Di Seni Senang dalam SIPFest 2018

Catatan pendek SIPFest 2018

Pada SIPFest 2018 memasuki penyelenggaraan yang ketujuh bertepatan dengan peringatan sepuluh tahun Komunitas Salihara. Peringatan ini dirayakan dengan menampilkan pementasan perdana (premiere) dua buah karya seniman Indonesia yang diproduksi oleh Komunitas Salihara. SIPFest yang ketujuh ini hadir dengan 12 kelompok seni musik tari, teater dan musik dengan reputasi tinggi dari mancanegara maupun Indonesia. Mereka yang sudah mencapai status “kanonik” turut tampil maupun mereka yang muda-segar dan akan menjadi penting di tahun-tahun mendatang.

Dengan 1001 masalah yang harus dipecahkannya, ternyata Jakarta bisa memiliki sejumlah peristiwa seni-budaya yang edgy, yang membuat ia punya tempat tersendiri di peta seni pertunjukan kontemporer dunia. SIPFest adalah salah satunya. Masyarakat Jakarta, sebagaimana diwakili oleh penonton Komunitas Salihara, membuktikan bahwa Jakarta bisa melompat tinggi dan jauh ke depan. Membuat Jakarta bergaya dan bergengsi.

Di seni senang adalah slogan yang dibawa SIPFest 2018. Happy go artsy. Seni itu menyenangkan, justru ketika ia mengajak kita menyelam lebih dalam ke dalam kehidupan. Seni itu menggoda, mengejutkan, sekaligus menyenangkan. Untuk menggarisbawahi keistimewaan SIPFest 2018, Saihara juga secara khusus memproduksi sebuah karya tari kontemporer berdasarkan khazanah lengger Banyumasan bersama koreografer Otniel Tasman, dan sebuah karya teater Monolog Sutan Sjahrir bersama sutradara Rukman Rosadi dan aktor Rendra Pamungkas. Yang baru dalam SIPFest 2018 adalah juga ceramah-pertunjukan, lecture as performance, bersama Ananda Sukarlan (musik), Didik Nini Thowok (tari), dan Jim Adhi Limas (teater). Ada pula showcase, forum bagi karya-karya para seniman tari dan teater yang sedang tumbuh.

Pameran di ruang terbuka

SIPFest 2018 mengundang tiga perupa muda untuk menanggapi ruang luar Komunitas Salihara. Mereka mengembangkan gagasan visual menjadi tiga karya trimatra yang dibangun berdasarkan kondisi dan kontur ruang luar Komunitas Salihara. Di area depan, pengunjung bisa melihat instalasi neon There’s Never A Forever Things karya Achmad Krisgatha. Di bawah tangga menuju Teater Salihara, ada instalasi Mneme karya Meliantha Muliawan, berupa bebulir imaji benda-benda personal yang digambar dengan tinta akrilik serta helaian kain kanvas yang dibalut dengan resin bening. Adapun di area Anjung Salihara Gabriel Aries Setiadi membangun Personifikasi, instalasi yang dapat menyala dalam gelap akibat LED dan sensor gelap-terang yang memanfaatkan cahaya matahari.

Mereka telah beroleh pengakuan di dunia seni rupa. Achmad Krisgatha banyak berkontribusi bagi industri kreatif di Indonesia. Meliantha Muliawan baru saja memenangi Young Artist Award ARTJOG 2018 untuk seri karya terbarunya. Gabriel Aries Setiadi banyak melahirkan beberapa karya yang terpasang di ruang publik di Jakarta dan Bandung.

 

Pertunjukan, dan Showcases

SIPFest menampilkan koreografer dari dalam dan luar negeri. Koreografer asal Australia, Lucy Guerin menampilkan karya Split dengan dua penari menghadapi ruang yang kian menyempit dan waktu yang makin habis. Dari Indonesia, koreografer Otniel Tasman membawakan karya Cablaka, sebuah karya kontemporer yang bertolak dari kosagerak lengger Banyumasan dan pentas dangdut. Karya ini juga dapat disebut sebagai dialog antara tradisi, baik secara gerak maupun simbolisasi.  Abderzak Houmi bersama kelompok tari Compagnie X-press , koreografi Prancis mementaskan Paralleles, berupa tarian hip-hop kontemporer. Koreografer Ayelen Parolin dari Belgia, mementaskan Heretics, karya tari yang didasarkan pada pengulangan dan daya tahan tubuh atas konstruksi gerakan tangan secara matematis. Selain pertunjukan tari, Salihara juga menampilkan Lecture Performance: Transgender dalam Tari Tradisi Indonesia oleh Didik Nini Thowok, ia adalah satu dari sedikit seniman yang meneruskan tradisi panjang seni lintas gender dalam bentuk tarian. 

Dari pertunjukan teater, SIPFest 2018 menampilkan diskusi dan pertunjukan pembacaan naskah oleh tokoh teater Indonesia Jim Adhi Limas yang saat ini bermukim di Prancis. Salihara juga memproduksi karya teater Monolog Sutan Sjahrir yang disutradarai oleh Rukman Rosadi, naskah ditulis oleh Ahda Imran dan diperankan oleh aktor Rendra Bagus Pamungkas. Aktor Reza Rahadian dan Sita Nursanti turut tampil dengan membacakan naskah yang segelnya baru dibuka ketika pentas akan dimulai, yaitu naskah White Rabbit Red Rabbit ditulis oleh Nassim Soleimanpour, seniman teater multidisiplin asal Iran. Karya ini dimainkan dengan tata cahaya dan ruang minimalis, tanpa latihan, sutradara dan kehadiran si penulis naskah. Pertunjukan teater yang menggali arsip sejarah sebuah bangsa juga ditampilkan oleh kelompok Five Arts Centre (Malaysia) dalam pertunjukan Baling. 

Penampilan spesial Ananda Sukarlan, pianis Indonesia turut memeriahkan pertunjukan musik dalam SIPFest 2018. Dari Kanada kelompok musik Quatuor Bozzini tampil membawakan karya empat komposer muda Indonesia secara perdana. Quatuor Bozzini yang sama-sama dari Kanada, tampil membawakan karya-karya akustik dan campuran yang dimainkan dengan ciri khas kwartet saksofon kontemporer. Ju Percussion Group, kelompok musik dari Taiwan membawakan komposisi yang memperlihatkan keanggunan musik perkusi, perpaduan antara irama-irama Amerika Latin hingga karya yang lahir dari mitologi tradisi Asia, terutama Taiwan dan Cina, dengan penggunaan perkusi yang bervariasi. Kelompok musik dari Malaysia, Toccata Studio menampilkan pertunjukan lintas disiplin yang menempatkan musik, seni rupa dan sains dalam satu ruang.

SIPFest 2018 juga memberi ruang pada karya yang sedang bertumbuh dalam program Showcases, menampilkan koreografer dan seniman teater muda Indonesia. Seniman tersebut adalah koreografer Daniel Espe, Densiel Lebang, Eyi Lesar, Fitri Anggraini, Irfan Setiawan, dan Alisa Soelaeman. Sementara seniman teater di antaranya, Komunitas Arteri, Mainteater Bandung, Teater Ghanta, dan Bandung Performing Arts Forum. 

Tak hanya pertunjukan dan showcases, SIPFest 2018 juga menyediakan program diskusi dan lokakarya musik dan tari dari beberapa penampil luar negeri, seperti Lucy Guerin, Quatuor Bozzini, dan Ju Percussion Group. Jangan lewatkan program menarik lainnya dari SIPFest mendatang!

Festival Salihara dalam SIPFest

Catatan pendek program SIPFest 2016

SIPFest (Salihara International Performing-arts Festival) adalah festival dua tahunan yang menghadirkan kelompok-kelompok seni penting dari Indonesia dan mancanegara dalam bidang-bidang musik, tari dan teater. SIPFest adalah sebentuk rebranding Festival Salihara. Dengan tetap mengedepankan visi internasional yang sudah diusung Festival Salihara, SIPFest 2016 memperkuat kembali aspek rekreatif, dalam arti bahwa kreasi seniman akan menjadi penghiburan, sekaligus re-kreasi (proses ikut menciptakan kembali, merangsang daya cipta) oleh masyarakat penonton. 

Pada 2016, SIPFest menampilkan 14 kelompok musik, tari dan teater—empat di antaranya adalah kelompok musik perkusi. SIPFest 2016 memiliki “warna khusus” musik perkusi, karena menampilkan tiga kelompok musik perkusi dari Indonesia dengan karya eksperimentasi dan interpretasi baru atas berbagai tradisi perkusi Nusantara. Salihara juga menampilkan seniman dari Australia dengan eksperimentasi yang tak kalah menarik.


Dari bidang tari, Salihara menampilkan dua koreografer Indonesia yaitu Eko Supriyanto dan Fitri Setyaningsih, masing-masing dengan karya tari baru berdasarkan khazanah Nusantara. Sementara Kalanari Theatre Movement menampilkan pentas teater site-specific. Saat itu pementasan karya baru Eko Supriyanto dan Kalanari adalah perdana-dunia. Kelompok-kelompok dari luar negeri juga banyak yang tampil dengan karya-karya yang bersifat world premiere atau Asia premiere. Misalnya, Benoît Lachambre & Montréal Danse (Kanada), She She Pop (Jerman), Lukas Ligeti & Hypercolor (Austria dan AS), The Human Zoo Theatre Company (Inggris) dan Chong Kee Yong (Malaysia).

Di Ruang-Ruang Terbuka Salihara

Tidak hanya menampilkan karya seni pertunjukan, dari program seni rupa menyajikan pameran site-specific di ruang-ruang terbuka Komunitas Salihara yang bisa dinikmati pengunjung. Ini program yang mencoba menantang kreativitas seniman dalam berhadapan dengan ruang sebagai tempat penciptaan karya. Hasilnya adalah beragam karya dengan beragam pendekatan dan gaya. Karya seni rupa yang dipamerkan adalah instalasi Gurita Salihara karya Nus Salomo di dinding atas Anjung Salihara, instalasi Migration (Memori Eksistensi Alam) karya I Made Wiguna Valasara berupa sekelompok burung terbang. Sementara Purjito menampilkan patung Abdurrahman Wahid, mantan Presiden RI dan pemikir Islam yang amat menghargai keberagaman dan kebebasan individu. Indyra menggambar mural trimatra berjudul Be A Daydreamer & A Night Thinker yang menyiratkan posisi Komunitas Salihara sebagai tempat merawat gagasan dan pemikiran

Empat perupa ini telah mendapatkan pengakuan nasional dan internasional atas kiprah mereka. Valasara pernah menjadi Finalis UOB Painting of the Year, Singapura (2012). Indyra banyak mengeksplorasi tubuh perempuan dalam lukisan-lukisannya. Nus Salomo punya bekerja di industri hiburan Hollywood. Purjito berpengalaman dalam mengerjakan patung publik di sejumlah kota di Indonesia. 

 

Menjelajah karya seni pertunjukan

Beragam penampil dari dalam dan luar negeri menyuguhkan karya terbaik mereka, di antaranya karya musisi Indonesia Ryan Saputro bersama grup Total Perkusi yang mengolah musik perkusi terinspirasi oleh khazanah tradisi dan kehidupan sehari-hari. Komposer Al. Suwardi tampil bersama grup Planet Harmonik dengan musik yang berpijak pada pandangan Pythagoras bahwa pergerakan semesta, termasuk perputaran planet-planet, menghasilkan dengung suara, namun telinga manusia tidak mampu menangkapnya. Pertunjukan musik itu dimainkan dengan instrumen baru yang diciptakan oleh Al. Suwardi berdasarkan instrumen gamelan Jawa. Ada pula komposer Iwan Gunawan bersama grup Ensemble Kyai Fatahillah, memadukan musik gamelan Sunda, tradisi lisan dan kemampuan membaca notasi balok yang memiliki interpretasi baru dalam bermusik. Kelompok musik Australia Speak Percussion, menampilkan instrumen pencahayaan dikombinasikan dengan instrumen perkusi untuk membuat suasana ketika musik dan cahaya menjadi sebuah kesatuan. Komposer Chong Kee Yong (Malaysia) menampilkan sebuah konser musik teater yang dimainkan oleh penari Bali, dengan iringan gabungan instrumen musik Asia (gamelan Bali, guzheng, sheng dan sanxian dari Tiongkok), viola, instrumen perkusi, proyeksi video dan aneka bebunyian elektronik. Serta Lukas Ligeti dan Hypercolor (Austria & AS) membawakan repertoar dari album Hypercolor: Tzadik yang dirilis pada 2015. 

Dari pertunjukan teater, kita bisa menyaksikan karya teater site-specific Kalanari Theatre Movement bertajuk Yo-he-ho’s Sites dengan narasi yang bergerak mulai dari teori evolusi hingga mitos-mitos penciptaan bahasa manusia. Dari Jepang, Arica Theater Company hadir dengan pertunjukan bertajuk Butterfly Dream, teater tanpa kata-kata ini menampilkan pencarian makna hidup melalui pertemuan dua manusia. Lewat pentas ini Arica Theater Company mengusung jenis teater fisik yang terinspirasi oleh pertumbuhan teater garda depan Jepang sepanjang 1960-1970-an. The Girl who Fell in Love with the Moon karya The Human Zoo (Inggris) adalah perihal obsesi manusia kepada langit, keingintahuan yang besar atas rahasia yang luas dan hitam di dalamnya. The Human Zoo memadukan cerita, puisi, tari dan musik ke dalam imajinasi visual. She She Pop (Jerman) dengan pertunjukan The Rite of Spring as Performed by She She Pop and Their Mothers membawa tafsir baru dan tidak biasa atas mahakarya Igor Stravinsky yang berfokus pada pengorbanan perempuan dalam keluarga dan masyarakat. 

SIPFest 2016 menampilkan pertunjukan tari karya Fitri Setyaningsih bertajuk Mega Mendung, menampilkan musik, koreografi, set dan kostum penari yang bergelembung seperti gumpalan awan adalah rancangan dari gradasi tujuh warna megamendung, motif batik yang berwarna dasar putih menuju biru tua. Koreografer Eko Supriyanto membawakan karya barunya Balabala yang menampilkan lima penari muda perempuan dari Jailolo, Maluku Utara. Mereka bersuara untuk masyarakat terpencil di Indonesia timur. Selain koreografer Indonesia, Salihara juga menampilkan karya koreografer Norwegia, Ingun Bjørnsgaard. Ia menampilkan karya Praeambulum, dalam alunan perpaduan musik Barok dan kontemporer, para penari berperan sebagai bahan bangunan di sebuah rumah yang belum selesai. Benoît Lachambre (Kanada) bersama grup Montréal Danse membawakan karya Prisms yang mengajak penonton ke dalam permainan persepsi tentang kehadiran tubuh dan pancaran cahaya, juga penjelajahan pelbagai kemungkinan tubuh dalam berinteraksi dan berkomunikasi. 

SIPFest akan selalu hadir dengan penampilan dan karya-karya seniman menarik lainnya. Nantikan SIPFest selanjutnya!

Screenshot 2024-05-20 120208

LIFEs 2021 yang Asyik dalam Arab Asyiq

Catatan pendek dari LIFEs 2021: Arab Asyiq

Khazanah kebahasaan dan kesusastraan Arab menyebar ke penjuru dunia bersamaan dengan penyebaran agama Islam sejak pertengahan abad ke-7 masehi. Dari satu perspektif, agama Islam dan bahasa Arab tidak bisa dipisahkan. Tapi, dari perspektif lain, keduanya tidak selamanya melekat. Ada kompleksitas, khazanah dan kekayaan pemikiran yang lahir dari persoalan itu.

Pada 2021, LIFEs (Literature and Ideas Festival Salihara) yang hadir dengan jargon Arab Asyiq, mengajak kita semua untuk merayakan kekayaan intelektual dari khazanah kesusastraan Arab. Kita diajak menyaksikan beragam program seru dari seminar, pembacaan karya, ceramah dan pentas musik yang berlangsung pada 25 September – 02 Oktober 2021. Berbeda dengan LIFEs 2017 dan 2019 yang diadakan secara langsung di Komunitas Salihara, LIFEs 2021 diadakan secara daring (online) melalui Zoom dan Youtube. Penyelenggaraan melalui daring ini juga salah satu upaya untuk tetap menghidupkan kesenian di tengah situasi pandemi. 

 Selama enam hari LIFEs mengajak kita untuk memperbincangkan bagaimana pengaruh tradisi pemikiran dan sastra Arab di Indonesia. Berangkat dari perbincangan tokoh, budaya, hingga karya sastra yang kemudian banyak mempengaruhi karya sastra di Nusantara. LIFEs 2021 dibuka dengan Bintang-Bintang di Bawah Langit Jakarta yang menampilkan Usman Arrumy, Heru Joni Putra, Sasti Gotama dan Andre Setiawan, para sastrawan yang dalam beberapa tahun belakangan ini telah menghasilkan karya-karya menarik dan tercatat dalam beberapa penghargaan sastra di Indonesia. Bersama Sakdiyah Ma’ruf yang menampilkan komedi tunggal, empat sastrawan ini membacakan karya-karya mutakhir mereka dalam pembukaan LIFEs Bintang-Bintang di Bawah Langit Jakarta.

Tak hanya pembacaan karya, LIFEs juga menghadirkan lokakarya Goresan Kaligrafi dalam Bait-Bait Puisi bersama Boby es-Syawal el-Iskandar. Belajar menulis kaligrafi bisa membentuk kemahiran gerakan tangan, melatih kesabaran, ketenangan dan kreativitas diri. Di lokakarya ini peserta belajar menulis kaligrafi dari penggalan syair Abu Nawas, sajak Mahmoud Darwish dan Umru al-Qais. Lokakarya ini terbuka untuk semua kalangan, para peserta bisa menggunakan alat tulis dan media yang mudah dan sederhana untuk menulis kaligrafi.

Pembahasan tentang urusan dagang, pertemuan masyarakat Arab dengan Nusantara yang diiringi dengan akulturasi agama dan kebudayaan, khususnya sastra dihadirkan dalam seminar Identitas Arab dan Wajah Kita bersama Ulil Abshar Abdalla dan Zacky Khairul Umam. Seminar ini membahas pengaruh kesusastraan Arab pramodern pada bentuk-bentuk sastra yang ditulis oleh kaum santri, terutama dalam bahasa Melayu dan Jawa. Seminar ini juga mengangkat pengaruh modernisasi pada kebudayaan Arab dan bagaimana pembacaan kita pada kesusastraan Arab yang ditulis di zaman modern. Seminar tersebut adalah salah satu rangkaian seminar berseri dengan tajuk Sastra Arab dan Gemanya pada Kita. Menghadirkan pula peneliti-peneliti muda dengan temuan termutakhir dan menggali serta menelusuri kompleksitas masalah dan kekayaan intelektual dari khazanah kesusastraan Arab dan pengaruhnya ke khazanah sastra dan pemikiran di Nusantara. Dibagi dalam lima sesi, tema seminar LIFEs 2021 mengangkat beragam persoalan menarik berdasarkan apa yang mungkin kita pahami sekaligus keliru dalam kebudayaan Arab yang hadir di Nusantara. Pembicara seri ini di antaranya adalah  Adib M. Islam, Muhammad Aswar, Neneng Nurjanah, Nuruddin Al Akbar, Rosida Erowati, Akhmad Idris, Lilis Shofiyanti, Frengki Nur Fariya Pratama, Mashuri, Rofiq Hamzah, Abdullah Maulani, Rahmatia dan dipandu oleh kurator tamu LIFEs 2021, Hamzah Muhammad. 

Program Ceramah Kunci juga dihadirkan dalam LIFEs 2021, dengan tajuk Sastra, Islam, dan Keragaman di Nusantara yang dipaparkan oleh Oman Fathurahman. Khazanah kesusastraan Arab (dan Persia) muncul seiring dengan masuknya Islam ke Nusantara sejak akhir abad ke-8. Sastra sebagai bagian dari kehidupan intelektual muslim adalah juga bagian yang terserap menjadi salah satu penanda peradaban Melayu-Islam Nusantara. Ceramah kunci ini memaparkan bagaimana proses penyerapan pengaruh sastra Arab dan Persia hingga ia menjadi sebuah karya baru dalam khazanah Melayu klasik. Lebih luas, bagaimana hal tersebut menciptakan sebuah keragaman budaya di Nusantara.

Selain membicarakan kesusastraan Arab, dalam program ini kita juga diajak membicarakan dua pemikir tentang Islam di Nusantara yang memiliki pandangan berbeda. Hamka dan Muhammad Radjab adalah dua penulis dari Sumatra Barat yang berkarya pada periode yang hampir bersamaan. Tapi pergulatan pemikiran mereka tentang islam, adat Minangkabau dan modernisme memiliki perbedaan dan pertautan. Sesi ini membicarakan bagaimana Hamka dan Radjab mengambil posisi selaku muslim pemikir dan membagi sikap antara yang-agama dan yang-kultural. Sesi diskusi bertajuk Hamka dan Muhammad Radjab: Pergulatan Adat, Modernisme, Agama ini menghadirkan penulis Heru Joni Putra dan Sudarmoko. Sesi diskusi tentang pemikir Islam di Indonesia ini dirangkum dalam seri diskusi Klasik nan Asyik. Beberapa pemikir Islam di Indonesia yang dibicarakan di antara Ali Audah, Mustofa Bisri dan D. Zawawi Imron. 

Pembicaraan tentang kompleksitas komunitas Arab di Indonesia sebagai pemaknaan terhadap identitas dan kritik terhadap politik identitas juga dihadirkan dalam acara ini melalui dua pembicara, Sakdiyah Ma’ruf dan Zeffry Alkatiri. Zeffry Alkatiri (sastrawan) kerap menulis sajak dan esai mengenai tema ini, terutama keberadaan komunitas Arab Hadrami di Indonesia. Sakdiyah Ma’ruf (aktivis dan komedian) memanfaatkan medium baru, yaitu stand-up comedy untuk membagikan pengalaman personalnya sebagai perempuan yang lahir dan tumbuh di komunitas Arab. 

Tak hanya menghadirkan pembicara, penulis dan peneliti dalam negeri, Salihara juga menghadirkan pembicara dari mancanegara. Dikemas dalam program Bincang Sastrawan yang menghadirkan Ibtisam Barakat (Palestina-Amerika Serikat), Navid Kermani (Jerman-Iran), dan Milton Hatoum (Brasil). LIFEs 2021 juga menghadirkan peluncuran buku Albert Camus: Tubuh dan Sejarah karya Goenawan Mohamad. Buku ini adalah riset baru tentang pemikiran Albert Camus dari sudut yang berbeda. Ide Camus tentang keadilan tidak berasal dari argumen filosofis melainkan dari pengalaman penderitaan. Camus berbicara tentang kelas, bukan etnis dan identitas. Karya Goenawan Mohamad ini menegaskan kembali rasa solidaritas Albert Camus dengan penderitaan masyarakat Arab. 

Setelah asyik membicarakan pengaruh khazanah kesusastraan Arab di Indonesia melalui seri diskusi, seminar, lokakarya, dan ceramah kunci, LIFEs 2021 Arab Asyiq ditutup dengan pertunjukan musik bertajuk Lintas Raso yang menampilkan METAdomus dengan komposer Syahrial Tando. METAdomus (METAMORFOKA-Indonesian Music) adalah kelompok musik asal Minangkabau. Berbasis musik tradisi, METAdomus menggabungkan berbagai macam alat dan nuansa musik untuk menghasilkan musik kontemporer. METAdomus menampilkan perpaduan dua nuansa musik: Arab dan Minangkabau melalui instrumen Hulusi, Biola, Darabuka, dan gambus. 


Seperti apa topik dan perbincangan menarik lainnya dalam LIFEs 2023 mendatang? Tema apa yang akan dihadirkan di tahun tersebut? Ikuti info selengkapnya di salihara.org.

web banner-salihara jazz buzz 2024-1920x1080

Tawaran Progresif dalam Musik Jazz
Melalui Salihara Jazz Buzz 2024

Teater Salihara, 24-25 Februari & 2 Maret 2024

 

Jakarta, 10 Februari 2024 – Mengawali 2024 dengan penuh antusias, Komunitas Salihara Arts Center menggelar festival musik jazz progresif dalam gelaran Salihara Jazz Buzz. Salihara Jazz Buzz rutin menampilkan pilihan genre, komposisi dan presentasi konsep musik baru setiap tahunnya. Tahun ini; Jazz Buzz menampilkan tiga musisi pilihan Undangan Terbuka yakni; A6 Ensemble, Borderline, dan Riki Danni. Ketiganya dipilih karena dapat memberikan tawaran baru dalam jazz tanah air selaras dengan visi/misi Salihara Jazz Buzz menurut pertimbangan para Dewan Juri.

Kurator Musik dan Tari Komunitas Salihara, Tony Prabowo mengatakan bahwa jazz dalam kehidupan musik di Indonesia menjadi salah satu genre musik yang banyak peminatnya dan Salihara hadir untuk memberikan tawaran kebaruan akan hal tersebut. Selain tawaran yang menarik, ketiga musisi jazz pilihan ini juga hadir dari latar belakang pendidikan yang menarik, 

“Ketiga grup ini terlihat menonjol di antara yang lain karena ketiganya mempunyai latar belakang pendidikan yang cukup baik, sekalipun mereka jelas harus bekerja keras untuk menambah pengalaman bermain, khususnya menyerap dan berjuang untuk mencari estetika baru pada karya-karya mereka.”

 

Tentang penampil dan musik yang dibawakan:

 

Penampil: Riki Danni | Sabtu, 24 Februari 2024 | 20:00 WIB

Riki merupakan seorang saksofonis dan komponis asal Indonesia. Ia terinspirasi dari musisi-musisi seperti Jaubi, Braxton Cook, Shubh Saran, Guernica Quartet, dan SOIL & “PIMP”. Riki gemar menciptakan karya-karya fusion jazz yang memiliki unsur-unsur etnis mancanegara dan elektronik, sebagai usaha untuk menghadirkan musik yang keluar dari kosabunyi jazz tradisional.

Musik: Principles

Principles adalah karya musik orisinil Riki Danni yang dikemas dengan gaya musik fusion jazz dan terinspirasi dari sejumlah konsep musik etnis, terutama dari Jepang, Eropa, dan Timur Tengah. Ia menggabungkan elemen-elemen musik elektronik dengan berbagai pengaruh budaya tersebut untuk menyampaikan narasi tentang pencarian jati diri. Tiap karya musik yang ditampilkan mengangkat narasi sebuah filosofi atau prinsip hidup tertentu, sekaligus mengajak penonton untuk mempertanyakan validitasnya. Pertunjukan musik ini dibawakan dalam format ensambel berisi saksofon, flute, gitar, keyboard, bas elektrik, perkusi, dan drum. Karya ini diwarnai dengan permainan improvisasi dari tiap instrumen sepanjang pertunjukkan.

 

Penampil: A6 Ensemble | Minggu, 25 Februari 2024 | 16:00 WIB

 

A6 Ensemble merupakan sebuah grup musik Instrumental Ethnic Fusion yang lahir di Yogyakarta pada pertengahan 2019. Perjalanan A6 Ensemble dimulai saat menjadi penampil pada pameran tunggal I Nyoman Sukari dan memperkenalkan diri sebagai A6 Percussion. Dengan fokus awal bermain perkusi, nama A6 diambil dari ukuran pada stik drum dan terbentuk untuk mengisi acara kesenian seperti pameran dan pertunjukan. Seiring berjalannya waktu, nama A6 Percussion kemudian diubah menjadi A6 Ensemble, dengan alasan adanya perubahan formasi yang tidak hanya fokus pada permainan perkusi saja.

Pada akhir 2019 hingga sekarang, A6 Ensemble mulai merambah ke penciptaan karya musik instrumental yang lebih serius dengan menentukan visi dan misi grup musik ini. Setelah melalui perjalanan panjang, pada Februari 2022 A6 Ensemble berhasil meluncurkan single pertama yang berjudul “LAGAS”. Pada akhir 2022, A6 Ensemble kembali merilis single kedua dengan judul “HOPE”. Karya-karya ini dapat didengarkan di seluruh platform musik digital.

 

Musik: A Resting Place

A Resting Place mengajak penonton untuk merefleksikan bunyi-bunyi tematik dari karya A6 Ensemble. Ide melodi utama dari karya-karya A6 Ensemble mencoba merepresentasikan suasana yang dialami oleh personilnya mulai dari suka cita, perasaan sedih, bahagia, haru serta refleksi mengenai perjalanan grup ini. A6 Ensemble akan membawakan pertunjukan musik jazz dengan konsep yang diadaptasi dari gagasan konsep film dan seni pertunjukan, yaitu naratif dan performatif. Naratif merujuk pada suatu bentuk skenario yang menawarkan cara pandang baru untuk menikmati musik instrumental. Konsep naratif akan dikemas dalam bentuk booklet yang berisi skenario mencakup judul dan narasi tiap karya yang akan ditampilkan pada Salihara Jazz Buzz 2024, tanpa memiliki kesinambungan dengan urutan karya saat ditampilkan. 

Konsep performatif mengacu pada aksi atau pertunjukan yang tidak hanya menyajikan suatu karya tetapi juga bertindak sebagai ekspresi seni dan identitas. A6 Ensemble mengedepankan unsur dinamika pertunjukan dalam sebuah pementasan. Selain itu, A6 Ensemble akan menghadirkan kolaborasi antara performance art, visual mapping, tata cahaya, dan gimik di atas panggung.

 

Penampil: Borderline | Sabtu, 2 Maret 2024 | 20:00 WIB

Borderline adalah grup jazz asal Indonesia yang terbentuk pada 2022 dan terdiri dari empat musisi muda internasional berusia 20–25 tahun, yaitu Muhammad Rega Dauna (harmonika), Brandon Julio (bas), Michael Ananda (gitar), dan Timoti Hutagalung (drum). Nama “Borderline” digunakan karena para anggotanya tinggal di perbatasan kota. Borderline memulai kariernya dengan bermain jazz di bar Jakarta. Borderline mulai tampil pada gigs kecil di Jakarta Selatan, kemudian tampil pada festival-festival besar seperti Ngayogjazz, Suara Festival, Java Jazz, dan Esplanade’s Jazz. Mereka juga mewakili Indonesia dalam Europe Tour 2022. Selama Europe Tour pada Agustus–Oktober 2022, Borderline menggelar konser jazz di 11 negara. Borderline merilis CD edisi Eropa berjudul “Eye of The Universe”, yang terdiri dari lima lagu berjudul Jakarta City, Blackrose, Gray Sun, Eye of The Universe, dan Ana Maria oleh Wayne Shorter.

 

Musik: Eye of The Universe

Eye of The Universe adalah judul album (juga pertunjukan) dari Borderline yang berisi musik-musik original yang diciptakan oleh masing-masing anggota dan dirombak kembali bersama-sama. Judul tersebut terinspirasi oleh bulan purnama yang mewujudkan sebuah mata. Eye of The Universe berfilosofi bahwa di atas langit masih ada sesuatu yang lebih agung, yang menyaksikan segala baik dan buruk. Eye of The Universe juga berarti bahwa di setiap gelap selalu ada terang. 

Secara musikal karya-karya di dalam Eye of The Universe terinspirasi dari musisi jazz seperti Herbie Hancock, Chic Corea, Spirit Fingers, dan Pat Metheny, dengan warna musik yang dipengaruhi oleh genre latin jazz, european jazz, fusion, polyrhythmic music, dan odd meter music. Karakter dari setiap anggota yang berbeda dan telah dipadukan dalam satu kesatuan musik akan menciptakan nuansa yang lebih luas.

Untuk dapat merasakan pengalaman mendengarkan secara langsung pengunjung bisa melakukan pemesanan via tiket.salihara.org dengan harga Rp. 110.000 (umum) dan Rp. 55.000 (pelajar/mahasiswa).

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________ 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

jokpin

Antara Senyum dan Renungan
Berpijar Kata dan Luka

Obituari Joko Pinurbo

 

Joko Pinurbo (Sukabumi, 11 Mei 1962-Yogyakarta, 27 April 2024) adalah anak kandung puisi Indonesia. Ia mengambil hampir semua kekuatan penting puisi Indonesia untuk membangun puisi-puisinya. Namun, ia kemudian menemukan jalan kepenyairannya yang khas dengan melahirkan puisi-puisi berwatak ganda: serius sekaligus lucu. Itulah yang membuat ia segera terbedakan dari penyair-penyair generasi sebelumnya yang telah menjadi sumber penciptaan puisi-puisinya.

Jika ia menyajikan humor yang memancing tawa—atau sekadar sunggingan senyum—sebenarnya itu hanyalah siasat sang penyair untuk mengajak pembaca memikirkan sesuatu di antara yang lucu-lucu sebelumnya. Puisi humornya hampir selalu dikunci dengan satu-dua larik yang menyadarkan pembaca bahwa tersenyum hanyalah momen pembebasan sesaat sebelum akhirnya pembaca harus selalu menyadari betapa hidup itu absurd dan derita menjadi tanpa batas. 

Puisi berwatak ganda seperti ini adalah khas Joko Pinurbo. Jika kita membandingkan puisi-puisinya dengan “puisi mbeling” yang diperkenalkan oleh Remy Sylado pada awal 1970-an, misalnya, kita akan segera menemukan perbedaan yang mencolok. Puisi mbeling memang berpretensi bermain-main, meledek yang kelewat serius, dengan protes di sana-sini, banal, lucu pun bisa. Kala itu ia menjadi guncangan satu-satunya untuk puisi lirik berbahasa Indonesia dan karenanya ia menjadi bernilai. Dan ia berhenti sampai di situ.

Sementara puisi-puisi Joko Pinurbo mengembalikan watak lain puisi, yaitu perenungan, yang sebelumnya telah ditolak puisi mbeling. Joko Pinurbo seakan-akan hendak menetapkan bahwa sifat bermain-main itu sudah harus dihentikan dan kita kembali kepada perenungan tadi, meski tindakan itu sendiri tidak diniatkan untuk menyelesaikan persoalan yang ada. Ia menghendaki pembacanya bersikap kritis dengan hati yang jembar; kembali kepada kepada hidup yang penuh masalah, dengan tidak gampang menyerah.

Untuk mencapai semua itu Joko Pinurbo mengambil, setidaknya, dua model utama: puisi lirik Sapardi Djoko Damono dan puisi balada Rendra. Dari Sapardi Joko Pinurbo menyerap kemahiran memainkan citraan dan bunyi, teka-teki dan melankoli—imajisme secara keseluruhan. Pada sajak-sajak awalnya Joko Pinurbo bahkan seperti mengulang begitu saja model persajakan Sapardi itu. Dalam kasus ini, Joko Pinurbo juga sesekali memainkan kembali jukstaposisi dan disonansi yang tajam yang sebelumnya kerap kita temukan dalam puisi-puisi Goenawan Mohamad.  

Sementara melalui langgam puisi balada Joko Pinurbo menghidupkan kembali tokoh-tokoh kecil dan ganjil dari kehidupan keseharian kita. Jika dalam puisi-puisi balada Renda tokoh-tokoh ini cenderung dipahlawankan, dimuliakan karena perlawanan mereka atas kebiadaban yang mengungkung mereka, maka-puisi dalam puisi Joko Pinurbo mereka hampir selalu berwatak “antiwira”. Joko Pinurbo memasang orang kecil yang tidak termasuk dalam statistika kota atau benda-benda keseharian yang selama ini tidak direken sebagai benda puitik—awalnya, celana, kelak, telepon genggam. 

Jika orang-orang kecil yang tertindas dibela habis-habisan oleh sajak-sajak protes—melalui sosok Rendra dan Wiji Thukul, misalnya—dalam sajak-sajak Joko Pinurbo, sebaliknya, orang-orang kecil yang menderita itu justru diledek habis-habisan, tanpa pembelaan sama sekali. Bukan sekali dua, ledekan itu mengarah kepada penyairnya sendiri. Dengan humor getir seperti ini Joko Pinurbo mengajukan “puitika cemooh” (Ralph M. Rosen, Making Mockery: The Poetics of Ancient Satire, 2007) yang jitu, yang hampir tidak pernah kita dapatkan dalam puisi Indonesia sebelumnya.

Sasaran cemooh itu juga kadang-kadang bergeser ke sosok-sosok dalam kehidupan iman Katolik. Sejatinya, sudah sejak awal, sebagai seorang penganut Katolik Joko Pinurbo mengolah kembali fragmen-fragmen Alkitab, terutama Perjanjian Baru, di seputar kehidupan Yesus, Maria dan Maria Magdalena. Dengan cara ini ia secara tidak langsung hendak mengajak kita untuk melenturkan sikap keagamaan kita, yang selama ini kelewat banyak tegang karena pelbagai gesekan dan lain-lainnya. 

Lebih jauh lagi, Joko Pinurbo juga mempersoalkan kembali tubuh manusia. Tubuh manusia—hampir seluruhnya penggambaran tubuh manusia ini mengacu kepada tubuh penyair yang tipis-ringkih—bukan sekadar bangunan biologis, tetapi medan penciptaan dan penafsiran kembali akan dunia luas. Tubuh dalam puisi-puisi Joko Pinurbo adalah medan yang telah dibersihkan, sebisa mungkin, dari erotisme. Jika pun ia menyerempet ke arah erotisme, sebetulnya itu hanyalah sejenak sebelum akhirnya ia menjelajahi kegetiran dan absurditas hidup melalui fenomena tubuh di atas ranjang atau tubuh di atas beca dan kuburan.

Celana (1999) adalah buku puisi Joko Pinurbo yang memberikannya ketetapan bahwa humor, juga kontemplasi dan kritik sosial, bisa berjalan bersamaan dalam puisi-puisinya. Di sini pengucapan puisi bukan ditentukan oleh hasrat penyair untuk menyadarkan pembaca agar bersikap kritis sebagaimana penyairnya—sebagaimana telah kita alami pada banyak puisi protes—sebaliknya untuk memberikan kita kesempatan untuk menginterogasi diri kita sendiri, untuk meledeknya, dan dari sana siapa tahu kita beroleh pencerahan baru, mencapai jiwa yang tersucikan. 

Buku-buku puisi Joko Pinurbo selanjutnya tidak banyak bergerak dari wilayah tematik yang telah ia bangunkan dalam Celana. Memang, pada tahun-tahun terakhir kepenyairannya ia mencoba menjadi penyair yang akomodatif, terbarukan, cepat tanggap, dengan menjelajahi tema-tema yang berkisar di media sosial atau sejenisnya. Ia juga menerbitkan sejumlah buku puisi dengan tema terkait. Tetapi, kekuatan puitika Joko Pinurbo justru masih bertahan pada buku-buku puisinya yang awal. 

Sepanjang itu, yang mesti dipujikan adalah bahasa Indonesia Joko Pinurbo yang jernih, sehingga membuat puisi-puisinya selama ini terbebas dari godaan “puisi gelap” yang pernah merebak pada dasawarsa 1990-an. Ia adalah penyair yang sadar diri bahwa bahasa Indonesia mesti diberdayakan terus agar penyair bisa menemukan pengucapan-pengucapan baru. Bahkan, ada waktunya ia menulis puisi-puisi yang berkaitan dengan pergaulannya dengan bahasa Indonesia yang telah menjadi bahasa utama puisi-puisinya. 

Joko Pinurbo telah mendapatkan sejumlah penghargaan sastra melalui buku puisi dan kiprahnya selama ini. Yang terakhir adalah Penghargaan Achmad Bakrie 2023 untuk Kesusastraan. Berkali-kali pula ia diundang ke festival sastra di Indonesia dan mancanegara. Ia pernah pula tampil di Komunitas Salihara sebagai penyair dan pengampu kelas penulisan puisi dalam Bienal Sastra Salihara 2015.

 

Selamat jalan, Joko Pinurbo.

20240213-kf

Sekilas tentang Kritik Heidegger
pada Cara Berpikir Modern-Teknologis

Keseharian manusia berjalan semakin bising dan pesat, beberapa kebutuhan manusia telah terakomodir oleh teknologi yang semakin canggih. Fenomena ini muncul di tengah masyarakat kontemporer. Martin Heidegger, seorang filsuf Jerman abad ke-20 dan sering dianggap sebagai filsuf kontroversial, menawarkan kritik yang mendalam terhadap cara berpikir modern-teknologis yang menjadi landasan bagi perkembangan masyarakat kontemporer. Menurut Heidegger, teknologi tidak hanya menjadi alat atau instrumen bagi manusia, tetapi lebih dari itu, teknologi telah sampai pada fase menentukan cara pandang manusia terhadap dunia. Heidegger menyoroti bahwa kita cenderung memandang teknologi hanya sebagai alat yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tanpa mempertimbangkan dampak filosofis dan eksistensial yang lebih dalam.

Salah satu konsekuensi utama dari pandangan teknologis ini adalah alienasi manusia. Dalam mengejar kemajuan teknologi, manusia cenderung melupakan hubungannya dengan alam dan makna yang lebih dalam tentang kehadirannya di kehidupan. Heidegger menunjukkan bahwa kesadaran akan keterbatasan manusia dan ketergantungan mereka pada alam semakin terkikis oleh dominasi teknologi. Manusia mulai kehilangan makna dalam kehidupan manusia itu sendiri, karena teknologi tidak mampu memberikan jawaban atas pertanyaan eksistensial yang mendasar. 

Untuk menghadapi itu semua, Heidegger menawarkan konsep Dasein, bahwa manusia sejatinya memiliki kemampuan untuk menyadari diri sendiri dan menjadi sadar akan keberadaannya sendiri, dalam hal ini termasuk keberadaan manusia di dunia dan interaksinya dengan lingkungan. Untuk mengurai bagaimana manusia mampu menyadari keberadaannya, maka dibutuhkan pertanyaan-pertanyaan seperti “mengapa manusia ada?”, “mengapa manusia tiada?”, “apa posisi manusia di dunia ini?”, “apakah keberadaan manusia di dunia ini terbatas?”. Heidegger juga menawarkan konsep Aletheia (ketaktersembunyian). Istilah Aletheia merujuk pada penyingkapan tak henti realitas dari persembunyiannya. Manusia perlu memiliki upaya untuk menciptakan lingkungan yang memfasilitasi pengalaman kebenaran dan kehadiran yang otentik. 

Dalam dunia yang dikuasai oleh teknologi, manusia seringkali terjebak dalam kesibukan dan nyaris terperangkap dalam dunia digital yang mengaburkan pengalaman langsung dengan dunia nyata. Heidegger menyarankan agar kita kembali kepada pengalaman otentik, di mana kita dapat merasakan kehadiran diri kita sendiri dalam hubungan yang lebih intim dengan alam dan sesama manusia. Melalui kritiknya terhadap cara berpikir modern-teknologis, Heidegger mengajak kita untuk merefleksikan kembali hubungan kita sebagai makhluk hidup dengan teknologi dan alam. 

Urai lebih lengkap bagaimana kritik Heidegger atas cara berpikir modern-teknologis dalam Kelas Filsafat Salihara putaran pertama, Heidegger: Akar Filsafat Ilmu, yang juga akan membahas perspektif “akar heideggerian” untuk memahami perkembangan Filsafat Ilmu sejak tahun 1920 – 1970-an. Kelas Filsafat kali ini akan diampu oleh A. Setyo Wibowo dan F. Budi Hardiman. 

Screenshot 2024-01-29 142743

Obituari Ignas Kleden

Ignas Kleden adalah seorang intelektual yang tajam melancarkan kritik terhadap kinerja kaum intelektual itu sendiri. Kegemaran para cendekia kita untuk ramai-ramai berkomentar tentang isu-isu sosial-politik, bagi ia, adalah salah satu tanda bahwa mereka bukan mengerjakan gagasan, tetapi bermain-main dengan gagasan; bukan berdiskusi, tetapi mengobrol, bila bukan bergosip. Terhadap keterlibatan mendalam kaum ilmuwan sosial dalam kerja pembangunan, atau proyek modernisasi pada umumnya, ia mengingatkan bahwa “relevansi sosial” demikian justru membuat ilmu-ilmu sosial kehilangan dimensi ilmiahnya, dan dengan begitu sebenarnya juga memperkecil dampaknya dalam perubahan sosial.

Kepada kaum intelektual publik dan ilmuwan sosial, baik yang di kiri maupun yang di kanan, yang kerap menganggap diri garda depan perkembangan sosial, ia menyatakan bahwa kinerja ilmu-ilmu sosial (juga humaniora, ilmu hukum dan ilmu ekonomi), termasuk “indigenisasi”-nya di Indonesia, hanya akan berlaku baik bila para eksponennya menjalankan sikap waspada yang bersisi tiga. Yang pertama, ialah sisi epistemologis, yang memeriksa dasar-dasar kebenaran disiplin yang bersangkutan; yang kedua, ialah sisi historis, yang menunjukkan bahwa nilai “universal” yang teranut sesungguhnya hasil dari konteks sejarah yang bersifat khusus; yang ketiga adalah sisi etis, yang akan mengingatkan apakah kiprah yang bersangkutan adalah mencari kebenaran atau sekadar menjadi alat bagi ideologi dan kekuasaan.

Semua tulisan Ignas Kleden, untuk memakai ungkapannya sendiri, adalah kritik kebudayaan. Namun ia adalah intelektual yang begitu langka di Indonesia. Ia bukan hanya fasih memperkarakan perihal kebudayaan umum, tetapi menukik ke lingkup yang lebih spesifik: ia menulis kritik sastra. Di ranah kesastraan ini pun, ia menempuh jalan yang tersendiri. Sangat berbeda dengan sebagian besar kritikus sastra Indonesia, Ignas membuktikan bahwa karya sastra membuat makna yang terbaik bagi pembaca justru dengan berpisah dari konteks sosialnya dan dari niat si pengarang. Ia juga menunjukkan bahwa kekeliruan kritik sastra ilmiah ialah penerapan “teori” secara doktriner dan tanpa penghayatan.

Ia pernah hadir berbicara di Komunitas Salihara pada forum Kuliah Umum: Pramoedya dan Pemikiran Kebangsaan, 2011.

Buku-buku Ignas Kleden adalah Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan, Fragmen Sejarah Intelektual, dan Indonesia Sebagai Utopia. Ia lahir di Larantuka, Flores Timur, pada 19 Mei 1948, dan berpulang di Jakarta pada 22 Januari 2024.

abdulhadi

Abdul Hadi W.M.
Yang Remang, Yang Bernilai

Sebagai penyair Abdul Hadi W.M. (24 Juni 1946–19 Januari 2024) dikenal sebagai penyair sufistik. Tetapi, sebenarnya, itu adalah perkembangan yang lebih kemudian. Sajak-sajak awalnya melanjutkan—jika bukan memberi warna lain—tradisi puisi lirik yang sebelumnya telah diperkokoh oleh Goenawan Mohamad dan Sapardi Djoko Damono. Tilikannya terhadap alam (laut dan alam dan budaya Madura, misalnya) membuat sajak-sajaknya terasa menonjolkan lanskap alam yang sebelumnya tidak digarap oleh para penyair lirik sebelumnya.

Sapardi Djoko Damono dalam sebuah ulasannya tentang buku puisi Abdul Hadi Laut Belum Pasang (1969) menulis bahwa puisi-puisi Abdul Hadi “bermula dengan keremang-remangan dan berakhir pada keremang-remangan; suasana yang remang-remang yang muncul dari alam, alam yang lahir dari suasana yang remang-remang.” Jika kita bersepakat pada pendapat Sapardi, maka pada sajak Abdul Hadi yang menarik perhatian adalah sesuatu yang tidak jelas benar, antara ini dan itu—semacam suasana kebimbangan dalam sajak-sajak Goenawan Mohamad. 

Atau, disonansi yang kelewat kerap dalam satu bait yang membuat bangun puisinya secara keseluruhan kehilangan fokus dan kedalaman.

Tentu saja, yang remang-remang itu bukanlah yang gelap. Pada tampakan yang paling nyata, ia masih menampilkan panorama benda-benda atau bentang alam. Aku lirik puisi-puisi Abdul Hadi selalu kesulitan mengenali sesuatu dari pemandangan di depannya. Dalam sajak “Amsal Seekor Kucing”, rumusannya begini: “Selalu tak dapat kulihat kau dengan jelas/ Padahal aku tidak rabun dan kau tidak pula bercadar.” Yang kabur di situ pada akhirnya yang menimbulkan pesona.

Lebih dari itu, Abdul Hadi memasang penilaian yang kadang-kadang melampaui penampakan sesuatu dalam puisi. Terutama, ketika ia menarik penilaiannya kepada pernyataan filosofis atau menguncinya dengan satu dalil agama yang diambil dari Kitab Suci. Pernyataan filsafat atau politik itulah yang kemudian membuat sajak-sajak Abdul Hadi kehilangan spontanitas pengucapannya. Ia tersendat, misalnya, oleh pemikiran atau komentar sosial yang pada satu masa menjadi menu menarik puisi Indonesia juga.

Pada akhirnya Abdul Hadi mengerjakan semuanya untuk puisi-puisinya itu. Bukan hanya puisi suasana, sajak sufistik, tetapi juga puisi protes atau renungan kepada khazanah budaya Jawa yang menjadi akarnya. Ia berusaha menjadi penyair yang lengkap—sebagaimana bidang pekerjaan yang dia geluti selama ini. Begitulah, selama hidupnya, Abdul Hadi menjalani profesi yang beragam. Selain sebagai penyair, ia juga menulis esai, pernah bekerja sebagai wartawan, anggota Dewan Kesenian Jakarta, redaktur, kurator dan dosen. Pada Jumat, 19 Januari lalu ia berpulang.

Menilik Kartono Yudhokusumo: Gaya dan Cerita

“Saya tidak pernah kecewa karena saya tidak pernah mengharapkan apa pun.” 

Itulah sepenggal kalimat Kartono Yudhokusumo, seorang pelukis modern yang bakatnya sudah diakui sejak usia muda. Terbukti dalam pemberitaan harian Jawa Nippo (sebuah harian Jepang) pada 13 Agustus 1934, pelukis Jepang; Chiyoji Yazaki mengakui bakat seorang laki-laki dari Jawa berusia kira-kira 10 tahun yang diharapkan akan memiliki masa depan yang baik. Chiyoji Yazaki merupakan guru dari Kartono Yudhokusumo yang karya-karyanya bisa dilihat di Galeri Salihara hingga 21 Januari 2024 mendatang.

Dalam rangka mengapresiasi karya dan Kartono secara ketokohan, Komunitas Salihara menggelar sebuah pameran karya dan arsip dengan tajuk Kartono Yudhokusumo: Karya dan Arsip yang dikuratori oleh Amir Sidharta dan Asikin Hasan. Untuk mengenal sosok maestro seni rupa Indonesia tersebut, sebuah diskusi pun diadakan di Studio Musik Salihara pada 13 Desember lalu, menghadirkan Danuh Tyas Pradipta (Penulis dan Peneliti) dan Sally Texania (Seniman dan Kurator) yang membahas Kartono Yudhokusumo dari sisi kesejarahan hingga gaya lukisannya.

 

Kartono dan Linimasa Hidupnya

Diskusi dibuka oleh Danuh Tyas Pradipta yang banyak mengambil referensi dari penelitiannya yang ia tulis dalam Pusaka Seni Rupa pada 2017. Dalam temuannya, Kartono merupakan sosok yang sulit ditelusuri akibat minimnya referensi serta koleksi karyanya yang terbatas; walau dalam pandangan Danuh, Kartono adalah sosok yang menarik meski tak sepopuler S. Sudjojono dan Affandi (pelukis modern sezaman). Meski jarang disebut, kemampuan melukis Kartono dipuji sangat tinggi oleh S. Sudjojono yang juga merupakan gurunya sendiri,

“Meskipun Kartono tetap tinggal dalam bentuk biasa dalam gambar-gambarnya, tetapi anak yang baru berumur 19 tahun ini sudah gatal tangannya mulai mengubah warna-warna alam dengan kehebatan rasa ciptanya. Dengan warna, dia mulai terasa getar rasa cipta yang benar meskipun bentuk tetap konsekuen dihormatinya.” petikan S. Sudjojono ini yang dikutip oleh Danuh dalam paparannya mengenai bakat Kartono.

Paparan Danuh fokus terhadap sejarah Kartono secara kronologis. Dimulai dari pujian-pujian para seniornya tentang bakat sang pelukis di usia muda, hingga bagaimana Kartono hidup dengan menjual sketsa di Solo sebagai mata pencaharian. Pada 1952, Kartono pindah ke Bandung dan di tahun inilah Kartono menemukan gaya lukis dekoratifnya. Kartono juga mendapat hibah dari pemerintah sehingga ia dapat mendirikan sanggar seniman di sana.

Selama di Bandung, Kartono dianggap sebagai satu-satunya seniman yang berhasil di era tersebut (1954) dan menjadikan pusat kesenian Bandung bukan berasal dari Akademi Seni Rupa Bandung saja melainkan ada juga yang dari sanggar yang Kartono dirikan. 

Kekaryaan Kartono begitu singkat, ia meninggal di usia yang terbilang muda (33 tahun) akibat kecelakaan motor. Ia memang terkenal dengan motor Harley andalannya dan kerap merekam perjalanannya lewat lukisan yang ia ciptakan. Kusnadi–salah satu pelukis sezaman–mengatakan lukisan Kartono bukan sekadar alam tapi juga menceritakan kehidupan pribadinya di dalam lukisan tersebut. 

Danuh, di akhir paparan menyimpulkan mengapa Kartono sebagai pelukis yang menerima banyak pujian tersebut bisa tidak terkenal terletak dalam pribadi Kartono itu sendiri. Sebagai pelukis dia adalah orang yang low profile, tidak pernah diwawancara, dan tidak menulis sehingga mencari catatan lengkap mengenai dirinya begitu sulit di masa sekarang.

 

Melihat Barat Melalui Timur 

Diskusi beralih ke pemaparan Sally Texania yang ingin membahas hipotesis mengenai gaya Kartono yang (diduga) mengadaptasi gaya lukisan Barat yang diterjemahkan kembali oleh seniman-seniman Timur (Jepang). Sally membuka diskusi dengan menampilkan karya Kartono pada 1934 dengan judul Pemandangan.

Kartono Yudhokusumo, “Pemandangan”, 1934.

 

Lewat lukisan ini Sally berimajinasi terhadap perkembangan seni rupa di zaman tersebut. Ia menarik dari sejarah perkembangan seni rupa Jepang yang saat itu mengalami transfer budaya besar pada masa restorasi Meiji. Pengaruh Barat ini dibawa oleh guru-guru lukis Jepang yang belajar di Barat. Salah satu yang memopulerkan gaya Barat di Jepang adalah pelukis bernama Kuroda Seiki dengan gaya plein airism; yakni sebuah pendekatan lukis di ruang terbuka dan terpengaruh oleh impresionisme Prancis. Kuroda sendiri merupakan guru dari C. Yazaki yang kita tahu merupakan guru gambar dari Kartono Yudhokusumo.

Yazaki mulai melukis di Indonesia pada 1934 dan turut mengajar para pelukis muda Indonesia di sana. Hal ini mengindikasikan bahwa gaya plein airism ini juga sudah masuk di Indonesia di awal 1930-an. Paparan dilanjutkan dengan sebuah foto perbandingan antara lukisan Kartono dan Yazaki yang membuat Sally menduga adanya praktik lukis Kartono terpengaruh oleh gurunya tersebut.

Ada beberapa ciri dalam plein airism yang ditemukan Sally lewat lukisan Kartono yang ia temukan dan kecenderungan tersebut juga ditemukan dalam lukisan C. Yazaki seperti pola menggambar cepat, komposisi warna, dan titik hilang yang sama. Seniman lain yang juga terpengaruh gaya ini adalah Affandi dan Hendra Gunawan di 1941.

Pengaruh Timur yang melihat Barat dalam lukisan Kartono juga terlihat dalam karya-karya potret. Jejak kekaryaannya tidak hanya memberikan praktik dari satu seniman saja, tapi juga melihat berbagai tikungan dari seniman-seniman ternama di masa itu (1930-1940-an). Kartono dan para seniman sezaman memberikan jejak visual serupa mengenai pandangan barat sebagai negara yang pernah menjadi bekas kekuasaan imperialisme Jepang.

Screenshot 2023-12-18 155016

“Jazz Rock dan Godaan Kampung Halaman” Sampai “Musik Elektronik dan Suara yang Lain”

Seri diskusi FOKUS! kembali hadir di penghujung tahun dengan tema besar “Musik Baru dan Warisan Nusantara” yang diselenggarakan sebanyak empat sesi di bulan November 2023 lalu. Tema kali ini Komunitas Salihara menghadirkan pembicara dari kalangan pengajar, komponis, dan musisi untuk membedah perkembangan musik baru Indonesia dari perspektif kesejarahan. Pada sesi satu (Silang Pengaruh Eropa-Nusantara) dan sesi dua (Memperluas Tradisi di Sekolah) kita diajak untuk melihat bagaimana pengaruh musik-musik Eropa memberikan dampak kepada perkembangan musik Nusantara dan menemukan jawaban dari “Apa sebenarnya musik Nusantara?”. Di sesi tiga dan empat ini diskusi akan berfokus terhadap perkembangan jazz-rock dan musik elektronik dalam rangkuman sebagai berikut;

 

Jazz-Rock dan Godaan Kampung Halaman (Sesi 3)

Diskusi sesi ini dipandu oleh Halida Bunga Fisandra (Dida) sebagai moderator dan menghadirkan dua pembicara; David Tarigan dan Sri Hanuraga. Diskusi pertama dipaparkan oleh Sri Hanuraga (Aga) seorang pianis serta musisi yang telah meraih beberapa penghargaan bergengsi di tingkat internasional dan nasional. Menghadirkan presentasi dengan judul “Jazz dan Warisan Nusantara”. Ia mengatakan bahwa di paruh akhir abad ke-20 banyak musisi jazz Indonesia yang bereksperimen dengan warisan Nusantara contohnya adalah album Djanger Bali oleh Indonesian All Stars (1967) yang disebut-sebut sebagai puncak pencapaian jazz Indonesia.

Fenomena yang sama–bereksperimen dengan warisan Nusantara–juga ditemukan pada generasi setelahnya seperti karya-karya Dewa Budjana, Tohpati, Reza Arsyad, Krakatau Ethno, I Wayan Balawan, dan Aga sendiri. Untuk menjelaskan fenomena ini Aga merujuk kepada tulisan Yayoi Uno Everett (Musikolog) di buku Locating East Asia in Western Art Music yang menawarkan sistem kategorisasi kompositoris oleh para komponis-komponis musik baru abad 20 yakni: Pemindahan, Sinkretisme, dan Sintesis. Pemindahan merupakan strategi kompositoris di mana sumber kultural seperti teks, musik, dan filsafat dari timur dipinjam atau diapropriasi ke dalam konteks musi barat yang lebih dominan. Aga memberikan contoh musisi yang melakukan hal tersebut adalah Olivier Messiaen dengan karya Turangalila Symphony, Maurice Ravel dengan karya Sheherazade, dan John Zorn dengan Forbidden Fruit-nya. 

Selanjutnya adalah Sinkretisme yang merupakan suatu kondisi ketika idiom kultural yang berbeda digabungkan namun masing-masing anasirnya tetap dapat dibedakan. Contohnya adalah Chou Wen-Chung dengan karya Willows Are New. Terakhir adalah strategi kompositoris Sintesis di mana karya-karya berhasil mentransformasi idiom dan sumber kebudayaan yang berbeda menjadi suatu entitas hibrida yang anasirnya tidak dapat lagi dikenali. Dalam hal ini Aga mencontohkan karya Chou Wen-Chung, Metaphors. Untuk memahami hal itu semua, Aga mencoba menarik kembali dengan sejarah jazz dengan praktik musik jazz itu sendiri yang merupakan sintesis dari musik klasik Eropa dengan musik Afrika Barat di akhir abad ke-19. 

Dari situ Ia membawa kita untuk melihat upaya awal musik jazz bersentuhan dengan musik tradisi nusantara yang dilakukan oleh kelompok Indonesian All Stars dalam album Djanger Bali (1967). Di album ini kita dapat mendengarkan permainan ansambel gamelan Bali berhasil ditransplantasi dengan baik ke dalam sebuah ansambel jazz yang termasuk ke dalam kategori sinkretisme. Selain itu Aga juga mencontohkan musisi Indonesia lain yang melakukan strategi kompositoris yang sama seperti Dewa Budjana, Krakatau Ethno, Simakdialog, dan lain sebagainya.

Selanjutnya diskusi beralih ke pembicara David Tarigan yang membawakan presentasi mengenai musik rock di Indonesia dan irisannya dengan warisan budaya dalam presentasi yang berjudul Kedatangan Musik Rock dan Nasionalisme Orde Lama. Musik rock masuk di pertengahan 1950-an dan dinilai sebagai bentuk yang agresif karena hadir di usia Indonesia yang masih muda. Pada masa itu pengaruh dari luar (seperti musik rock) dinilai sebagai bentuk penjajahan baru di mana pemerintah menilai hal tersebut memprihatinkan dan menjadi ancaman walaupun banyak digemari banyak anak muda.

Upaya nasionalisme yang dilakukan Soekarno untuk mengerem gempuran musik rock adalah dengan menerbitkan aturan agar musik rock dilebur dengan elemen ekspresi nasionalisme untuk bisa dihadirkan dalam rekaman komersial. David mencontohkan rock yang melebur tersebut dibawakan oleh grup Eka Djaja Combo dalam lagu Angkat Sampoeng yang merupakan perpaduan antara Latin, Sunda, dan rock n roll. Secara kronologis David memperkenalkan bagaimana rock yang beririsan dengan musik tradisi dapat didengarkan dalam berbagai periode seperti pada 1970-an yang dicontohkan pada karya Harry Roesli dengan judul Sekar Jepun, periode 1980-an, 1990-an dan yang terakhir adalah era sekarang yang dicontohkan dengan karya-karya pada 2018-2019.

 

Musik Elektronik dan Suara yang Lain (Sesi 4)

Sesi keempat Fokus! akan membicarakan mengenai topik musik elektronik dan bagaimana musik nusantara menjadi bagian dalam irisannya. Aditya Surya Taruna (Kasimyn), pembicara di sesi ini mengatakan bahwa musik elektronik bukan hanya sekadar musik lantai dansa. Banyak hal yang bisa diperhatikan dari berbagai aspek terlebih terhadap musisi-musisi elektronik Indonesia.Kasimyn, sebagai pembicara membuka sesi kali ini. Ia merupakan seorang produser musik, DJ, dan sound artist. Seperti yang sudah dinyatakan olehnya, musik elektronik memiliki keterkaitan yang cukup dengan politik identitas serta kedekatan-kedekatannya dengan hal-hal yang eksperimentalis yang ia paparkan lewat presentasi yang berjudul Eksotisasi Teknologi & Sonic Baru

Dalam presentasi ini ia membagikan karya milik Sapto Raharjo dengan judul Win (1992) yang menampilkan musik elektronik dengan bunyi-bunyi eksperimental yang dinobatkan sebagai album paling influential dan penting menurut Kasimyn dalam hal penggabungan teknologi dan tradisi yang menjadikan adanya eksotisasi dari tradisi ke ranah teknologi. Selanjutnya Kasimyn mencontohkan Igor Tamerlan yang juga merupakan pionir dalam hal musik tradisi dan teknologi dengan album Bali Ethno-Fantasy yang mengapropriasi secara berhasil antara kontemporer, tradisi, dan rock yang tercatat keluar di 2014; meskipun beberapa musisi elektronik meyakini ini adalah album yang keluar di era 1990-an.

Selanjutnya Kasimyn mengajak peserta untuk mendengarkan karya dari Herman Barus dan mencoba menyimpulkan bahwa mutasi musik elektronik dan eksotisme teknologi ini terjadi akibat perayaan dan kecelakaan. Dalam hal ini kecelakaan yang dimaksud adalah adanya pengaruh iklim tropis yang dinilai ekstrim untuk beberapa jenis alat musik yang membuat hanya beberapa alat saja yang bertahan di kondisi tersebut sehingga menciptakan bentuk-bentuk baru / mutasi dari musik elektronik secara tidak sengaja. Sesi pun dilanjutkan oleh Harsya Wahono yang secara teknis menjelaskan bagaimana menganalisis mutasi-mutasi musik elektronik menjadi bentuk baru tersebut. 

Harsya–pembicara kedua di sesi ini–adalah seorang produser dan pelaku musik yang belajar Komposisi dan Produksi Kontemporer Berklee College of Music di Boston, AS. dalam paparan presentasinya Harsya mengatakan fenomena musik tradisi-elektronik dipengaruhi oleh arsip kebudayaan di mana musik itu berkembang. Arsip-arsip ini bisa dibagi ke dalam arsip tertulis, nirwujud, oral, dan sebagainya. Harysa membedahnya secara terperinci sehingga kita bisa membayangkan bagaimana tradisi masuk dan menjelma ke dalam teknologi; seperti yang Kasimyn katakan, di sini bukan elektronik/teknologi yang masuk ke dalam tradisi tetapi tradisilah yang membentuk keragaman musik Nusantara itu sendiri.

Harysa juga menampilkan analisisnya dalam membaca linimasa budaya musik elektronik yang kehadirannya dapat ditelisik dengan berbagai fenomena seperti hadir/berlatar belakang karena adanya kebebasan, unsur bermain-main, menyuarakan kemarjinalan, unsur kesatiran, perayaan sang introver (karena musik elektronik bisa tercipta tanpa banyak orang), dan ‘kecelakaan’. Kecelakaan yang dimaksud selaras dengan penjelasan Kasimyn–yang ia juga sebutkan–mengenai kasus alat-alat musik yang hanya bertahan di kondisi cuaca/iklim yang ekstrim.