soedarsono

Obituari: Srihadi Soedarsono

Srihadi Soedarsono Adhikoesoemo (Solo, 4 Desember 1931一Bandung, 26 November 2022) adalah salah satu tokoh dan seniman penting dalam khazanah seni rupa Indonesia. 

Ia mulai gemar menggambar sejak usia dini. Pada masa pendudukan Belanda, ia senang melihat karya para pelukis Belanda di majalah d’Orient. Sementara pada masa pendudukan Jepang, ia telah menjumpai lukisan S. Sudjojono, Basoeki Abdullah dan lainnya di majalah Djawa Baroe.

Pada akhir pendudukan Jepang dan awal kemerdekaan, Srihadi Soedarsono bergabung secara sukarela dengan Ikatan Pelajar Indonesia (IPI). Dalam komunitas itu, ia ikut dalam kegiatan pembuatan poster-poster, grafiti, hingga menulis slogan-slogan perjuangan di dinding-dinding kota dan gerbong-gerbong kereta. 

Ia juga terlibat sebagai wartawan pelukis yang meliput peristiwa-peristiwa militer dan peperangan untuk dokumentasi, ulang-alik dari Solo dan Yogyakarta. Di tahun-tahun itu pula, rombongan Seniman Indonesia Muda (SIM, 1947) pindah ke kota Solo dan menempati sebuah gedung bekas bioskop, tidak jauh dari rumahnya. Ia berkenalan dengan S. Sudjojono, bergabung dengan SIM dan menjadi anggota termuda di perkumpulan itu, setelah sebelumnya gelar itu digenggam pelukis Kartono Yudhokusumo.

Srihadi Soedarsono melanjutkan pendidikan ke Balai Pendidikan Universiter Guru Seni Rupa FTUI Bandung (sekarang Institut Teknologi Bandung) pada tahun 1952. Di sana ia mendapatkan pengalaman dan ilmu yang sepenuhnya baru. Perjumpaannya dengan Ries Mulder membawanya kepada corak seni lukis baru, yaitu seni abstrak dan kubisme. Ia kemudian melanjutkan studi ke Ohio State University (OSU). Di sana ia berjumpa dan berkarya di satu gedung seni rupa bersama Roy Lichtenstein, pelukis Amerika Serikat yang mengembangkan Pop Art di era 1960-an.

Dari pengalaman itulah Srihadi Soedarsono membaurkan berbagai gaya seni lukis. Ia memiliki gaya abstraksi yang khas. Salah satu tema yang paling ditekuninya adalah “horison”. Melalui esensi garis dan warna, ia membagi tegas mana yang langit dan mana yang bumi. Karya yang bisa merepresentasikan ini adalah seri Borobudur. Sedangkan kecenderungan abstrak figuratif dapat ditemukan di lukisannya yang bertemakan tarian. Meskipun demikian, ia tak melulu menempuh seni abstrak itu. Ada pula periode kritik sosial dalam karya-karyanya, seperti seri lukisan Lapar dan Kemiskinan (1960-an), misalnya.

Srihadi Soedarsono senantiasa melukis sepanjang hidupnya. Baginya “lukisan adalah alat untuk menyampaikan buah pikiran, mengungkap rasa dan kalbu.” Baginya kehidupan ini secara keseluruhan adalah perjalanan spiritual. Kini, Srihadi Soedarsono telah berpulang, namun karya-karyanya abadi. 

Istirahat dalam damai, Srihadi Soedarsono. Indonesia berduka dan kehilangan.

siaranpers-kelas-filsafat-2022

Memahami Perkembangan Dunia Digital dalam Perjalanan Sejarah Manusia melalui Kacamata Filsafat

Seri Kelas Filsafat Manusia dan Dunia Digital
Antropologi: Manusia dan Dunia Digital
Pengampu: Reza A.A. Wattimena
Setiap Sabtu, 05, 12, 19, 26 Februari 2022, 13:00 WIB
Zoom Webinar

Jakarta, 10 Januari 2022 – Revolusi digital telah mengubah modes of being kita. Dunia digital ada secara paralel dengan dunia korporeal. Kita hidup dalam keduanya. Bagaimana filsafat menanggapi perubahan ini? Mengusung tema besar Manusia dan Dunia Digital, tahun ini Komunitas Salihara Arts Center menggelar seri kelas filsafat yang membahas fenomena dunia digital yang kita alami dan berbagai perubahannya dari perspektif antropologi, etika dan epistemologi.

Seri kelas filsafat tahun ini dibagi dalam tiga putaran. Pertama, melalui perspektif antropologi (Februari) kita akan membahas bagaimana eksistensi pikiran manusia ketika berhadapan dengan “kemayaan realitas” di dunia digital. Kedua, dari perspektif etika (Mei), kita akan membahas berbagai cabang filsafat Barat dari yang klasik hingga mutakhir dalam mempersepsikan dunia virtual. Ketiga, melalui perspektif epistemologi (November), kita akan membahas kata-kata kunci terpenting dari filsafat Barat kontemporer (demokrasi dan sosialitas) dan kaitannya dengan watak dunia digital.

Untuk putaran pertama dan kedua, kelas diampu oleh Reza A.A. Wattimena (peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur). Adapun pada putaran ketiga kelas diampu oleh F. Budi Hardiman (alumnus Hochschule für Philosophie München dan pengajar di Universitas Pelita Harapan).

*

Putaran pertama berjudul Antropologi: Manusia dan Dunia Digital. Di sini kita akan membahas bagaimana manusia dan dunia digital dilihat melalui sudut pandang antropologi. Dibagi dalam empat pertemuan, kelas akan berlangsung secara daring setiap Sabtu, 05, 12, 19, 26 Februari 2022 pukul 13:00 WIB.

Reza A.A. Wattimena, pengampu kelas sekaligus penulis buku Urban Zen (2021) menuturkan bahwa dunia digital banyak memberikan pengaruh baik terhadap cara berpikir, pola hubungan antar sesama manusia, dan pemaknaan identitas. “Makna kenyataan dan identitas berubah total. Kenyataan tidak lagi sekadar kenyataan fisik, tetapi juga kenyataan digital yang dibentuk oleh angka dan algoritma. Pola hubungan antar manusia pun berubah. Ada peluang kemajuan, sekaligus ancaman kehancuran peradaban. Filsafat-filsafat sebelumnya tak lagi mampu menanggapi kompleksitas yang terjadi. Diperlukan pemaknaan reflektif dan kritis yang lebih sesuai.”

“Dunia digital mengubah hidup manusia, dan bahkan mengubah jati diri kita sebagai manusia.” Reza menambahkan bahwa keempat diskusi ini ingin memberikan kejernihan pemahaman atas revolusi digital yang terjadi, sekaligus menawarkan arah, sehingga keseimbangan hidup bisa terjaga di masa revolusi digital ini.

 Pertemuan pertama dimulai dengan sub materi “Zen, Ilusi Ego dan Internet” yang membahas bagaimana Zen dapat membantu memahami ego di era digital. Pertemuan kedua “Nietzsche dan Cyborg” kita akan berdiskusi tentang konsep “manusia atas” dari Nietzsche yang telah mengantisipasi realitas pasca-humanisme antara manusia dan mesin.

Pertemuan ketiga “Neurofilosofi dan Manusia Digital” kita akan membahas perkembangan baru dalam neurofilosofi yang telah banyak mengubah pemahaman kita tentang kesadaran di era digital. Pertemuan terakhir “Panpsikisme dan Kesadaran Digital” akan membahas sejauh mana dunia digital mendukung panpsikisme yaitu sebuah pemahaman bahwa semua hal termasuk benda-benda yang ada di dunia memiliki kesadarannya masing-masing.

Koordinator program edukasi Komunitas Salihara Arts Center, Rebecca Kezia memaparkan bagaimana teknologi berkembang begitu pesat dan memainkan peran penting terutama di masa pandemi ini. “Kita melihat dan merasakan bagaimana teknologi berkembang pesat dan sejumlah peranti di dalamnya memainkan peran penting dalam kehidupan manusia. Apalagi di masa pandemi yang membatasi ruang gerak kita di dunia fisik, kian mempercepat keakraban kita dengan teknologi dan ruang-ruang digital.” Rebecca menambahkan bahwa sesuai dengan tujuan kelas filsafat, Komunitas Salihara ingin mengajak publik memaknai perubahan dan kenyataan hari ini melalui pemikiran filsafat dari sejumlah tokoh penting seperti Nietzsche, Kant, Marx hingga prinsip pemikiran Buddhisme.

Program Kelas Filsafat ini niscaya dapat merawat ruang berpikir kritis publik melalui sejarah dan teori para pemikir dunia. Rebecca juga mengatakan bahwa Komunitas Salihara selalu mengambil tema-tema yang spesifik berkaitan dengan isu sosial, politik, bahkan fenomena-fenomena terkini di dunia digital yang semakin marak selama pembatasan sosial di masa pandemi. Tema pilihan tersebut kemudian dilihat dari kacamata filsafat bukan sebagai kebenaran cara pandang yang tunggal tapi jalan untuk melihat suatu isu dengan lebih luas dan kritis.

Untuk informasi lebih lanjut tentang Kelas Filsafat Salihara silakan kunjungi website salihara.org dan media sosial kami.

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________

 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

Cerita Residensi - Wildan

Cerita Residensi: Wildan Indra Sugara

Pada akhir tahun 2019 saya berkesempatan untuk menjadi seniman residensi di Zentrum für Kunst und Urbanistik (ZK/U) Berlin, sebuah lembaga seni rupa dan hal-hal yang menyangkut kota dan manusia. Koridor dan kertertarikan personal dalam karya saya一saya sengaja tidak merencanakan bentukan karya akhir yang akan saya presentasikan一adalah hubungan antara manusia dan obyek konsumsi.

Sesampainya di Berlin, saat berjalan menuju ZK/U untuk pertama kali, saya tak menyangka bahwa kondisi akses pedestrian yang sebetulnya nyaman kadang dipenuhi oleh tumpukan obyek hasil konsumsi masyarakat setempat. Benda habis pakai seperti furnitur, elektronik, bahkan otomotif tergeletak bahkan menumpuk di sisi trotoar atau ujung taman. Hal tersebut menjadi poin menarik untuk saya angkat sebagai karya selama residensi di ZK/U.

ZK/U sendiri memiliki program seniman OPENHAUS yang diadakan tiap dua bulan sekali secara berkala dalam satu tahun. Menuju OPENHAUS pada bulan Januari, para seniman residensi ZK/U melakukan beberapa kali diskusi, sehubungan dengan konsep besar yang bertepatan dengan Transmediale 2020, rangkaian festival seni dan budaya digital. Tahun itu mengangkat tema “network”. Para seniman residensi sepakat menerjemahkan “network” sebagai hubungan-jejaring, entah itu hubungan antar manusia, manusia dan memorinya, manusia dan benda, dan lainnya.

Selama proses berkarya, saya menggunakan flaneur sebagai metoda berkarya. Saya menelusuri pedestrian di sekitaran Moabit dan beberapa sudut kota Berlin untuk meriset keberadaan obyek-obyek bekas pakai yang ditinggalkan. Beberapa obyek yang saya temukan kemudian saya bubuhi dengan teks kata kerja lampau yang berelasi dengan setiap obyek. Persentase keberadaan obyek yang dianggap obsolet di area publik lebih besar di area yang berdekatan atau berada di daerah pemukiman warga, sedangkan di luar itu yang ditemukan hanya sisa-sisa konsumsi produk-produk harian seperti residu pangan dan sejenisnya.

Budaya menumpuk benda obsolet seolah lumrah di kota itu. Padahal menurut kabar dari masyarakat setempat sebetulnya ada regulasi dari pemerintah yang mengatur tentang hal ini. Masyarakat yang ingin membuang benda bekas pakai seharusnya menghubungi dinas kebersihan setempat untuk mengadakan kesepakatan waktu dan biaya angkut yang harus mereka tanggung. Tapi lebih banyak dari mereka abai karena menghindari tanggungan biaya. Mereka membiarkannya sampai kurang lebih dua minggu sampai ada pihak yang bertugas mengambilnya atau menjadi target vandal masyarakat urban lainnya.

Kegiatan program residensi di ZK/U selain OPENHAUS adalah presentasi mingguan, kunjungan kurator, seniman, ahli dan open studio. Presentasi mingguan diadakan tiap senin, dengan menghadirkan dua seniman residensi sebagai pemateri presentasi. Materi presentasi tidak dibatasi pada satu tema atau bahasan. Pemateri dapat memaparkan karya-karya sebelumnya, proyek yang sedang dilakukan, membedah karya, atau bahkan melakukan performans.

Di sela-sela program residensi saya pun mengunjungi beberapa museum, pameran, presentasi, performans, dan studio visit. Di antaranya adalah Hamburger Bahnhof – Museum für Gegenwart, ACUD Macht Neu, CTM Festival 2020, KW Institute for Contemporary Art, Haus der Kulturen der Welt, Transmediale 2020, DDR museum, MMK museum of modern art Frankfurt, Ambiente 2020 dan lain sebagainya. Sembari melakukan kunjungan ke tempat tersebut saya lebih banyak berjalan kaki dengan tujuan sekaligus mengamati kondisi keberadaan benda-benda yang ditinggalkan di area publik.

Kunjungan ke beberapa tempat tersebut membuka cakrawala baru bagi saya baik dalam hal kemutakhiran bentuk kekaryaan yang memanfaatkan kemajuan teknologi atau mengapresiasi karya-karya seniman idola seperti Joseph Beuys atau Robert Rauschenberg secara langsung. Saya juga berjejaring dengan seniman-seniman yang berkarya di Berlin atau seniman Indonesia yang berkarya di Berlin.

 

Cerita Residensi - Argya

Cerita Residensi: Argya Dhyaksa

Pada awal residensi saya diperkenalkan pada seniman keramik bernama Eiair. Ia menyewakan tungkunya untuk saya pakai membuat keramik. Ia juga memberitahu di mana lokasi-lokasi membeli material keramik yang saya butuhkan. Karya-karya keramik yang ia buat sangatlah kecil, bahkan saya masih heran bagaimana ia bisa sesabar itu membuat keramik berukuran tidak lebih besar dari satu buku jari. Karya-karyanya mengajak untuk lebih menyadari keberadaan sesuatu yang tidak jarang luput oleh pandangan mata. Ketika saya berada Bangkok, Thailand, Eiair sedang menyiapkan karya-karya untuk pameran di Ceramic Art London yang sayangnya harus batal karena wabah yang menimpa ini.

Karya saya dari hasil residensi selama di Bangkok berjudul Sacred Admirer dan berikut catatan selama saya berada di Bangkok yang mungkin melatarbelakangi lahirnya karya tersebut.

Selama melakukan residensi, hal-hal yang membuat saya tertarik adalah keberadaan benda-benda mistis yang dipercaya memiliki kekuatan supranatural. Benda-benda itu beredar di masyarakat, bahkan mereka diberikan kebebasan untuk memeluk berbagai macam bentuk kepercayaan. Mereka pun diperbolehkan mengagungkan figur-figur yang keberadaannya dipercaya berdampak bagi kehidupan mereka. Karya saya merupakan perujudan dari hal tersebut. Saya meminjam visual dari hal-hal yang dianggap sakral dan dipuja di masyarakat, misalnya jimat-jimat dan tato “Sak Yant”. Saya memberikan sentuhan dari karakter budaya populer yang mengafirmasi kekuatan tersebut dengan syarat tertentu.

“Jika kamu menyimpan karya ini kamu bisa menjadi kebal peluru, dengan syarat kamu juga memakai rompi kebal peluru atau tidak keluar rumah dan menghindari peluru. Jika kamu memajang karya ini maka kamu bisa menjadi kaya raya, dengan syarat kamu bekerja dengan giat dan tidak memiliki pengeluaran terlalu banyak.”

Jimat-jimat dan benda-benda berbau mistis di Thailand diperjualbelikan secara legal dan terbuka. Bahkan ada tempat khusus yang melayani hasrat klenik atau kebutuhan untuk menuju jalan pintas kemudahan dalam berkehidupan dengan cara-cara supranatural. Amulet Market yang lokasinya sangat berdekatan dengan istana kerajaan menjual barang-barang klenik yang dipercaya berkhasiat untuk mempermudah orang-orang dalam menjalani kehidupan. Hampir semua benda berbau mistis seperti jimat kebal peluru, kesaktian, pelet sampai pesugihan bisa dicari di tempat ini. Saya suka melihat bentuk-bentuknya karena saya menaruh minat pada action figure. Tetapi saya menganggap obyek-obyek ini seperti benda-benda koleksi, ketimbang untuk kebutuhan untuk menuju jalan pintas.

Setelah itu saya mengamati proyek keramik yang diinisiasi oleh Wasinburee Supanichvoraparch. Mereka berkolaborasi dengan seniman muda dari sembilan universitas. Mereka menggabungkan dan mengembangkan motif-motif yang merupakan kearifan lokal dan warisan budaya dengan seni kontemporer. Mereka merefleksikan nilai dari desain untuk komunitas dan perubahan gaya hidup seiring berjalannya waktu.

Kegiatan lainnya, saya berkeliling Bangkok menaiki tuk-tuk, alat transportasi yang mirip dengan bajaj di Indonesia. Saya mengunjungi pembukaan pameran-pameran di sejumlah galeri yang diadakan rutin tiap tahun. Acara yang bertajuk Galleries Night itu digelar hanya dua hari saja dengan rute yang berbeda. Pameran yang membuat saya tertarik adalah pameran keramik di La Lanta Fine Art  dan WTF Gallery.

Thailand merupakan negara di mana filosofi Buddha bercampur dengan mistis dan supranatural. Hal pertama yang membuat saya tertarik ketika berada di sana adalah San Phra Phum atau rumah pemujaan roh/dewa pelindung. Para penduduk membuat sebuah miniatur rumah untuk dewa(?) atau roh(?) pelindung yang dipercaya bisa memberikan keberuntungan. Setiap pagi mereka mempersembahkan berbagai makanan dan minuman, biasanya fanta rasa stroberi karena warna merahnya menyimbolkan darah sebagai perujudan dari kehidupan dan kematian. Mereka hendak mengusir energi jahat di lingkungan San Phra Phum itu berada.

Saya berkunjung di rangkaian acara Bangkok Design Week. Salah satu pameran yang diminati orang banyak adalah pameran Hundred Years Between yang memamerkan karya-karya fotografi dari Thanpuying Sirikitiya Jensen. Beberapa pameran dari Bangkok Design Week ini menarik karena diadakan di sebuah bangunan tua, sehingga hanya beberapa pengunjung saja yang diperbolehkan berada di dalam ruangan.

Terakhir, saya berkunjung ke pameran Spectrosynthesis II- Exposure of Tolerance: LGBTQ in Southeast Asia di Bangkok Art and Culture Centre. Yang menarik perhatian saya adalah karya dari Ramesh Mario Nithiyendran seniman keramik yang berdomisili Australia. Ia kerap membahas isu seksualitas serta simbol-simbol mitos pada alat genital yang dituangkan ke dalam karya-karya keramiknya.

Cerita Residensi - Andrita

Cerita Residensi: Andrita Yuniza

Ketika saya melewati masa residensi di Gyeonggi Creation Center, Korea Selatan, ada pengalaman yang membuat saya terpesona kepada sebuah ide, di mana sesuatu yang abstrak punya andil kendali besar atas sesuatu yang tampak berjarak dengannya. Seperti halnya free will atau kehendak bebas seseorang dapat mengubah lingkungan kehidupannya. Kehendak bebas atau intensi (keinginan) seyogyanya memang tidak berbentuk, namun berdampak. Internet sebenarnya terbuat dari radiasi elektromagnetik—tidak berbentuk tetapi menyimpan banyak sekali informasi. Maka saya membuat beberapa karya eksperimental untuk menelusuri ide ini. Yang pertama adalah tentang hubungan antara Korea Selatan dengan Cina, yang ditautkan laut dan angin. Yang kedua membahas tentang gubahan gen atau DNA manusia; dan yang ketiga membahas tentang realitas hibrida (hybrid reality).

Korea Selatan dan Cina saling mempengaruhi satu sama lain secara tidak langsung dengan perantaraan alam. Kekuatan alam mempengaruhi ekosistem lingkungan, seperti bagaimana gelombang lautan datang silih berganti, atau bagaimana angin membawa partikel-partikel dari bagian bumi lain. Gyeonggi Creation Center terletak dekat dengan Haesolgil Track, dengan beting yang menghadap Laut Kuning, yang tersibak dua kali sehari setiap surut. Laut Kuning menghubungkan Korea Selatan dengan Cina, maka saya pun menganggap bahwa gelombang lautan pasti membawa ombak yang pernah menyentuh kedua daratan. Gelombang terjadi karena bulan mempengaruhi bumi. Dari pengamatan ini, saya menyadari bahwa pasang surut di area saya mirip dengan gelombang beta pada otak kita, yang menunjukkan keterjagaan otak kita di sebuah titik waktu. Hal ini terjadi ketika kita larut dalam sebuah aktivitas atau percakapan, seperti halnya hubungan antara Korea Selatan dan Cina. Tak hanya lautan, angin pun membawa serta debu kuning, atau kabut beracun yang timbul dari limbah industri. Hampir kasat mata tetapi dampaknya sungguh besar.

Melalui observasi ini, muncul ide untuk merekam gelombang sebagai karya cetak, atau print, mirip detektor gelombang seismik gempa bumi. Saya menggunakan etching, sebuah teknik cetak di mana cairan asam (acid) digunakan untuk menggerus pelat logam, dan apa yang tersisa dari reaksi kimia tersebut digunakan untuk membuat jejak gambar. Saya terpikir untuk menggunakan air laut alih-alih cairan kimia asam untuk menggerus logam. Tetapi air laut tidak sekeras air asam, sehingga hanya meninggalkan karat. Maka karya ini tidak selesai karena bagian yang terkorosi tidak cukup dalam untuk membuat cetakan, kecuali kalau saya ingin mencetak karat-karat tersebut. Tetapi saya tidak mau melakukannya.

Saya kemudian berpikir bagaimana saya dapat menciptakan bentuk angin, dan akhirnya memutuskan untuk menggunakan bebunyian. Saya meminta orang-orang tua dan muda untuk mengutarakan pemikiran mereka tentang “damai” dan harapan masa depan, dengan cara berbisik. Orang akan berbisik pada salah satu dari dua kondisi berikut: ketika sedang berbagi rahasia, atau ketika sedang berdoa. Saya menggunakan bisikan untuk menggubah suara angin. Saya ingin menyampaikan ajakan: mengapa kita tidak mengirimkan sesuatu yang baik, seperti doa atau harapan baik? Jangan kirimkan kabut beracun atau hal-hal yang merusak.

Sudah beberapa tahun saya memperhatikan perihal operasi plastik di Korea Selatan tetapi saya tidak tahu bahwa DNA pun dapat digubah. Saya tidak membahas mengenai operasi plastik tetapi saya kira sangat menarik bagaimana kita dapat mengubah bentuk/tampilan kita dengan mengatur sesuatu yang ukurannya mikroskopis, yaitu DNA. Ide ini mendorong saya untuk menelusuri kemungkinan adanya makhluk buatan atau artifisial di dunia pasca-manusia. Maka, saya menelusuri lebih jauh perihal biomaterial seperti biopolimer, untuk menciptakan makhluk baru.

Kali pertama saya mendengar tentang hybrid reality adalah ketika saya menghadiri simposium yang diadakan di MMCA Seoul. Di sana, seorang peneliti menjelaskan bahwa sekarang ini ada banyak ruang publik, dan salah satunya adalah internet. Kita mendiami dua alam, realita (kenyataan) dan realita internet (kenyataan maya). Sebagai seorang seniman yang dahulu banyak bekerja di ruang terbuka, ide ini tentu menantang pemahaman tentang konsep/ide ruang yang selama ini saya pegang. Maka, saya membuat sebuah proyek eksperimental dengan mencetak poster berisi kalimat-kalimat yang saya ambil dari Twitter. Biasanya kita mengunggah hal-hal dari realita kita ke internet. Sekarang, bagaimana jika hal-hal dalam internet itu kita bawa kembali pada realita, entah sebagai teks biasa atau sebagai angka biner?

Secara keseluruhan, saya gunakan waktu senggang untuk mengunjungi 25 pameran, 3 open-studio yang diadakan seniman residensi lain, lebih dari 10 museum seni, dan berbagai acara budaya. Saya takjub mengetahui ada begitu banyak art platform dan ruang seni di Korea Selatan; di Gyeonggi-do saja ada cukup banyak. Ada yang merupakan ruang milik negara, ada juga ruang milik pribadi atau perusahaan. Banyak perusahaan besar memiliki galeri seni. Maka, selalu ada hal untuk dilihat, selalu ada pembukaan pemeran untuk dihadiri, dan selalu ada kesempatan bertemu dengan seniman residensi lainnya. Saya jadi tahu lebih banyak mengenai bagaimana lanskap seni Korea Selatan kini menjadi sebuah destinasi bagi seniman internasional, karena begitu banyaknya program and seminar yang mengundang penggiat seni mancanegara. Negara ini juga melestarikan budaya tradisional mereka dengan tepat, sehingga menarik untuk dipelajari dan disaksikan. Saya menonton pertunjukan shaman yang berlangsung dua malam suntuk di sebuah teater tradisional di depan sebuah istana; sangat melelahkan tetapi sangat menarik.

Saya belum pernah mengikuti sebuah program residensi di tempat yang mempunyai program setahun penuh seperti di Gyeonggi Creation Center. Mereka memiliki program residensi satu tahun penuh khusus untuk seniman Korea Selatan. Pesertanya dipilih dari ratusan pemohon yang masuk; yang terpilih diberikan dana untuk berkarya. Maka ada lebih dari dua puluh seniman berkumpul di satu tempat. Terkadang, kami bersama-sama pergi mencari makan malam, menghadiri pembukaan pameran, atau ikut serta dalam bengkel seni yang diadakan seniman yang mengajar di institusi itu. GCC juga memiliki program pendidikan di mana seniman mengampu kelas atau bengkel seni bagi anak kecil atau lansia.

gunawan-maryanto

Gunawan Maryanto

Gunawan “Cindil” Maryanto (Yogyakarta, 10 April 1976-06 Oktober 2021) pada mulanya mendapatkan keharuman namanya dalam bidang sastra dan teater—baru kemudian: film.

Sastra dan teater ditempuhnya dalam waktu yang hampir bersamaan—sebagaimana umumnya para sastrawan di negeri ini. Kecintaannya pada teater tumbuh sejak ia duduk di bangku SMA 6 Yogyakarta, sementara kegemarannya kepada sastra mengantarkannya kepada studi Sastra Jawa di Universitas Gadjah Mada. Jika teater mengantarkannya bergabung dengan kelompok Teater Garasi, maka studi sastra Jawa secara akademis memberikan kepekaan tersendiri kepada puisi dan fiksi yang ditulis Cindil.

Fiksi gubahan Cindil mengolah kembali dunia keseharian masyarakat Jawa yang tampaknya sederhana, padahal rumit. Sesekali, dengan modal pengetahuan sastra Jawa itu, fiksi Cindil juga masuk kepada kisah-kisah dalam khazanah sastra Jawa yang selama ini hanya dikenal melalui legenda, dongeng dan serat. Ia bermain-main bentuk modern dengan khazanah kisah tradisional dengan sangat lincahnya sebagaimana sejumlah cerpennya yang terkumpul dalam Bon Suwung (2005) dan Galigi (2007).

Puisi Cindil menempuh jalan yang hampir serupa dengan fiksinya. Dunia keseharian masyarakat Jawa yang berhadapan dengan dunia modern dan tegangan di antaranya adalah tema yang kerap digarap Cindil. Buku puisinya yang mengolah tema ini Sejumlah Perkutut buat Bapak (2010) meraih Kusala Sastra Khatulistiwa 2010.

Sesungguhnya, teater telah menempatkan Cindil sebagai aktor dan sutradara yang bukan hanya khatam akan lakon-lakon realis, semisal Tuk karya Bambang Widoyo SP, tetapi juga sangat memikat ketika mementaskan bentuk-bentuk non-realis semisal Repertoar Hujan (2001-2005). Teater pula yang mengantarkannya ke dunia film yang lebih gemerlap. Mulai sebagai pelatih akting untuk pemain film hingga sebagai bintang film itu sendiri.

Ia membintangi sejumlah film Indonesia. Perannya sebagai penyair Widji Thukul dalam film Istirahatlah Kata-kata (2017) karya Yosep Anggi Noen membuat Cindil meraih penghargaan Usmar Ismail Awards 2017. Sementara perannya sebagai Siman dalam film Hiruk Pikuk si Alkisah (2020) juga besutan Yosep Anggi Noen membuat ia meraih Piala Citra, penghargaan tertinggi perfilman di Indonesia.

Gunawan Maryanto telah berpulang dengan sangat tiba-tiba bersama segala prestasinya yang bisa kita kenang. Kita sungguh kehilangan.

14-streaming

14

Dikonsep oleh Chen Wu-Kang dan Sun Ruey Horng (Taiwan)

Sebuah karya Esplanade Commission

Produksi bersama: National Theater & Concert Hall (Taiwan)

Persembahan bersama: Centro per la Scena Contemporanea (Italia), Chang Theatre (Thailand), Lavanderia a Vapore (Italia), National Taichung Theater (Taiwan) dan Komunitas Salihara Arts Center (Indonesia)

Siaran langsung (livestream) 18 September, 16:00 – 21:00 WIB,

rekaman tersedia (dapat ditonton ulang) hingga 31 Oktober 2021

Tautan livestream

 

Empat belas. Itulah jumlah hari yang diperlukan untuk melakukan isolasi mandiri. Di saat panggung-panggung terus kosong selama periode jaga jarak yang berkepanjangan ini, teater-teater pun dipaksa masuk kondisi isolasi. Bagaimana seniman tari di seluruh dunia merespons keadaan yang serba tidak menentu ini, yang telah—karena keharusan—mengalihkan pandangan penonton ke arah ruang-ruang maya, dan bagaimana kita dapat menemukan cara untuk mengalami tari, bersama-sama tapi tetap berjarak?

Dipimpin seniman tari dari Taiwan, Chen Wu-Kang dan Sun Ruey Horng (Taiwan), 14 adalah sebuah maraton tari yang disiarkan langsung dan daring (livestream), melintasi zona waktu dan benua. Mari bergabung dengan 19 seniman independen dari Indonesia, Italia, Singapura, Taiwan, dan Thailand yang tengah merebut kembali panggung, merefleksikan situasi mereka saat ini, dan menampilkan diri mereka masing-masing melalui format solo 14 menit—dipentaskan sendiri sepenuhnya, tanpa ada satu pun awak kru maupun penonton yang terlihat. Ada pilihan untuk mendengarkan uraian langsung daripada komentator tamu yang memberikan sudut pandang penuh wawasan mengenai tarian yang dipersembahkan, yang akan semakin memperluas cakrawala kemungkinan sebuah tampilan daring dan tontonan intim.

Dari teater terbuka di Italia yang sarat sejarah, hingga teater independen yang intim di pinggiran kota Bangkok, penonton akan dibawa untuk mengunjungi ruang-ruang pertunjukan di berbagai belahan dunia, di mana siang dan malam menari bersama, sambil mengurai setiap hasrat, kekuatan, kecemasan, dan tanggapan pribadi. Kolaboratif tapi tetap swatantra, 14 menerapkan ritual yang lekat pada teater tradisional beriringan dengan sinematografi, pengeditan langsung, dan livestreaming untuk menjelajahi berbagai sudut pandang baru tentang suatu pementasan, dan pengalaman kolektif tentang waktu dan isolasi di dunia yang terlanda pandemi ini.

Sebagai prelude dari da:ns festival, karya Esplanade Commission ini diproduksi bersama oleh National Theater & Concert Hall (Taiwan), dan dipersembahkan bersama oleh Centro per la Scena Contemporanea (Italia), Chang Theatre (Thailand), Lavanderia a Vapore (Italia), National Taichung Theater (Taiwan) dan Komunitas Salihara Arts Center (Indonesia).

Penonton dipersilakan untuk mencari posisi senyamannya untuk menikmati pengalaman siaran langsung maraton ini. Penonton bisa bergabung atau meninggalkan acara kapan pun. Rekaman livestreaming ini dapat ditonton ulang hingga tanggal 31 Oktober 2021.

Tentang Chen Wu-Kang

Chen Wu-Kang adalah salah satu Pendiri dan Direktur Artistik HORSE Dance Theater, salah satu kelompok tari kontemporer Taiwan yang banyak diminati. Dikenal karena gerakan fisiknya yang lemah-lembut dan karena inovasi yang ia lakukan, Chen telah mengerjakan banyak proyek multidisipliner, dan bekerja sama dengan banyak seniman internasional seperti Jérôme Bel, Pichet Klunchun dan Hong Kong Sinfonietta. Ia adalah salah satu kurator platform musiman Primal Chaos Dance x Sounds. Saat ini sedang mengerjakan proyek tiga tahun, An Expedition to the Embodiment of Ramayana, sebuah pertukaran pengalaman fisik, emosional, antar-kultur, dan filosofis yang intim bersama dengan para seniman tari Asia Tenggara. Baru-baru ini, Chen menerima penghargaan bergengsi The Performing Arts Award pada 19th Taishin Arts Awards untuk Dances for Wu-Kang Chen, sebuah karya yang dikonsep oleh Jérôme Bel, diarahkan dan dibawakan oleh Chen sendiri.

Tentang Sun Ruey Horng

Sun Ruey Horng adalah pengarah video dan desainer video yang telah menciptakan banyak karya pada taraf internasional sejak 2008. Ia dikenal melalui karya-karya pertunjukan multimedia berskala besar, yang berinteraksi dengan persepsi manusia, ingatan, dan pengalaman luar biasa dalam kehidupan kita sehari-hari. Ia menerima penghargaan 2020 Lucille Lortel Award untuk desain proyeksi The Headlands, yang diproduksi oleh Lincoln Center Theater. Karya desainnya telah dipresentasikan oleh Broadway Theater, EMPAC, Guggenheim Museum, HERE Arts Center, Hong Kong Cultural Centre, La MaMa, LCT3, National Theater Taipei, National Taichung Theater, Weiwuying Performing Arts Center, dan lain-lain www.raysun.cc

Penampil dan Seniman

Chang Theatre (Thailand)
Kornkarn Rungsawang (penampil)
Pawit Mahasarinand (komentator)
Pichet Klunchun (dramaturg)
Ratchai Rujiwipatna (penampil)
Sineenadh Keitprapai (penampil)

Centro per la Scena Contemporanea, Lavanderia a Vapore and Spazio Kor (Italia)
Greta Pieropan (dramaturg)
Amina Amici (penampil)
Elena Sgarbossa (penampil)
Manuel Martin (penampil)
Marigia Maggipinto (penampil)
Susan Sentler (komentator)

Esplanade – Theatres on the Bay (Singapura)
Charlene Rajendran (komentator)
Daniel Kok (penampil)
Hasyimah Harith (penampil)
Rizman Putra (penampil)
Sandhya Suresh (penampil)
Shawn Chua (dramaturg)

National Taichung Theater (Taiwan)
Anastasia Melati (penampil)
Liu I-ling (penampil)
Tang Fu-kuen (dramaturg)
Tien Hsiao-tzu (penampil)
Tora Hsu (sutradara)
Wang Ning / Artist
Yu Yen-fang / Commentator

Salihara Arts Center (Indonesia)
Akbar Yumni (komentator)
Densiel Lebang (penampil)
Josh Marcy (penampil)
Nudiandra Sarasvati (penampil)
Siko Setyanto (penampil)
Yustiansyah Lesmana (dramaturg)

web banner-helatari-2021

Siaran Pers: Helatari Salihara 2021

26 & 27 Juni; 03 & 04 Juli 2021
Densiel Lebang | Eka Wahyuni | Krisna Satya | Leu Wijee

YouTube Komunitas Salihara

 

Tahun ganjil selalu dipenuhi acara dan program seru dari Komunitas Salihara Arts Center. Bukan hanya sebagai tahun penyelenggaraan Literature and Ideas Festival Salihara (LIFEs) saja, tapi juga tahun di mana dua mini festival yaitu Helateater (festival teater) dan Helatari (festival tari) berlangsung. Setelah Helateater 2021 mengobati rasa kangen para penikmat seni pertunjukan dengan penampilan seniman teater pilihan dari seleksi open call, kali ini giliran Helatari Salihara yang akan menemani anda semua!

Helatari Salihara sendiri adalah festival seni tari kontemporer dua tahunan yang menampilkan karya-karya tari baru yang berangkat dari khazanah tradisi tari Nusantara maupun dunia. Tahun ini Komunitas Salihara menampilkan empat koreografer yang lolos melalui proses seleksi Undangan Terbuka. 

Empat koreografer tersebut terpilih dari total 51 proposal dari seluruh Indonesia. Dewan Juri memilih para koreografer atau kelompok tari yang mendaftar dengan beragam pertimbangan. Totalitas dari artikulasi konsep yang diajukan, bagaimana penyajian secara digital, portfolio pelamar hingga rekam-jejak perjalanan kreatif para koreografer. Akhirnya empat koreografer pilihan itu adalah Densiel Lebang (Jakarta), Eka Wahyuni (Yogyakarta), Krisna Satya (Bali) dan Leu Wijee (Jakarta)

Empat koreografer pilihan ini hadir dengan bentuk presentasi dan ekspresi artistik yang lain dari pentas seni tari selama ini. Empat koreografer ini mengajak kita menikmati alih wahana seni tari ke dalam media digital.

 

Densiel Lebang (Jakarta) membawakan Another Body – Another Space – Another Time, sebuah karya memperlihatkan bagaimana kemampuan tubuh beradaptasi di dalam situasi apa pun, misalnya ketika berada di ruang yang sempitㅡsebuah interpretasi berdasarkan situasi hari ini. Densiel Lebang sendiri adalah koreografer yang baru saja menciptakan film-tari berjudul Chaotic (2020) yang menjadi Official Selection di Kalakari Film Festival, India dan Reeling: Dance on Screen Festival oleh Mile Zero Dance, Kanada, serta ditampilkan di Dance in Asia pada 2020

Eka Wahyuni (Yogyakarta) membawakan karya berjudul Pesona yang mengeksplorasi sudut pandang penonton dan kesan erotika dalam tarian Gong. Karya ini membongkar konsepsi dominan tentang “keindahan” tubuh dan gerak perempuan melalui eksperimentasi terhadap kamera. Eka Wahyuni sendiri adalah koreografer yang banyak terlibat di dalam beberapa proyek dan kolaborasi seni. Ia menginisiasi forum kecil untuk seniman muda di Berau, Kalimantan Timur, juga platform Portaleka dan Tepian Kolektif yang kegiatannya berhubungan dengan seni pertunjukan baik diskusi maupun penciptaan karya.

Krisna Satya (Bali) membawakan karya berjudul Sikut Awak yang menelusuri hubungan tubuh dengan bangunan (ruang), di sini adalah sebuah istilah bernama sikut satak, salah satu konsep arsitektur tradisional Bali.  Krisna Satya adalah kreografer yang kerap berpartisipasi dalam sejumlah lokakarya kepenarian bersama sejumlah koreografer penting dari Indonesia dan mancanegara. Ia pernah mengikuti program Koreografer Muda Potensial di Indonesian Dance Festival 2018 dan mengikuti tur bersama Cie Express Company di Prancis pada 2019.

Leu Wijee (Jakarta) membawakan karya Museum I: Waves, sebuah karya tari kontemporer berdasarkan pengamatan dan ingatan kolektif si koreografer terhadap peristiwa bencana alam di Palu, Sulawesi Tengah pada tahun 2018. Leu Wijee adalah koreografer kelahiran Parigi, Sulawesi Tengah, 1998. Ia memulai proses kreatif di dunia tari dengan gaya hip-hop sejak 2011 dan memperluas praktik artistiknya ke ranah tari kontemporer. Ia pernah terpilih tsebagai salah satu seniman dalam program Open Lab Upcoming Choreographer oleh Dewan Kesenian Jakarta, 2020

 

Helatari Salihara 2021 bisa kita saksikan pada Sabtu-Minggu, 26-27 Juni & 03-04 Juli 2021, di kanal YouTube: Salihara Arts Center. Info lebih lengkap kunjungi www.salihara.org

 

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________

Untuk mengetahui detail pertunjukan sila kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara atau hubungi: media@salihara.org/0821-1252-0568 (Muhammad Ridho)

Menimbang Asal-Usul Seni Rupa Modern Indonesia: Di Seberang Persagi dan Mooi Indië

Gesyada Siregar

Tulisan ini adalah tanggapan terhadap sesi tujuh program Zoom In Seni Rupa Modern dan Nasionalisme (di) Indonesia (2021).

Apa saja mitos-mitos penokohan seni rupa Indonesia pada masa kolonial yang masih merebak dan perlu kita telisik ulang? Peristiwa manakah yang sesungguhnya menjadi asal usul seni modern Indonesia? Mengapa selama ini sejarah sosial-politik seni rupalah yang banyak melenakan perbincangan kita, alih-alih sejarah rupanya? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi sebuah pekerjaan rumah yang belum tuntas, yang dicoba dipantik pada penghujung seri Zoom In webinar oleh Komunitas Salihara, “Menimbang Asal-Usul Seni Rupa Modern Indonesia: Di Seberang Persagi dan Mooi Indië”, pada Rabu, 31 Maret 2021.

Pembicara Aminudin T.H. Siregar, Dikdik Sayahdikumullah, dan moderator Nirwan Dewanto menjadi pengisi sesi webinar yang berlangsung selama dua jam. Sesi ini membahas drama klasik seni rupa Indonesia: pertentangan Persatuan Ahli Gambar Indonesia atau Persagi (1938) dengan kecenderungan seni lukis yang dinamai Mooi Indië (dari bahasa Belanda yang berarti Hindia Molek). Perseteruan ini kerap dirujuk sebagai diskursus awal perkembangan seni rupa modern Indonesia menjelang 1945. Diskusi ini membongkar persepsi umum akan perseteruan kelompok dengan gejala estetik tersebut.

Apabila Mooi Indië sering diasosiasikan hanya dengan para pelukis Eropa di masa kolonial, Dikdik Sayahdikumullah mengenalkan beberapa pelukis Jepang yang turut berkiprah dalam kecenderungan estetik itu. Berangkat dari disertasi S3-nya di Kyūshū Sangyō Daigaku, Fukuoka, Jepang, Dikdik yang merupakan pelukis, pengajar dan peneliti di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (FSRD ITB) ini juga menyampaikan pemahaman mendasar tentang apa itu Mooi Indië serta faktor sentimental akan alam yang menjadi pemicu kepopulerannya di Indonesia, baik itu dari bangsa asing hingga masyarakat Indonesia sendiri.

Pentingnya melihat warisan piktorial (gambar) untuk mendedah karya-karya Mooi Indië dan anggota Persagi, bahkan merunut dari visual candi-candi di Indonesia, menjadi sudut pandang segar yang dibagikan oleh Aminudin T.H. Siregar. Selain dikenal sebagai kurator, seniman, pengajar, dan kandidat doktor di Universiteit Leiden, Belanda, Aminuddin pun juga menulis buku Sang Ahli Gambar: Sketsa, Gambar & Pemikiran S. Sudjojono. (S.Sudjojono Center dan Galeri Canna, 2010). Ia membagikan temuan kontroversialnya akan peristiwa-peristiwa mikroskopis di Batavia (Jakarta) pada masa pendudukan Belanda dan Jepang yang mempereteli ulang penokohan Persagi yang tampak “heroik” dan “nasionalistik”.

***

Mooi Indië adalah sebutan untuk karya seni lukis yang menampilkan bentang alam di Indonesia. Umumnya, karya-karya ini menampilkan gunung, sawah dan pohon, yang kerap dirujuk sebagai “trimurti”. Menurut Dikdik, Mooi Indië merangkum berbagai aktivitas seni lukis, baik itu pendokumentasian (Naturalisme), pemikiran (Realisme) hingga pengamatan komponen alami (Impresionisme). Kompleksitas ini menyebabkan Mooi Indië kadang masih sulit dikategorikan sebagai gaya seni lukis.

Seturut Dikdik, sejak tahun 1600-1950, ada lebih dari 3000 pelukis, juru gambar, pengrajin dan peneliti alam asing, baik itu orang Eropa dan Jepang, pergi ke Indonesia. Seniman dan peneliti ini kemudian membuat karya-karya mengenai alam Indonesia, baik itu untuk kebutuhan pemetaan secara administratif dari Vereenigde Oostindische Compagnie (V.O.C), penelitan alam maupun untuk kebutuhan ekspresi artistik pribadi sang pelukis.

Sebagai contoh, Dikdik menampilkan karya gambar tinta di atas kertas karya Johannes Rach, Ciremai mountain near Cirebon, 1783; lukisan cat minyak A.A.J Payen, The Great Postal Road near Rajapolah (Sumedang), West Java, 1828; dan litografi F.W Junghuhn dan F.W Mieling, Gunung Merapi Jawa Tengah, 1853, dan Gunung Guntur Jawa Barat, 1853. Rach merupakan pegawai dari V.O.C; sementara Junghuhn adalah peneliti alam, dan Payan (yang nantinya akan menjadi jadi guru Raden Saleh)  merupakan pelukis yang ditugaskan oleh Natural Sciences Commission dibawah Prof. C.G.C. Reinward. Ketiganya membuat karya gambar, grafis dan lukis bentang alam dengan kebutuhan pendokumentasian.

Dari perwartaan karya-karya tersebut, muncul ketakjuban dan keinginan untuk mengungkapkan perasaan eksotis yang tidak didapat di negerinya bagi pelukis-pelukis Eropa. Objek lukisan bentang alam ini menyebabkan mereka meninggalkan ketidakpastian iklim bagi mereka yang berada di belahan dunia utara. Dari sanalah, lukisan bentang alam mulai menjadi komoditas pasar seni di masa itu, dan menjadi kecenderungan yang kita kenal sekarang.

Akan tetapi, keterlenaan akan alam ini bukan hanya dimiliki bangsa Eropa. Dikdik mengutip surat Kartini, puisi Muhammad Yamin, hingga memoar Machida Keiji, mantan tentara Jepang, yang sama-sama mencurahkan keterpesonaannya akan keindahan alam Indonesia. Kesenduan ini bisa jadi memang sudah mendarah daging, sehingga apa yang ditangkap lewat lukisan bentang alam bisa jadi semacam penawar rasa bagi realita yang getir di tengah perang dan ketidakstabilan kondisi yang ada dan mereka alami di Indonesia saat itu.

Dikdik menyebutkan bahwa sebelum Perang Dunia II, ada beberapa pelukis Jepang yang juga membuat lukisan bentang alam di Hindia Belanda. Berbeda dengan pelukis Jepang yang dibahas pada sesi “Seni Rupa Indonesia pada Era Pendudukan Jepang” bersama Antariksa dan Gadis Fitriana, pada 18 Maret 2021, di mana seniman-seniman itu secara spesifik melukis tentang suasana perang dan kampanye politik. Mereka-mereka ini adalah para seniman petualang. Beberapa di antaranya yang tercatat adalah Mori Kinsen (1888-1959), Kojyo Kokan (1891-1988) dan Yazaki Chioji (1872-1947). Kojyo Kokan yang menggunakan gaya nihonga pada karya seni lukisnya, merupakan salah satu pelaku awal seni lukis bentang alam dari Jepang di Indonesia, jauh sebelum maraknya istilah Mooi Indië. Ia pernah membuat karya dua gunung Fuji di Jawa, yang menampilkan gunung Sumbing dan Sindoro. Selain dia, ada juga Yazaki Chioji, yang dikenal lewat lukisan pastelnya dengan pendekatan impresionis. Yazaki nantinya juga akan menjadi guru S. Sudjojono, juru bicara dari Persagi. Adapula Kinsen, pelukis dengan corak impresionis. Ia pernah membuat lukisan Gunung Merapi yang juga menyerupai Gunung Fuji, sebagai bentuk imajinasi kerinduan akan Jepang. Selain sebagai pelukis Kinsen, juga membuat studio foto di Wonosobo serta pernah mengajar seni lukis kepada Soekarno, yang nantinya menjadi Presiden Indonesia pertama serta patron aktif yang mempopulerkan lukisan Hindia Molek di masyarakat Indonesia.

Dikdik menampilkan lukisan bentang alam yang pernah dibuat Soekarno pada masa pengasingannya di Flores. Lukisan cat air ini menurut Dikdik menampilkan kepedihan Soekarno dan juga pesona akan pantai Flores. Adapun Soekarno kemudian meminta pelukis Basoeki Abdullah, untuk membuat replikanya ke medium cat minyak di atas kanvas. Fragmen kisah ini menjadi sedikit penjelas akan kegemaran Soekarno dengan lukisan bentang alam dan peng-anak emas-an Basoeki Abdullah olehnya.

Basoeki Abdullah, yang merupakan anak dari pelukis bentang alam Abdullah Suriosubroto, adalah figur seniman yang kerap disasar S.Sudjojono terkait kritiknya akan Mooi Indië. Tulisan Sudjojono mengenai Basoeki Abdullah ini kemudian menjadi salah satu pemicu mulainya kesan buruk akan apa itu Mooi Indië, baik secara istilah maupun estetik dalam perwacanaan seni rupa Indonesia.

Istilah Mooi Indië, sebagaimana dipaparkan oleh Aminuddin, pertama kali dikenal lewat buku kompilasi karya pelukis Fredericus Jacobus van Rossum du Chattel (1856-1917) di tahun 1930 yang berjudul Mooi Indië door Fred. J. Du Chattel. Adapun buku ini juga dipromosikan oleh J.E. Jasper yang merupakan rekan Pirngadie. Pirngadie kemudian dikenal sebagai salah satu eksponen pelukis Mooi Indië yang berasal dari masyarakat Hindia Belanda, bersama Abdullah Suriosubroto, Wakidi dan Wahdi Sumanta. Adapun buku portofolio cat air du Chattel ini dipromosikan di mana-mana dan laku keras, sehingga istilah ini lantas populer di kalangan pegiat seni.

Aminuddin juga mencatat, bahwa ada sebuah tulisan penting dari seorang guru bahasa Prancis di Surabaya dan Jakarta bernama Johannes Tielrooy, yang berada di satu lingkaran dengan komite seni rupa Bataviasche Kunstkring, galeri seni di Jakarta yang berpengaruh pada perkembangan seni rupa masa itu. Tulisan itu merupakan debat terbuka kepada pelukis Henry van Velthuysen (yang nanti juga menjadi guru Mochtar Apin) terhadap kecenderungan seni lukis di Batavia yang hanya menggambar pemandangan untuk jual beli. Ia menyebut karya-karya Gerard Pieter Adolfs, W.J.F Imandt, Romualdo Locatelli, dan Ernest Dezentje yang semarak di pasar seni masa itu sebagai “souvenirs van Indië”. Tulisan ini pun diduga menginspirasi S. Sudjojono, yang juga merupakan sekretaris dari Persagi, untuk membuat kritik yang senada dan menggunakan istilah Mooi Indië dengan konotasi pejoratif sebagai seni lukis borjuis untuk dilawan pada tahun 1939.

Tulisan itulah kemudian yang membuat mitos perdebatan sejarah antara Persagi versus Mooi Indië. Menurut Aminuddin, adalah Drs. Sudarmadji dan Kusnadi, yang membuat periodisasi sejarah seni rupa di mana Mooi Indië yang merupakan gejala estetik dikontraskan dengan Persagi, sehingga melanggengkan mitos ini. Namun, “apakah Persagi muncul hanya karena mengkritik Mooi Indië?” tukas Aminuddin.

Dari penelusuran Aminuddin, diketahuilah bahwa Persagi berdiri sederhana, sebagai tempat untuk mengakomodir orang-orang untuk belajar mengenai seni lukis, yang waktu itu, jika memungkinkan, hendak membuat cabang-cabang di tempat lain. Berdiri pada 23 Oktober 1928, di sana terdapat studio dan ceramah rutin yang mengundang tokoh-tokoh seperti Ki Hadjar Dewantara, Sanusi Pane, dan Jeanne Maria Cornelia de Loos-Haaxman, seorang sejarawati seni yang saat itu juga menjabat di Bataviasche Kunstkring untuk penyelenggaraan pameran. Kesederhanaan niat dan keberagamaan penceramah di sana ini yang kemudian menunjukkan bahwa tidak ada diskriminasi tertentu pada masa itu menurut Aminuddin.

Asumsi diskriminasi terhadap pelukis Hindia Belanda seringkali dikaitkan dengan dengan penolakan Bataviasche Kunstkring terhadap proposal pameran Persagi yang diajukan oleh Agus Djaja, ketua Persagi. Aminuddin menjelaskan bahwa penolakan itu lebih kepada persoalan kurasi komite seni rupa mereka yang digawangi oleh Haaxman. Sebagai gambaran, pameran-pameran yang dikelola oleh Haaxman sebelumnya merupakan pameran koleksi pinjaman P. A. Regnault, pemilik pabrik cat P.A.R dan kolektor seni, yang terdiri dari karya-karya Pablo Picasso, Paul Gauguin, Vincent van Gogh, James Ensor, Jan Sluijters, dan Marc Chagall. Tentulah karya-karya ini dianggap sebagai representasi mutakhir dari kemajuan seni modern Eropa. Pameran ini pula yang dulunya menggugah praktik kekaryaan Sudjojono dan kawan-kawannya. Ada praduga bahwa orang Indonesia dilarang masuk Kunstkring pada masa itu. Namun, Aminuddin mengatakan bahwa pameran-pameran ini sesungguhnya terbuka untuk umum, karena jika kita melihat katalog-katalog Kunstkring, mereka mempunyai tiket masuk dan jam buka seperti layaknya museum atau galeri. Dari sini, dapat dibayangkan bagaimana kurasi ketat yang dijaga oleh Haaxman akan standar kualitas karya-karya yang bisa ditampilkan di Bataviasche Kunstkring, yang bahkan jika Perang Dunia II tidak terjadi, galeri ini digadang-gadang menjadi museum seni modern Hindia Belanda.

Bukan berarti tidak ada karya seniman Hindia Belanda yang kemudian bisa dipamerkan di sana. Karya Kinderen met kat oleh S.Sudjojono tercatat sebagai lukisan pertama yang mampu lolos seleksi ini. Lukisan itu menjadi sampul selebaran Indische Bondscollection 1938 yang mengumumkan pameran yang akan diselenggarakan oleh Kunstkring, dan dikurasi oleh Haaxman serta tiga seniman Belanda avant-garde masa itu: Jan Frank, Dolf Breetvelt dan Piet Ouborg. Tembusnya karya Sudjojono inilah kemudian yang membuka pemahaman dan optimisme Persagi bahwa penolakan ini bukanlah persoalan diskriminasi tertentu, apalagi mengingat komentar pahit dari Kunstkring yang tersebar pada saat penolakan proposal itu adalah “bangsa Indonesia lebih cocok jadi petani ketimbang pelukis.”

Momentum selanjutnya setelah penolakan itu ditandai dengan pameran anggota Persagi di Kunstzaal Kolff & Co. yang dianggap sukses dan memuaskan dari surat kabar yang ditelusuri Aminuddin. Dalam pengakuan Sudjojono pun, Haaxman berkali-kali datang dan mengapresiasi pameran mereka. Pameran itu kemudian menjadi pemantik bagi Haaxman untuk kemudian membawa karya-karya Persagi ke Kunstkring pada tahun 1941, beberapa saat sebelum Jepang datang. Aminuddin juga menambahkan bahwa pameran ini dibawa berkeliling ke cabang-cabang Kunstkring di berbagai kota, seperti Cirebon, Tegal, Kediri, Surabaya, dan Malang. Pameran panjang itu sepenuhnya didukung dan dikelola oleh Haaxman dan Kunstkring. Bagi Aminuddin, tur lanjutan pameran Persagi oleh Kunstkring itu setidaknya cukup sebagai bukti ketoleransian lembaga mereka untuk “meredam emosi kita sebagai orang yang nasionalistik.”

Sebelum pameran keliling ini, Aminuddin mengatakan bahwa ada satu pameran yang dapat melumerkan keyakinan kita bahwa Persagi itu nasionalis. Pada tahun 1940, tercatat ada sebuah pameran penggalangan dana berjudul Indische Werkbaar (Hindia Dapat Dipertahankan), di mana karya-karya tersebut akan dijual dan menjadi dana bagi pasukan-pasukan yang bersiap melawan Jepang. S. Sudjojono, Lee Man Fong dan Agus Djaja menjadi peserta Hindia Belanda yang terlibat di pameran itu. Dari sana, Aminuddin mengatakan, “istilah Indonesia di Persagi bisa kita tawar.”

Mitos lain yang dicoba dibongkar oleh Aminuddin adalah mengenai bubarnya Persagi yang belum terlalu banyak dibahas. Beberapa versi yang menyebutkan bahwa Persagi dibubarkan oleh Jepang adalah keliru bagi Aminuddin. Sebagai sebuah organisasi kesenian kecil, Jepang tidak memiliki urusan langsung dengan mereka. Adapun yang menjadi dampak langsung dari pendudukan Jepang adalah organisasi politik. Menurut pengakuan Sudjojono, Persagi “bubar begitu saja”, setelah diminta oleh Soekarno untuk dibekukan dahulu sementara waktu dan bersiap-siap karena Jepang akan masuk. Untuk itu, di sejumlah berita mewartakan bahwa pameran Persagi di 8 Desember 1942 merupakan “pameran Persagi yang terakhir.”

Aminuddin mengatakan bahwa terdapat “dosa” warisan wacana yang digariskan oleh Persagi, terutama S. Sudjojono, yang kemudian menjadi menistakan Mooi Indië. Kesalahan S. Sudjojono yang pertama adalah pemutusan silaturahmi terang-terangan dengan kesenian tradisi. S. Sudjojono tampaknya terinspirasi dari puisi Sutan Takdir Alisjahbana pada tahun 1933 berjudul Di Candi Prambanan. Di puisi itu, Takdir menulis: “… Hatiku tiada rindu kepadamu masa, ketika pendeta meniarap di hadapan Syiwa, ketika jiwa berbakti menjelma candi berarca. Tidak! Tidak! Tidak! […]  Dan aku akan melahirkan seni baru, tidak serupa bentuk ini……., abadi selaras dengan gelora sukma dan zamanku.

Dari penuturan Aminuddin, Sudjojono sepertinya lupa bahwa pemerihalan seni rupa bukanlah persoalan politik, melainkan rupa. Ada warisan imaji gambar dari leluhur yang kemudian tidak selesai di perkembangan lanjutan seni rupa modern Indonesia. Padahal, sepenemuan Aminuddin, kita memiliki warisan trimurti Mooi Indië di relief Candi Prambanan dan tablet di Trowulan, di mana terdapat gambar petani membajak sawah, gunung, sungai dan pohon kelapa, yang bahkan telah ada jauh sebelum Eropa mengalami Renaisans.

Pertanyaan pemancing dari Aminuddin kepada hadirin yang cukup menggelitik adalah: “Bagaimana membuat Mooi Indië dan Persagi jadi persoalan sejarah? Bagaimana warisan piktorial menjadi sejarah? Kalau itu tidak dilakukan, itu hanya jadi sejarah sosial seni, bukan sejarah seni rupa.”

***

Menjadi pengagum S.Sudjojono dan Persagi dengan semangat anti-Baratnya adalah semacam rite of passage/ritual akil balig bagi para seniman, kurator, mahasiswa, mahasiswi dan pemerhati seni rupa Indonesia di mana pun. Sembari ia bertumbuh kembang di medan seni, ia akan mendapati referensi lain, yang bisa menguatkan atau meruntuhkan kekagumannya kepada sang SS101 ini. Webinar ini menjadi salah satu buldozer yang menghamburkan tatanan keyakinan itu lewat pemaparan Dikdik mengenai keberadaan pelukis Mooi Indië dari bangsa selain Belanda dan utamanya, Aminuddin, yang menerabas tonggak kepahlawanan Persagi yang selama ini diusung-usung.

Apabila diumpamakan sebagai sebuah “rehab” pemikiran seni, webinar yang berlangsung selama dua jam tentu tidak bisa menuntaskan pertanyaan-pertanyaan pemirsa yang selama ini telah bertahun-tahun dicandu oleh dongeng-dongeng Persagi serta ke-Eurosentris-an Mooi Indië. Selain kendala teknis dan koneksi di tengah webinar yang mengurangi ketersediaan waktu para penceramah dan hadirin untuk bertanya, artikulasi materi-materi bersejarah dari Dikdik dan Aminuddin yang berlimpah dari segala segi belum bisa memenuhi potensinya untuk dengan khidmat dicerna oleh peserta webinar. Ini bisa menjadi peluang sesi webinar berikutnya untuk melanjutkan elaborasi mengenai Persagi dan pelukis Mooi Indië Jepang, yang mungkin secara spesifik, bisa dirampingkan pada perspektif piktorial alih-alih sejarah sosial-politiknya, sebagaimana yang dipantik oleh Aminuddin.

Alasan kebablasan kita untuk banyak membahas sejarah sosial politik seni rupa dibanding sejarah rupanya bisa jadi terkait dengan alasan kepopuleran Mooi Indië: kita menyukai melodrama, keterpesonaan, kesenduan dan sisi sensasional yang dibawa olehnya. Itu pula mungkin yang menyebabkan penokohan Persagi menjadi begitu heroik oleh beberapa penulis seni rupa. Kita membutuhkan pahlawan di sejarah seni rupa kita, yang serasi dengan perjuangan Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, Pangeran Diponegoro dan Thomas Matulessy. Kendati seperti itu, mengapa kita memiliki kerikuhan untuk membahas rupa dalam seni rupa? Apakah bahasan itu terlalu kaku, membosankan dan memandekkan diskusi? Apakah bisa bahasan mengenai rupa menghasilkan greget yang sama dengan membaca lika-liku biografi senimannya atau teori sosial-politik yang mengitarinya?

Dalam drama Persagi versus Mooi Indië pun, kita mendapati salah satu pelintiran alur (plot twist) mencengangkan dalam babak sejarah seni rupa kita, yakni lukisan banting setir Sudjojono, Corak Seni Lukis Indonesia Baru, 1986. Lukisan itu jelas-jelas merupakan Mooi Indië dengan penggambaran gunung, sawah dan pohonnya. Dari penjudulan yang dibuat Sudjojono sendiri, hal ini tentu bertolak belakang dengan segala makiannya pada tahun 1939. Mungkinkah kita membahas drama kegemparan ini secara rupa, layaknya penggemar film pahlawan super menganalisa bingkai-bingkai perdetik dari film untuk mencari petunjuk kehadiran penjahat supernya?

S. Sudjojono, Corak Seni Lukis Indonesia Baru, cat minyak di atas kanvas, 100 cm x 150 cm, 1986. Sumber: archive-ivaa.org

 

Perjalanan pada sesi terakhir webinar Salihara Rupa Bangsa: Seni Rupa Modern dan Nasionalisme (di) Indonesia ini bagi penulis meninggalkan sedimen gagasan mengenai keperluan untuk melihat kesenian tradisi yang ada di Indonesia. Sedimen ini pun tampaknya telah terbawa semenjak sesi pertama, “Melihat Kembali Masa 1950-1970-an: Pasang Naik Perebutan Keindonesiaan” bersama Agus Burhan dan Jean Couteau pada 10 Februari 2021. Persoalan identitas keindonesiaan yang dipaparkan para penceramah pada saat itu telah memberikan jejak-jejak warisan piktorial dari tiap pembabakan dialektika keIndonesiaan. Pembabakan ini dirangkum oleh Agus dari nasionalisme kerakyatan pada tahun 1950-an, kerakyatan revolusioner pada 1960-an, hingga seni rupa lirisisme (humanisme universal) pada 1970-an, serta perubahan dari estetika tradisional, pemodernan bentuk rupa, pemfokusan keeksotisan, simbolisme religius dan ragam modern “tradisi” pada seni lukis Bali oleh Jean. Perendaan diskusi lanjutan dari seri ini mungkin saja menghadirkan pelaku tradisi di berbagai daerah di Indonesia, arkeolog, antropolog, atau etnolog, untuk kemudian dihadapkan dengan pegiat seni rupa modern dan kontemporer. Bagaimanakah pengamat tradisi ini melihat kekontemporeran dan modernitas seni rupa, dan bagaimana pula sebaliknya? Bagaimanakah pendapat arkeolog di Trowulan mengenai lukisan bertrimurti Basoeki Abdullah misalnya? Bagaimana seniman performans kontemporer melihat pertunjukan kuda lumping? Seri webinar berikutnya bisa menjadi arena untuk menantang sesama pegiat seni dan budaya ini untuk saling membaca praktik dan risetnya di luar zona amannya masing-masing.

 

Gesyada Siregar adalah seorang kurator, penulis dan pengurus kegiatan seni. Ia bekerja sebagai koordinator subyek Artikulasi & Kurasi di Gudskul: Studi Kolektif dan Ekosistem Seni Rupa Kontemporer, Jakarta. Beberapa pameran yang ia kuratori adalah pameran tunggal Syaiful “Jahipul” Ardianto Corak Klise Bererot (RURU Gallery, 2020), Festival Seni Media Internasional “Instrumenta”: Sandbox & Machine/Magic (Galeri Nasional Indonesia, 2018-2019) dan pameran koleksi Dewan Kesenian Jakarta karya Nashar, Oesman Effendi, Rusli dan Zaini: Lukisan Tanpa Teori (Galeri Cipta III, 2017).

Ia menulis tentang lukisan Cap Go Meh karya S. Sudjojono untuk seri buku Pusaka Seni Rupa Indonesia (Direktorat Kesenian, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2017). Ia telah berceramah dan dilibatkan di berbagai bincang publik seperti Simposium Equator Biennale Jogja (2016), Art Jakarta (2019), serta di Art Gallery of York University (Toronto, 2019), Monash University (Melbourne, 2020), dan Festival sur le Niger (Ségou, 2021).

 

 

 

 

menulis-berbobot-home

Siaran Pers: Kelas Menulis Kreatif yang Berbobot

Pengajar: Ayu Utami
Setiap Sabtu, 12, 19, 26 Juni; 03, 10, 17 Juli 2021, 15:00 WIB
Zoom Komunitas Salihara

Menulis dengan bagus tidak hanya bergantung pada bakat. Kita juga perlu latihan yang rutin untuk mengembangkan tulisan. Dan dari sekian banyak karya yang pernah kita baca dan tulis ketika berlatih, bagaimana kita tahu seperti apa tulisan kreatif dan berbobot itu? Tapi sebelumnya, apa itu kreatif? Apa itu bobot?

Tahun ini Komunitas Salihara kembali membuka kelas Menulis Kreatif yang Berbobot yang diajar langsung oleh Ayu Utami via daring. Berbeda dari kelas langsung Ayu Utami terdahulu, kelas online kali ini memberi penekanan khusus pada bobot tulisan, yaitu muatan intelektual dan artistik suatu karya.

Para peserta akan mempelajari: bagaimana memberi bobot yang kritis dan kreatif ke dalam karya mereka; bagaimana memberi muatan intelektual dan artistik ke dalam karya mereka; dan seperti apa karya-karya penting di sastra Indonesia. Dengan demikian para peserta bisa meningkatkan wawasan melalui contoh-contoh yang ada dalam sejarah sastra Indonesia, dan menerapkan wawasan itu dalam karya mereka sendiri.

Di akhir kelas, para peserta diharapkan bisa menyelesaikan tulisan penting dan berbobot. Paket yang didapatkan dari kelas adalah buku Menulis Kreatif dan Berpikir Filosofis (2020) karya Ayu Utami, sesi latihan dan ulasan langsung dari pengajar, beserta sertifikat digital di akhir kelas.

Ayu Utami adalah salah satu penulis yang dianggap sebagai pendobrak kemapanan, khususnya masalah seks dan agama yang ia angkat dalam karya-karyanya. Karya-karya yang ditulisnya mengangkat wacana seksualitas dari sudut pandang perempuan.

Novel pertamanya Saman (1998) memenangkan Sayembara Penulisan Roman Terbaik Dewan Kesenian Jakarta tahun 1998. Beberapa karyanya yang lain yaitu: Larung (2001), Si Parasit Lajang (2003), Bilangan Fu (2008) yang beroleh Khatulistiwa Literary Award 2008, Manjali dan Cakrabirawa (2010), Cerita Cinta Enrico (2012), Soegija: 100% Indonesia (2012), Lalita (2012), Pengakuan Eks Parasit Lajang (2013) dan Anatomi Rasa (2019). Ayu Utami meraih Prince Claus Award pada tahun 2000 dari Prince Claus Fund (Belanda), sebuah yayasan yang memberi penghargaan kepada individu dan organisasi yang berkontribusi dalam kebudayaan.

Ayu Utami juga ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan ikut membangun Komunitas Utan Kayu, sebuah pusat kegiatan seni, pemikiran, dan kebebasan informasi sebagai kurator. Ia juga pernah menjadi anggota redaktur Jurnal Kalam dan peneliti di Institut Studi Arus Informasi. Saat ini Ayu Utami aktif sebagai kurator sastra dan Direktur Literature and Ideas Festival (LIFEs) di Komunitas Salihara serta Direktur Program Teater Utan Kayu.

Kelas Menulis Kreatif yang Berbobot bisa diikuti setiap hari Rabu, 12, 19, 26 Juni dan Kamis 03, 10, 17 Juli 2021 Melalui Zoom Salihara. Info dan pendaftaran lebih lanjut kunjungi www.salihara.org.

__________________________________________________________________

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________

Untuk mengetahui detail pertunjukan sila kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara atau hubungi: media@salihara.org/0821-1252-0568 (Muhammad Ridho)