blogfokus23

Silang Pengaruh Eropa-Nusantara dan Memperluas Tradisi di Sekolah

Catatan Pendek FOKUS! 2023 Sesi 1 dan Sesi 2

Komunitas Salihara menyelenggarakan kembali program seri diskusi FOKUS! dan mengusung tema besar “Musik Baru dan Warisan Nusantara”. Program ini dibagi dalam empat sesi dengan menghadirkan dua pembicara dan satu moderator pada tiap sesinya. Membicarakan perihal musik baru dan warisan Nusantara adalah upaya untuk melihat dan membedah kembali perkembangan musik baru Indonesia dalam perspektif kesejarahan. Selain itu, kita juga diajak untuk memaknai posisi karya-karya para komponis Indonesia yang mengeksplorasi musik baru dan warisan Nusantara. Empat sesi FOKUS! membagi pembahasan tentang gagasan dan karya komponis Indonesia dalam tajuk-tajuk berikut; Silang Pengaruh Eropa-Nusantara (Sesi 1), Memperluas Tradisi di Sekolah (Sesi 2), Jazz-Rock dan Godaan Kampung Halaman (Sesi 3), dan Musik Elektronik dan Suara yang Lain (Sesi 4). Tulisan ini hendak merangkum apa yang menjadi pembahasan pada sesi 1 dan sesi 2. 

 

Saling-Silang Eropa-Nusantara

Sesi 1 menghadirkan pembicara dua komponis muda, yaitu Gema Swaratyagita dan Matius Shanboone. Keduanya membahas perihal musik Eropa dan Nusantara yang saling bertaut dan bersilangan dieksplorasi oleh komponis Indonesia sejak abad 20. Tak hanya membahas bagaimana eksplorasi para komponis, sesi ini juga membedah bagaimana identitas bangsa, nasionalisme, serta pemikiran filsafat tertentu hadir dalam karya mereka. 

Dipandu Halida Bunga Fisandra (Dida) sebagai moderator, narasumber pertama yaitu Matius Shanboone (seorang komponis, konduktor orkestra dan dosen musik) memaparkan presentasinya. Dalam presentasinya “Musik Baru dan Warisan Nusantara: Kaitan dengan Musik Tradisi Eropa, Modernisme abad 20 dan Legasi Abad 21”, ia menyatakan bahwa hari ini kita harus berhati-hati dan menghindari pendefinisian sederhana dan pragmatis atau tidak mengkotak-kotakan musik baru Nusantara dan non-Nusantara berdasarkan aspek-aspek superfisial. Misalnya, penggunaan alat tradisi, penggunaan semangat nasionalisme semu, dan penggunaan atribut-atribut lokal sebagai pencapaian estetika. Salah satu upaya untuk menghindari pendefinisian tersebut adalah dengan menggali lebih jauh bentuk nyata dari musik baru di Indonesia dan nilai-nilai kebaharuan maupun keunikan karya-karya tersebut. 

Matius mengajak kita untuk mengidentifikasi “apa itu musik Nusantara” berdasarkan beberapa aspek, seperti geografis, sejarah, dan pengaruh luar (misalnya pengaruh penjajahan). Matius juga menyinggung tentang kebaharuan dalam konteks musik kontemporer Indonesia. Musik kontemporer di Indonesia memiliki keunikannya masing-masing karena telah mengalami proses kreativitas yang beragam dari para komponisnya. Dalam proses tersebut ada transformasi pengetahuan akan gaya musik tertentu menjadi sebuah karya yang personal. Matius menyebut nama-nama komponis Indonesia sebagai komponis pionir dengan gagasan karya yang terpengaruh budaya musik Barat, di antaranya Slamet Abdul Sjukur, Otto Sidharta, dan Tony Prabowo. Tak hanya sekadar terpengaruh, para komponis ini merefleksikan budaya Indonesia dari pengalaman dan ideologi estetika masing-masing komponis. Selain generasi ‘komponis pionir’, Matius juga menyebut dan menampilkan contoh karya-karya komponis generasi terkini, seperti Arham Aryadi, Nursalim Yadi, dan Irene Tanuwidjaya. 

Presentasi selanjutnya disampaikan oleh  Gema Swaratyagita (seorang komponis, musisi, dan pengajar musik), ia menyinggung persoalan tentang sejauh mana karya komponis Indonesia dianggap penting sebagai identitas musik Nusantara. Gema membedahnya melalui pendekatan genealogi komponis Indonesia yang berkaitan dengan penelusuran hubungan keturunan keluarga, lingkungan pendidikan, komunitas, jaringan kesenian komponis Indonesia, hingga warisan budaya leluhur. Kita patut mempertanyakan ulang narasi ‘warisan Nusantara adalah sebuah identitas negara’. 

 

Tradisi Tumbuh di Ruang Kelas

Kemunculan musik Baru di Indonesia tidak hanya muncul dari komponis yang berlatar pendidikan musik Eropa. Indonesia memiliki komponis musik Baru yang berlatar belakang pendidikan seni, misalnya dari Institute Seni Indonesia. Sesi 2 FOKUS! membahas tentang bagaimana musik tradisi tumbuh tidak hanya di panggung pertunjukan, namun juga tumbuh di ruang kelas, di sekolah, di ranah pendidikan seni. Musik tradisi inilah yang kemudian menjadi salah satu gagasan atau instrumen yang digunakan sebagai bahan menciptakan karya musik Baru oleh beberapa komponis Indonesia, di antaranya Rahayu Supanggah (1949-2020), Aloysius Suwardi, Dedek Wahyudi, Dewa Alit dan Iwan Gunawan.

Narasumber pertama dalam sesi ini adalah Rithaony Hutajulu (dosen musik dan pendiri kelompok musik Suarasama), memaparkan presentasi berjudul “Etnomusikologi, Karawitan, dan World Music di Indonesia: sumber Kreativitas Penciptaan Musik Baru Berbasis Nusantara”. Ritha menjelaskan tentang kemunculan studi Karawitan dan Etnomusikologi di Indonesia. Studi Karawitan muncul pada 1964 di Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Surakarta, sedangkan studi Etnomusikologi muncul pada 1979 di Universitas Sumatera Utara. Dua studi musik inilah yang kemudian mencetak para mahasiswa dengan karya musik Baru yang berangkat dari khasanah musik tradisi Nusantara. 

Kedua studi musik tersebut kemudian memunculkan istilah yang biasa digunakan untuk menyebut musik tradisi dunia, yaitu world music. istilah ini sebetulnya sudah biasa digunakan dalam diskursus akademik etnomusikologi Barat untuk menyebutkan ragam musik dunia. Istilah tersebut pertama kali dicetuskan oleh Robert E. Brown (seorang etnomusikolog) pada awal 1960-an. Ritha juga menyebutkan kemunculan festival-festival musik berbasis musik Nusantara di Indonesia dari era 1990-an hingga kini, di antaranya Yogyakarta Gamelan Festival, dan Bali World Music Festival. Festival-festival tersebut tidak lepas dari keterlibatan komponis musik Baru Indonesia berlatar pendidikan seni tradisi Nusantara. 

Selain kemunculan karya-karya musik Baru yang berangkat dari khasanah musik tradisi Nusantara, muncul beberapa permasalahan dalam penciptaannya. Penggunaan atau pemanfaatan elemen musik tradisi Nusantara yang kurang mempertimbangkan aspek etika, seperti kurangnya memperhatikan konteks dari asal budaya musik yang dipakai. Pengembangan karya baru yang mengambil suatu repertoar tertentu dan sudah dikenal oleh masyarakat asalnya, penting pula memperhatikan isu permasalahan tentang Hak Cipta. Bagi Ritha butuh lebih luas dan mudah untuk generasi hari ini mengakses musik-musik Nusantara. 

Paparan Ritha dilengkapi oleh narasumber kedua, Iwan Gunawan (komposer dan dosen musik) dengan presentasi berjudul “Memperluas Musik Tradisi di Sekolah sebagai Proses Interaksi Budaya Secara Global”. Iwan menajamkan persoalan pentingnya musik tradisi harus diperluas di sekolah atau ranah pendidikan Indonesia. Bahwa pengetahuan terhadap musik tradisi sangat memiliki relevansi dengan tujuan pendidikan nasional. Musik tradisi Nusantara yang sangat beragam bisa menjadi modal atau inspirasi untuk berkreasi seni dalam mengisi peradaban budaya dunia. 

Iwan memberikan beberapa tawaran sebagai upaya memperluas musik tradisi Nusantara di sekolah. Di antaranya adalah dengan melakukan riset dalam kekayaan tersembunyi tentang aspek musikal pada musik tradisi Nusantara. Melakukan eksperimentasi musik yang bersumber dari musik tradisi Nusantara dan melakukan pengarsipan digital atau memanfaatkan teknologi terkini. 

 

Menggali Sejarah

Pembicaraan mengenai musik Eropa yang turut memengaruhi karya-karya komponis Indonesia juga memiliki kaitan dengan bagaimana kemudian musik tradisi Nusantara yang muncul melalui pendidikan seni justru memperkaya gagasan musik Baru di Indonesia. Pengetahuan tentang keberagaman gagasan, konsep, instrumen, hingga faktor-faktor budaya yang memengaruhi terciptanya musik Baru di Indonesia sangat penting untuk kita gali lebih luas lagi. Pun juga mengetahui permasalahan apa yang kemudian muncul dalam proses penciptaan maupun proses distribusi pengetahuan tersebut, menjadi hal yang tidak kalah penting sebagai upaya untuk menggali tawaran baru agar kesejarahan musik Baru di Indonesia tak hanya berhenti di tangan para pencipta, yaitu komponis. Dua sesi diskusi FOKUS!: Musik Baru dan Warisan Nusantara yang telah berjalan tersebut masih bisa disimak kembali melalui website Kelas.Salihara.org.

pexels-tara-winstead-8386440

Sekilas AI dan Penciptaan Karya Seni

Di hari ini, teknologi digital sudah memengaruhi kehidupan manusia, termasuk dalam proses penciptaan karya sastra dan seni. Mesin dengan kecerdasan buatan atau sering kita dengar dengan istilah AI, bahkan mampu menciptakan karya sastra, misalkan dalam penggunaan ChatGPT. AI bekerja dengan perintah operator, hanya dengan memasukkan kata kunci atau tema-tema tertentu. Semakin banyak dan bervariasi data atau tema yang masuk dalam sistem AI, semakin mahir pula AI meramu kalimat-kalimatnya hingga menjadi karya sastra. Tak hanya menghasilkan karya sastra, AI juga mampu menciptakan puisi, lukisan, karya fotografi, musik, esai, dan sebagainya. 

Kemampuan AI yang makin pesat ini, kemudian juga digunakan dalam kerja-kerja manusia. Misalkan sekadar membuat tulisan pendek untuk mendampingi unggahan sebuah foto di media sosial. Operator, yaitu manusia pengguna gawai hanya tinggal memasukkan sejumlah bahan dan tema melalui ChatGPT, lalu seketika, tak sampai dua menit tulisan itu telah selesai. 

Dalam seni visual, pada 2018 muncul lukisan “Portrait of Edmond Belamy”, sebuah lukisan yang berhasil diciptakan oleh algoritma AI. Bahkan lukisan ini mendapatkan penawaran lelang seharga 6.5 miliar, angka fantastis. Lukisan ini tidak muncul dari mesin dengan sendirinya. Ia juga muncul dari ide operator, ide dari pikiran manusia, mereka adalah sekelompok orang yang menyebut dirinya Obvious yang terdiri dari tiga mahasiswa asal Prancis. Fenomena ini bisa kita katakan sebagai bentuk kesadaran kolaborasi antara kecerdasan manusia dengan kecerdasan mesin. 

Munculnya kemungkinan kolaborasi antara manusia dan mesin dalam menciptakan karya seni juga dampak dari AI yang mampu membaca ribuan data hingga bisa menjadi material mentah penciptaan sebuah karya seni. Misalnya, AI mampu menghasilkan puluhan jenis gambar hanya dengan memasukkan satu foto wajah manusia. Ia mampu mengubahnya menjadi gambar sketsa wajah, gambar lukisan, hingga gambar yang nampak menggunakan teknik cetak saring. 

Namun, keresahan pun muncul, isu yang paling kuat adalah: apakah kemudian posisi sentral sang manusia—sebagai pengubah dunia—sudah tergusur? Apakah kemudian manusia seluruhnya—bahkan barangkali idenya—akan tergantikan oleh kecerdasan buatan ini? Atau justru kembali pada kemungkinan yang lebih menarik tentang kolaborasi antara kecerdasan manusia dan kecerdasan buatan. Atau jangan-jangan kemunculan AI adalah sekadar proyek kaum elite, kaum spesialis, yang berebut kuasa politik-kepakaran?

Pembahasan ini akan diurai lebih jauh dalam seri Siniar Salihara Ngomong-Ngomong Soal: Intervensi Digital dalam Seni, Sastra, dan Ilmu Pengetahuan.

Sehari Multikultural di LIFEs 2023

Bagaimana ragam budaya Frankofon dapat disajikan dalam satu hari rangkaian acara? Literature and Ideas Festival (LIFEs) 2023 mewujudkannya pada Jumat (11/08) lalu lewat rangkaian diskusi hingga musik selama satu hari. Lewat rangkaian program satu hari ini kita diajak melihat bagaimana literatur yang multikultur menghubungkan antar sesama penulis, seniman, pemikir, dan para pembaca dari berbagai belahan dunia.

 

15:00 – Rewriting the World Map: Multilingual Writing Across Languages and Continents
Pembicara: Abu Maha, Mozhdeh Ahmad, Gladhys Ellionai | Moderator: Primadita Rahma

Judul di atas merupakan pembuka dalam rangkaian sehari multikultur di Jumat pagi. Diskusi ini menghadirkan The Archipelago; sebuah kolektif berbasis literasi yang menghadirkan tulisan-tulisan dari para penulis yang mayoritas berasal dari daerah konflik seperti Sudan, Myanmar, dan Afganistan. Diskusi ini menghadirkan perwakilan dari The Archipelago; Mozhdeh Ahmadi, Penulis: Abu Maha, dan Gladhys Elliona, dimoderatori oleh Primadita Rahma. Diskusi dibuka oleh Mozhdeh yang menjelaskan apa itu Archipelago dan apa yang mereka kerjakan.

Archipelago tak hanya menjadi kolektif yang memberi ruang bagi penulis asing untuk menerbitkan tulisannya; mereka juga hadir untuk memberikan pelatihan bahasa atau penulisan atau membantu menghubungkan penulis-penulis tersebut dengan penerbit rekanan agar bisa menerbitkan tulisan-tulisan mereka. Archipelago aktif menerjemahkan tulisan-tulisan berbahasa asing ke bahasa Inggris agar tulisan mereka dapat tersampaikan secara universal. Tulisan-tulisan tersebut bisa berisi situasi di daerah konflik, harapan, serta impian tentang “rumah”. Sebab banyak penulis–dalam kolektif ini–yang akhirnya meninggalkan rumah atau tanah kelahiran mereka demi mendapatkan kehidupan yang aman jauh dari teror.

Inti dari diskusi ini berbicara mengenai suka dan duka Mozhdeh, Abu, dan Gladhys yang menulis dalam bahasa yang bukan bahasa asli mereka. Menulis bukan dalam bahasa ibu seperti yang sudah dijelaskan diperlukan untuk bisa menyasar audiens yang lebih luas. Namun ada beberapa ketakutan seperti tafsir yang berbeda, adanya sentimen bahwa penulis tidak merepresentasikan budaya yang diterjemahkan, dan lain sebagainya. Namun, dari diskusi ini jawaban atas ketakutan-ketakutan tersebut adalah “menerima keindahan dari ketidaktahuan selama proses menulis/menerjemahkan.” Dengan menerimanya, kita dapat belajar serta meningkatkan empati lewat proses tersebut.

(Dari Kiri ke kanan) Primadita Rahma bersama dengan pembicara: Mozhdeh Ahmad, Abu Maha, Gladhys Ellionai

Sebelum menuju sesi tanya jawab dengan peserta, diskusi diakhiri dengan pembacaan fragmen tulisan dari karya masing-masing pembicara. Yang pertama adalah Gladhys dengan judul “Lembur di Selatan” sebuah tulisan yang menceritakan kehidupan orang-orang pesisir yang ia terjemahkan ke bahasa Inggris dengan judul To Vanish in the South. Selanjutnya adalah pembacaan fragmen tulisan dari Abu Maha berjudul Secrets of Nyala Market yang menceritakan kehidupannya yang mendapat perlakuakn tidak adil ketika  di kota Nyala, Sudan. Bagaimana Abu (dalam persepektif “aku”) diceritakan menerima perlakuan keji oleh aparat kepolisian yang dipicu oleh sikap rasisme dan menyebabkan dirinya harus pergi meninggalkan kota asalnya tersebut. Tulisan Abu tentang pasar Nyala ini mengantarkan ia menjadi pemenang dalam Archipelago’s 2021 Writing Competition. Terakhir adalah pembacaan puisi yang ditulis oleh Mozhdeh yang berjudul False Hope.

 

16:30 – Venture of Language
Pembicara: Elizabeth D. Inandiak | Moderator: Debra Yatim

Setelah berkelana mendengarkan cerita para penulis asing dari The Archipelago, kali ini Komunitas Salihara akan membawa pengunjung untuk mengikuti petualangan linguistik dari Elizabeth D. Inandiak yang terkenal dengan tafsiran dan terjemahan Serat Centhini–Yang diklaim oleh Elizabeth sebagai sebuah kisah yang sejajar dengan karya-karya Shakespeare dan Mahabarata–dari bahasa Jawa ke berbagai bahasa seperti Prancis dan Indonesia.

Elizabeth D. Inandiak menjelaskan petualangan linguistiknya di Galeri Salihara

 

Dalam diskusi ini Elizabeth juga menceritakan kisah dari novel terbarunya yang berjudul Dreams from the Golden Island yang berasal dari kisah-kisah yang dituturkan oleh penduduk di wilayah Muara Jambi yang tersedia dalam empat bahasa yaitu Mandarin, Indonesia, Prancis, dan Inggris. Buku ini menampilkan dongeng-dongeng, penelitian, dan catatan perjalanan dari masa lampau yang dikemas dengan narasi puitis lengkap dengan gambar-gambar yang–Elizabeth sendiri katakan–persis seperti manga di dunia modern.

 

 

19:00 – Tamu dari Seberang
Pembicara: Jean-Baptiste Phou, Johary Ravaloson, Zack Rogow
Moderator: Ajeng Kamaratih

(Kiri ke Kanan) Zack Rogow, Jean- Baptiste Phou, dan Johary Ravaloson bersama penerjemah
dalam diskusi di Teater Salihara

 

Setelah mengarungi perjalanan Elizabeth dengan petualangan linguistiknya, kali ini kita akan melihat perjalanan kreatif para penulis asing dari berbagai daerah di negara Frankofon seperti Madagaskar, Prancis, dan Amerika lewat karya-karya mereka. Dimoderatori oleh presenter; Ajeng Kamaratih, kita akan mengulas karya dari Jean-Baptiste Phou (Prancis), Johary Ravaloson (Madagaskar), dan  Zack Rogow (Amerika) dalam tema Multikulturalisme. Dalam diskusi ini, ketiga negara yang diwakilkan adalah Amerika (Zack), Prancis (John-Baptiste dan Johary) yang memiliki keterikatan dengan Indonesia dengan multikultural. Amerika dan Prancis misalnya yang  menjadi daerah tujuan para imigran dalam mencari penghidupan lebih layak dan Indonesia yang dikenal dengan keragaman etnis, agama, budaya, dsb. Diskusi ini melihat bagaimana ketiga seniman ini merepresentasikan keragaman tersebut dalam karya-karya mereka.

Zack Rogow, sebagai seorang Amerika banyak menulis puisi dan naskah drama. Salah satu naskah dramanya yang berjudul Colette Uncensored dimainkan di Salihara dan IFI Yogyakarta. Zack menceritakan akar dari puisi-puisinya banyak terinspirasi dari anaknya serta perjalanan spiritualnya terutama dalam karyanya yang bila diterjemahkan ke bahasa Indonesia sebagai Dzikir Mbeling.

Berbicara tentang spiritual, kita juga akan berkenalan dengan Johary Ravaloson; seorang penulis asal Madagaskar yang menetap di Prancis, karyanya baru saja terbit dalam bahasa Indonesia dengan judul Perburuan. Dalam Perburuan Johary menyematkan unsur spiritual yang akrab dengan masyarakat Madagaskar lewat mantra dan ritual. Dalam novel yang ia tulis, diceritakan Sikid–seorang reporter yang memburu berita– meninggal di pertengahan cerita. Mantra-mantra inilah yang ditulis guna membangkitkan Sikid dari alam kematian, yang terinspirasi dari budaya ritual Madagaskar dengan cara menyemai biji-bijian sebagai bagian dari ritual; memberikan nuansa etnik dalam kekaryaannya.

Penonton pun diajak membaca cuplikan dari mantra yang Johary tulis di dalam novelnya:

 

“Bangun! Bangun!

Bangunlah Sikid nan suci.

 Sikid yang kubangkitkan atas nama Sang Pencipta dan atas nama Pengatur Alam Semesta!

 

Bangun! Bangun!

Bangunlah Sikid Nan Suci, yang kepadanya telah kami salurkan tujuh kekuatan langit!”

 

Johary kini menetap di Prancis dan aktif sebagai seorang penulis. Selain Johary, hadir juga penulis Prancis keturunan Kamboja bernama Jean-Baptiste Phou. Berbeda dengan Johary yang sadar akan akar tradisinya, Jean tidak pernah tahu dari mana ia berasal. Ia lahir dan besar di Prancis, orang tuanya meninggalkan tanah kelahiran mereka karena situasi politik dan tidak pernah membahas masalah ini dengan dirinya.

Jean menceritakan bahwa orang Prancis memiliki kecenderungan untuk menilai siapapun yang berwarga negara Prancis adalah orang Prancis sendiri. Tidak ada istilah pembeda seperti Black-France, Chinese-France, dsb sehingga dia merasa tidak ada bedanya dengan warga Prancis lainnya. Ketertarikan bahwa dirinya “mungkin” tidak terlalu Prancis baru hadir di 90-an. Dia merasa ada sesuatu yang tersembunyi dari akar keluarganya yang akhirnya memicu dirinya untuk berkeliling ke berbagai negara di Asia. Setelah mendengarkan perjalanan kekaryaan dan sumber inspirasi dari Jean-Baptiste yang juga merupakan penulis, aktor, dan juga filmmaker. Setelah diskusi penonton diajak untuk melihat sebuah adegan dari pertunjukan teater Prancis yang berkisah mengenai stereotip orang Prancis terhadap orang-orang Asia dibalut dengan garapan komikal yang mengundang tawa.

Sebagai penutup, Ajeng menanyakan bagaimana pandangan ketiga seniman ini terhadap literatur Prancis dan negara Frankofon; Zack menjawab bahwa dengan banyaknya peraih Nobel sastra dari Prancis membuat literatur Frankofon menjadi lebih dikenal oleh dunia. Pernyataan ini juga diperkuat oleh Jean dan Johary yang menyatakan bahkan di Prancis saat ini banyak sekali penerbit yang tertarik untuk menerbitkan karya-karya dari negara Frankofon. Hal ini berbeda dengan zaman dulu di mana karya dari negara Frankofon kurang dilirik oleh penerbit di Prancis.

Rangkaian acara satu hari ini ditutup dengan pertunjukan musik khas Prancis dan Frankofon oleh kelompok musik Klassikhaus. Untuk mengetahui ulasan lengkapnya sila membaca di sini.

Colette dan Kebebasan Tanpa Sensor

Sebagai seorang tokoh penulis perempuan; Sidonie-Gabrielle Colette atau akrab dengan sebutan Colette, dikenal akan karya-karyanya yang kontroversial di kalangan penulis dan kritikus sezaman. Kritik dan ujaran “sastra selera rendah” pun pernah ia terima, di sisi lain karya-karyanya juga dicintai bahkan diapresiasi hingga masa sekarang. Colette merupakan penulis dengan kisah yang menarik; ia hadir sebagai penulis perempuan di awal abad 20, di mana dunia sastra dan literatur masih didominasi oleh laki-laki.

Karya, persona, dan jalan hidupnya telah menginspirasi dan menjelma ke berbagai kesenian modern seperti film, pertunjukan, tulisan, dan teater; terutama yang ditulis oleh Zack Rogow dan diperankan oleh aktris Lorri Holt dalam pertunjukan Colette Uncensored yang dimainkan di Salihara Sabtu lalu (12/08). Colette Uncensored merupakan pertunjukan tunggal–One-Woman Show– yang diperankan oleh aktris Amerika; Lorri Holt sebagai Colette.

Meski berwarga negara Amerika, Zack Rogow, sebagai penulis merasa terinspirasi oleh sepak terjang Colette dalam dunia kesusastraan Prancis. Tidak hanya karya, cara pandang Colette pun berhasil menyihir Zack bahkan mengilhami dirinya dalam membuat pertunjukan ini.

“Colette menginspirasi saya baik sebagai penulis dan secara pribadi karena ia berani menjalani hidup sesuai dengan identitasnya yang begitu kompleks baik sebagai wanita, kekasih, dan tokoh sastra. Dia adalah pelopor dalam banyak bidang, termasuk kecintaannya yang mendalam dan rasa hormat terhadap semua makhluk hidup.”

Dalam pertunjukan di Teater Salihara, tata ruang dibuat sederhana hanya ada podium dan sepasang meja kursi dengan bejana berisi air yang berbahan kaca. Lorri; sebagai Colette hadir dan mulai menceritakan hidupnya. Tidak hanya sebagai Colette, terkadang ada beberapa peran kecil yang dia tirukan, untuk membangun suasana seperti tokoh ibu Colette (Sido) dan beberapa peran lainnya yang bisa kita nikmati lewat perubahan gestur dan mimik dari Lorri.

Adegan dimulai dengan adegan  Colette menyambut penonton yang seolah hadir dalam peluncuran novel terbarunya berjudul Gigi. Dengan nada yang sarkastik, Colette membawa kita untuk menelusuri kehidupannya dari awal sampai ke titik sekarang. Kita diceritakan bagaimana ia muda dan hidup bersama ibunya, hingga pertemuannya dengan Willy; yang menikahi Colette dengan perbedaan umur yang terpaut jauh. Saat itu Colette masih 20 tahun, dan Willy 14 tahun lebih tua. Willy yang diceritakan suka bermain perempuan dan memiliki nafsu tidak terkendali menjadi gerbang pertama dalam karir menulis Colette dicerita ini. Willy adalah seorang yang tidak kompeten, ia sering menyuruh penulis-penulis muda untuk menulis cerita mesum dan diterbitkan atas nama dirinya. Sebanyak 50 novel ia terbitkan tanpa pernah ia tulis sendiri.

Kali ini giliran Colette, bahkan lebih parahnya setelah sukses menerbitkan novel pertama dengan judul Claudine, Colette dikurung di sebuah kamar oleh suaminya selama empat jam setiap hari. Colette adalah sapi perah baru bagi Willy. Apakah Colette menderita? Tidak, bahkan dia menikmati kesendirian itu di dalam ruangannya. Ia senang menulis dan membayangkan tokoh Claudine bahkan baik ia dan pembaca merasa Claudine adalah Colette.

Babak bagian awal dari kehidupan Colette sebagai penulis cukup panjang. Hubungan Willy dan Colette bak skandal yang memalukan bagi keluarga Willy, namun entah mengapa mereka senang menjalaninya. Menggoda, digoda, bahkan mempermainkan perasaan orang hanya demi sumber inspirasi bagi cerita-cerita Claudine lazim mereka lakukan; dalam kasus ini korban mereka adalah Georgie–seorang kaya raya dari Amerika– yang menuntut mereka berdua karena menjadikan dirinya sebagai objek yang digambarkan gila seks dalam cerita Claudine.

Masa awal kehidupan Colette dan Willy pun berakhir dengan perceraian. Dinarasikan Colette bergabung dengan kelompok pantomim dan ia begitu senang dengan kelompok ini, meski pertunjukannya banyak memantik amarah publik dengan keamoralan cerita di dalamnya, nyatanya banyak tur keliling yang sukses besar. Selesai tur Colette langsung mengutarakan keinginannya kepada sang suami untuk segera bercerai.

Seperti nama judulnya; Colette: Tanpa Sensor sepanjang adegan kita akan dinarasikan oleh kisah-kisah erotis yang diceritakan seolah tanpa filter. Hubungan dengan wanita, dengan tiga orang, dan entah-sama-siapa diceritakan mewarnai perjalanan ia selama bersama kelompok ini. Hingga akhirnya hubungan ini ia hentikan dan memulai hidup baru bersama Henry; seorang kaya yang sering menonton pertunjukan Colette. Begitulah Colette dan kisah cintanya. Kita tidak membicarakan keburukannya atau sikap-sikapnyayang tidak elegan di panggung ini, kita lebih merayakan kebebasannya dalam mengekspresikan apa yang dia mau. Kembali ke pernyataan Zack sang penulis, perjalanan Colette walaupun kompleks namun tetap menunjukkan cinta dan rasa hormat yang mendalam dan Colette melakukan semua itu (baik dan buruk tindakannya) dengan sepenuh hati.

One-Woman-Show ini membuktikannya, tidak serta-merta kehidupan tanpa sensornya yang diutarakan namun juga sisi humanis dari sang tokoh juga diperlihatkan. Misalnya dalam bagian terakhir di mana Colette bertemu dengan anaknya; Bel-Gazou (hasil pernikahan dengan Henry) saat perang dunia terjadi. Colette rela memberikan segalanya meskipun dia hampir tidak pernah menemui anaknya.

Kisah ini ditutup seiring dengan berakhirnya kenangan Colette akan masa lalunya. Ia kembali mengajak penonton untuk mengingat bahwa pementasan ini dibuka dengan latar peluncuran bukunya yang berjudul “Gigi”. Gigi merupakan permainan kata dari Gabri (nama kecil Colette) Sido–ibunya– dan Willy–suami pertama– memanggil Colette dengan sebutan tersebut sebelum akhirnya dia memutuskan untuk dipanggil dengan Colette. Dalam paparannya, buku ini (yang berisi perjalanan hidup sang tokoh yang besar di sebuah desa kecil di Burgundy, Prancis) menjadi laris dan dipentaskan di Hollywood dan Broadway, sebuah negeri yang sangat jauh dari Prancis. Buku yang ditulis di masa perang yang kelam berbuah apresiasi yang begitu gemilang. Lewat buku ini Colette menitikberatkan tentang arti kebebasan; kebebasan untuk mencintai, membuat pilihan, dan kebebasan untuk berbuat kesalahan. Lorri membungkuk, semua bertepuk tangan.

cover

Yang Klasik dan Asyik dalam Membaca Dini, Sitor, dan Wing

Catatan pendek program Klasik Nan Asyik: Membaca Dini, Sitor, dan Wing dalam LIFEs 2023.

Pada 10 Agustus, LIFEs 2023 menghadirkan salah satu program pilihan, bertajuk Klasik Nan Asyik. Program ini adalah panggung untuk membicarakan kembali sastrawan dan karyanya yang sudah menjadi klasik dalam sastra Indonesia di masa kini. Program ini dikemas dalam bentuk diskusi dan pembacaan karya. Generasi muda dan penikmat sastra hari ini, perlu mengenal kembali sebanyak mungkin khazanah sastra Indonesia modern yang terbilang klasik. Tahun 2023, Klasik Nan Asyik menghadirkan tiga sastrawan yang akan berbagi tentang pengarang dan karya sastra klasik Indonesia yang terkait dengan Prancis.

Para sastrawan yang diperkenalkan dalam program ini adalah Nh. Dini, Sitor Situmorang dan Wing Kardjo. Tiga pengarang ini bukan hanya nama penting dalam kesusastraan Indonesia modern, tetapi juga mereka secara langsung mengalami atau bersentuhan dengan apa-apa yang terkait Prancis, baik sastra, budaya maupun masyarakatnya. Pengalaman mereka bersentuhan atau bergelut dengan Prancis, dibahas dan ditampilkan dalam forum ini. Terutama untuk melihat bagaimana kontribusi dan nilai penting karya-karya mereka bagi kita hari ini. 

Menariknya, pembahasan tentang tiga pengarang ini disampaikan oleh tiga pengarang masa kini, yaitu Avianti Armand, JJ Rizal, dan Zen Hae. Avianti Armand membahas tentang perjalanan kesusastraan Nh. Dini, JJ. Rizal membahas Sitor Situmorang dan karya-karyanya, dan Zen Hae membahas tentang penyair sekaligus penerjemah sastra, Wing Kardjo. 

 

previous arrow
next arrow
Slider

 

Nh. Dini dan Permulaan Sastra Feminis
Pembicara: Avianti Armand

Nh. Dini (1936-2018) adalah satu dari sedikit pengarang perempuan Indonesia yang muncul pada dekade 1950-an. Ia muncul saat sastra Indonesia didominasi oleh sastrawan laki-laki. Pada sesi ini, Avianti Armand membicarakan bagaimana karya-karya Nh. Dini muncul dan menjadi salah satu tonggak penting sastra feminis dalam khazanah sastra Indonesia modern. Meskipun sebelum Dini ada beberapa nama penulis perempuan, tetapi pengarang perempuan yang cukup berani menyuarakan sikap keperempuanan adalah Nh. Dini. Pergaulannya sangat internasional—salah satu sebabnya karena perkawinannya dengan diplomat Prancis—dan pandangannya tentang perempuan, cinta dan perkawinan sangat pribadi dan berani. Avianti juga menyampaikan tentang bagaimana mula-mula kemunculan Nh. Dini dalam dunia sastra Indonesia pada akhir 1950-an. 

 

Sitor Situmorang: Pengelana Cinta yang Kesepian
Pembicara: JJ Rizal

Sitor Situmorang (1924-2014) adalah sastrawan Angkatan 45 yang mereguk pengalaman internasional melebihi Chairil Anwar, Asrul Sani dan Rivai Apin. Jika Chairil, Asrul dan Rivai banyak masuk ke gelanggang internasional melalui bacaan berbahasa Belanda dan Inggris, Sitor justru memasukinya dengan kehidupan pribadinya secara langsung. Pengalamannya tinggal di Belanda dan Prancis membentuk puisi dan cerpen Sitor selanjutnya. Dalam artian, ia memperluas lanskap penulisan puisi dan cerpen dari generasinya dengan menggunakan pendekatan autobiografis manusia Indonesia di Barat. Tegangan antara budaya nasional dan daerah—Batak dalam hal ini—dengan kehidupan di Barat yang sama sekali berbeda adalah momen-momen yang membentuk watak puisi dan cerpen Sitor. Hasrat pengelanaan di satu sisi mesti dibayar dengan kesepian yang mencekam, petualangan asmara dan erotisme mesti pula dibayar dengan perpisahan dan perjumpaan dengan dunia baru lainnya. JJ Rizal menyampaikan bagaimana Sitor menggunakan pendekatan autobiografis dalam menulis karya-karyanya. Meskipun ia menolak pendekatan autobiografis dalam penilaian karya seorang penyair, laku Sitor sebagai sastrawan tidak jauh-jauh dari mengolah segala sesuatu yang autobiografis tadi. 

 

Wing Kardjo: Jembatan Sastra Prancis dari Bandung
Pembicara: Zen Hae

Wing Kardjo Wangsaatmadja (1937-2002) adalah penyair dan penerjemah sastra Prancis yang penting pada masa 1970-an. Sebagai penyair mungkin Wing bukanlah yang kuat—puisi-puisinya terlampau berhasrat kepada bentuk klasik soneta dan mengimbuhkan sebanyak mungkin napas kritik sosial di dalamnya; kurang peduli pada bentuk—tetapi sebagai penerjemah dialah yang secara sungguh-sungguh memperkenalkan puisi-puisi modern Prancis ke bahasa Indonesia melalui Sajak-Sajak Modern Perancis dalam Dua Bahasa / Anthologie Bilingue de la Poezie Moderne Francaise (Pustaka Jaya, 1975). Yang lain, ia juga menerjemahkan satu cerita anak Prancis yang penting: Pangeran Kecil karya Antoine de Saint-Exupéry (Pustaka Jaya, 1979). Buku puisinya yang menghimpun puisi-puisi bergaya soneta adalah Fragmen Malam: Setumpuk Soneta (Pustaka Jaya, 1997). Zen Hae membahas tentang sosok dan karya Wing Kardjo yang menempatkan puisi-puisinya dalam korpus puisi Indonesia modern masa 1970-an dan sesudahnya. Ia juga menjelaskan tentang yang dimaksud soneta oleh Wing dalam himpunan puisinya. Zen Hae menjelaskan peran Wing sebagai “Jembatan Sastra Prancis” bisa dilihat dalam upayanya menerjemahkan sajak-sajak modern Prancis dan cerita anak Antoine Saint de Exupery. 

Sesi diskusi ini sangat menarik untuk diikuti, selain membahas tentang kedekatan tiga sastrawan Indonesia dengan Prancis, juga kemudian menggulirkan pertanyaan “kenapa Prancis begitu menggiurkan bagi para ketiga pengarang tersebut?”.

queer

Queer hingga Refleksi Situasi Kolonialisme di Masa Lalu

Catatan pendek Seminar Prancis dan Frankofon dalam Sastra dan Gagasan.

Beberapa Minggu menuju LIFEs, Komunitas Salihara membuka Undangan Menulis Makalah Seminar LIFEs 2023 dengan tema Prancis dan Frankofon dalam Sastra dan Gagasan: Ruang Pertemuan Budaya, Identitas, dan Kritik Sosial. Program ini bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Makalah yang terpilih adalah makalah dengan pembahasan mengenai Prancis dan Frankofon yang mewakili beberapa subtema atau perspektif, di antaranya kritik poskolonialisme, konflik identitas dan kritik sosial, tantangan multikulturalisme, gender dan budaya patriakal, tubuh dan perlawanan perempuan, hubungan indonesia dan prancis, pemikiran tentang seni dan estetika mutakhir. Komunitas Salihara kemudian memilih beberapa nama pemakalah yang dibagi dalam tiga sesi presentasi. 

 

Sesi 1
Kritik Supremasi dari Kamar Tidur
Pembicara : Joned Suryatmoko/Ferdy Thaeras, Salira Ayatusyifa
Tanggal & Waktu : Selasa, 08 Agustus 2023, 16:00 WIB

Sesi ini menampilkan dua pemakalah yang sama-sama membahas naskah Les Bonnes (1947) karya Jean Genet. Naskah ini berkisah tentang dua perempuan kakak-beradik yang bekerja sebagai pelayan di rumah Madame, majikannya. Dua tokoh pelayan ini adalah Solange dan Claire, mereka lantas berpura-pura memainkan peran sebagai Madame ketika majikan mereka tidak di rumah. Naskah drama ini menarik karena memiliki bentuk role playing atau permainan peran di dalamnya, yang menciptakan pembacaan serta pemaknaan yang berlapis. 

Salira Ayatusyifa sebagai pemakalah pertama adalah seorang aktor teater yang mengenyam pendidikan seni teater di ISBI Bandung. Makalahnya berjudul “Les Bonnes: Hegemoni Hasrat dan Politik Asap Dapur”. Salira membedah naskah Les Bonnes dengan pendekatan Hegemoni ala Antonio Gramsci dan  membagi penjelasannya dalam tiga poin. Poin pertama, Salira menjelaskan tentang ilusi kuasa pelayan dalam dominasi kuasa Madame sebagai majikan. Dominasi kuasa yang dilakukan oleh sosok Madame sebagai manusia berstatus borjuis dan memperlakukan dua pelayannya sesuka hati, menimbulkan perlawanan dari kedua pelayan. Perlawanan itu diwujudkan dalam permainan peran sebagai Madame yang diperagakan secara bergantian oleh Solange dan Claire. Serta dari sanalah muncul hegemoni hasrat dari kedua tokoh di mana keduanya menjadi kelompok subaltern yang menurut Gramsci adalah kelompok yang hendak berkuasa. Poin kedua, Salira menjelaskan bahwa Salange adalah wujud tokoh intelektual yang mampu membangkitkan hasrat hegemoni untuk menciptakan strategi memberontak pada dominasi Madame. Ia juga menjelaskan bagaimana Genet menggambarkan posisi antar perempuan beda kelas di masa sejarah Prancis 1685. Poin terakhirnya menampilkan bagaimana tokoh Solange dan semangat kolektifnya untuk melawan tetap menjadi objek yang kalah dan bayangan kemenangan hanya ada dalam kepalanya. Hal ini disebabkan oleh dominasi kuasa yang lebih kuat dari Madame

Pemakalah kedua, Joned dan Ferdy mempresentasikan makalah dengan judul “Les Bonnes: Melihat Jean Genet dari Kamar Tidur Orang Kulit Berwarna”. Makalah ini membahas naskah Les Bonnes dalam dua lapisan, lapisan pertama membedahnya dengan teori identitas kontemporer ala Judith Butler, serta pembacaan teoritis Les Bonnes dalam mempercakapkan dramaturgi dan teori identitas antara Prancis dan Amerika Utara. Lapisan kedua membahas bagaimana Les Bonnes digunakan sebagai pemandu praktik artistik perupa Ferdy Thaeras dalam posisinya sebagai seniman kulit berwarna selama residensi mandirinya di New York City pada 2022. Joned juga membahas hubungan karya Genet dengan Queer, Teatrikalitas dan Teatrikalitas-Queer, bahwa dalam karya Genet tidak lagi menempatkan gagasan queer semata-mata dalam konteks homoseksualitas, tetapi lebih pada hubungan antara penolakan, penghancuran diri, anti-komunitarianisme, dan juga keterikatan kultural lainnya. Joned mengatakan bahwa gagasan tentang pelebih-lebihan, penghilangan, dan ambiguitas terlihat jelas dalam Les Bonnes yang menguraikan elemen-elemen tersebut ke dalam satu gagasan tunggal tentang teatrikalitas-queer memungkinkan kita untuk memeriksa lebih jauh dari apa yang dapat kita temukan jika kita menerapkan gagasan tersebut secara tunggal. Menurut Joned dalam Les Bonnes, ketika satu hal dibesar-besarkan, pada saat yang sama hal tersebut dihilangkan, dan hal tersebut membuka interpretasi yang ambigu. Presentasi ditutup dengan penjelasan Ferdy pada proses artistiknya dan pembacaan teks performancenya pada pameran bertajuk Les Bonnes. 

Sesi ini diikuti dengan tanya jawab yang kemudian turut menambah dan memperjelas bagaimana pandangan ketiga pemakalah dalam membahas naskah Les Bonnes. 

 

previous arrow
next arrow
Slider

 

Sesi 2
Perspektif Sejarah: Dari Kawin Kontrak hingga Yang Ilahiah
Pembicara : Amos, Faiza Nuralifah Khairunnisa, & R.H. Authonul Muther
Tanggal & Waktu : Rabu, 09 Agustus 2023, 16:00 WIB

Diskusi ini menampilkan tiga pembicara yang membahas sejumlah perspektif sejarah dari ranah Frankofon: analisis pascakolonial atas novel bertemakan rasisme dan dampak kolonialisme Prancis, gagasan estetika simtom yang diterapkan dalam kritik seni rupa, hingga tawaran metode historiografi yang berakar dari gagasan sejumlah sejarawan Frankofon. Faiza Nuralifah Khairunnisa, mengulas novel Le mariage de Plaisir karya Tahar Ben Jelloun, ia membahasnya dalam makalah berjudul Internalisasi Rasisme dalam Novel Le Mariage De Plaisir Karya Tahar Ben Jelloun. Ia memaparkan bahwa novel Le Mariage de Plaisir adalah sebuah kritik Tahar Ben Jelloun pada situasi rasisme di Maroko yang telah terinternalisasi. Novel ini menyajikan gambaran sebuah keluarga yang terbentuk dari kawin kontrak atas nama Islam dan berfungsi sebagai unit sosial terkecil, dan rasisme hadir melalui proses internalisasi yang kemudian melekat pada kepribadian tokoh. Dengan kata lain, keluarga adalah lingkup terdekat yang mampu mewariskan sifat rasisme pada anggotanya. Bagi Faiza, rasisme tidak dapat dihentikan hanya dari hal-hal yang kasat mata, namun perlu untuk memutus rantai rasisme dengan menerima masa lalu dan mendefinisikan posisi diri secara jelas dalam rasisme. 

Makalah kedua berjudul Di Hadapan Marmi Finti, Sabda Menjadi Daging: Georges Didi-Huberman dan Estetika Simtom ditulis dan dipaparkan oleh R.H. Authonul Muther.  Ia membahas gagasan estetika simtom oleh sejarawan seni dan filsuf George Didi-Huberman yang membahas lukisan The Lacemaker karya Johannes Vermeer dan The Holy Conversation karya Fra Angelico, serta menawarkan metode untuk memetakan historiografi Indonesia dengan meminjam gagasan Frantz Fanon dan Aimé Césaire. Diskusi ini ditutup dengan paparan makalah berjudul Dapatkah Subaltern Menulis Sejarah?: Menempatkan Kritik Pascakolonial dalam Polemik Historiografi Indonesia, karya Amos. Ia memiliki tawaran tentang penerapan kritik pascakolonial dalam metode penulisan historiografi Indonesia, mengedepankan gagasan antikolonial dari Frantz Fanon dan Aimé Césaire. 

Diskusi ini membawa kita pada tawaran pada satu simpul: kekayaan perspektif sejarah dari ranah Frankofon yang bahkan dapat menjadi tawaran untuk menengok kembali historiografi negeri kita sendiri.

 

Sesi 3
Dari Dunia Frankofon: Takhayul dan Kekerasan
Pembicara : Ari Bagus Panuntun, Nilna Nabilatus Shalihah, & Rifda Aliifah Putri Aspihan
Tanggal & Waktu : Kamis, 10 Agustus 2023 16:00 WIB

Sesi terakhir seminar tentang Prancis dan Frankofon dalam sastra dan gagasan, membahas tiga novel karya sastrawan negara-negara Frankofon: L’Enfant noir karya Camara Laye (Guinea), Le Silence de L’Innocence karya Somaly Mam (Kamboja), Mémoires de Porc-épic karya Alain Mabanckou (Republik Kongo/Prancis). Ari Bagus Panuntun, menyampaikan presentasinya berjudul Romantic Primitivism dan Neokolonialisme Sastra dalam Novel L’enfant Noir Karya Camara Laye. Ia membahas L’enfant Noir (1953) yang terbit dalam bahasa Inggris sebagai The Dark Child, novel ini melukiskan kehidupan damai dan tenteram di sebuah desa di Guinea, Afrika, meski dalam penjajahan Prancis. Novel ini dikritik karena menutupi kekerasan kolonialisme Prancis dengan meromantisasi primitivisme di negeri itu melalui sudut pandang seorang bocah. 

Novel kedua yang dibahas adalah Le Silence de L’Innocence (2005), menceritakan kehidupan seorang perempuan dalam perjuangannya melawan mafia prostitusi dan perdagangan manusia yang merenggut nyawa para gadis di Kamboja. Novel ini dibedah oleh Nilna dalam judul presentasi Écriture Féminine: Suara dan Citra Perempuan Kamboja dalam Novel Le Silence de L’Innocence (2005) karya Somaly Mam. Nilna membahas tentang suara penulis novel tersebut terhadap posisi perempuan yang terbatas. Menurutnya, tokoh Mam merupakan penggerak cerita yang tindakannya berdampak pada peristiwa-peristiwa penting di dalam novel. Terakhir, novel Mémoires de Porc-épic (2006) berkisah tentang serangkaian pembunuhan yang dilakukan oleh seorang tokoh melalui hewan spiritual peliharannya berupa seekor landak, dibahas oleh Rifda dalam makalah Kepercayaan Tradisional sebagai Dalih Kekerasan dalam Novel Mémoires de Porc-épic karya Alain Mabanckou. Ia menelaah bahwa motif mengapa Kibandi tokoh dalam novel ini melakukan hal tersebut yaitu karena kepercayaan tradisional yang diturunkan oleh ayahnya membuat tindakan kekerasan, karena ayahnya memegang kuasa atas dirinya, sehingga ia tidak memiliki pilihan lain selain menerima hal tersebut. 

Sesi ini dengan menarik membahas karya sastra dari tiga sudut pandang berbeda pertumbuhan kesusastraan—dalam hal ini novel—di negara-negara bekas jajahan Prancis. Aspek penting kolonialisme, yakni penindasan manusia atas manusia dalam berbagai bentuknya, dibentangkan dari pelbagai lapis zaman. Karena itu, problemnya bukan melulu kolonialisme, tapi juga pascakolonialisme. Bagaimana manusia di negeri-negeri jajahan menegakkan martabatnya sebagai bangsa merdeka, dengan merefleksikan situasi kolonialisme di masa lalu maupun dengan meneroka problem yang mereka hadapi ketika telah meraih kemerdekaan.

Tiga sesi Seminar Prancis dan Frankofon dalam Sastra dan Gagasan ini membentang beragam sudut pandang atas pembacaan karya sastra Frankofon dan mengulitinya dalam bermacam isu, juga mengantar kita pada sebuah ruang besar yang menggambarkan kompleksitas identitas, keragaman budaya, isu-isu sosial, gender, ras, dan agama dalam konteks poskolonial.

klassikhausblog

Enam Komponis Perempuan Prancis tanpa Kata-Kata

Klassikhaus memainkan komposisi enam komponis perempuan Prancis lintas era dalam pentas Les Femmes sans Paroles (11/8). Pentas ini menjadi bagian dari LIFEs 2023: Mon Amour! yang menjelajahi sastra, budaya dan pemikiran negara-negara Frankofoni. Les Femmes sans Paroles, atau “Perempuan-perempuan tanpa kata-kata,” menjelaskan karya para komponis di pentas ini yang semuanya instrumental.

Klassikhaus (2019) adalah komunitas seni pertunjukan yang ingin mengakrabkan musik klasik pada masyarakat dengan mengadakan resital-resital kasual di ruang-ruang publik. Di Les Femmes, Klassikhaus hadir dalam format trio: Budi Utomo Prabowo duduk di bangku harpsichord dan piano, Windy Setiadi memangku bandoneon, dan Muhammad Ravi Arrauf merengkuh kontrabas. Trio ini menginterpretasi komposisi dari Élisabeth Jacquet de La Guerre (1665–1729), Pauline Viardot (1821–1910), Cécile Chaminade (1857–1944), Germaine Taillefer (1892–1944), Lili Boulanger (1893–1918) hingga Betsy Jolas (1926). Melalui karya keenam komponis, Klassikhaus menjelajahi musik dari Barok ke atonal.

Klassikhaus mengawali pentas dengan memainkan Sonata Biola no. 2 di D Mayor oleh Élisabeth Jacquet de la Guerre. Ia merupakan seorang pemain harpsichord dan organ, dan menjadi komponis perempuan pertama di Prancis yang menciptakan karya opera. Sonata Biola singkat empat bagian ini mulai dengan Presto, yang bertempo cepat, turun ke Adagio, pelan, lalu kembali ke dua Presto selanjutnya. Harpsichord dan kontrabas jalin-menjalin, lapis-melapis, dan memberi ruang bagi bandoneon untuk bermain di wilayah depan ruang dengar kita.

 

previous arrow
next arrow
Slider

 

Komposisi ini sesungguhnya diciptakan untuk biola dan continuo yang terdiri dari harpsichord dan kontrabas. Sekalinya bandoneon dimainkan, kita langsung menyadari beda wataknya: Biola mampu menarik melodi tangkas juga memanjang, sedangkan bandoneon bergantung pada tarik-hembus paru-paru (bellows) instrumen ini. Bagian unik bandoneon adalah tombol melodi yang menyerupai keyboard, yang membedakannya dengan akordion meskipun anatominya mirip, dan Windy Setiadi, yang mempelajari cara main bandoneon pada 2016 di bawah bimbingan musisi Ryota Komatsu, sepanjang pentas, ibarat sedang mengetik nada ketimbang kata. Pada bagian-bagian Presto, terutama, bandoneon tampil jenaka dan eksentrik, terlebih karena instrumen ini juga amat jarang kita lihat atau dengar, jika bukan tak pernah sama sekali. Namun rasanya bandoneon tak dapat menggantikan biola yang mahir mempersedih Adagio. Biola melamun bersama kontrabas, yang dalam sonata ini, banyak digesek selain dipetik.

Aransemen kontrabas dan harpsichord dalam Sonata Biola akan pula mengingatkan kita pada album pop di Inggris dan Amerika Serikat pada 1960-an yang terpengaruh Barok, seperti Pet Sounds, The Beach Boys (1966), atau Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band, The Beatles (1967). Paul McCartney di masa-masa Sgt. Pepper’s, misalnya, akan gemar mengaransemen laju bass sesibuk kontrabas di komposisi ini.

Klassikhaus kemudian membawakan Berceuse (Ninabobo, 1913) dan Arabesque dari Germaine Taillefer. Taillefer merupakan satu-satunya komponis perempuan dalam sebuah grup komponis Prancis abad 20 bernama Les Six. Enam Komponis. Selain Taillefer, grup ini terdiri dari Darius Milhaud, Francis Poulenc, Arthur Honegger, Georges Auric dan Louis Durey. Musik Les Six dikenal berseberangpaham dengan Romantisisme Jerman Richard Wagner dan Richard Strauss, juga orkestrasi rimbun komponis sesama penduduk Prancis, Claude Debussy, dan mengambil inspirasi dari musik-musik Erik Satie dan puisi-puisi Jean Cocteau.

Berceuse, asalnya tercipta untuk piano dan biola, menghadirkan tema yang mendaki dengan ramah dan tak bepergian jauh. Muhammad Ravi Arrauf, yang menggantikan fungsi biola dengan kontrabas, membuat ninabobo ini gagah dan bijaksana, seakan terkandung di dalamnya suatu pengalaman hidup menahun. Sedangkan Arabesque Taillefer sunyi, misterius. Laik Berceuse, mengandung tema berulang. Mendengarnya kita mengandai secercah caya lampu minyak di malam hari, sendiri bergeseran di tembok-tembok dan jalanan sepi.

Klassikhaus kemudian membawakan Piano Trio no. 1 di G Minor, Op. 11 (1881), oleh Cécile Chaminade. Komposisi ini terbagi jadi empat bagian: (I) Allegro, (II) Andante, (III) Presto, (IV) Allegro molto. Dalam Les Femmes, Klassikhaus terlebih dahulu memainkan dua bagian pertama Trio, kemudian menyisipkan Ruht wohl (2011) oleh Betsy Jolas, Nocturne untuk biola dan piano (1911/1914) oleh Lili Boulanger, Romance, 6 Morceaux, no. 1 (1868) oleh Pauline Viardot, lalu kembali ke Piano Trio dengan sisa Presto dan Allegro molto.

Chaminade mengaransemen Piano Trio untuk piano, biola, cello. Kali ini, kita menyaksikan bagaimana Klassikhaus, terkhususnya Windy Setiadi, menguji kapasitas bandoneon dalam memainkan dan mengisi wilayah hembus yang tak terjamah oleh biola, juga dalam mengikuti tempo cepat Allegro, karena ada gerakan tertentu yang membuat bandoneon seolah-olah kehabisan napas. Lain halnya ketika komposisi memasuki Andante. Kita akhirnya mendengar dampak bunyi bandoneon yang berbeda dari saat ia memainkan Sonata Biola di awal pentas; Suatu kualitas yang kita kenal dengan sedih. Bagaimana caranya sebuah instrumen musik dapat terdengar nelangsa? Apakah ini kualitas inheren instrumennya, atau inikah qualia manusia?

Klassikhaus memperlihatkan dampak lain bandoneon ketika ia menggantikan peran biola dalam komposisi Ruht wohl, atau “Istirahatlah dalam damai,” oleh Betsy Jolas. Jolas, kini berumur 97 tahun dan masih aktif berkarya, merupakan komponis kontemporer perempuan yang konsisten menciptakan komposisi atonal. Ruht wohl merupakan sebuah renungan pendek Jolas terhadap bagian akhir oratorio St. John Passion (1724) oleh Johann Sebastian Bach, yang dengan paduan suara, mempersembah ninabobo megah: Ruht wohl, Ihr heiligen Gebeine/Die ich nun weiter nicht beweine (Istirahatlah dalam damai, tulang-tulang kudus/Aku tak lagi menangisimu [terjemahan bebas penulis]). Terkait interpretasi Klassikhaus terhadap Ruht wohl Jolas, bandoneon nampak mampu mendorong renungan ke daerah yang lebih kelam, dan kontrabas, dengan nada yang lebih bawah dari biola dan cello, turut mempertipis udara di atmosfer atonal, menjadikan komposisi ini seperti suatu daerah hampir-vakum.

 

Penulis: Ibrahim Soetomo

arsuka

Nirwan Ahmad Arsuka
(05 September 1967—06 Agustus 2023)

Nirwan Ahmad Arsuka adalah salah satu penulis esai terbaik Indonesia. Dengan suara yang khas ia bersoal jawab dengan sastra, teater, sinema, seni rupa, filsafat dan ilmu pengetahuan.

Lulus dari Teknik Nuklir Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, ia semakin giat memasuki pergaulan kesenian-kebudayaan di berbagai kota di Jawa dan luar Jawa. Ia juga ikut mengembangkan jejaring dan institusi, antara lain dengan menjadi redaktur lembaran budaya Bentara di harian Kompas dan kurator di Bentara Budaya Jakarta. Buku kumpulan esainya adalah Percakapan dengan Semesta (2015), Semesta Manusia (2018), dan Two Essays (terjemahan, 2015).

Ia mendirikan Pustaka Bergerak Indonesia, yang mengembangkan komunitas baca di berbagai pelosok Nusantara. Bersama Pustaka bergerak, ia membawa buku-buku dengan perahu, kuda, gerobak, dan sarana apa saja. Ia tidak percaya bahwa masyarakat Indonesia tidak gemar membaca. “Masalahnya ialah tidak ada bacaan yang bisa mereka jangkau,” katanya sering kali. Upaya ini mendapat apresiasi sangat baik dari berbagai pihak, di dalam dan luar negeri. Misalnya, ia dan Pustaka Bergerak Indonesia tampil dalam Istanbul Biennial ke-17 (2022).

Nirwan Ahmad Arsuka adalah sahabat bagi Komunitas Salihara. Ia tidak jemu-jemu memberikan usul, kritik dan semangat kepada kami.

Selamat beristirahat, Kawan.

 

Sumber foto: suara.com/Pebriansyah Ariefana

Menyingkap Belenggu Pendidikan Bersama Budi

Penulis: Lestari dan Amos

 

Pada ruang yang gelap itu, bukan hanya saya dan penonton lain saja yang duduk untuk menyaksikan “Budi Bermain Boal”. Akan tetapi, dua orang berpakaian atasan putih dan bawahan merah di arena pertunjukan juga  duduk tegak di bangku kayu. Mereka adalah laki-laki dan perempuan yang mengenakan seragam SD. Gaya rambut dikuncir dua si perempuan dan sehelai rambut yang menjuntai di samping telinga kanan lelaki agak mengecoh saya untuk memandang mereka sebagai bocah.

Bocah-bocah itu kemudian tidak berdiam diri duduk saja. Tangan-tangan mereka mulai bergerak menarasikan frasa-frasa koreografi. Kedua tangan bocah-bocah itu diangkat lurus ke atas, ke depan tubuh, lalu dilipat di depan dada seakan tangan mereka ditopang meja. Tubuh kedua bocah itu juga condong ke depan ketika tangan dilipat, seperti siswa-siswi yang mencoba memperhatikan guru dengan lebih jeli. Tidak hanya tubuh mereka yang berupaya menceritakan suatu narasi, tetapi wajah mereka juga berusaha bercerita dengan ekspresi senyum yang disunggingkan kala tubuh mereka condong ke depan. Namun, senyum mereka serupa senyum yang janggal, karena terlihat hanya bibir yang berekspresi. Sementara, mata mereka hanya menatap kosong.

Frasa-frasa koreografi karangan Megatruh Banyu Mili ini tidak ingin menarasikan masa kecil bahagia di bangku Sekolah Dasar. Mulai dari kejanggalan dalam fragmen awal pertunjukan, justru rangkaian koreografi di atas panggung ingin mengungkap bagaimana kuasa tersebar, terselip, dan bersembunyi di ruang-ruang pendidikan formal sejak kita berusia enam tahun. Terlebih, bagaimana kuasa itu menubuh dalam diri kita hingga mengubah laku kita serupa robot. Tulisan ini ingin mengurai bagaimana kuasa terselip, menempel, sampai menubuh ke dalam diri kita ketika duduk di bangku SD.

Kejanggalan pada fragmen awal semakin terasa karena narasi koreografi di atas diulang berkali-kali, membuat bocah-bocah itu mewujud seperti robot. Namun, gerak yang tak berkesudahan itu segera diisi dengan adegan lain. Seorang lelaki berpakaian seragam SD turun dari area penonton dan berjalan menuju panggung. Ia mendekati sebuah papan persegi yang tergantung di sisi kiri belakang panggung. Pada permukaan papan tersebut ada goresan alat tulis yang membentuk gambar panorama alam imajinasi umum bocah-bocah kecil: dua gunung menjulang dengan satu matahari di tengah, dua petak sawah, dan satu ruas jalan.

Lelaki tersebut mengeluarkan alat tulis berwarna merah, lalu mewarnai dua petak sawah. Kemudian, ia beralih ke warna kuning dan mewarnai lembah gunung beserta kedua pucuknya. Gambar matahari ia isi dengan warna hijau. Terakhir, ia menuang goresan warna hijau pada gambar ruas jalan.

Tiba-tiba, lelaki itu melakukan adegan yang tak kalah janggalnya dari adegan dua bocah di awal tadi. Lelaki itu mengambil kursi yang diduduki bocah perempuan dan meletakkannya di sebelah perempuan. Lalu, ia memeluk tubuh perempuan, menggendongnya, dan membawa tubuh itu ke depan papan. Bentuk dan laku tubuh perempuan masih tetap sama persis seperti ketika ia duduk di bangku: lutut ditekuk dan tangan bergerak. Lelaki itu seolah membawa robot yang tangannya bergerak kaku.

Kemudian, ia meletakkan tubuh perempuan, mencoba membungkukkan tubuh itu hingga tangannya menyentuh lantai, dan punggungnya menghadap ke atas. Sang lelaki mengangkat salah satu kakinya ke atas punggung bocah perempuan, lalu yang satunya lagi, dan berdiri tegak di atas punggung perempuan itu. Sembari ia naik ke atas punggung, tubuh saya ikut bergetar dan merinding ketika melihat getaran hebat tubuh yang ditunggangi manusia lain. Dengan perlahan laki-laki itu melepaskan papan dari gantungan dan membawanya. Masih dengan tubuh yang bergetar karena beban laki-laki di atasnya, perempuan itu berusaha jalan dengan kedua tangan dan lututnya yang ditekuk. Persis seperti bayi berjalan merangkak. Fragmen ini semakin mengundang ketegangan karena iringan suara alat musik perkusi yang dipukul keras dan tempo cepat, seperti dalam sinema-sinema psychological thriller.

Sembari ia terus berjalan ke depan panggung, ada suara seorang pria dewasa membacakan sesuatu, intonasinya seperti seorang anggota badan legislatif mengucap lantang aturan yang baru saja dibuat. Teks yang dibaca suara itu mungkin adalah “Surat Keputusan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 52 tanggal 17 Maret 1982”. Surat ini adalah teks resmi untuk mewajibkan pemakaian seragam di seluruh sekolah, baik tingkat dasar hingga menengah pada era Orde Baru.

(Kutipan dari “Surat Keputusan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 52 tanggal 17 Maret 1982”)

 

Aturan yang diucap lantang pria itu seakan ikut membebani tubuh bocah perempuan sampai ia tergopoh, kepayahan, dan terus bergetar. Bahkan, suara pembacaan aturan itu jadi ikut menghajar tubuhnya. Penghajaran itu memang dilakukan melalui penyeragaman. Apa yang dimaksud penyeragaman adalah pendisiplinan tubuh. “Seragam” dalam karya “Budi Bermain Boal” adalah metafora, ia bukan hanya sehelai kain. “Seragam” sejatinya tak kasat mata, ia seperangkat cara mengatur, memerintah, dan membentuk tubuh untuk patuh. Maka, apa yang benar-benar diseragamkan adalah cara berpikir, cara bergerak, tindakan, dan perilaku.

Penghajaran itu semakin terlihat pada fragmen di mana bocah perempuan tiba-tiba berpose menyilang tangan untuk memegang kedua telinga dan mengangkat salah satu kaki. Persis seperti pose seorang siswa dihukum gurunya. Kemudian, seorang lelaki melepaskan sepasang sepatu yang menempel pada kedua kaki perempuan. Ia membawa sepasang sepatu ke sisi kiri belakang panggung dan menyemprotkan pylox berwarna hitam ke permukaan sepatu. Fragmen ini menyingkap dengan jelas bagaimana penyeragaman berupaya menghajar dan menubuh dalam siswa-siswi sejak mereka duduk di bangku SD.

Penghajaran itu tidak hanya disingkap melalui tubuh-tubuh dan keaktoran para penampil di panggung. Dalam fragmen selanjutnya, Megatruh menampilkan dirinya sebagai guru dan membagikan soal Ujian Akhir semester dan pensil kepada para penonton. Lalu, ia menginstruksikan kami untuk mengisi lembar ujian dengan jawaban diri sendiri, jawaban yang otentik. Di sini terjadilah momen ketika batas antara panggung dan penonton mulai mengabur. Penonton ikut menjadi aktor yang diatur dan di-“seragamkan”. Fragmen ini seakan ingin mengajak penonton membuka kembali ingatan mereka akan belenggu penyeragaman di bangku SD.

Penyeragaman itu ternyata berlanjut dalam hal yang lebih mendasar, yaitu substansi mata pelajaran. Dalam fragmen menuju akhir pertunjukan, dua bocah perempuan dan laki-laki tadi berubah serupa guru dan instruktur tarian. Sang lelaki mengeluarkan suara beratnya dan mengajak para penonton untuk berdiri. Kemudian, ia menginstruksikan kita untuk menirukan gerak kaki, tangan, dan panggul yang menyerupai goyang kekinian ala Tiktok. Pada fragmen ini, lelaki yang tadinya merupakan siswa SD berubah menjadi guru tari. Sesekali ia mengucap dengan kalimat yang kurang lebih berbunyi demikian, “Jangan lupa tersenyum, ya. Penari harus tersenyum supaya penontonnya terhibur”. Selain itu, ia menambahkan narasi lain yang lebih menohok, seperti “Ayo, tersenyum kalau gak mau dimarahi!”.

Narasi-narasi seperti di atas seakan berfokus pada hukuman ketimbang esensi dari pelajaran yang diberikan. Apalagi, ada unsur keharusan yang berujung pada paksaan karena berorientasi pada hukuman. Atas nama pendisiplinan, tubuh wajib patuh pada perintah dan hukuman.

Selain narasi-narasi yang sifatnya menyuruh dan menghukum, lelaki itu juga menjelaskan mengenai pembelajaran tari secara teoritik. Akan tetapi, narasi yang disampaikan juga terlalu memusat. Ia menjelaskan bahwa tarian pasti terdiri dari wirama, wiraga, dan wirasa. Narasi itu cukup memantik saya karena dari pengalaman belajar tari secara non formal, tidak semua tarian memerlukan ketiga unsur tersebut. Sekali lagi, penyeragaman begitu terlihat. Kali ini, ia berbentuk wacana pengajaran tari di sekolah.

 

Antara Paulo Freire, Augusto Boal, dan “Budi”.

Penyeragaman yang dituturkan tiga penampil melalui frasa-frasa koreografi mengingatkan saya pada Paulo Freire. Bagi Freire, pendidikan yang gagal adalah pendidikan yang menempatkan manusia sebagai objek yang menjalankan perintah satu arah, tidak pernah merefleksikan diri, dan tak pernah mengupayakan penciptaan kreatif (Freire, 2008: 57-60).

Freire menggugat pendidikan yang memperlakukan manusia sebagai mesin pasif. Dalam ruang kelas seperti itu, tubuh digerakkan seperti robot. Tentu tubuh diperintah agar bergerak patuh pada kuasa dominan yang mengintervensi gerbang sekolah, ruang kelas, hingga lapangan upacara.

Menyimak “Budi Bermain Boal” adalah menyimak bagaimana kuasa bekerja dalam ruang keseharian. Karya ini berhasil menggambarkan bagaimana cara kerja politik keseharian yang menubuh dalam subjek siswa dan guru. Maka, koreografi ini berupaya menyingkap lapisan kuasa dalam seragam dan tubuh-tubuh yang memakainya.

Perihal judul “Budi Bermain Boal”, tampak bahwa Augusto Boal sangat berpengaruh dalam gagasan mendasar karya ini. Pemakaian dramaturgi ruang kelas seakan mempertemukan sosok Paulo Freire dan Augusto Boal, memang faktanya kedua tokoh dari Brazil ini sangat dekat. Freire dengan pedagogy of the oppressed menginspirasi Boal untuk mengembangkan theater of the oppressed. Koreografi Megatruh tampak menyatukan ide besar antara Freire dan Boal, sebab pertunjukan ini berupaya menyingkap belenggu kuasa yang mengitari bangku kayu, ruang kelas, dan berbagai praktik pendidikan yang menindas.

Dalam situasi pendidikan yang membelenggu ini, “Budi” adalah kita semua. Dibanding sekedar nama sosok, “Budi” dalam koreografi Megatruh menjelma sebagai kata kerja. Semua tubuh di panggung dan bangku penonton adalah “Budi”. Ia tidak hanya dieja dan diucap, tetapi ia menjadi modus kuasa untuk menyeragamkan.

Semua penonton kemudian menjadi “Budi” dengan bermain-main bersama dalam “teater forum”. Dalam fragmen ketika penonton diperintah berdiri dan bergerak sesuai sabda otoriter instruktur tari, atau dalam fragmen ketika penonton “diwajibkan” mengisi lembar soal Ujian Akhir Semester: penonton ditarik menjalani peran sebagai “Budi” yang lain. Penonton tidak hanya menyaksikan tingkah “Budi” di panggung, tetapi sama-sama dijejali perintah dan dijerat oleh “pem-Budi-an”.

Menyadari kita semua menjelma sebagai “Budi” adalah momen politis, sebab kita dikekang perangkap kuasa yang sama. Memang penonton tidak diprovokasi agar mengintervensi “Budi” di panggung, sebab kita semua adalah “Budi” dan dibentuk menjadi “Budi”. Menyingkap “pem-Budi-an” adalah tawaran penting yang diberikan “Budi Bermain Boal”.

Lalu, apa kita semua akan terus dibentuk dan dirakit menjadi “Budi”, robot, atau mesin berseragam?

 

Referensi:

Paulo Freire. 2008. Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: Pustaka LP3ES.

Augusto Boal. 2000. Theatre of the Oppressed. London: Pluto Press.

Mothers-Tongue-990x660

Jean-Baptiste Phou dan Suara Semangat untuk Minoritas

Apa yang terlintas di kepala kita jika mendengar atau membaca nama Jean-Baptiste Phou? Barangkali di kepala kita masih kosong, namun remang-remang kita akan menemukan beberapa kata kunci ketika mendengar namanya disebut. Ia adalah penulis, aktor, dan sutradara berkebangsaan Prancis-Kamboja. Ia lahir pada 24 Januari 1981, kedua orang tuanya berketurunan Tionghoa-Kamboja yang tinggal di Prancis. Phou tak hanya aktif dalam pertunjukan musikal dan berakting dalam film, ia juga menulis naskah teater berjudul Cambodia, Here I am dan menyutradarai pertunjukan tersebut. 

Karya-karya Phou begitu kental dengan persinggungan ras dan kehidupan orang-orang Asia di Prancis. Tak hanya mengupas persoalan hidup sehari-hari orang Asia yang tinggal di Prancis, tapi ia juga mengupas persoalan seksualitas yang kadang kala menjadi sebuah persoalan yang tabu untuk dibahas sekaligus tabu untuk diekspresikan. Phou meniti karier artistiknya sejak 2008, dan ia mulai banyak menyampaikan gambaran pengalaman hidup orang Asia di Prancis. 

Phou menyadari bahwa isu tentang ras dan seksualitas adalah isu yang harus hati-hati ia kupas dan bicarakan. Phou pun memanfaatkan berbagai karya dengan topik sosiologi, sastra, sejarah, studi gender, hingga budaya populer untuk  diteliti dan  ia kemudian mampu menawarkan strategi yang dikembangkan untuk membicarakan persoalan ras, emosi dan seksualitas. Bagi Phou, begitu sulit menjadi orang Asia yang menjadi minoritas dalam haknya untuk mengekspresikan emosi dan seksualitasnya. 

Kita tentu penasaran seperti apa karya-karya Jean-Baptiste Phou yang sangat membuka kemungkinan bagi kaum minoritas orang Asia untuk tetap mendapatkan haknya dalam mengekspresikan diri, hasrat juga seksualitasnya. Pembicaraan tentang Jean-Baptiste Phou akan ada dalam LIFEs 2023 yang mengusung tema Frankofon. Seperti apa pengalaman kehidupan orang Asia yang tinggal di negara-negara Frankofon ini? Mari kita temukan jawabannya dalam program LIFEs 2023, hanya di Komunitas Salihara.