esai-template-

Dari Pusat Pusaran Medan yang Tersendiri dan Memikirkan Ulang “Internasionalisme”

Yacobus Ari Respati

Tulisan ini adalah tanggapan terhadap sesi ketiga program Zoom In Seni Rupa Indonesia dan Internasionalisme Baru (2020).

Bagaimana kita bisa mendefinisikan aturan pertukaran, refleksi percakapan dan peran seni rupa Indonesia di pergaulan mancanegara? Seni Rupa dan Internasionalisme Baru, seri webinar dari Komunitas Salihara mendiskusikan persoalan tersebut lewat curahan pengalaman di arena seni global yang berdaulat (sesi I: Ade Darmawan & Alia Swastika) dan ketika kurator dunia pinggir mendapat giliran bicara sebagai suara dan kuasa utama (sesi II: Farah Wardani & Jim Supangkat). Sesi ketiga “Internasionalisasi dari Institusi-Institusi di Indonesia” mencoba untuk menyoroti keadaan sirkuit dan kantong seni rupa lokal: melihat kembali caranya bekerja serta membangun percakapan sendiri.

Sesi pertama berbicara soal bagaimana seni rupa Indonesia dapat “dipandang” dari luar. Sesi kedua soal perundingan dan angin yang membawa kesempatan untuk suara seni rupa Indonesia didengar dan diuji. Sesi ketiga menguji pandangan soal kenyataan dan motif seni rupa Indonesia dari dalam. Agung Hujatnikajennong dan Asep Topan adalah dua tokoh yang bicara pada kesempatan ini. Agung Hujatnikajennong adalah kurator independen dan pengajar di Institut Teknologi Bandung. Asep Topan adalah kurator Museum MACAN di Jakarta dan pengajar di Institut Kesenian Jakarta.

 

“Baru” dan “Lama”, Cair dan Baku secara Lebih Terkutub

Agung Hujatnikajennong mengawali paparan pertama dengan mengajukan pemahaman lagi tentang “internasionalisme” dan seni rupa. Ia menembak “Internasionalisme Baru” sebagai istilah yang lebih sering dibingkai dari terminologi “kosmopolitanisme” (kosmopolites yang artinya “penduduk dunia”).

Agung Hujatnikajennong menyebut fenomena yang dibahas sebagai “Internasionalisme Baru” adalah kejadian yang khas dan baru, juga berkaitan erat dengan fenomena seni rupa kontemporer—mengikat refleksi pengalaman Jim Supangkat yang lalu. Fenomena itu menyertakan pertumbuhan “bienalisasi” yang menyerabut di kota-kota di berbagai penjuru dunia sejak akhir 1980-an sampai belakangan. Ia lain dengan pameran-pameran lama yang bisa ditarik hingga pada pameran-pameran besar internasional pada akhir abad 19 dan awal abad 20. Perbedaannya ada pada skala, cakupan, konsep pertimbangan keikutsertaan serta artikulasi perannya dalam konstelasi mancanegara.

Agung Hujatnikajennong merefleksikan perbedaan kedua gelombang “lama” dan “baru” itu, misalnya antara La Biennale di Venezia dan The Asia-Pacific Triennial of Contemporary Art (APT) yang penyelenggaraan pertamanya terpaut hampir satu abad. La Biennale di Venezia mewakili gaya pameran internasional yang lebih formal dalam memandang hubungan antarnegara (nation state). Bermula dari sebuah bentuk pekan dan perayaan terpusat dwitahunan, La Biennale di Venezia kemudian membuka kesempatan bagi negara-negara dunia untuk ikut mengadakan pameran dengan anjungannya masing-masing. Pemusatan itu berkembang di tingkat dunia hingga jadi pusat dan barometer kemutakhiran. Model La Biennale di Venezia sendiri adalah bagian dari sejarah pameran-pameran besar dan model pekan raya seperti World’s Fair, Colonial Expo, Foire. Mereka menarik garis batas di antara peristiwa kebudayaan, pameran teknologi, perdagangan, hiburan warga, serta pendorong ekonomi kreatif lokal. Anjungan atau paviliun negara di La Biennale di Venezia sendiri tampil dalam presentasi khusus oleh pembuat seni yang punya identitas warga negara itu. Presentasinya diatur, dikelola, diproyeksikan oleh aras kebudayaan dari patronase negara masing-masing.

Agung Hujatnikajennong melihat perkembangan kesejarahan yang menggeser dasar hubungan formal itu yang mengubah bentuk pameran menjadi lain. Bienale-bienale akhir abad 20 tidak lagi menonjolkan segi keterwakilan secara formal, serta dapat dilihat lebih cair sebagai identifikasi basis percakapan, pertukaran, titik tolak tema dan isu. Ini didorong oleh adanya konstelasi teori baru setelah 1968. The Asia-Pacific Triennial of Contemporary Art (APT) dalam menyertakan perupa-perupa Indonesia (dan Asia-Pasifik) secara konsisten menjadi seperti itu. Ada kadar asal negara yang dipertahankan namun secara muatan lebih lepas, bisa jadi hanya sebagai “teks” yang dimasuki dan diterjemahkan. Politik identitas jadi lebih mengemuka dan bienale-bienale maupun pameran-pameran besar jadi dibayangkan sebagai forum percakapan dari satu dunia global—maka kosmopolites

Tesis Agung Hujatnikajennong kemudian adalah bahwa istilah “Internasionalisme Baru” bisa meleset apabila konsisten diterapkan di atas keadaan dan kecenderungan-kecenderungan ini. Dan medan seni atau art world Indonesia punya kenyataan praktiknya sendiri yang juga lain. Satu yang Agung Hujatnikajennong ketengahkan adalah model “seniman sebagai patron.” Kecenderungan ini marak di bentang kebudayaan Indonesia modern lewat tempat-tempat seperti Selasar Sunaryo, Sangkring, hingga Cemeti dan ruangrupa. Seniman mendirikan ruang, merancang, memimpin dan membiayai program pameran. Kerjanya menyerabut dari jangkauan jejaring sang seniman dan modal hubungan-hubungannya. Mereka tersambung dengan model museum seniman-seniman mapan yang secara mandiri membuat ruang untuk memamerkan, menyimpan karya, dan menyediakan ruang percakapan bagi medan kebudayaan di wilayahnya. Kemandirian seperti jadi syarat untuk maju dan memperbarui kebudayaan dan seni rupa di Indonesia yang minim dukungan dan proyeksi jangka panjang dari negara.

Model itu tentu punya irisan dengan ruang gagas seniman (artist-run space dan model artist-initiative) di dunia, namun bekerja dengan skala dan pola sebaran yang berbeda di Indonesia. Agung Hujatnikajennong mencontohkan Galeri Nasional Indonesia yang bisa diakses untuk berpameran oleh siapa saja, tidak seperti ruang pamer nasional di negara lain. Juga bienale-bienale dan pameran besar seperti Art Jog, yang dapat diupayakan oleh kelompok atau bahkan sejumlah individu—berbeda dengan di negara lain yang hampir selalu adalah kegiatan dengan patron pemerintah atau model art fair yang mapan. 

Secara tipologi, menurut Agung Hujatnikajennong jenis-jenis pameran di Indonesia bisa jadi berbeda. Pembagian umum untuk model pameran di dunia seperti pameran blockbuster dan do-it-yourself, atau antara bienale, art fair dan festival bisa tidak berlaku secara ketat dan dikotomis. Kebiasaan kerja, organisasi dan kelembagaan yang cair ini bersambut dengan latar konstelasi dan kosmopolitanisme seni rupa dunia yang baru, terbuka bagi pelaku dan dunia seni rupa Indonesia. Menyambung paparan Ade Darmawan pada webinar pertama, hal ini berkait dengan kecenderungan besar seni rupa global yang sedang membuka dan membalik cara-cara kerja lamanya sendiri secara sistematis.

Agung Hujatnikajennong menutup paparannya dengan mengetengahkan contoh kasus Undisclosed Territory (UT), festival internasional seni performans yang rutin diadakan di Solo sejak 2007 di bawah asuhan perupa Melati Suryodarmo. Undisclosed Territory bekerja dengan semacam sikap keramahtamahan internasional. Terutama, dalam dua konsep Jawa: sesrawungan—bergaul dengan manusia lain seluas-luasnya. Dan dalam berkumpul bertukar cakap lewat konsep sambatan—mengungkapkan dengan mengaduh, mengadu, dalam pengertian tertentu, mengeluh. Orang-orang dalam festival Undisclosed Territory dihimpun lewat kontak-kontak dari jejaring pribadi Melati Suryodarmo secara informal dan sukarela. Sifatnya tanpa syarat, perencanaan dan administrasi yang baku. Undisclosed Territory menjadi bentuk ruang percakapan mandiri yang didekati secara eksperimental, dan lebih jadi soal sumbangsih kolektif yang ada di atas asas berkumpulnya.

 

Pemain Dunia dalam Aturan Lokal

Asep Topan merespon tema Internasionalisme Baru dengan melihat itu sebagai sebuah fenomena berlanjut. Setelah 1968, dalam iklim kapitalisme transnasional dan ekonomi global, muncul pameran-pameran yang jadi wadah bagi seni rupa di luar sirkuit internasional utama. Mengutip Okwui Enwezor, sifatnya adalah berupa inisiasi-inisiasi yang menawarkan rasa baru seni rupa kontemporer meski tidak tentu memiliki fungsionalitas warisan kelembagaan seni tertentu yang kukuh.

Kelembagaan baru atau new institutionalism dibaca Asep Topan jadi puncak yang memotong arah sikap dari kecenderungan di atas. Istilahnya muncul menyimpulkan pola sejumlah museum Skandinavia dan Eropa yang sejak akhir 1990-an sampai awal 2000-an merancang program baru. Mereka mengetengahkan agensi museum lewat pendidikan seni. Rata-rata adalah museum-museum kelas sedang yang menggolongkan dirinya sebagai “pinggir” dan membangun dialog dan kerja sama dengan sesamanya. Ini menghasilkan praktik kekuratoran yang meluas (expanded curatorial practice) dengan rumusan dan pertanyaan yang dipengaruhi tradisi kritik kelembagaan (institutional critique). Ia jadi tawaran atau alternatif yang secara sadar bekerja di sekitar pusat seni rupa dan cara-cara kerja kelembagaan seni mapan di arus utama. 

Pengaruh kelembagaan baru terasa dan diteruskan oleh sejumlah kurator dan lembaga hingga ke perkembangan “educational turn” serta segala bentuk keterbukaan akses dan keterlibatan pengunjung, khalayak, terhadap interpretasi, pameran, dan koleksi museum. Upaya untuk merumuskan ulang medan seni—sebagai playing field dalam bahasa penulis seni Irit Rogoff—dan aturan-aturannya, untuk bisa tetap bekerja secara vital dan hakiki. Supaya berfungsi tanpa dipengaruhi untung-rugi hegemoni industri kebudayaan. Ide dan sikap padanan dan dekonstruksi kerja ruangrupa bagi documenta Fifteen adalah tawaran tercanggih dari perkembangan kesejarahan itu. 

Asep Topan memperbandingkan gagasan kerja new institutionalism dengan bagaimana Jakarta Biennale (2017) dan Museum Modern and Contemporary Art in Nusantara (MACAN) melembaga. Keduanya bertolak belakang. MACAN adalah museum yang bekerja secara mapan sebagaimana tolok ukur museum-museum seni rupa utama di Barat. Sifatnya terstruktur dengan program-program besar dan target pengunjung dalam artikulasi apresiasi yang umum dan luas. Meski ini “kuno” dalam khazanah dunia, tapi ia baru bagi medan seni rupa Indonesia, terutama untuk membangun tradisi kepenontonan baru. Dan di atas standar itu hadir peluang kerja sama internasional dengan institusi lain secara sebahasa dan setara.

Soal pengalaman baru itu berjalan berdampingan dengan pendekatan Jakarta Biennale (JB). Jakarta Biennale sejak awalnya pada 1974 adalah gabungan antara bagian besar inisiatif aktor medan seni dengan sebagian agenda kebudayaan pemerintahan. Paparan Asep Topan menarik sebab melingkupi Jakarta Biennale 2017 yang melibatkan Melati Suryodarmo sebagai direktur artistik.

Menurut Asep Topan, Jakarta Biennale 2017 meminjam metode Undisclosed Territory yang ketika itu sudah 10 tahun berjalan. Perupa luar di Jakarta Biennale 2017 untuk pertama kalinya berjumlah lebih banyak dibanding dari Indonesia. Produksi karya dilakukan di Indonesia dan diwadahi secara lokal, di samping juga banyak seni performans yang tampil terjadwal. Artikulasi sumber daya lokal dilakukan untuk mengakali biaya pengiriman dan asuransi. Meski menariknya lagi itu dilakukan dengan menyertakan seniman-seniman bienale “biasa” yang a la blockbuster, serta kurator Philippe Pirotte dan Vít Havránek. Jakarta Biennale dalam skema itu mencangkok dan membalik model bienale untuk jadi lain secara baru (beda). Gagasan institusionalisme ala Undisclosed Territory digabungkan dengan bagaimana sebuah lembaga bienale bekerja, dengan Melati Suryodarmo.

 

Pusaran Tersendiri

Persoalan cair dan tidak mapan dari cara kerja medan seni kita menjadi aras yang diamati moderator dalam diskusi. Muncul pertanyaan apakah cara-cara kerja yang khas kantong lokal kita itu hasil niscaya dari keterbatasan dan bisa saja punah ketika berubah jadi mapan. Juga, bagaimana mereka dibedakan dengan identifikasi cara kerja kolektif perupa dan model-model kolaborasi yang cair.

Asep Topan melihat tarik-menarik dengan upaya memapankan itu ada, dan bisa jadi jebakan lain. Struktur dan organisasi yang banyak ada, seperti Jakarta Biennale, terbentuk musiman dengan rancangan jangka pendek atau menengah. Jakarta Biennale ada di bawah Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta yang tritahunan. Agung Hujatnikajennong menekankan bahwa pola seniman sebagai patron berbeda dengan kegiatan kolektif, sebab jadi pendukung medan kerja mereka sendiri dan jadi terlembagakan secara khusus dalam tipologi ruang seni kita. Alur ini jadi berbeda dengan keinternasionalan sezaman. Meski kadang terinspirasi oleh model dari luar, kegiatan-kegiatan kesenian di Indonesia ketika ditempuh dalam terjemahannya malah berbeda. Ini misalnya terjadi pada Art Jog yang hendak jadi art fair dan jadi pameran besar yang lain kemudian. Kutub pameran blockbuster juga tidak banyak terterapkan di Indonesia. Hanya Museum MACAN, menurut Agung, yang bisa bekerja pada skala itu, meski banyak yang ramai.

Perbincangan juga membahas soal pola bienale dan pameran besar secara lebih umum di kota-kota di Indonesia. Leonhard Bartolomeus bertanya tentang pemanfaatannya sebagai strategi untuk perkembangan ekonomi di daerah tertentu. Agung Hujatnikajennong memaparkan riak ekonomi itu ada—yang bak Bilbao Effect sejak kehadiran Museum Guggenheim di Kota Bilbao. Ia jadi tren dan tolok ukur gengsi dalam kompetisi visibilitas antarkota. Walaupun di Indonesia bienale bukan didorong sebagai kebijakan kota, tapi lebih kepada semangat komunitas seni di daerahnya. Terlepas dari bagaimana bienale mereka definisikan secara format dan muatan. Hubungan tontonan, hiburan dan ekonomi pariwisata tetap dekat dan niscaya dengan pameran besar sebagai kegiatan khalayak, dan “kemeriahan” semangat medan seni.

Maka dapat dibaca bahwa semangat itu yang selalu ada dan mendorong-menembus dari tingkat pelaku di Indonesia, hingga ke atas. Keterlibatan dan kebijakan kebudayaan yang sedikit membangun karakter medan seni dan kelembagaannya dengan ketergantungan yang lebih kecil. Ia juga ikut didukung oleh situasi informal yang ada pada lingkungan sosialnya untuk bisa mendukung penyelenggaraan pameran secara berjenjang hingga terhimpun ke skala internasional.

Keadaan ini menciptakan kantong lokal sebagai wadah dengan sifatnya yang tersendiri dalam melakukan negosiasi ke seni rupa dunia sebagai penduduk dunia kosmopolit. Prinsip-prinsip ini—yang kekeluargaan, ramah-tamah, sesrawungan, sambatan, hingga konsep lumbung pada ceramah Ade Darmawan—menemukan konvergensi dengan keadaan pencarian kebaruan, atau model baru di medan seni dunia. Medan yang wacana progresif belakangan mendapat kritik sebab bekerja dalam cara-cara yang tertahbiskan secara kapitalistis, neoliberal, dan memingit dirinya dari akses pengetahuan, nilai dan representasi khalayak. Keadaan itu juga dimungkinkan dari perbincangan-perbincangan, perlintasan kekuasaan, dan warisan dari tatanan geopolitik dunia dari sejak industrialisasi, perdagangan, penjajahan, dan hingga konstelasi teori pada dunia mutakhir dengan informasi dan perkembangan teknologisnya. 

Webinar ketiga mencapai kesimpulan ini dengan menelusur kesejajaran; mencari aras kantong lokal kita terhadap yang global. Sehingga tampak karakter, kekhasan, hibriditas dalam divergensi dan konvergensinya dengan dunia. Baik itu terjemahan, adaptasi, dan juga patahan-patahan yang mulai bisa kita perjelas. Bagaimanapun, tampak masih banyak persoalan dan kekhususan lagi yang perlu dibongkar tentang jalan, endapan, dan cara seni rupa kita bekerja. Ini untuk membangunnya secara progresif sesuai perkembangannya yang kepalang nirada (abstrak).

 

Yacobus Ari Respati adalah bagian dari staf ajar dan penelitian Seni Rupa Institut Teknologi Bandung untuk kekuratoran, sejarah pameran dan sejarah seni rupa sejak 2016. Ia pernah menjadi asisten kurator dalam Pameran Arsitektural Indonesialand (Selasar Sunaryo, 2016) dan “Seteleng to Biennale: Exhibition Histories of 20th Century Indonesia” bagian dari Art Turns, World Turns (Museum MACAN, 2017). Ia juga pernah menjadi kokurator Akal Tak Sekali Datang, Runding Tak Sekali Tiba; anjungan Indonesia di La Biennale di Venezia (Venice Biennale) pada 2019.

esai-template-

Kilas Balik dan Titik-Titik Sambung Seni Rupa dan Internasionalisme Baru dari Farah Wardani dan Jim Supangkat

Yacobus Ari Respati

 

Tulisan ini adalah tanggapan mengenai tiga sesi program Zoom In Seni Rupa Indonesia dan Internasionalisme Baru (2020).

Sesi kedua ceramah dan wicara webinar Seni Rupa dan Internasionalisme Baru diselenggarakan secara daring oleh Komunitas Salihara pada 11 November 2020. Acara ini menyoroti keterlibatan aktor-aktor seni rupa Indonesia dalam kegiatan-kegiatan seni rupa besar mancanegara.

Sebelumnya, Alia Swastika dan Ade Darmawan telah bicara tentang peran dan sikap kekuratoran dan kelembagaan mereka di tengah kelindan cara kerja dan wacana mutakhir medan seni dunia. Sesi kedua “Kehadiran Indonesia di Pusat-Pusat Baru” bergerak ke belakang untuk melihat bagaimana seni rupa Indonesia sampai pada Internasionalisme Baru. Dua pembicara yang hadir ialah Farah Wardani dan Jim Supangkat. Keduanya adalah kurator, pencatat sejarah seni rupa, dan organisator yang terpaut generasi. Bahkan, Farah Wardani menyebut “Pak Jim” sebagai “guru”.

Ada peta besar yang hendak digambar dari sudut pandang kedua pembicara ini. “Peta” jadi salah satu kata kunci pada webinar ini. Farah Wardani dalam salindianya menampilkan peta yang menjelaskan keadaan seni rupa kita sekarang ini berdasarkan peristiwa-peristiwa dan pameran-pameran penting di dunia. Keadaan “Internasionalisme Baru” dipaparkan dan dibedah lagi, mundur dari yang canggih dan terapan, kepada dasar-dasar dan refleksi nilai dari pengalaman. Refleksi datang dari Jim Supangkat sebagai salah satu kurator pelopor dan kurator Indonesia yang terlibat di kancah internasional pada tahun 1990-an. Masa itu jadi titik untuk menarik pembacaan mundur bagi Farah Wardani, dan sedikit refleksi maju. Ini menjadi refleksi percakapan tentang seni global.

Peta dunia dan kelanjutan peristiwa yang dipaparkan Farah Wardani mengenali adanya perubahan paradigma. Gambaran yang dilacak olehnya adalah sejarah pameran di dunia yang melibatkan peserta global. Jejak ini terhubung lewat keadaan penjajahan. Gagasan dunia dan global hadir di sana dalam cerminan kesuksesan ekonomi dan imperialisme budaya. Sejak pertengahan abad 19 muncul pameran-pameran World’s Fair, Exposition Universelle, World Expo dan Exposition Coloniale yang pada intinya merupakan pameran perdagangan. Pameran-pameran besar ini menghadirkan produk industri, penemuan-penemuan dan kebaruan teknologi. Negeri jajahan turut hadir sebagai pamer ladang dan iklan kesempatan. Imajinasi dan rasa ingin tahu juga turut bercampur di situ. Antara lain, ada “kebun binatang manusia” (human zoo) yang menampilkan orang-orang asli dan suku-suku dari tanah jajahan. Riuh, meriah, canggih, pertemuan antara yang mutakhir dan ilham dari yang liyan. Kebudayaan Bali, misalnya, jadi salah satu fokus pada presentasi Belanda di Exposition Coloniale Paris 1931, dengan anjungan sebagai museum dadakan kecil lengkap dengan arsitektur, artefak, penampil dan seni rupa.

Model pameran besar berkala ini beririsan dengan pameran-pameran besar seni rupa yang sering disederhanakan sebagai model bienale. Sesi webinar pertama sampai pada bagaimana model bienale menjadi ruang pamer lingkup dunia—”global white cube”—yang berkuasa dan serbabisa. Bebas menyertakan dan mempertukarkan kebaruan-kebaruan global lain sebagai bagian dari perkembangan, dalam bayang-bayang kekuasaan penentu selera, modal dan peraturannya yang adalah warisan seni rupa Eropa Barat-Amerika Utara. Hal ini tak ubahnya sebagai bayang-bayang dari expo-expo dunia itu, juga dalam motif perdagangannya yang teknologis, eksploitatif, birokratis dan meliyankan. Dari sesi pertama kita dapat menyimpulkan mengapa ketika agensi disebar di luar pusat-pusat seni rupa, kecenderungan umum dan gerakan untuk membuka akses, identifikasi, pengetahuan jadi lumrah. Hal ini merupakan pembalikan kerja seni secara menyeluruh dalam skema rancangan ruangrupa bagi documenta Fifteen.

Farah Wardani dalam ceramahnya menekankan titik-titik yang menandai perubahan spektrum menuju ke sana. Ia mengenali pertukaran kebudayaan internasional abad 20 melibatkan peristiwa-peristiwa penting misalnya Konferensi Asia-Afrika. Tumbuhkembang modernitas lokal (negara) jadi latar dan perkembangan pascakolonial. Percakapan internasional melalui seni rupa ada dalam latar itu dan negosiasinya. Terutama pada 1950-an ketika terjadi perebutan pengaruh atas negara-negara nonblok. Banyak perupa dan budayawan terlibat pada lawatan-lawatan, belajar, berpameran pada masa ini melalui bermacam-macam lembaga kebudayaan dari satu blok dan yang lain. Paling terkemuka adalah Affandi yang singgah di Shantiniketan, India; berpameran di Inggris, dan paviliun Indonesia pertama di Venice Biennale 1954. Gelombang ini surut pada 1960-an dan setelah peristiwa 1965, seiring perubahan dunia, perubahan geopolitik, perang dingin dan dampak-dampaknya. Bagaimanapun, kepemimpinan negara-negara nonblok juga yang―pada kasus Kuba―menggabungkan daya politik, keaslian dan agensi modernitasnya untuk mendirikan Bienal de la Habana (lihat International Contemporaneity and the Third Havana Bienal (1989) oleh Amy Bruce di jurnal Canadian Art Review, Vol. 43 No. 12, 2018). Bienal de la Habana sengaja jadi bienale “pinggir” karena latar nonbloknya. Edisi ketiganya di bawah kurator Gerardo Mosquera sering jadi contoh purwarupa bienale global yang kita kenal sekarang, meski berubah dan surut setelah itu.

Perubahan pada 1989 jadi titik lain yang disampaikan Farah Wardani. Tercermin pada pameran The Other Story yang dibuat Rasheed Araeen, dan Magiciens de la Terre yang dikuratori Jean-Hubert Martin. Alia Swastika pada sesi pertama juga menyebut Magiciens de la Terre sebagai pembuka kesetaraan seni rupa avantgarde-is—kontemporer—yang dibuat di Barat waktu itu, dengan seni rupa yang seperti tidak terjamah modernitas. Praktik asli dari sejumlah tradisi sebagaimana dari Tibet dan seni aborigin Australia. Sikap ini menyatukan belahan makna kontemporer di antara makna “sezaman” dan “mutakhir” seni rupa kontemporer sejak 1989 pada lapangan di tengah-tengah gang-gang itu, untuk jadi meriah, global, dan bisa bertemu banyak sikap, hal, agen.

Sedikit menyuruk ke masa sebelumnya, Farah Wardani menggarisbawahi adanya pergerakan avantgarde paralel pada 1970-an, termasuk di Asia Tenggara. Pergerakan-pergerakan ini menarik garis perkembangan dari modernitas tersendiri, hingga tiba kemudian pada seni rupa kontemporer pada dekade 1990-an sebagai kemutakhiran “lain”. Jim Supangkat adalah bagian dari peristiwa itu sebagai perupa dan juru bicara Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (GSRBI). Di Malaysia ada Redza Piyadasa dan Sulaiman Esa, di Filipina Roberto Chabet dan Ray Albano. Lewat GSRBI itulah Jim Supangkat mengikuti Australia and Regions Artists’ Exchange (ARX) pada 1989. Ia bertemu banyak tokoh-tokoh di museum-museum, forum regional dan mengikuti program di sana. Ini membuatnya menjadi kokurator Indonesia bagi Asia Pacific Triennial of Contemporary Art (APT) pertama pada 1993 bersama kritikus-akademisi Sanento Yuliman. Keduanya dari situ memutuskan untuk menjadi kurator untuk meneruskan hubungan seni rupa yang terjalin dan mengembangkannya. Sanento Yuliman meninggal dunia pada tahun 1992.

Farah Wardani kemudian memaparkan situasi dekade 1990-an. Pameran internasional menjadi titik dialog, dengan kurator menjadi ahli utama di tengahnya. Di samping pergeseran geopolitik, datang suatu pergantian iklim kebudayaan yang mengglobal. Ini didorong oleh wacana teoretis baru: postmodernisme, postrukturalisme, subaltern yang mendorong perubahan paradigma dan menjadikan seni rupa kontemporer sebuah kompetisi terbuka.

Jim Supangkat terlibat di sana lebih awal. Ia juga berjejaring dengan Japan Foundation dan Fukuoka Asian Art Museum sejak 1991. Hingga akhir dekade, Australia dan Jepang aktif membuat pameran-pameran yang menyertakan seniman-seniman Indonesia dan membuat mereka terlibat di jejaring internasional yang meluas. Jim Supangkat sebagai satu-satunya kurator dengan relasi internasional Indonesia waktu itu otomatis terlibat di banyak proyek, forum, dan menjadi penghubung di tengah segala perhatian dan pencarian yang mendadak ada.

Jim Supangkat menyambung webinar dengan ceramah tentang keterlibatannya dari akhir 1980 hingga selepas dekade 2000 dalam refleksi yang lebih luas. Bila Farah Wardani memaparkan fenomena, latar, dan gejala paradigmatik dari internasionalisme; Jim Supangkat bicara secara lebih abstrak dan dari sisi prinsip tentang pengalamannya. Terutama, dalam pandangannya untuk meletakan konsep-konsep kesejarahan seni rupa Indonesia dalam refleksi post-factum. Refleksi setelah irisan persilangan, risiko, dan dorongan maju dari fenomena 1990-an.

Jim Supangkat menulis esai berjudul “Multiculturalism/Multimodernism” untuk katalog pameran Contemporary Art in Asia: Traditions/Tensions di New York, Amerika Serikat yang diselenggarakan oleh Asia Society pada tahun 1996. Esai ini dapat kita tunjuk sebagai suatu penanda gagasan Jim Supangkat tentang perkembangan modernitas paralel di negara-negara “pinggir” dan adanya seni rupa modern yang “lain”. Wacana modernitas jamak atau multiple modernities secara lebih luas diadopsi dalam perbincangan seni rupa global sejak dekade 2000 hingga sekarang. Refleksi Jim Supangkat muncul dari divergensi dan paradoks kesezamanan seni rupa kontemporer, yang serupa dengan Magiciens de la Terre. Bedanya, ia datang dari sisi mutakhir-pinggir yang ketika itu tak diketahui alamnya.

Pada globalitas yang sekarang kita bisa melihat ini sebagai sesuatu yang biasa saja, apalagi dibanding capaian jejaring dan kepercayaan yang teraih pada paparan Ade Darmawan dan Alia Swastika. Masa-masa awal “internasionalisme” dalam pengalaman Jim Supangkat adalah permulaan pertemuan kenyataan-kenyataan itu dalam wawasan seni rupa dunia.

Jim Supangkat menyebut tiga macam tanggapan dari aktor-aktor medan seni rupa “pusat” terhadap kehadiran baru seni rupa kontemporer “pinggir” itu. Pertama adalah mereka yang kaget dan dibayangi keraguan. Kedua, adalah yang bersikap terbuka dan egaliter namun menurunkan standar dan harapan. Sementara kelompok ketiga tampak adalah yang disoroti Jim Supangkat, yaitu mereka yang secara serius mencoba mendudukkan persoalan seni rupa global secara ekshaustif dalam kesejarahan seni rupa. Jim Supangkat secara pribadi, selepas dekade 2000 hingga kini, juga mengalur ke sana. Ia menyoroti persoalan ”common ground” atau “landasan bersepakat” sebagai suatu inti dari perundingan dan percakapan dalam gerak internasionalisme untuk jadi bermakna. Sayangnya sambungan Jim Supangkat terputus ketika memasuki pembahasan ini dan terpaksa dilanjutkan dalam sesi perekaman terpisah.

Moderator Nirwan Dewanto melanjutkan wicara bersama Farah Wardani dengan membahas segi kesadaran dari dunia seni rupa “pinggir” setelah semua itu. Perihal “landasan bersepakat” dipadankan dengan homogenisasi cara kerja, tampak, dan bahasa dari pameran-pameran dan karya-karya internasional yang seperti mengikuti pola dan rumus tertentu. Ini mencerminkan apa yang disebut Ade Darmawan sebelumnya sebagai “jebakan” dalam permainan ikutserta seni rupa internasional. Bienale tumbuh menjamur setelah dekade 1990-an dan bahkan menjadi bagian dari industri kebudayaan.

Meski begitu, Farah Wardani yang menjabat sebagai direktur Jakarta Biennale 2021 tetap percaya pada suara asli dan tawaran kemeriahan yang kita punya. Pun dengan pertimbangan seni rupa sebagai tontonan, sebagai salah satu titik tumpunya yang niscaya sekarang. Bagaimanapun, “pekerja seni tetap bagian dari kehidupan,” tuturnya. “Kita sendiri senang-senang saja meskipun kita tidak betul-betul dimengerti” orang-orang dari “pusat” yang tertarik dan menginginkan seni rupa Indonesia ikut andil. Moderator menyambung pembahasan ini kepada pertanyaan tentang bagaimana merumuskan teori kita sendiri dan apakah “landasan bersepakat” itu sendiri bisa tercapai.

Pada perekaman terpisah, Jim Supangkat meneruskan paparan tentang tiga tanggapan “pusat,” dan bagaimana penjabaran sejarah seni rupa global terjadi secara berkembang dalam tanggapan ketiga. Kita bisa melihat perhatian Jim Supangkat merumuskan seni rupa di Indonesia—sesuatu yang dapat dilacak hingga pada sikap-sikap dan pandangan GSRBI pada medio 1970-an. Kerjanya selalu dilandasi upaya mencatat, mengembangkan, dan ada pada bangunan pengetahuan dan kesejarahan seni rupa Indonesia yang masih minim deskripsi.

Dorongan merumuskan ini mungkin dan berlanjut sebab konvergensi dalam internasionalisme telah menerangi eksistensi seni rupa lokal yang patut diyakini. Jim Supangkat menyebut “munculnya seniman dan karya-karyanya yang tidak ragu.” Cenderung kabur, namun bisa kita bayangkan senada dengan pendapat Farah Wardani.

Mimpi Jim Supangkat tentang “common ground” bagaimanapun, pada titik ini dengan pencatatan sejarah seni rupa Indonesia yang sekarang, masih tampak sebagai rimba teori yang ada di luar stamina calon penggunanya untuk menaklukkan hal tersebut.

Kita bisa melihat perbedaan dengan perkembangan mutakhir yang diungkapkan Alia Swastika dan Ade Darmawan pada webinar pertama. Sikap dan gubahan berkegiatan yang baru lebih menubuh secara refleksif terhadap kelembagaan seni sendiri dan politiknya. Hal ini berkaitan dengan tuntutan dan latar Jim Supangkat ketika terlibat dalam internasionalisme 1990-an. Kerja kekuratoran ketika itu adalah suatu rintisan yang diwarnai kesempatan, kejutan dan menuntut penyelarasan aktif. Sesuatu yang diakui Jim Supangkat tetap banyak mengikuti “formula” Barat. Jim Supangkat menjadikannya apropriasi dan ekspansi. Paling tidak baginya seni rupa dunia harus lebih muncul daripada seni rupa dari pusat lama. Gagasan documenta ruangrupa sebagai yang tercanggih, sementara itu, punya padanan-padanan sikap yang jauh berkembang lebih kritis, praktis, dan terintegrasi.

Gagasan Jim Supangkat dalam membuat dan mempromosikan pameran membuatnya “menang” dan menjadikan itu sebagai salah satu pemeran utama seni rupa Indonesia dan Asia Tenggara pada 1990-an. Pada perkembangan setelahnya, pameran internasional perupa-perupa Indonesia sudah jadi hal biasa. Didorong pertumbuhan internet dan teknologi digital, Farah Wardani mengenali adanya dinamika baru. Jejaring internasional semakin menyerabut dengan aktor-aktor baru yang bertambah. Ruang-ruang alternatif tumbuh, kolektif-kolektif dengan cara dan tawaran ketahanannya mulai menjadi pendukung kelangsungan medan seni rupa. Ini ditambah dengan banyak kesempatan pertukaran dan hibah dari lembaga-lembaga kebudayaan asing serta lembaga swadaya masyarakat. Galeri komersial dan pasar seni rupa kontemporer Indonesia bertumbuh pesat dan jadi terlembagakan. Di atas keadaan itu, seni rupa global sudah menjadi relasi institusionalisasi di skala dunia. Ini menutup sekaligus menyambung ceramah dan wicara dengan seri webinar pertama dari belakang.

 

Yacobus Ari Respati adalah bagian dari staf ajar dan penelitian Seni Rupa Institut Teknologi Bandung untuk kekuratoran, sejarah pameran dan sejarah seni rupa sejak 2016. Ia pernah menjadi asisten kurator dalam Pameran Arsitektural Indonesialand (Selasar Sunaryo, 2016) dan “Seteleng to Biennale: Exhibition Histories of 20th Century Indonesia” bagian dari Art Turns, World Turns (Museum MACAN, 2017). Ia juga pernah menjadi kokurator Akal Tak Sekali Datang, Runding Tak Sekali Tiba; anjungan Indonesia di La Biennale di Venezia (Venice Biennale) pada 2019.

esai-template-

Internasionalisme Baru dan Pameran sebagai Percakapan

Yacobus Ari Respati

 

Tulisan ini adalah tanggapan mengenai tiga sesi program Zoom In Seni Rupa Indonesia dan Internasionalisme Baru (2020).

Webinar Seni Rupa Indonesia dan Internasionalisme Baru oleh Komunitas Salihara dimulai pada 21 Oktober 2020. Wicara, ceramah, dan diskusi tiga sesi ini melibatkan aktor-aktor seni rupa Indonesia mutakhir dalam kegiatan-kegiatan seni rupa besar mancanegara—utamanya: pameran. Sesi pertama adalah “Sejak Venice Biennale 2013 hingga documenta 15 2022” yang menghadirkan pembicara Alia Swastika dan Ade Darmawan.

“Internasionalisme Baru” dihadapkan dengan “internasionalisme lama” dalam kerangka tatanan dunia dan kiblat kebudayaannya yang berubah. Orientasi budaya yang pada awalnya memusat dan hanya menghadirkan mutu pada karya-karya dan pameran-pameran Eropa Barat dan Amerika Utara perlahan-lahan mulai bergeser. Lebih kurang sejak 1980-an hingga hari ini, bermunculanlah pusat-pusat baru yang melongok untuk mencari dan mengikutsertakan perbincangan dan praktik seni rupa dari negara-negara belahan dunia Selatan, negara dunia ketiga, juga “pinggir-pinggir” lainnya.

Ade Darmawan dan Alia Swastika mewakili orang-orang dari Indonesia yang terlibat pada beberapa ruang kerja seni rupa yang terglobalkan. Spektrumnya, bagaimanapun beragam dan berada di antara lapisan-lapisan keterwakilan gagasan, praktik, ideologi, politik, juga pendekatan yang berbeda-beda.

Alia Swastika—kurator, penulis, dan direktur Biennale Jogja—telah berjejaring dan bekerja pada pameran-pameran internasional seperti Gwangju Biennale 2012 (kodirektur artistik), penggagas pendekatan kerjasama antarnegara Selatan-Selatan “Equator” pada Biennale Jogja (kurator 2009, direktur sejak 2018), dan pameran seni rupa kontemporer di festival seni Indonesia Europalia 2017 (kurator). Kerjanya menempatkan sudut pandang runding kebudayaan yang mewakili keindonesiaan melalui posisi memimpin, terutama pada arahan artistik, juga pilihan dan muatan pesannya dalam menggubah pameran.

Ade Darmawan adalah perupa, pendiri kelompok ruangrupa, dan—sebagai bagian darinya—menjabat direktur artistik kolektif bagi documenta Fifteen 2022 mendatang. Sebagai pribadi, melalui ruangrupa, jejaring dunia seni global, dan upaya-upaya organisasinya Ade Darmawan membuat kegiatan-kegiatan yang jadi diseminasi gagasan tentang seni rupa yang ekosistemik dan mandiri. Ini antara lain terlihat pada festival seni media baru OK Video, pusat studi Gudskul, Sonsbeek 2016 (dikuratori ruangrupa), Jakarta Biennale 2009 & 2013 (direktur artistik), dan Yayasan Jakarta Biennale. Kerja itu menempatkan gagasan Ade Darmawan dan ruangrupa tentang seni rupa mutakhir ke dalam forum-forum mancanegara dengan jarak penglihatan yang kritis.

 

Ceramah
Nirwan Dewanto sebagai moderator membuka webinar dengan pengenalan tema dan pengantar, juga kiprah kedua pembicara pada medan seni rupa internasional. Ade Darmawan membawakan ceramah pertama, dan Alia Swastika kedua.

Materi yang disampaikan kedua pembicara memiliki irisan yaitu identifikasi Internasionalisme Baru sebagai bagian dari gelombang pertumbuhan ekonomi regional dan upaya-upaya diplomasi lintas negara melalui bidang kebudayaan dan pameran-pameran besar seni rupa. Alia Swastika menyebutnya “dunia pasca 1989.” Ade Darmawan secara lebih luas menjelaskan adanya fenomena umum yang lahir dari arus ini, yang sekaligus ada dalam perubahan wacana seni rupa global.

Posisi Alia Swastika dalam ceramahnya merefleksikan jalinan hubungan kerja yang dimotori gagasan inisiatif negara “pinggir”. Ini tampak pada kerjasama dua negara dalam konsep ekuator Biennale Jogja, dan pengalamannya berbagi peran direktur artistik pada Gwangju Biennale 2012 bersama kurator-kurator perempuan Asia.

Alia Swastika melihat kerangka kerja pameran internasional sebagai diplomasi skala besar yang memang harus ditangani pada tingkat pemerintahan. Keterlibatan dan sumbangsih aktor-aktor seni rupa Indonesia di mancanegara bersifat tetap dan terus bertumbuh. Ini tidak diimbangi pemahaman pemerintah tentang kedudukan seni rupa Indonesia di sana. Dukungan, bila ada, sifatnya jarang dan berjauhan. Pada pameran La Biennale di Venezia (Venice Biennale) yang mensyaratkan keterlibatan pemerintah secara resmi: paviliun seni rupa Indonesia hadir pada 1954, kemudian baru kembali pada 2003 dan setiap dua tahun dari 2013 hingga sekarang.

Ia menjelaskan pula dinamika penyelenggaraan pameran besar berkala sekelas bienale sebagai acara budaya yang menarik perhatian. Gwangju menjadi contoh pameran besar “blockbuster”. Pada gelaran-gelaran sebelum 2012, Gwangju mengambil poros kurator bintang yang dapat mengundang perupa masyhur dan—bersamanya—rasa penasaran khalayak. Poros ini menjadikan pameran-pameran internasional dan bienale yang pada dekade 1990-an hingga 2010-an jumlahnya berjubel sebagai cabang baru. Pendar satelit kebudayaan dunia yang pantas ditilik. Sebagai panggung bergengsi dengan potensi yang besar ia layak disikapi dengan tata kelola yang baik.

Paradigma penyelenggaraan pameran-pameran besar yang mengglobal itu menjadi satu titik masuk bagi amatan Alia Swastika dan Ade Darmawan. Prosesnya dalam menyertakan, menampilkan karya-karya secara tercerabut dari konteks lokal. Sebuah “global white cube”—mengutip teoretikus kekuratoran Paul O’Neill. Di baliknya, ada pergeseran geopolitik, kepentingan ekonomi, dan mekanisme kerja neoliberal pada seni rupa kontemporer dalam kapitalisme global. Pertumbuhan ekonomi dibuktikan lewat jalan kebudayaan. Satelit yang menyelidiki perluasan jaringan.

Ade Darmawan menyebutnya sebagai “jebakan” dalam rayuan keikutsertaan Internasionalisme Baru itu. Prinsip perluasan jaringan mensyaratkan akses dan amplifikasi pesan, dan kuasa, kepada wilayah sekitar yang lebih luas. Kaitan wilayah memainkan unsur narasi identitas sebagai picunya. Politik identitas dan nasionalisme jadi gaung yang cocok. Gaung yang menyederhanakan hubungan-hubungan dengan keadaan medan seni yang sebenarnya secara utuh.

Ini menjadi eksploitasi yang perlu dibongkar untuk mendefinisikan ulang pentingnya pameran-pameran internasional. Dalam hubungan ini wilayah lokal tidak mendapat keuntungan dan tidak melihat dirinya sendiri dengan “benar”—sebagai apa adanya dan berkembang dari riwayatnya sendiri. Keterbatasan medan seni yang ada, dalam pertemuan dengan daya ini menyulitkan adanya lingkungan yang baik untuk menguji dan melatih gagasan-gagasan yang asli dan mandiri.

Ade Darmawan memproyeksikan peran negara—senada dengan Alia Swastika—dalam skema atas ke bawah (top-down). Untuk menetapkan kebijakan, menerapkan kebudayaan kepada lingkup khalayak luas. Tapi ia menekankan pentingnya untuk selalu berinisiatif dan bagi semua bagian dari medan seni dan kebudayaan untuk melakukan upaya sendiri. Upaya yang mendorong praktik dan nilai dari bawah ke atas (bottom-up).

Beberapa kegiatan lokal muncul dan berjejaring dalam mekanisme ini. Terutamanya, mereka dimungkinkan oleh pertumbuhan teknologi informasi dan internet. Kontribusi gagasan dari penyelenggaraan kegiatan-kegiatan seperti O.K. Video, Cellsbutton oleh House of Natural Fiber, dan Street Dealin’ dari Garduhouse diambil Ade Darmawan sebagai contoh model-model yang berhasil. Kredo dan praktik artistik bertumbuh, begitu juga dalam kolaborasi dan perkembangannya yang berkelanjutan. Ini melahirkan sifat, aturan, dan lapisan baru dalam medan seni.

Ceramah Ade Darmawan diakhiri dengan pemaparan rencana dasar arahan artistik untuk documenta Fifteen 2022. Pendekatan ruangrupa sebagai direktur artistik bermula dari upaya mendefinisikan ulang dan melakukan reorientasi pada hubungan-hubungan antarpihak bagi penyelenggaraan documenta.

Tatanan yang biasanya struktural, top-down, terpusat dan termampatkan pada kuasa direktur artistik sekarang diimbuhi dengan gagasan untuk memecahnya. Rencana ini adalah bagian dari kerja lebih besar ruangrupa yang sedang berlangsung dalam konsep “lumbung.” “Lumbung” berbicara dalam makna tentang ruang simpan bagi sumber daya bersama—secara tradisional padi sebagai pangan—yang dipelihara bersama-sama bagi kepentingan dan keberlanjutan masyarakatnya.

Gagasan ini membayangkan komunitas yang otonom serta fasih menyuarakan artikulasinya lewat pengelolaan sumber daya dan kerja yang bertanggung jawab, adil, berkelanjutan. Unit-unit komunitas dengan pemahaman dan perkembangannya masing-masing dipertemukan dalam jejaring aktif yang berbagi temuan, nilai, dan perputaran kepada masa depan. Satu idealisme yang meniadakan eksploitasi satu tempat atau pihak bagi kebutuhan yang lainnya.

Undangan untuk memimpin arahan artistik documenta memberi kesempatan bagi ruangrupa untuk mengalirkan gagasan ini kepada waktu dan skala yang utama di tingkat dunia. Documenta jadi bagian dari rencana besar ini. Ia mengalur dari cerminan terhadap praktik ruangrupa sendiri dan wacana seni rupa internasional 20 tahun terakhir. Trayek ini berupaya mengungkah dan mengubah pola medan seni rupa kontemporer yang mengandung kekuasaan struktural. Mekanisme yang tidak bisa bebas diakses dan dibayangkan keberlanjutannya sebagai situs produksi kebudayaan kepunyaan khalayak.

Documenta dibayangkan ulang sebagai percakapan setara yang dibangun sebagai gagasan besar dari inisiatif, diskusi, dan kolaborasi antarkomunitas secara intensif. Gagasan tumbuh dan berkembang dan akhiran terbuka yang belum bisa digambarkan jelas pada wicara webinar ini. Hanya penyikapan dan bayangan aturan-aturannya, janji yang dapat kita bayangkan.

 

Diskusi
Kedua pembicara menyentuh pembahasan yang terpusat pada wacana kekuratoran, meski juga dengan melintasi dan melampauinya. Suatu wujud “panggung” tercipta dari cara pameran internasional dan jejaringnya bekerja. Sebagai bagian dari jangkauan struktural dan proyeksi ideal penggeraknya, hadir sebuah bentuk publikasi—atau cara menjadikan seni rupa dan muatan nilainya untuk menjadi publik—yang diatur tatanan nilai khusus. Seni rupa kontemporer hadir dan disebarluaskan secara terkondisikan. Ade Darmawan dan Alia Swastika telah mengutarakan sikap mereka dalam mengimbangi dan menantangnya.

Moderator mengarahkan diskusi lewat simpulan internasionalisme sebagai suatu medan percakapan. Bagi Ade Darmawan ini menjadi pertanyaan tentang format kegiatan documenta yang akan datang. Ia menjelaskannya sebagai suatu upaya perombakan mendasar: sikap baru, pendidikan baru, kemungkinan relasi kuasa, organisasi, hingga model ekonomi. Langkah-langkah mewujudkan pameran sebagai suatu peristiwa budaya dipikirkan kembali dalam kerangka ini.

Perundingannya, bagaimanapun, masih panjang dengan banyak tatanan yang harus dipertanyakan ulang pada tingkatan praktis. ruangrupa bersama kolektif-kolektif, komunitas-komunitas seni rupa dari berbagai wilayah dan organisasi documenta menyasar proyek eksperimentasi yang berkelanjutan. Proyek yang harus menjalar, yang memberi sumbangsih bagi ekosistem dan praktik dari tiap komunitas yang terlibat. Proyeksinya menjadi tentang bagaimana documenta bisa bekerja dengan konsep waktu yang berbeda. Bagaimana pula, documenta bisa jadi bagian dari ekosistem-ekosistem lain yang lebih besar.

Bagi Alia Swastika pembahasan tentang proyeksi sikap yang lebih lanjut dan bagaimana ide-ide dari kalangan medan seni rupa kita sendiri dapat dirundingkan secara internasional. Bagaimana cara menyelenggarakan pameran besar menarik dan mengelola massa baginya tetap merupakan pertimbangan penting. Menumbuhkan kepenontonan (spectatorship) lokal yang berdaya tampak jadi salah satu perhatiannya.

 

Tikungan Internasionalisme Baru
Semua hal ini mengalur pada perkembangan perhatian pameran internasional kepada medan seni di luar Eropa-Amerika sejak akhir 1980-an. Dan kecenderungannya belakangan untuk jadi semakin nonhegemonik, nonhierarkis, serta dikerjakan dalam kerangka kekuratoran kolektif-kolaboratif. Dalam diskusi juga diungkapkan bagaimana kuratorial yang betul-betul nonhierarkis sulit ditemukan. Ceramah Ade Darmawan dan Alia Swastika jadi tawaran-tawaran bagi medan seni dunia dan ekosistem seni rupa yang mencari bentuk baru.

Pencarian ini sejalan dengan apa yang dapat kita temukan pada wacana terakhir seperti “tikungan pendidikan” (educational turn), “kelembagaan baru” (new institutionalism), “globalisasi pascademokratis” (post-democratic globalization), dan politik seni rupa yang melampaui kekuratoran.

Irit Rogoff pada tulisannya yang berpengaruh, “Turning” (e-flux journal, terbitan #0, November 2008) mengungkapkan tentang fenomena dan gagasan perubahan bagi kelembagaan seni rupa sebagai sebuah institusi sosial. Latarnya terletak pada sifat tertanam (embeddedness) dari cara kerja medan seni. Tatanan nilai medan seni rupa kontemporer yang elit itu bekerja di atas ekonomi neoliberal yang kompleks dan dominan. Maka hadir suatu urgensi untuk bergeser dan menilai kembali prinsip serta aktivitas apa saja yang vital untuk kinerjanya.

Rogoff menyimpulkan pentingnya langkah untuk merumuskan “pertanyaan sendiri” demi menciptakan medan (playing field) baru, tersendiri. Prinsipnya, mengumpulkan praktik dan refleksinya supaya pengetahuan dapat diakses lebih luas. Ini menjadi jalaran yang diemban dan telusur yang dibagi oleh Ade Darmawan dan Alia Swastika dalam webinar ini. Rogoff menyebut fenomena “menikung” itu sebagai catatan tentang bagaimana memproduksi dan menyuarakan artikulasi kebenaran. Menjadi logis melaluinya untuk kemudian melepas kepemilikan dalam kelembagaan itu atas kedudukan dan kuasa tertentu. Ini supaya seluruhnya betul-betul ada dalam tikungan menuju urgensi dari produksi kebudayaan.

Turning” mengilustrasikan kesempatan dan risiko untuk membuka diri lalu menyebarkan suara. Suara yang ditunggu untuk didengar selagi seni rupa didedah—dibuka kepada jamaknya kenyataan dunia, kebudayaan, dan kemungkinan ekspresinya. Risiko ini besar bagi pusat internasionalisme lama dengan tatanan bakunya serta warisan keuntungan dan tata acuan nilai yang berkuasa. Tapi risiko ini mungkin untuk sama dijinjing secara ringan dalam “kesederhanaan” dan konvergensi dari kelembagaan serta ekosistem-ekosistem seni rupa yang ada di sekitarnya. Maka “Internasionalisme Baru” dalam pemaparan Alia Swastika dan Ade Darmawan menjadi masuk akal untuk mengambil hati, perhatian, dan komitmen dunia seni rupa lebih luas.

Jejaring dan tawaran ini, bagaimanapun, masih memerlukan banyak deskripsi dan penyikapan yang tepat. Rogoff menyebut model spekulatif dalam “turning” menjadi utama, dan kemungkinan untuk salah (fallibility) harus diterima sebagai bentuk penciptaan pengetahuan. Reorientasi jadi latar bagi Internasionalisme Baru dan ia menuntut pengkondisian ulang.

Seni rupa menuju reorientasi dengan meminta eksistensinya yang bersyarat dan terkondisikan, untuk didudukkan ulang. Perkembangan ini jadi latar bagi Internasionalisme Baru, bagi akses, agensi, jejaring, dan sorotan yang tampil pada kedua penceramah. Dunia berubah dan seni berubah. Pada satu sisi sikap besar ini menyederhanakan dan membuka, namun juga sebagai bagian dari perkembangan punya sifat teknologis dan evolutif. Ia patut dipahami sebagai sebuah penyikapan juga dan padanan terhadap aturan-aturan dan tata acuan sebelumnya.

Webinar pertama Seni Rupa dan Internasionalisme Baru membuka perbincangan untuk mengenali dan memahami langkah yang telah bergerak dari medan seni rupa kita sendiri lewat kerja Alia Swastika dan Ade Darmawan. Ceramah dan wicara kedua akan menyoroti kerja internasional kurator pelopor Jim Supangkat, dan Farah Wardani. Webinar ketiga akan menyoroti keadaan dan gerak kantong-kantong lokal di hadapan Internasionalisme Baru lewat pandangan Agung Hujatnika dan Asep Topan.***

Yacobus Ari Respati adalah bagian dari staf ajar dan penelitian Seni Rupa Institut Teknologi Bandung untuk kekuratoran, sejarah pameran, dan sejarah seni rupa sejak 2016. Ia pernah menjadi asisten kurator dalam Pameran Arsitektural Indonesialand (Selasar Sunaryo, 2016), “Seteleng to Biennale: Exhibition Histories of 20th Century Indonesia”, bagian dari Art Turns, World Turns (Museum MACAN, 2017). Ia juga pernah menjadi kokurator Akal Tak Sekali Datang, Runding Tak Sekali Tiba; anjungan Indonesia di La Biennale di Venezia (Venice Biennale) pada 2019.

tri

Obituari Trisutji Kamal

Kanjeng Raden Ayu Trisutji Djuliati Kamal, atau lebih dikenal dengan Trisutji Kamal, memadukan musik tradisional dan modern, gamelan dan anasir musik Islami. Ia memainkan musik daerah di Indonesia dengan instrumen Barat. Musiknya yang bernada Islami sangat dipengaruhi oleh pilihan hidupnya dalam menekuni Islam secara intens sejak 1990-an.

Trisutji adalah musikus perempuan pertama yang terjun ke kancah musik Indonesia kontemporer. Kiprahnya dimulai pada 1950-an sebagai pianis. Untuk pertama kalinya ia memainkan piano secara tunggal pada pembukaan Balai Budaya di Jakarta pada 1955. Semula ia belajar piano pada guru piano berkebangsaan Jerman: Dora Krimke dan L. Remmert. Selanjutnya ia menekuni piano dan komposisi pada Henk Badings di Konservatorium Amsterdam, Belanda, di Ecole Normale de Musique, Paris, Prancis, dan Konservatorium Santa Cecilia, Roma, Italia.

Dalam kariernya selama kurang-lebih 60 tahun, Trisutji Kamal telah menggubah kurang-lebih 200 komposisi musik. Karya-karyanya berupa musik opera, musik orkestra, musik kamar, choral, piano solo, musik balet dan musik film. Karya-karyanya yang terpenting, antara lain, opera Loro Jonggrang (1957), Gunung Agung (1963-1970), Menara Masjid Nabawi (1971) dan Prayer of Redemption (2004).

Trisutji Kamal menerima sejumlah penghargaan seni, di antaranya, Bintang Budaya Parama Dharma dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2010 dan Anugerah Yayasan Pendidikan Musik pada 2012.

Pada Minggu dini hari (21/3) ia berpulang di Jakarta pada usia 84 tahun. Indonesia kehilangan salah satu komponis musiknya yang terbaik. Selamat jalan, Trisutji Kamal

Desain tanpa judul (2)

Mengenal Remy Sylado dan Sejarah Puisi Mbeling

Puisi tak selamanya harus indah. Adakalanya para sastrawan ingin mengungkapkan kejengkelan dan protes. Jika puisi liris identik dengan balutan kata yang indah, puisi non liris berlaku lain. Ia melepaskan diri dari kungkungan kaidah estetika penulisan yang ada.

Kali ini kita akan berkenalan dengan Remy Sylado, sastrawan kelahiran Makassar yang mempelopori sebuah istilah dan gerakan dalam dunia sastra pada 1970-an, yaitu puisi mbeling. Apa itu puisi mbeling?

Sebelum ada istilah mbeling, penyair W.S Rendra pernah mengatakan bahwa kemapanan budaya harus dibongkar dengan sikap urakan. Tapi bagi Remy, istilah yang lebih tepat bukanlah itu, melainkan dengan sikap mbeling, yang dalam bahasa Jawa berarti nakal atau kurang ajar. Ide besar mbeling di sini adalah untuk menanggapi kemapanan budaya yang berlaku pada masa itu. Kritik, kelakar dan sindiran menggunakan bahasa sehari-hari adalah ciri khas puisi mbeling. Salah satunya, coba intip satu bait di bawah ini:

 

Menyingkat Kata

karena
kita orang Indonesia
suka
menyingkat kata wr. wb.
maka
rahmat dan berkah Ilahi
pun
menjadi singkat
dan tak utuh buat kita.

 

Nah, mau tahu seperti apa kisah seluk-beluk lahirnya puisi mbeling ini? Yuk simak empat poin menarik ini untuk mengetahui kilas sejarahnya.

 

Bermula di Teater

Sebelum muncul sebagai istilah sastra, kata mbeling mulanya terdengar di seni teater, tepatnya di kelompok Dapur Teater 23761 yang didirikan Remy Sylado di Bandung. Benih gerakan ini mulai bergaung pada 1972 ketika ia mementaskan drama berjudul Genesis II.

Dalam pementasan teater itu Remy Sylado banyak menerima tanggapan mengenai penggunaan kata mbeling. Kata mbeling dirasa terlalu berani dan berkonotasi negatif. Gara-gara pementasan itu Remy diinterogasi polisi Bandung selama hampir dua minggu. Tapi berkat pementasan itu pula, makna kata mbeling tak melulu diasosiasikan dengan perilaku anarkis dan onar, melainkan juga cerdas dan bertanggung jawab.

 

Mbeling ke Ranah Sastra

Istilah mbeling kemudian beralih ke dunia sastra ketika Remy Sylado berkarir di majalah Aktuil. Masih pada tahun yang sama ketika Remy Sylado mementaskan drama Genesis II, Puisi Mbeling muncul sebagai salah satu rubrik di majalah tersebut. Ia sendiri yang mengelola rubrik itu. majalah Aktuil adalah majalah budaya populer yang punya banyak pembaca pada 1970an. Sejak itu pula istilah puisi mbeling kian populer dan menjadi peristiwa baru dalam dunia sastra Indonesia.

 

Fenomena Sosial dan Budaya di Bandung

Ketika istilah puisi mbeling muncul, Bandung (kota bermukim Remy Sylado) sering disebut sebagai kota para hippies-nya pulau Jawa. Para perupa mulai memenuhi tembok-tembok jalan dengan grafiti-grafiti. Mungkin anak-anak muda Bandung pada masa itu terpengaruh kaum hippies dari Amerika Serikat. Kita sering mendengar slogan “Make love not war” yang dilontarkan kaum hippies Amerika Serikat sebagai kritik perang di Vietnam.

Belum lagi kenakalan remaja, seks bebas dan lain-lain yang menjadi fenomena sosial dan budaya di kota Bandung pada 1970an. Bahkan lagu populer “San Francisco (Be Sure to Wear [Some] Flowers in Your Hair” dari Scott McKenzie diganti liriknya oleh anak-anak muda di kota Bandung menjadi:

 If you’re going to Bandung, be sure to wear some flowers in your hair.

 

Menginspirasi Generasi Muda

Majalah Aktuil sejatinya adalah majalah musik, budaya pop dan gaya hidup anak muda pada era 70an. Apa yang dikerjakan Remy Sylado ternyata menarik perhatian banyak penulis. Puisi mbeling menjadi sebuah gerakan. Secara tak langsung Remy Sylado mengajak anak-anak muda pada masa itu untuk menulis dan memperkenalkan bahwa sastra tak melulu “berat”. Ada ratusan sajak-sajak mbeling yang masuk meja redaksi. Penulis seperti Seno Gumira Ajidarma, Noorca M. Massardi, Yudhistira A.N.M. Massardi pernah mengirim sajak-sajak mbeling mereka ke majalah Aktuil.

Itu dia empat kilas sejarah menarik tentang puisi mbeling. Kalau menurutmu, puisi yang bagus itu seperti apa sih? Selain Remy Sylado, kita juga punya sastrawan lain yang juga gemar menulis puisi tanpa gaya liris. Ada yang bisa tebak siapa saja sastrawan itu? Yuk tonton Peta Sastra Indonesia episode 11 untuk berkenalan dengan mereka. Klik di sini untuk menonton ya!

henrich

Heinrich von Kleist: dari Tentara ke sastra

Nama Heinrich von Kleist (1777-1811) di Indonesia barangkali tak setenar para pengarang Jerman klasik lainnya seperti Goethe dan Rilke. Padahal karya-karyanya mewakili salah satu yang terpenting pada masa-masa romantik awal (permulaan abad 19), dan berpengaruh pada masa-masa berikutnya. Siapa sebenarnya Heinrich von Kleist?

Sebelum kita mendengarkan Jembangan Pecah, salah satu karyanya yang disadur oleh Suyatna Anirun dari The Broken Jug (Der zerbrochene Krug), kami menyajikan kisah hidup singkat Heinrich von Kleist yang dirangkum dari berbagai sumber.

 

Memulai Karir di Bidang Militer

Awal karir Heinrich von Kleist sesungguhnya bukanlah penulis. Pada usia 25, Heinrich von Kleist terdaftar sebagai batalyon Pengawal Resimen di Potsdam (kini adalah sebuah kota di Jerman), bahkan beberapa tahun berselang ia telah mendapatkan jabatan “letnan dua”. Tapi ternyata ia tak bahagia hidup di bidang militer dan memutuskan untuk mengundurkan diri. Permohonannya dikabulkan pada tahun 1799. Ia kemudian melanjutkan aktivitasnya sebagai mahasiswa di Universitas Frankfurt an der Oder. Di sinilah ia banyak belajar bahasa dan filsafat.

 

Hidup dalam Masa Ketegangan Politik dan Militer  

Heinrich von Kleist hidup ketika beberapa negara di benua biru sedang dalam ketegangan militer dan politik. Ini adalah masa-masa ketika pasukan Prancis yang dipimpin oleh Napoleon Bonaparte berhadapan dengan beberapa negara di Eropa seperti Austria, Swedia, Inggris, Prussia (kini Jerman) dan beberapa negara bagian di sekitarnya.

Barangkali saja ia terlibat, karena pada 1793, ketika masih berseragam militer, bersama resimennya ia harus berpindah ke Frankfurt am Main untuk berpartisipasi dalam kampanye Rhineland (kini bagian Jerman) melawan Prancis. Kita tahu juga bahwa pada 14 Oktober 1806, Napoleon Bonaparte berhasil menundukkan Prussia dan sebagian besar negara dikuasai pasukan Prancis. Barangkali dari situ ia terinspirasi menulis sebuah karya berjudul Die hermannsschlacht, tentang tragedi politik.

 

Selalu Bepergian

Heinrich von Kleist ternyata hanya berkuliah tiga semester. Masa-masa sesudah itu banyak dipakainya untuk bepergian. Ia ke Berlin untuk mengadu nasib menjadi pegawai negeri. Setahun berselang ia pergi ke Paris, Prancis dan Basel, Swiss一di sini ia memulai karirnya sebagai penulis. Karya pertamanya adalah Die Familie Schroffenstein.

Ia juga menghabiskan waktunya di Dresden, Jerman dan bergaul dengan banyak seniman. Di Dresden itulah karya-karya lainnya lahir, salah satunya adalah Der zerbrochene Krug atau Jembangan Pecah yang bisa kita dengarkan di Drama Audio Salihara. Naskah ini sering disebut sebagai mahakarya drama komedi dari Jerman. Di samping itu ia juga bepergian ke Berne, Swiss; Milan, Italia; Jenewa, Swiss; dan mengalami dinamika hidup yang berbeda-beda.

 

Mati Bunuh Diri

Kisah hidup Heinrich von Kleist memang seolah-olah penuh pencaharian. Dari menjadi tentara, kemudian berhenti. Ia pun pernah menjadi pegawai sipil, bekerja di jurnal bulanan maupun surat kabar, tapi suatu waktu malah ingin menjadi tentara lagi. Kira-kira kenapa ya?

Perjalanan hidupnya pun berakhir tragis. Pada 21 November ia bunuh diri di tepi danau Kleiner Wannsee. Ia tidak wafat sendirian. Ia bunuh diri bersama Henriette Vogel, seorang teman dekatnya yang menemaninya pada tahun-tahun terakhir hidupnya. Entah apa yang mendorong mereka berdua bunuh diri.

Itulah sekilas kisah hidup Heinrich von Kleist. Jika ingin memahami karyanya lebih lanjut, tidak ada salahnya meluangkan waktu untuk mendengarkan Drama Audio Salihara Jembangan Pecah mulai tanggal 29 Desember 2020 di platform-platform digital Komunitas Salihara.

empatcara

Empat Cara Menulis Puisi ala Joko Pinurbo

Kata siapa puisi harus dirangkai dengan kata-kata yang rumit? Melalui karya-karya Joko Pinurbo alias Jokpin, kita bisa tahu kalau ternyata puisi bergaya liris dapat dirangkai dengan perpaduan narasi jenaka dan ironi. Karya-karya Jokpin selalu punya warna dan keunikan tersendiri dalam puisi Indonesia.

Tak hanya dari gaya penulisan, Jokpin mengolah citraan obyek-obyek keseharian menjadi narasi puisi yang mengajak kita merenungkan sesuatu. Ia bisa saja membuat barang-barang “tidak cantik” di sekitarnya menjadi puisi yang indah dan bermakna. Puisi-puisi yang terbilang nyeleneh ini justru menghadirkan nilai refleksi yang menyentuh absurditas kehidupan sehari-hari. Nah, buat kamu yang gemar menulis puisi, yuk intip empat cara di bawah ini supaya tulisanmu bisa seperti Joko Pinurbo:

Berpuisi dari Benda dan Peristiwa Keseharian

Seperti Joko Pinurbo, kamu bisa mulai belajar menulis puisi berdasarkan rekaan pengamatanmu dari kehidupan sehari-hari. Misalkan dari ikan-ikan yang berenang di dalam akuarium atau telur-telur yang sedang duduk manis di dalam lemari pendingin atau sebuah peristiwa kibaran sarung.

Jokpin sangat piawai menyulap benda-benda biasa menjadi puisi. Intip saja karya-karyanya yang terkenal, tiga judul “Celana” dalam kumpulan puisi Celana (1996). Melalui tiga puisi tersebut, ia sekaligus menceritakan pencarian jati diri manusia. Menarik bukan? Ini adalah salah satu baitnya:

 

“Kalian tidak tahu ya,
aku sedang mencari celana
yang paling pas dan pantas
buat nampang di kuburan?”

Lalu ia ngacir
tanpa celana
dan berkelana
mencari kubur ibunya
hanya untuk menanyakan,
“Ibu kausimpan di mana celana lucu
yang kaupakai waktu bayi dulu?”

(Sumber: “Celana 1”, Celana (1999)

 

Penggunaan Diksi yang Sederhana

Ketika menulis puisi, kita tak harus merangkai kata-kata rumit untuk menghasilkan keindahan. Pemilihan kata Jokpin yang sederhana sama sekali tidak mengurangi estetika dalam puisinya. Oleh karena itu, cobalah membuat puisi dengan kata-kata yang sederhana namun bermakna. Mulai saja menulis puisi dengan kata-kata yang memudahkanmu menggambarkan perasaan. Setelah itu, coba baca kembali karyamu dan pastikan pemilihan diksi yang dipakai sesuai dengan alur dan punya kecocokan komposisi dari bait ke bait.

Humor sebagai Sarana Menikmati Hidup

Jokpin membuat puisi liris dapat disampaikan dengan narasi yang menggelitik. Humor dalam puisi ini dipakai untuk menghibur dan mencairkan suasana. Tak sebatas itu, penggunaan humor dalam puisi juga bisa dijadikan cara penulis untuk menikmati hidup.

Di balik guyonan-guyonan tersebut, tentu tersirat cerita yang ingin disampaikan bukan? Maka itu, tak hanya menghibur, penggunaan narasi humor ternyata bisa dipakai sebagai permainan logika juga lho. Kamu bisa membaca salah puisi Jokpin terbaru yang berjudul Perjamuan Khong Guan (2020) yang terinspirasi dari kaleng biskuit legendaris. Lah!

Perbanyak Membaca dan Mendengar Puisi

Nah, cara terakhir yang tak kalah penting adalah jangan lupa untuk memperluas wawasan puisimu dengan banyak membaca dan mendengarkan puisi. Dengan begitu, kamu bisa memperkaya perbendaharaan kata, pemilihan diksi, sekaligus menemukan karaktermu sendiri dalam menulis puisi.

Tentu terlepas dari banyak membaca dan menulis, perbanyak juga menjelajahi bidang-bidang ilmu yang lain sehingga ada banyak hal menarik yang bisa kamu angkat ke dalam puisimu. Dan selama berpuisi, jangan lupa bersenang-senang ya!

Setelah baca cara singkat menulis ala Jokpin di atas, kita jadi tahu bahwa menulis dengan narasi sederhana yang jenaka juga bisa menghasilkan keistimewaan sendiri dalam puisi. Dengan sering menulis dan membaca, kamu juga bisa menghasilkan puisi sekeren Joko Pinurbo!

Selain Joko Pinurbo, kita juga punya sastrawan lain yang menulis puisi liris. Siapa saja sastrawan itu? Yuk tonton Peta Sastra Indonesia episode 10 untuk berkenalan.

 

iwan

Iwan Simatupang dan Empat Tokoh Fiksi Ciptaannya yang Unik

Tokoh-tokoh di dalam karya sastra tidak mesti selalu digambarkan sebagai manusia ideal, terpelajar, maupun pahlawan yang dianggap identik dengan realita. Terkadang pengertian mengenai realita itu sendiri juga perlu dipertanyakan. Kali ini kita akan berkenalan dengan Iwan Simatupang, pengarang Indonesia yang berkarya pada era 1950 dan 1960-an.

Salah satu keunikan karya-karya Iwan Simatupang terletak pada penggambaran tokoh-tokoh fiksinya. Terutama tokoh yang ia gambarkan sebagai manusia yang terkesan tidak waras alias gila. Siapa saja para tokoh fiksi yang unik itu? Mari kita simak di bawah ini.

Tokoh “aku” dalam cerita pendek “Lebih Hitam dari Hitam”

Si tokoh “aku” dalam cerita pendek ini adalah orang gila yang sedang dirawat di rumah sakit jiwa. Si “aku” yang selalu kesepian ini suatu hari akhirnya mendapatkan seorang kawan, si kepala besar, meski dengan cara yang terkesan aneh. Tetapi baru saja si “aku” menemukan keakraban, si kepala besar malah pergi meninggalkannya. Iwan Simatupang membawa kita ke dunia yang ganjil, dunia orang-orang gila, dengan sudut pandang yang baru. Tokoh si “aku” ini bisa kita baca di kumpulan cerita pendek Tegak Lurus dengan Langit (1982).

“Tokoh Kita” dalam novel Merahnya Merah

Iwan Simatupang hanya memberinya nama Tokoh Kita. Tokoh Kita di novel ini adalah seorang gelandangan yang pernah jadi calon rahib, komandan kompi, algojo dan masuk rumah sakit jiwa. Tokoh Kita kemudian terseret di dunia jalanan yang keras, kompleks dan tanpa harapan. Tokoh Kita pun diceritakan mati setelah tertancap golok gelandangan lain yang menaruh dendam padanya. Novel Merahnya Merah memang sering dicap sebagai novel absurd oleh para kritikus sastra Indonesia.

“Tokoh Kita” dalam novel Ziarah

Lagi-lagi Iwan Simatupang hanya memberi nama tokoh dengan Tokoh Kita. Tokoh Kita dalam novel ini memang tak secara terang-terangan dikatakan gila oleh si pengarang. Tokoh Kita adalah seorang pelukis yang ditinggal wafat oleh istrinya. Tetapi Tokoh Kita tak pernah menganggapnya demikian, karena ia selalu merasa bakal bertemu istrinya kembali di sebuah simpang jalan setiap pagi. Novel ini sering dikatakan sebagai refleksi personal Iwan Simatupang, karena ia memang kehilangan istrinya karena sakit tifus dan kejadian itu memang benar menekan batinnya. Novel ini mendapatkan Hadiah Roman Asean Terbaik 1977.

Pak Sastro dalam novel Kooong

Pak Sastro sebenarnya bukanlah tokoh gila seperti pada poin pertama di atas. Keunikan dari tokoh Pak Sastro bermula ketika ia memutuskan mencari seekor perkutut peliharaannya yang lepas. Pak Sastro yang diceritakan kesepian karena telah kehilangan istri dan anaknya, menganggap bahwa perkutut itu adalah segalanya. Pak Sastro pun pergi, mengorbankan harta bendanya demi perkutut yang bahkan berbunyi pun tak bisa. Apa yang terjadi berikutnya bisa kita baca dalam novel Kooong, novel yang memenangkan Sayembara Mengarang Roman Bacaan Remaja, novel yang mulanya menggunakan nama samaran Kebo Kenangan.

 Itu dia beberapa tokoh unik yang dikarang oleh Iwan Simatupang. Selain Iwan, kita juga punya sastrawan lain yang punya gaya penceritaan non-realis. Mau tahu siapa saja? Yuk tonton peta sastra episode 09 untuk berkenalan! Klik di sini untuk menonton.

blog-putu

Kilas Balik Inspirasi Berkarya Putu Wijaya

Hidup memang tak melulu tentang kenyataan, kadang kita perlu sedikit “istirahat” dari realita. Kita perlu berimajinasi. Sastrawan kita pun punya cara tersendiri untuk menghadapi kenyataan. Mereka menyulap realita dengan menyisipkan unsur-unsur imajinasi ke dalam karya-karya mereka. Karya-karya seperti itu sering kali dikenal dengan sebutan non-realis.

Kali ini kita akan berkenalan dengan Putu Wijaya, salah satu sastrawan yang menulis dengan gaya non-realis. Karyanya berbagai macam, antara lain puisi, novel, esai, cerita pendek sampai naskah drama. Jika kita intip sedikit, karya-karyanya selalu punya gaya penulisan yang unik dengan selipan nuansa jenaka yang absurd. Tapi kamu tahu tidak, kira-kira dari mana ya ia mendapat inspirasi berkarya seperti itu? Untuk mencari tahu, yuk kita intip kilas balik inspirasi berkarya Putu Wijaya:

Berkesenian Sedari Kecil

Lahir pada 14 April 1944 di Tabanan, Bali, masa kecil Putu Wijaya ternyata banyak dihabiskan dengan kegiatan berkesenian lho. Hidup sebagai anak rumahan, ia banyak menghabiskan waktu bermain dengan kegiatan yang mungkin jarang dilakukan oleh anak-anak sebayanya, misalnya menabuh gamelan dan menari.

Ia juga gemar sekali menonton pertunjukan jalanan seperti wayang di Pasar Tabanan dan alun-alun dekat rumahnya. Ia sendiri pun pernah mengakui bahwa keseniannya bertolak dari logika dongeng, dari seni lukis bali, dari upacara dan tontonan tradisional.

Berteman dengan Buku

Hidup di tengah keluarga yang gemar membaca membuat Putu Wijaya punya hobi membaca sejak kecil. Ia sudah banyak berkenalan dan menjelajahi karya-karya sastrawan dunia seperti Karl May, Rudyard Kipling, William Saroyan, dan Hans Christian Andersen.

Sejak kecil ia sudah mulai membaca karya sastra Indonesia seperti R.A. Kosasih, Pramoedya Ananta Toer, Amir Hamzah, Chairil Anwar dan masih banyak lagi. Ia pun menulis sejak Sekolah Menengah Pertama (SMP). Cerita pendek pertama “Etsa” yang ia tulis di bangku SMP pernah dimuat di Harian Suluh Indonesia.

Membangun Imajinasi melalui Teater

Kedekatan Putu Wijaya dengan teater bisa saja mempengaruhi proses kreatif menulisnya. Perkenalan Putu Wijaya dengan dunia teater ternyata sudah mulai sejak ia duduk di bangku sekolah. Sejak SMP, ia suka mengulik karya-karya penulis naskah dunia seperti Anton Chekhov dan William Shakespeare. Di bangku SMA, ia juga pernah memainkan salah komedi satu babak karya Anton Chekhov berjudul The Bear. Sejak itu, Putu Wijaya menemukan kecintaannya pada dunia teater dan terus menekuninya.

Ketika bermukim dan menempuh kuliah di Yogyakarta, ia pernah aktif bermain bersama Bengkel Teater W.S. Rendra. Ia juga pernah bermain bersama Teater Populer pimpinan Teguh Karya dan Teater Kecil pimpinan Arifin C. Noer ketika berkarir di Jakarta. Kecintaannya terhadap teater akhirnya memotivasi Putu Wijaya untuk membangun kelompok teaternya sendiri bernama Teater Mandiri pada tahun 1971. Kini Teater Mandiri telah dikenal sebagai salah satu kelompok teater tertua di Indonesia.

Mencicipi Pengalaman Hidup di Luar Negeri

Pada 1973, Putu Wijaya mendapat beasiswa selama satu tahun untuk berlatih dan belajar drama di Jepang. Selama menempuh studi di sana, ia tinggal bersama masyarakat komunal Ittoen di Yamashina. Komunitas kecil ini dikenal dengan berpakaian hitam-hitam dan memiliki gaya hidup yang dekat dengan tradisi spiritual.

Selama tinggal bersama komunitas Ittoen, Putu Wijaya sempat merasakan pengalaman baru hidup sebagai petani. Ia juga mengisi kegiatan di sana dengan menyediakan pertunjukan sandiwara rakyat keliling bernama Swaraji.

Itu dia empat kilas kisah hidup dari Putu Wijaya. Berkat ketekunan dan pengalamannya, ia bisa menemukan banyak inspirasi untuk membangun imajinasi dalam karya-karyanya. Sudah tak perlu heran bukan kenapa karya-karyanya begitu unik? Tak hanya Putu Wijaya, kita juga punya sastrawan lain lho yang punya gaya penceritaan non-realis yang unik. Mau tahu siapa saja? Yuk tonton peta sastra episode 09 untuk berkenalan! Klik di sini untuk menonton.

muchtar

Empat Kisah Mochtar Lubis Selama di Jeruji Besi

Selain dikenal sebagai pengarang novel Harimau Harimau dan Senja di Jakarta, Mochtar Lubis (1922-2004) adalah salah satu tokoh jurnalis yang berperan penting dalam perkembangan pers di Indonesia. Ia adalah pendiri sekaligus pemimpin harian Indonesia Raya.

Mochtar Lubis sangat kritis terhadap pemerintah. Pada dua masa pemerintahan yang berbeda, ia pernah merasakan dingin besi penjara, disusul dengan pembredelan harian Indonesia Raya.

Pada masa Orde Lama, Mochtar Lubis dipenjara selama sepuluh tahun (1956-1966) karena sikapnya yang kritis terhadap pemerintahan. Sementara pada masa Orde Baru, ia dipenjara selama satu bulan lebih pada tahun 1974, karena kritik-kritiknya terhadap korupsi di pemerintahan Soeharto dan peristiwa Malari.

Nah selama mendekam di penjara, Mochtar Lubis menulis sebuah catatan harian. Dirangkum berdasarkan buku Nirbaya: Catatan Harian Mochtar Lubis dalam Penjara Orde Baru (Yayasan Obor Indonesia, 2008) inilah empat kisah yang penting untuk kita ketahui selama Mochtar Lubis berada di penjara pada masa Orde Baru.

1. Tentang Penjara Nirbaya

Kalau kita cari hari ini, penjara Nirbaya memang sudah tidak ada. Mochtar Lubis menggambarkan lokasi penjara ini berada di dekat Taman Mini Indonesia Indah, di bagian timur Jakarta. Selain musuh politik Orde Baru, penjara ini juga menahan tokoh-tokoh penting dari masa lalu, termasuk dari peristiwa 1965/1966. Tidak heran jika   disebut tempat pertemuan lintas generasi yang berbeda pandangan ideologi dan politik.

2. Sikap Optimis dan Positif Seorang Mochtar Lubis

Jika membaca catatan-catatannya di dalam buku ini, jarang sekali kita menemukan sebuah emosi Mochtar Lubis yang marah maupun bersedih atas kondisinya di penjara. Dengan ringan dan santai, Mochtar Lubis menceritakan kegiatannya sehari-hari, terutama tentang menu-menu makanan, kegiatannya berolahraga dan bercakap-cakap dengan tahanan lain.

3. Ia Satu Penjara bersama Tahanan Politik 1965/1966

Meskipun Mochtar Lubis dikenal sebagai tokoh yang anti terhadap komunisme, namun selama berada di penjara Nirbaya, ia melihat sesuatu yang lain. Mochtar Lubis menemukan fakta bahwa tahanan peristiwa 1965/1966 di penjara di Nirbaya merupakan tahanan tanpa proses pengadilan, dan bahkan ada yang mengalami penyiksaan fisik. Ia juga menemukan bahwa para tahanan ini hanya diberi jatah makan dua kali sehari (tanpa sarapan pagi). Selain itu para tahanan juga tidak boleh mendapatkan bahan bacaan kecuali bacaan-bacaan agama. Jadi ketika Mochtar Lubis dibawakan beragam buku bacaan, para tahanan juga ikut meminjam buku-buku tersebut.

4. Berada di Penjara Tidak Berarti Berhenti Bersikap Kritis

Berdasarkan persoalan di atas Mochtar Lubis tetap kritis terhadap pemerintah Orde Baru. Ia mengkritisi “lembaga pemasyarakatan” yang tak manusiawi terhadap tahanan-tahanan tersebut. Selain itu ia juga mengungkapkan kembali kritik-kritiknya tentang korupsi-korupsi dan kebijakan-kebijakan pada masa Orde Baru.

Nah itu dia empat kisah yang perlu kita ketahui ketika Mochtar Lubis berada di penjara pada masa Orde Baru. Tapi tidak hanya Mochtar Lubis, kita juga punya sastrawan-sastrawan lain yang mengalami pahitnya rezim Orde Baru dan menjalani masa-masa itu dengan sikap realistis. Mau tahu siapa saja sastrawan itu? Yuk tonton peta sastra episode 08 untuk mencari tahu! Klik di sini untuk menonton.