blog-putu

Kilas Balik Inspirasi Berkarya Putu Wijaya

Hidup memang tak melulu tentang kenyataan, kadang kita perlu sedikit “istirahat” dari realita. Kita perlu berimajinasi. Sastrawan kita pun punya cara tersendiri untuk menghadapi kenyataan. Mereka menyulap realita dengan menyisipkan unsur-unsur imajinasi ke dalam karya-karya mereka. Karya-karya seperti itu sering kali dikenal dengan sebutan non-realis.

Kali ini kita akan berkenalan dengan Putu Wijaya, salah satu sastrawan yang menulis dengan gaya non-realis. Karyanya berbagai macam, antara lain puisi, novel, esai, cerita pendek sampai naskah drama. Jika kita intip sedikit, karya-karyanya selalu punya gaya penulisan yang unik dengan selipan nuansa jenaka yang absurd. Tapi kamu tahu tidak, kira-kira dari mana ya ia mendapat inspirasi berkarya seperti itu? Untuk mencari tahu, yuk kita intip kilas balik inspirasi berkarya Putu Wijaya:

Berkesenian Sedari Kecil

Lahir pada 14 April 1944 di Tabanan, Bali, masa kecil Putu Wijaya ternyata banyak dihabiskan dengan kegiatan berkesenian lho. Hidup sebagai anak rumahan, ia banyak menghabiskan waktu bermain dengan kegiatan yang mungkin jarang dilakukan oleh anak-anak sebayanya, misalnya menabuh gamelan dan menari.

Ia juga gemar sekali menonton pertunjukan jalanan seperti wayang di Pasar Tabanan dan alun-alun dekat rumahnya. Ia sendiri pun pernah mengakui bahwa keseniannya bertolak dari logika dongeng, dari seni lukis bali, dari upacara dan tontonan tradisional.

Berteman dengan Buku

Hidup di tengah keluarga yang gemar membaca membuat Putu Wijaya punya hobi membaca sejak kecil. Ia sudah banyak berkenalan dan menjelajahi karya-karya sastrawan dunia seperti Karl May, Rudyard Kipling, William Saroyan, dan Hans Christian Andersen.

Sejak kecil ia sudah mulai membaca karya sastra Indonesia seperti R.A. Kosasih, Pramoedya Ananta Toer, Amir Hamzah, Chairil Anwar dan masih banyak lagi. Ia pun menulis sejak Sekolah Menengah Pertama (SMP). Cerita pendek pertama “Etsa” yang ia tulis di bangku SMP pernah dimuat di Harian Suluh Indonesia.

Membangun Imajinasi melalui Teater

Kedekatan Putu Wijaya dengan teater bisa saja mempengaruhi proses kreatif menulisnya. Perkenalan Putu Wijaya dengan dunia teater ternyata sudah mulai sejak ia duduk di bangku sekolah. Sejak SMP, ia suka mengulik karya-karya penulis naskah dunia seperti Anton Chekhov dan William Shakespeare. Di bangku SMA, ia juga pernah memainkan salah komedi satu babak karya Anton Chekhov berjudul The Bear. Sejak itu, Putu Wijaya menemukan kecintaannya pada dunia teater dan terus menekuninya.

Ketika bermukim dan menempuh kuliah di Yogyakarta, ia pernah aktif bermain bersama Bengkel Teater W.S. Rendra. Ia juga pernah bermain bersama Teater Populer pimpinan Teguh Karya dan Teater Kecil pimpinan Arifin C. Noer ketika berkarir di Jakarta. Kecintaannya terhadap teater akhirnya memotivasi Putu Wijaya untuk membangun kelompok teaternya sendiri bernama Teater Mandiri pada tahun 1971. Kini Teater Mandiri telah dikenal sebagai salah satu kelompok teater tertua di Indonesia.

Mencicipi Pengalaman Hidup di Luar Negeri

Pada 1973, Putu Wijaya mendapat beasiswa selama satu tahun untuk berlatih dan belajar drama di Jepang. Selama menempuh studi di sana, ia tinggal bersama masyarakat komunal Ittoen di Yamashina. Komunitas kecil ini dikenal dengan berpakaian hitam-hitam dan memiliki gaya hidup yang dekat dengan tradisi spiritual.

Selama tinggal bersama komunitas Ittoen, Putu Wijaya sempat merasakan pengalaman baru hidup sebagai petani. Ia juga mengisi kegiatan di sana dengan menyediakan pertunjukan sandiwara rakyat keliling bernama Swaraji.

Itu dia empat kilas kisah hidup dari Putu Wijaya. Berkat ketekunan dan pengalamannya, ia bisa menemukan banyak inspirasi untuk membangun imajinasi dalam karya-karyanya. Sudah tak perlu heran bukan kenapa karya-karyanya begitu unik? Tak hanya Putu Wijaya, kita juga punya sastrawan lain lho yang punya gaya penceritaan non-realis yang unik. Mau tahu siapa saja? Yuk tonton peta sastra episode 09 untuk berkenalan! Klik di sini untuk menonton.

muchtar

Empat Kisah Mochtar Lubis Selama di Jeruji Besi

Selain dikenal sebagai pengarang novel Harimau Harimau dan Senja di Jakarta, Mochtar Lubis (1922-2004) adalah salah satu tokoh jurnalis yang berperan penting dalam perkembangan pers di Indonesia. Ia adalah pendiri sekaligus pemimpin harian Indonesia Raya.

Mochtar Lubis sangat kritis terhadap pemerintah. Pada dua masa pemerintahan yang berbeda, ia pernah merasakan dingin besi penjara, disusul dengan pembredelan harian Indonesia Raya.

Pada masa Orde Lama, Mochtar Lubis dipenjara selama sepuluh tahun (1956-1966) karena sikapnya yang kritis terhadap pemerintahan. Sementara pada masa Orde Baru, ia dipenjara selama satu bulan lebih pada tahun 1974, karena kritik-kritiknya terhadap korupsi di pemerintahan Soeharto dan peristiwa Malari.

Nah selama mendekam di penjara, Mochtar Lubis menulis sebuah catatan harian. Dirangkum berdasarkan buku Nirbaya: Catatan Harian Mochtar Lubis dalam Penjara Orde Baru (Yayasan Obor Indonesia, 2008) inilah empat kisah yang penting untuk kita ketahui selama Mochtar Lubis berada di penjara pada masa Orde Baru.

1. Tentang Penjara Nirbaya

Kalau kita cari hari ini, penjara Nirbaya memang sudah tidak ada. Mochtar Lubis menggambarkan lokasi penjara ini berada di dekat Taman Mini Indonesia Indah, di bagian timur Jakarta. Selain musuh politik Orde Baru, penjara ini juga menahan tokoh-tokoh penting dari masa lalu, termasuk dari peristiwa 1965/1966. Tidak heran jika   disebut tempat pertemuan lintas generasi yang berbeda pandangan ideologi dan politik.

2. Sikap Optimis dan Positif Seorang Mochtar Lubis

Jika membaca catatan-catatannya di dalam buku ini, jarang sekali kita menemukan sebuah emosi Mochtar Lubis yang marah maupun bersedih atas kondisinya di penjara. Dengan ringan dan santai, Mochtar Lubis menceritakan kegiatannya sehari-hari, terutama tentang menu-menu makanan, kegiatannya berolahraga dan bercakap-cakap dengan tahanan lain.

3. Ia Satu Penjara bersama Tahanan Politik 1965/1966

Meskipun Mochtar Lubis dikenal sebagai tokoh yang anti terhadap komunisme, namun selama berada di penjara Nirbaya, ia melihat sesuatu yang lain. Mochtar Lubis menemukan fakta bahwa tahanan peristiwa 1965/1966 di penjara di Nirbaya merupakan tahanan tanpa proses pengadilan, dan bahkan ada yang mengalami penyiksaan fisik. Ia juga menemukan bahwa para tahanan ini hanya diberi jatah makan dua kali sehari (tanpa sarapan pagi). Selain itu para tahanan juga tidak boleh mendapatkan bahan bacaan kecuali bacaan-bacaan agama. Jadi ketika Mochtar Lubis dibawakan beragam buku bacaan, para tahanan juga ikut meminjam buku-buku tersebut.

4. Berada di Penjara Tidak Berarti Berhenti Bersikap Kritis

Berdasarkan persoalan di atas Mochtar Lubis tetap kritis terhadap pemerintah Orde Baru. Ia mengkritisi “lembaga pemasyarakatan” yang tak manusiawi terhadap tahanan-tahanan tersebut. Selain itu ia juga mengungkapkan kembali kritik-kritiknya tentang korupsi-korupsi dan kebijakan-kebijakan pada masa Orde Baru.

Nah itu dia empat kisah yang perlu kita ketahui ketika Mochtar Lubis berada di penjara pada masa Orde Baru. Tapi tidak hanya Mochtar Lubis, kita juga punya sastrawan-sastrawan lain yang mengalami pahitnya rezim Orde Baru dan menjalani masa-masa itu dengan sikap realistis. Mau tahu siapa saja sastrawan itu? Yuk tonton peta sastra episode 08 untuk mencari tahu! Klik di sini untuk menonton.

ahmadthohari

Empat Fakta Menarik tentang Perjalanan Ahmad Tohari Menulis “Ronggeng Dukuh Paruk”

Apa yang kamu ketahui tentang peristiwa 30 September 1965? Selain menjadi peristiwa kelam dalam sejarah Indonesia, tekanan politik kala itu sesungguhnya banyak mempengaruhi geliat sastra kita lho. Para sastrawan tidak bisa bebas berkarya dan bersuara tentang peristiwa 1965. Bayangkan saja jika berani mengkritik atau memberontak, bisa-bisa masuk penjara.

Tapi di balik ketatnya rezim Orde Baru, sastrawan satu ini berani bersuara dan mengangkat tema yang paling sensitif di masanya. Ia adalah Ahmad Tohari. Lewat salah satu karya monumentalnya, Ronggeng Dukuh Paruk (1982), kita bisa merasakan suasana kehidupan sosial dan pergulatan politik pada tahun 1960-an. Nah, mau tahu seluk beluk perjalanan Ahmad Tohari ketika menulis novel Ronggeng Dukuh Paruk? Yuk simak empat fakta menarik di bawah ini:

Pergumulan Ahmad Tohari Selama 15 Tahun 

Tahu nggak kalau ternyata butuh kurang lebih 15 tahun untuk Ahmad Tohari memantapkan diri menulis Ronggeng Dukuh Paruk. Saking seriusnya ia sampai meninggalkan pekerjaannya sebagai redaktur harian Merdeka di Jakarta. Waktu itu ia juga memutuskan untuk pulang ke kampungnya di Tinggarjaya, Banyumas, Jawa Tengah, untuk fokus menulis Ronggeng Dukuh Paruk. Selama proses menulis, ia mencoba mengingat kembali ingatan kolektif masa remajanya untuk dituangkan ke dalam novel. Salah satu pengalaman pahit Ahmad Tohari adalah ketika ia harus menyaksikan pembunuhan warga-warga kampungnya yang dituduh terlibat komunis.

Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk

Sebelum akhirnya dirilis ke dalam satu novel pada tahun 2003, Ronggeng Dukuh Paruk ini mulanya diterbitkan secara berkala ke dalam tiga seri: Catatan Buat Emak (1982), Lintang Kemukus Dini Hari (1985) dan Jentera Bianglala (1986). Tak hanya di Indonesia, novel ini ternyata juga diminati oleh pembaca sastra di luar negeri. Ronggeng Dukuh Paruk ini juga diterbitkan ke dalam beberapa bahasa asing di antaranya Jepang, Jerman, Belanda dan Inggris.

Lima Hari Bersama Tentara

Usai Ronggeng Dukuh Paruk diterbitkan, tepat pada tanggal 2 Juli 1986, kediaman Ahmad Tohari di Jakarta tiba-tiba didatangi oleh tentara. Ia kemudian dibawa ke Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (KOPKAMTIB) untuk diinterogasi karena novelnya tersebut. Pemerintah merasa bahwa buku itu terlalu sensitif dan kritis pada masa itu. Ketika diinterogasi,  Ahmad Tohari lagi-lagi dituduh beraliansi dengan komunis. Akhirnya selama lima hari diinterogasi, Ahmad Tohari pun dibebaskan karena berhasil meyakinkan para tentara bahwa ia bukan komunis. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) juga ikut membantunya kala itu.

Dari Buku sampai Ke Layar Lebar

Setahun setelah dirilisnya seri pertama yaitu Catatan Buat Emak (1982), buku ini langsung diadaptasi oleh sutradara Yazman Yazid menjadi film Darah dan Mahkota Ronggeng (1983).  Film ini pun dibintangi oleh Ray Sahetapy dan Enny Beatrice.

Kepopuleran Ronggeng Dukuh Paruk tidak berhenti di situ. Pada tahun 2011, buku ini kembali diadaptasi ke layar lebar oleh sutradara Ifa Isfansyah dengan judul Sang Penari (2011). Dibintangi oleh Prisia Nasution dan Oka Antara, film ini berhasil meraih sepuluh nominasi dari Festival Film Indonesia 2011 dan memenangkan empat Piala Citra. Keren bukan?!

Nah itu dia empat fakta menarik perjalanan Ahmad Tohari ketika menulis Ronggeng Dukuh Paruk. Nggak cuma Ahmad Tohari, kita juga punya sastrawan-sastrawan lain yang harus mengalami pahitnya rezim Orde Baru dan menjalani masa-masa itu dengan sikap realistis. Mau tahu siapa saja sastrawan itu? Yuk tonton peta sastra episode 08 untuk mencari tahu! Klik di sini untuk menonton.

blog1

Empat Kemampuan Penting yang Perlu Dipersiapkan sebelum Anak Memasuki Perguruan Tinggi

Memasuki perguruan tinggi tentu menjadi masa transisi besar yang ditunggu-tunggu setiap anak SMA. Selain menemui pengalaman baru, kuliah juga menjadi masa yang tepat untuk mengeksplorasi banyak hal dan kegiatan baru.

Tentu ada “perbekalan” penting yang perlu dipersiapkan sebelum seorang anak memasuki lingkungan baru. Nah, perbekalan apa saja? Berikut lima skill penting untuk dipersiapkan sebelum anak memasuki perguruan tinggi:

1. Manajemen Waktu

Pengelolaan waktu adalah salah satu skill yang perlu dipersiapkan sebelum memasuki lingkungan perkuliahan. Kenapa? Kultur kampus yang jauh lebih bebas dan fleksibel mau tak mau menuntut anak untuk dapat bersikap lebih mandiri. Dengan kemampuan manajemen waktu yang baik, anak akan jauh lebih disiplin dalam menyelesaikan tanggung jawab. Nah, supaya anak bisa memulai belajar mengatur waktunya, anda bisa mulai membiasakan mereka untuk mengatur jadwalnya sendiri dengan memberikan catatan to-do list.

2. Adaptasi

Memulai kehidupan baru di dunia perkuliahan tentu perlu mempersiapkan diri dan mental supaya anak merasa nyaman di lingkungan barunya. Tips mudah untuk melatih daya adaptif anak bisa dengan mengajak mereka aktif mengikuti kegiatan ekstrakurikuler sekolah maupun luar sekolah. Dengan begitu, anak akan terbiasa mengadaptasi diri dalam berbagai macam lingkungan sekaligus memperluas networking.

3. Menulis

Keterampilan menulis tak hanya sekadar tentang merangkai kata-kata, tetapi juga tentang bagaimana anak secara efektif menyampaikan gagasan mereka secara terstruktur. Memiliki kemampuan menulis sama dengan melatih daya komunikasi anak. Dengan menulis, anak mampu melatih daya berpikir kritis dalam mengartikulasikan sebuah ide abstrak. Nah, salah satu cara seru yang mudah untuk melatih daya menulis bisa dimulai dengan mengajak anak membaca atau membuat catatan journaling.

4. Public Speaking

Selain menulis, public speaking tentu jadi skill penting sekali untuk membangun pola berpikir anak. Dalam public speaking, anak tidak hanya terlatih untuk mengutarakan pendapat, tetapi juga menyajikannya dalam struktur yang efektif dan logis. Salah satu kegiatan yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kemampuan public speaking adalah mengikuti kompetisi debat. Tak hanya mengasah kemampuan komunikasi, mengikuti kompetisi debat juga mampu melatih daya berpikir kritis, analitis dan cepat tanggap anak.

Nah, ngomong-ngomong tentang public speaking, tahun ini Komunitas Salihara Art Center kembali mengadakan Kompetisi Debat Sastra 2020 untuk para siswa/i SMA.  Cek info selengkapnya di sini.

Kami juga meluncurkan kanal YouTube Peta Sastra Indonesia, sebuah panduan mudah untuk berkenalan dengan khazanah sastra Indonesia lewat video-video pendek dan menarik. Kita bisa berkenalan dengan penulis-penulis penting, serta perkembangan sastra Indonesia seiring semangat zamannya. Menambah wawasan dengan sastra juga sekaligus meningkatkan kemampuan seorang anak. Lebih lanjut lihat di

Itu dia empat kemampuan mengasyikan yang bisa dilakukan anak sebelum memasuki jenjang perguruan tinggi. Jangan lupa untuk pantau terus kegiatan seru Komunitas Salihara Arts Center di media-media sosial kami ya!

 

chekov

Mengenal Sosok Satrawan di Balik Pinangan

Sudah mendengar Drama Audio Salihara Pinangan episode pertama belum? Menunggu episode kedua tayang, kami merangkum beberapa informasi tentang drama Pinangan dan si pengarang Anton Chekhov untuk memperkaya pengalaman seni kamu setelah mendengar drama audio ini.

ANTON CHEKHOV DI INDONESIA

Anton Chekhov (29 Januari 1860 – 15 Juli 1904) adalah sastrawan Rusia di akhir abad 19 yang dijuluki Raja Cerita Pendek. Nama Chekhov mulai akrab di Indonesia sejak tahun 1950-an, melalui cerita-cerita pendeknya yang diterjemahkan di beberapa majalah budaya. Toto Sudarto Bachtiar, Asrul Sani, hingga Sapardi Djoko Damono adalah beberapa sastrawan yang pernah menerjemahkan (sekaligus memperkenalkan) karya-karya Chekhov ke publik Indonesia.

Beriringan dengan cerita-cerita pendeknya, beberapa naskah drama Chekhov disadur dan dipentaskan oleh para seniman teater di Indonesia. Beberapa di antaranya adalah monolog On the Harmful Effects of Tobacco (1886) atau Bahaya Racun Tembakau (terjemahan Suyatna Anirun dan Jim Adhi Limas), The Bear (1888) atau Orang Kasar (terjemahan W.S. Rendra), The Cherry Orchard (1904) atau Kebun Ceri (terjemahan Asrul Sani).

Adapun The Proposal atau A Marriage Proposal (1889) disadur oleh dua tokoh teater modern Indonesia: Jim Adhi Limas dan Suyatna Anirun menjadi judul Pinangan. Naskah itu kemudian dipentaskan oleh salah satu perintis teater modern Indonesia yaitu Studiklub Teater Bandung (STB) pada awal berdirinya mereka pada 1958 sampai 1960-an. Lembaga pendidikan kesenian pertama di Jakarta yaitu Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) yang didirikan oleh Asrul Sani dan Usmar Ismail pada 1955 juga kerap mementaskan naskah-naskah Chekhov.

Sampai hari ini naskah-naskah Chekhov pun masih menjadi favorit seniman teater Indonesia. Teater Koma membawakan Pinangan pada tahun 1983, Prodi Studi Teater IKJ membawakan Pinangan pada tahun 2015, Teater Kedai membawakan Penagih Utang pada tahun 2016, dan masih banyak lagi.

DIADAPTASI KE LAYAR LEBAR

Mungkin karena Pinangan punya daya tarik tersendiri di Indonesia, sutradara Sjuman Djaya mengadaptasi naskah ini ke layar lebar pada tahun 1976. Sjuman Djaya memasukkan unsur budaya lokal Indonesia, khususnya Betawi. Film itu dibintangi oleh aktor legendaris Benyamin Sueb dan Rima Melati.

Pada dasarnya, cerita dalam Pinangan kental dengan humor. Penambahan unsur lenong, bercandaan dan ejek-ejekan ala Betawi, membuat film ini pun terasa dekat dengan masyarakat kita. Adegan perang mulut antara Ical bin Japri (Benyamin) dan Roro Melati (Rima) tentang siapa pemilik sebenarnya empang “budeg” sungguh membuat penonton terbahak-bahak.

Sebelumnya, Sjuman Djaya juga pernah mengadaptasi cerita pendek Chekhov berjudul “The Death of a Government Clerk” (1883) menjadi film yang berjudul Si Mamad (1974). Film yang dibintangi oleh Mang Udel itu pun menyabet Piala Citra 1974 untuk Film Cerita Panjang Terbaik.

DI BALIK PINANGAN DAN KOMEDI CHEKHOV

The Proposal (1888–1889) atau Pinangan ditulis pada masa Chekhov berada dalam kondisi kesehatan yang memungkinkan ia bepergian ke berbagai tempat di Rusia. Demikianlah ia bisa memotret kelucuan perihal pernikahan orang kaya di sebuah desa di Rusia pada akhir abad 19, seperti yang kita temukan di Pinangan.

Kelucuan itu terasa mudah dilakukannya, karena di awal karir, Chekhov memang banyak menulis karya yang dimuat di Fragments, sebuah majalah humor mingguan Rusia. Dari tahun 1882 hingga 1887 majalah Fragments telah menerbitkan kurang lebih 270 karya Chekhov.

Berbeda dengan penulis-penulis Rusia lain seperti Fyodor Dostoyevsky dan Leo Tolstoy, Chekhov menawarkan komedi satire, serta sisi lain yang sangat personal di setiap karakter-karakter yang ia ciptakan.

Tidak heran, si Raja Cerita Pendek pun ternyata bisa menulis naskah drama yang sarat ironi dan humor seperti Pinangan. Naskah ini pertama kali dimainkan di Saint Petersburg dan Moskow pada tahun 1890 dan menjadi populer di kota-kota kecil lain di Rusia.

AKHIR HAYAT CHEKHOV

Usia Anton Chekhov, si Raja Cerita Pendek yang juga bekerja sebagai dokter, bisa dibilang tidak panjang. Sebagai dokter, ia banyak mengabdikan diri di desa-desa, dan bahkan pernah terlibat memberantas wabah kolera 1892-1893 di Rusia. Tapi menjalani dua profesi (pengarang dan dokter) secara bersamaan sepertinya mengganggu fisik dan kesehatannya. Tahun-tahun terakhir, ia menderita tuberkulosis (TBC).

Pada masa-masa terakhir itu ia tak lagi menciptakan cerita-cerita pendek, dan hanya menciptakan naskah-naskah drama. Tapi berbeda dengan naskah yang ia tulis pada kondisi kesehatan yang baik, naskah-naskah terakhirnya tidak seriang Pinangan. Bahkan ada satu naskah yang ditutup dengan peristiwa bunuh diri. Penyakit yang ia derita semakin parah, dan Anton Chekhov akhirnya meninggal dunia dalam usia 44 tahun, tepatnya pada tanggal 15 Juli 1904.**

ajip1

Obituari Ajip Rosidi

Ajip Rosidi—mula-mula ditulis “Ajip Rossidhy—memasuki gelanggang sastra Indonesia pada usianya yang masih belia di era 1950-an. Ia dilahirkan di Jatiwangi, Jawa Barat, pada 31 Januari 1938. Ia telah menulis sastra pada usia 13 tahun, pada mulanya karya-karyanya diterbitkan di majalah sekolah, kemudian di majalah orang dewasa. Pada usianya yang ke-21 tahun, ia telah menerbitkan empat kumpulan prosa (Tahun-tahun Kematian, Di Tengah Keluarga, Sebuah Rumah buat Haritua, Perjalanan Penganten) tiga kumpulan sajak (Pesta, Cari Muatan, Ketemu di Jalan—bersama Sobron Aidit dan S.M. Ardan) dan sebuah buku kumpulan ulasan Cerita Pendek Indonesia.

Ajip adalah generasi penyair yang bereaksi terhadap warisan Chairil dan Angkatan 45. Sajak-sajaknya, begitu juga prosanya, ditulis dengan pendekatan autobiografis yang mencoba merawat hubungan yang akrab pembaca dengan dunia kultural Sunda dan kota-kota besar setelah Revolusi. Meski tidak sepenuhnya berhasil mengolah pengaruh Chairil Anwar dan Sitor Situmorang, seraya menjernihkan daya ucap puisi-puisinya, Ajip menegaskan kembali tegangan antara kampung halaman sebagai masa silam dan kota besar hari ini sebagai harapan kaum urban dan dia selalu tertarik untuk kembali ke masa silam yang indah. Sebuah romantisisme yang lebih lunak ketimbang yang dijalankan penyair generasi Pujangga Baru.

Perhatiannya bukan hanya berfokus kepada penulisan karya sastra, tetapi juga penelitian dan sejarah sastra, bunga rampai sastra, ensiklopedia, bahkan penerbitan dan dunia perbukuan. Pada 1962 ia mendirikan penerbit Kiwari di Bandung, selanjutnya Tjupumanik, Duta Rakyat, Pustaka Jaya, Girimukti Pasaka dan Kiblat Buku Utama. Pustaka Jaya, khususnya, berperan amat penting dalam menerbitkan buku-buku sastra (asli dan terjemahan) pada masa 1970-an hingga sesudahnya. Ia juga ikut mendirikan dan mengelola majalah Budaya Jaya yang telah memuat tulisan-tulisan bermutu tentang sastra dan budaya di era yang sama. Pada 1977 ia menerbitkan bunga rampai karya sastra Indonesia Laut Biru Langit Biru, sebuah upaya yang juga pernah diusahakan H.B. Jassin dan Sutan Takdir Alisjahbana di era sebelumnya. Bahkan sesuatu yang ensiklopedis melalui Ensiklopedi Sunda (2000) setebal 719 halaman tentang alam, manusia dan budaya Sunda.

Komitmennya untuk mempertahankan bahasa daerah sebagai media ungkap sastra daerah diwujudkannya dengan menyelenggarakan pemberian Hadiah Sastra Rancage pada 1989, yang pada setiap tahun memilih karya-karya sastra terbaik dalam bahasa Sunda. Pada mulanya hanya karya sastra berbahasa Sunda, kemudian berkembang ke karya sastra berbahasa Jawa, Madura, Bali, Lampung. Pemberian Hadiah Rancage, meskipun sering kesulitan dana, telah merangsang penerbitan karya-karya sastra berbahasa daerah dan menghidupkan terus kreativitas di antara para penulisnya.

Meskipun tidak menyelesaikan sekolah Taman Madya (setingkat SMA), Ajip Rosidi adalah penulis yang kemudian mendapatkan kehormatan menjadi dosen sastra dan budaya di sejumlah perguruan tinggi di Indonesia. Termasuk ketika ia mengajar di sejumlah perguruan tinggi di Jepang dan mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa di bidang Ilmu Budaya dari Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran Bandung pada 2011.

Pada 29 Juli 2020 Ajip berpulang di desa Pabelan, Magelang, Jawa Tengah—desa yang ia pilih untuk menyepi di masa tuanya. Kita kehilangan seorang penulis yang tekun dan penuh semangat, ia yang bekerja keras memajukan bukan hanya sastra Indonesia, tetapi juga sastra Sunda dan sastra daerah lainnya. Beristirahatlah dengan damai, Ajip Rosidi.

20200625kompetisi_Page_1

Kompetisi Debat Sastra Tingkat SMA 2020

Pandemi COVID-19 tidak membuat semangat kami meredup dalam mengajak putra-putri terbaik bangsa Indonesia merayakan semangat kesusastraan dalam adu intelegensi serta pengetahuan pada Kompetisi Debat Sastra 2020.

Melalui kompetisi ini, kami menantang para siswa-siswi SMA/K dalam untuk beradu wawasan dalam membandingkan karya sastra dalam negeri dan luar negeri. Tahun ini karya yang diperbandingkan adalah novel “Lusi Lindri” karya Y.B. Mangunwijaya (Indonesia) dan memoar “Perempuan di Titik Nol” karya Nawal El Saadawi (Mesir).

Kedua karya ini berbeda genre tetapi memiliki kedekatan, yaitu dalam menggambarkan tokoh perempuan yang berhadapan dengan situasi zaman dan masyarakatnya. Membaca dua karya ini secara berdampingan akan memberi kita kesempatan untuk memahami masalah yang mirip sekaligus berbeda dalam perspektif yang lebih luas dan kaya.

Para juri akan menilai karya tulis berdasarkan mutu argumen, pendalaman dan penggalian masalah serta ketertiban dan keindahan bahasa Indonesia yang digunakan dan juga menilai keterampilan para peserta dalam menyampaikan gagasan secara lisan dan kekuatan argumen dalam perdebatan. Peserta yang lolos menuju babak final akan beradu kembali melalui debat daring yang diadakan pada Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2020.

Pendaftaran kompetisi ini dibuka mulai dari 17 Juni hingga30 Agustus 2020. Pengumpulan makalah paling lambat 14 September 2020. Hadiah yang kami siapkan berupa: Juara 1 sejumlah Rp30.000.000, Juara 2 sejumlah Rp20.000.000, dan lima makalah favorit masing-masing Rp2.000.000.
Para peserta dapat melihat syarat serta ketentuan yang disediakan oleh Komunitas Salihara melalui web: tiket.salihara.org. Segera jadi bagian dalam sejarah edukasi dan menangkan total hadiah sebesar Rp60.000.000!

Untuk mengetahui detail pertunjukan, sila kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara atau hubungi: media@salihara.org/0822-2552-3959 (Muhammad Ridho)

20200625serigagasan_Page_1

Seri Gagasan Diskriminasi

07, 10, 14, 21, 24 Juni 2020

Diskriminasi dan rasisme, mau sampai kapan? ‘Stay A(r)t Home’ Kali ini kami akan menampilkan secara daring program-program yang pernah membahas soal diskriminasi dan rasisme di Indonesia dan dunia. Sebelumnya, yuk simak dulu tulisan berikut ini.

Diskriminasi terhadap suatu kelompok belum sepenuhnya hilang. Kasus meninggalnya George Floyd (25/05/2020) karena perlakuan polisi di Minneapolis, Amerika Serikat, adalah yang terbaru dari sekian banyak kasus diskriminasi di dunia.

Diskriminasi yang serupa dalam bentuk lain juga sering kita temukan di banyak negara, termasuk Indonesia. Sentimen dan diskriminasi terhadap warga Papua dan Tionghoa sejak masa kemarin sampai hari ini masih sering kita temukan.

Serta beberapa kasus diskriminasi lain terhadap Timor Leste (ketika masih menjadi bagian provinsi Indonesia), orientasi seksual, agama/kepercayaan minoritas, pilihan politik berbeda dan masih banyak lagi, seakan tidak pernah berakhir.

Mereka mengalami perisakan, persekusi bahkan pembunuhan karena dianggap berbeda dari warga mayoritas, yang punya lebih banyak kuasa, akses di parlemen, bahkan kecenderungan akan kekerasan bersenjata. Kasus-kasus diskriminasi dan mengalienasi kelompok minoritas di Indonesia atau di negara mana pun membuktikan adanya ketimpangan atau ketidakadilan.

Kenapa ini terus terjadi dan bagaimana kita bersikap untuk menghadapi hal ini? Komunitas Salihara berupaya, melalui seri program daring ini kita bisa belajar dari berbagai perspektif, seniman dan peneliti, tentang pentingnya menerima perbedaan sebagai bagian dari diri kita.

Program yang kami tampilkan juga menawarkan cara melihat sejarah dengan beragam narasi (inklusif), bukan hanya dari satu sisi (eksklusif) yang gagal membangun kebhinekaan. Sebagai pembuka, kita bisa menyimak penampilan kolaborasi seniman Indonesia, Indo-Belanda dan Suriname.

Pentas Sastra ini hendak menampilkan sudut pandang sejarah melalui cerita-cerita keluarga. Kita juga bisa menyimak tiga podcast tentang bagaimana menyikapi ujaran kebencian yang mendiskriminasi agama minoritas; melihat kembali keindonesiaan dan ketionghoaan; dan diskusi tentang akar kekerasan.

Selain itu, kami menyajikan ceramah Nancy Jouwe, peneliti Belanda yang sebenarnya dekat dengan Indonesia karena ia berasal dari keluarga yang mengungsi akibat peristiwa politik di Papua Barat pada 1960-an.

Tak ketinggalan, penampilan Felix K. Nesi yang membaca petikan dari Orang-Orang Oetimu, sebuah novel yang berlatar peristiwa kekerasan di sebuah tempat di Pulau Timor.

Semoga materi-materi ini bisa memberi fondasi yang kokoh bagi semangat kebhinekaan kita sebagai bangsa Indonesia. Terus ikuti informasinya di media sosial kami. #DiSeniSehat #StayArtHome

Untuk mengetahui detail pertunjukan sila kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara atau hubungi: media@salihara.org/0822-2552-3959 (Muhammad Ridho)

20200625senipertunjukan

Seni Pertunjukan dan Social Distancing: Beberapa Eksperimen

Diskusi Daring (Live)
Pembicara: Ria Papermoon, Yola Yulfianti, Hilmar Farid
Moderator: Nirwan Dewanto (Rabu, 17 Juni 2020)

Wabah Corona telah mengubah cara pandang kita terhadap dunia, manusia, masa kini, masa depan—segalanya. Produksi seni sekarang ini sepenuhnya mengandalkan presentasi daring, melalui jejaring media sosial, dengan kolaborasi yang tanpa batas.

Di samping itu, seni bukan melulu ekspresi yang indah dan subtil, tetapi juga punya kekuatan terapeutik atas trauma akibat pandemi. Pengelola museum seni rupa atau seniman pada umumnya melihat semua ini sebagai cara baru dalam melihat hubungan antara seniman, karya seni dan penikmatnya.

Dalam Situasi seperti ini status ontologis seni dipersoalkan kembali. Seni mengalami “pendefinisian kembali” karena berbagai perubahan yang terjadi akibat wabah yang mendunia dan tidak terduga sebelumnya.

Apakah sebenarnya seni itu? Siapa penikmat seni sekarang ini? Bagaimana ia bisa diakses di tengah penjarakan sosial seperti sekarang ini? Masih diperlukannya “seni tinggi” yang melulu berkutat pada nilai-nilai keindahan yang adiluhung? Ataukah yang kita perlukan sekarang ini adalah seni yang bisa menyembuhkan kita dari trauma? Yang bisa membuat kita bertahan lebih lama di tengah derita dunia ini? Apakah seniman itu sebenarnya? Di mana posisinya di antara derita dunia ini? Apakah akan ada genre baru seni setelah wabah global ini? Komunitas Salihara membuka wadah bagi pertanyaan-pertanyaan itu dalam diskusi daring yang disiarkan secara langsung.

Bersama: Maria Tri Sulistyani (Ria Papermoon), Yola Yulfianti, Hilmar Farid yang akan di moderator oleh Nirwan Dewanto. Diskusi ini akan mempersoalkan perkembangan terbaru di Indonesia dan dunia terkait dengan produksi seni.

Diskusi ini akan mempersoalkan kembali latar belakang filosofis produksi seni di satu sisi, di sisi lain akan meneroka upaya-upaya seniman dalam mengalami wabah global ini. Perbandingan situasi mutakhir wabah global ini dengan peristiwa yang mirip di masa silam, Perang Dunia Kedua misalnya, juga dimungkinkan.

Jika setelah Perang Dunia Kedua muncul pernyataan Adorno “Menulis puisi setelah Auswitcz adalah barbar”, apakah produksi seni setelah wabah Corona akan bernasib serupa. Saksikan diskusinya secara langsung via Youtube: Komunitas Salihara Arts Center, Rabu, 17 Juni 2020, 16:00 WIB.

Untuk mengetahui detail pertunjukan sila kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara atau hubungi: media@salihara.org/0822-2552-3959 (Muhammad Ridho)