam (Kamboja), Mémoires de Porc-épic karya Alain Mabanckou (Republik Kongo/Prancis). Ari Bagus Panuntun, menyampaikan presentasinya berjudul Romantic Primitivism dan Neokolonialisme Sastra dalam Novel L’enfant Noir Karya Camara Laye. Ia membahas L’enfant Noir (1953) yang terbit dalam bahasa Inggris sebagai The Dark Child, novel ini melukiskan kehidupan damai dan tenteram di sebuah desa di Guinea, Afrika, meski dalam penjajahan Prancis. Novel ini dikritik karena menutupi kekerasan kolonialisme Prancis dengan meromantisasi primitivisme di negeri itu melalui sudut pandang seorang bocah. 

Novel kedua yang dibahas adalah Le Silence de L’Innocence (2005), menceritakan kehidupan seorang perempuan dalam perjuangannya melawan mafia prostitusi dan perdagangan manusia yang merenggut nyawa para gadis di Kamboja. Novel ini dibedah oleh Nilna dalam judul presentasi Écriture Féminine: Suara dan Citra Perempuan Kamboja dalam Novel Le Silence de L’Innocence (2005) karya Somaly Mam. Nilna membahas tentang suara penulis novel tersebut terhadap posisi perempuan yang terbatas. Menurutnya, tokoh Mam merupakan penggerak cerita yang tindakannya berdampak pada peristiwa-peristiwa penting di dalam novel. Terakhir, novel Mémoires de Porc-épic (2006) berkisah tentang serangkaian pembunuhan yang dilakukan oleh seorang tokoh melalui hewan spiritual peliharannya berupa seekor landak, dibahas oleh Rifda dalam makalah Kepercayaan Tradisional sebagai Dalih Kekerasan dalam Novel Mémoires de Porc-épic karya Alain Mabanckou. Ia menelaah bahwa motif mengapa Kibandi tokoh dalam novel ini melakukan hal tersebut yaitu karena kepercayaan tradisional yang diturunkan oleh ayahnya membuat tindakan kekerasan, karena ayahnya memegang kuasa atas dirinya, sehingga ia tidak memiliki pilihan lain selain menerima hal tersebut. 

Sesi ini dengan menarik membahas karya sastra dari tiga sudut pandang berbeda pertumbuhan kesusastraan—dalam hal ini novel—di negara-negara bekas jajahan Prancis. Aspek penting kolonialisme, yakni penindasan manusia atas manusia dalam berbagai bentuknya, dibentangkan dari pelbagai lapis zaman. Karena itu, problemnya bukan melulu kolonialisme, tapi juga pascakolonialisme. Bagaimana manusia di negeri-negeri jajahan menegakkan martabatnya sebagai bangsa merdeka, dengan merefleksikan situasi kolonialisme di masa lalu maupun dengan meneroka problem yang mereka hadapi ketika telah meraih kemerdekaan.

Tiga sesi Seminar Prancis dan Frankofon dalam Sastra dan Gagasan ini membentang beragam sudut pandang atas pembacaan karya sastra Frankofon dan mengulitinya dalam bermacam isu, juga mengantar kita pada sebuah ruang besar yang menggambarkan kompleksitas identitas, keragaman budaya, isu-isu sosial, gender, ras, dan agama dalam konteks poskolonial.