14-streaming

14

Dikonsep oleh Chen Wu-Kang dan Sun Ruey Horng (Taiwan)

Sebuah karya Esplanade Commission

Produksi bersama: National Theater & Concert Hall (Taiwan)

Persembahan bersama: Centro per la Scena Contemporanea (Italia), Chang Theatre (Thailand), Lavanderia a Vapore (Italia), National Taichung Theater (Taiwan) dan Komunitas Salihara Arts Center (Indonesia)

Siaran langsung (livestream) 18 September, 16:00 – 21:00 WIB,

rekaman tersedia (dapat ditonton ulang) hingga 31 Oktober 2021

Tautan livestream

 

Empat belas. Itulah jumlah hari yang diperlukan untuk melakukan isolasi mandiri. Di saat panggung-panggung terus kosong selama periode jaga jarak yang berkepanjangan ini, teater-teater pun dipaksa masuk kondisi isolasi. Bagaimana seniman tari di seluruh dunia merespons keadaan yang serba tidak menentu ini, yang telah—karena keharusan—mengalihkan pandangan penonton ke arah ruang-ruang maya, dan bagaimana kita dapat menemukan cara untuk mengalami tari, bersama-sama tapi tetap berjarak?

Dipimpin seniman tari dari Taiwan, Chen Wu-Kang dan Sun Ruey Horng (Taiwan), 14 adalah sebuah maraton tari yang disiarkan langsung dan daring (livestream), melintasi zona waktu dan benua. Mari bergabung dengan 19 seniman independen dari Indonesia, Italia, Singapura, Taiwan, dan Thailand yang tengah merebut kembali panggung, merefleksikan situasi mereka saat ini, dan menampilkan diri mereka masing-masing melalui format solo 14 menit—dipentaskan sendiri sepenuhnya, tanpa ada satu pun awak kru maupun penonton yang terlihat. Ada pilihan untuk mendengarkan uraian langsung daripada komentator tamu yang memberikan sudut pandang penuh wawasan mengenai tarian yang dipersembahkan, yang akan semakin memperluas cakrawala kemungkinan sebuah tampilan daring dan tontonan intim.

Dari teater terbuka di Italia yang sarat sejarah, hingga teater independen yang intim di pinggiran kota Bangkok, penonton akan dibawa untuk mengunjungi ruang-ruang pertunjukan di berbagai belahan dunia, di mana siang dan malam menari bersama, sambil mengurai setiap hasrat, kekuatan, kecemasan, dan tanggapan pribadi. Kolaboratif tapi tetap swatantra, 14 menerapkan ritual yang lekat pada teater tradisional beriringan dengan sinematografi, pengeditan langsung, dan livestreaming untuk menjelajahi berbagai sudut pandang baru tentang suatu pementasan, dan pengalaman kolektif tentang waktu dan isolasi di dunia yang terlanda pandemi ini.

Sebagai prelude dari da:ns festival, karya Esplanade Commission ini diproduksi bersama oleh National Theater & Concert Hall (Taiwan), dan dipersembahkan bersama oleh Centro per la Scena Contemporanea (Italia), Chang Theatre (Thailand), Lavanderia a Vapore (Italia), National Taichung Theater (Taiwan) dan Komunitas Salihara Arts Center (Indonesia).

Penonton dipersilakan untuk mencari posisi senyamannya untuk menikmati pengalaman siaran langsung maraton ini. Penonton bisa bergabung atau meninggalkan acara kapan pun. Rekaman livestreaming ini dapat ditonton ulang hingga tanggal 31 Oktober 2021.

Tentang Chen Wu-Kang

Chen Wu-Kang adalah salah satu Pendiri dan Direktur Artistik HORSE Dance Theater, salah satu kelompok tari kontemporer Taiwan yang banyak diminati. Dikenal karena gerakan fisiknya yang lemah-lembut dan karena inovasi yang ia lakukan, Chen telah mengerjakan banyak proyek multidisipliner, dan bekerja sama dengan banyak seniman internasional seperti Jérôme Bel, Pichet Klunchun dan Hong Kong Sinfonietta. Ia adalah salah satu kurator platform musiman Primal Chaos Dance x Sounds. Saat ini sedang mengerjakan proyek tiga tahun, An Expedition to the Embodiment of Ramayana, sebuah pertukaran pengalaman fisik, emosional, antar-kultur, dan filosofis yang intim bersama dengan para seniman tari Asia Tenggara. Baru-baru ini, Chen menerima penghargaan bergengsi The Performing Arts Award pada 19th Taishin Arts Awards untuk Dances for Wu-Kang Chen, sebuah karya yang dikonsep oleh Jérôme Bel, diarahkan dan dibawakan oleh Chen sendiri.

Tentang Sun Ruey Horng

Sun Ruey Horng adalah pengarah video dan desainer video yang telah menciptakan banyak karya pada taraf internasional sejak 2008. Ia dikenal melalui karya-karya pertunjukan multimedia berskala besar, yang berinteraksi dengan persepsi manusia, ingatan, dan pengalaman luar biasa dalam kehidupan kita sehari-hari. Ia menerima penghargaan 2020 Lucille Lortel Award untuk desain proyeksi The Headlands, yang diproduksi oleh Lincoln Center Theater. Karya desainnya telah dipresentasikan oleh Broadway Theater, EMPAC, Guggenheim Museum, HERE Arts Center, Hong Kong Cultural Centre, La MaMa, LCT3, National Theater Taipei, National Taichung Theater, Weiwuying Performing Arts Center, dan lain-lain www.raysun.cc

Penampil dan Seniman

Chang Theatre (Thailand)
Kornkarn Rungsawang (penampil)
Pawit Mahasarinand (komentator)
Pichet Klunchun (dramaturg)
Ratchai Rujiwipatna (penampil)
Sineenadh Keitprapai (penampil)

Centro per la Scena Contemporanea, Lavanderia a Vapore and Spazio Kor (Italia)
Greta Pieropan (dramaturg)
Amina Amici (penampil)
Elena Sgarbossa (penampil)
Manuel Martin (penampil)
Marigia Maggipinto (penampil)
Susan Sentler (komentator)

Esplanade – Theatres on the Bay (Singapura)
Charlene Rajendran (komentator)
Daniel Kok (penampil)
Hasyimah Harith (penampil)
Rizman Putra (penampil)
Sandhya Suresh (penampil)
Shawn Chua (dramaturg)

National Taichung Theater (Taiwan)
Anastasia Melati (penampil)
Liu I-ling (penampil)
Tang Fu-kuen (dramaturg)
Tien Hsiao-tzu (penampil)
Tora Hsu (sutradara)
Wang Ning / Artist
Yu Yen-fang / Commentator

Salihara Arts Center (Indonesia)
Akbar Yumni (komentator)
Densiel Lebang (penampil)
Josh Marcy (penampil)
Nudiandra Sarasvati (penampil)
Siko Setyanto (penampil)
Yustiansyah Lesmana (dramaturg)

web banner-helatari-2021

Siaran Pers: Helatari Salihara 2021

26 & 27 Juni; 03 & 04 Juli 2021
Densiel Lebang | Eka Wahyuni | Krisna Satya | Leu Wijee

YouTube Komunitas Salihara

 

Tahun ganjil selalu dipenuhi acara dan program seru dari Komunitas Salihara Arts Center. Bukan hanya sebagai tahun penyelenggaraan Literature and Ideas Festival Salihara (LIFEs) saja, tapi juga tahun di mana dua mini festival yaitu Helateater (festival teater) dan Helatari (festival tari) berlangsung. Setelah Helateater 2021 mengobati rasa kangen para penikmat seni pertunjukan dengan penampilan seniman teater pilihan dari seleksi open call, kali ini giliran Helatari Salihara yang akan menemani anda semua!

Helatari Salihara sendiri adalah festival seni tari kontemporer dua tahunan yang menampilkan karya-karya tari baru yang berangkat dari khazanah tradisi tari Nusantara maupun dunia. Tahun ini Komunitas Salihara menampilkan empat koreografer yang lolos melalui proses seleksi Undangan Terbuka. 

Empat koreografer tersebut terpilih dari total 51 proposal dari seluruh Indonesia. Dewan Juri memilih para koreografer atau kelompok tari yang mendaftar dengan beragam pertimbangan. Totalitas dari artikulasi konsep yang diajukan, bagaimana penyajian secara digital, portfolio pelamar hingga rekam-jejak perjalanan kreatif para koreografer. Akhirnya empat koreografer pilihan itu adalah Densiel Lebang (Jakarta), Eka Wahyuni (Yogyakarta), Krisna Satya (Bali) dan Leu Wijee (Jakarta)

Empat koreografer pilihan ini hadir dengan bentuk presentasi dan ekspresi artistik yang lain dari pentas seni tari selama ini. Empat koreografer ini mengajak kita menikmati alih wahana seni tari ke dalam media digital.

 

Densiel Lebang (Jakarta) membawakan Another Body – Another Space – Another Time, sebuah karya memperlihatkan bagaimana kemampuan tubuh beradaptasi di dalam situasi apa pun, misalnya ketika berada di ruang yang sempitㅡsebuah interpretasi berdasarkan situasi hari ini. Densiel Lebang sendiri adalah koreografer yang baru saja menciptakan film-tari berjudul Chaotic (2020) yang menjadi Official Selection di Kalakari Film Festival, India dan Reeling: Dance on Screen Festival oleh Mile Zero Dance, Kanada, serta ditampilkan di Dance in Asia pada 2020

Eka Wahyuni (Yogyakarta) membawakan karya berjudul Pesona yang mengeksplorasi sudut pandang penonton dan kesan erotika dalam tarian Gong. Karya ini membongkar konsepsi dominan tentang “keindahan” tubuh dan gerak perempuan melalui eksperimentasi terhadap kamera. Eka Wahyuni sendiri adalah koreografer yang banyak terlibat di dalam beberapa proyek dan kolaborasi seni. Ia menginisiasi forum kecil untuk seniman muda di Berau, Kalimantan Timur, juga platform Portaleka dan Tepian Kolektif yang kegiatannya berhubungan dengan seni pertunjukan baik diskusi maupun penciptaan karya.

Krisna Satya (Bali) membawakan karya berjudul Sikut Awak yang menelusuri hubungan tubuh dengan bangunan (ruang), di sini adalah sebuah istilah bernama sikut satak, salah satu konsep arsitektur tradisional Bali.  Krisna Satya adalah kreografer yang kerap berpartisipasi dalam sejumlah lokakarya kepenarian bersama sejumlah koreografer penting dari Indonesia dan mancanegara. Ia pernah mengikuti program Koreografer Muda Potensial di Indonesian Dance Festival 2018 dan mengikuti tur bersama Cie Express Company di Prancis pada 2019.

Leu Wijee (Jakarta) membawakan karya Museum I: Waves, sebuah karya tari kontemporer berdasarkan pengamatan dan ingatan kolektif si koreografer terhadap peristiwa bencana alam di Palu, Sulawesi Tengah pada tahun 2018. Leu Wijee adalah koreografer kelahiran Parigi, Sulawesi Tengah, 1998. Ia memulai proses kreatif di dunia tari dengan gaya hip-hop sejak 2011 dan memperluas praktik artistiknya ke ranah tari kontemporer. Ia pernah terpilih tsebagai salah satu seniman dalam program Open Lab Upcoming Choreographer oleh Dewan Kesenian Jakarta, 2020

 

Helatari Salihara 2021 bisa kita saksikan pada Sabtu-Minggu, 26-27 Juni & 03-04 Juli 2021, di kanal YouTube: Salihara Arts Center. Info lebih lengkap kunjungi www.salihara.org

 

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________

Untuk mengetahui detail pertunjukan sila kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara atau hubungi: media@salihara.org/0821-1252-0568 (Muhammad Ridho)

Menimbang Asal-Usul Seni Rupa Modern Indonesia: Di Seberang Persagi dan Mooi Indië

Gesyada Siregar

Tulisan ini adalah tanggapan terhadap sesi tujuh program Zoom In Seni Rupa Modern dan Nasionalisme (di) Indonesia (2021).

Apa saja mitos-mitos penokohan seni rupa Indonesia pada masa kolonial yang masih merebak dan perlu kita telisik ulang? Peristiwa manakah yang sesungguhnya menjadi asal usul seni modern Indonesia? Mengapa selama ini sejarah sosial-politik seni rupalah yang banyak melenakan perbincangan kita, alih-alih sejarah rupanya? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi sebuah pekerjaan rumah yang belum tuntas, yang dicoba dipantik pada penghujung seri Zoom In webinar oleh Komunitas Salihara, “Menimbang Asal-Usul Seni Rupa Modern Indonesia: Di Seberang Persagi dan Mooi Indië”, pada Rabu, 31 Maret 2021.

Pembicara Aminudin T.H. Siregar, Dikdik Sayahdikumullah, dan moderator Nirwan Dewanto menjadi pengisi sesi webinar yang berlangsung selama dua jam. Sesi ini membahas drama klasik seni rupa Indonesia: pertentangan Persatuan Ahli Gambar Indonesia atau Persagi (1938) dengan kecenderungan seni lukis yang dinamai Mooi Indië (dari bahasa Belanda yang berarti Hindia Molek). Perseteruan ini kerap dirujuk sebagai diskursus awal perkembangan seni rupa modern Indonesia menjelang 1945. Diskusi ini membongkar persepsi umum akan perseteruan kelompok dengan gejala estetik tersebut.

Apabila Mooi Indië sering diasosiasikan hanya dengan para pelukis Eropa di masa kolonial, Dikdik Sayahdikumullah mengenalkan beberapa pelukis Jepang yang turut berkiprah dalam kecenderungan estetik itu. Berangkat dari disertasi S3-nya di Kyūshū Sangyō Daigaku, Fukuoka, Jepang, Dikdik yang merupakan pelukis, pengajar dan peneliti di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (FSRD ITB) ini juga menyampaikan pemahaman mendasar tentang apa itu Mooi Indië serta faktor sentimental akan alam yang menjadi pemicu kepopulerannya di Indonesia, baik itu dari bangsa asing hingga masyarakat Indonesia sendiri.

Pentingnya melihat warisan piktorial (gambar) untuk mendedah karya-karya Mooi Indië dan anggota Persagi, bahkan merunut dari visual candi-candi di Indonesia, menjadi sudut pandang segar yang dibagikan oleh Aminudin T.H. Siregar. Selain dikenal sebagai kurator, seniman, pengajar, dan kandidat doktor di Universiteit Leiden, Belanda, Aminuddin pun juga menulis buku Sang Ahli Gambar: Sketsa, Gambar & Pemikiran S. Sudjojono. (S.Sudjojono Center dan Galeri Canna, 2010). Ia membagikan temuan kontroversialnya akan peristiwa-peristiwa mikroskopis di Batavia (Jakarta) pada masa pendudukan Belanda dan Jepang yang mempereteli ulang penokohan Persagi yang tampak “heroik” dan “nasionalistik”.

***

Mooi Indië adalah sebutan untuk karya seni lukis yang menampilkan bentang alam di Indonesia. Umumnya, karya-karya ini menampilkan gunung, sawah dan pohon, yang kerap dirujuk sebagai “trimurti”. Menurut Dikdik, Mooi Indië merangkum berbagai aktivitas seni lukis, baik itu pendokumentasian (Naturalisme), pemikiran (Realisme) hingga pengamatan komponen alami (Impresionisme). Kompleksitas ini menyebabkan Mooi Indië kadang masih sulit dikategorikan sebagai gaya seni lukis.

Seturut Dikdik, sejak tahun 1600-1950, ada lebih dari 3000 pelukis, juru gambar, pengrajin dan peneliti alam asing, baik itu orang Eropa dan Jepang, pergi ke Indonesia. Seniman dan peneliti ini kemudian membuat karya-karya mengenai alam Indonesia, baik itu untuk kebutuhan pemetaan secara administratif dari Vereenigde Oostindische Compagnie (V.O.C), penelitan alam maupun untuk kebutuhan ekspresi artistik pribadi sang pelukis.

Sebagai contoh, Dikdik menampilkan karya gambar tinta di atas kertas karya Johannes Rach, Ciremai mountain near Cirebon, 1783; lukisan cat minyak A.A.J Payen, The Great Postal Road near Rajapolah (Sumedang), West Java, 1828; dan litografi F.W Junghuhn dan F.W Mieling, Gunung Merapi Jawa Tengah, 1853, dan Gunung Guntur Jawa Barat, 1853. Rach merupakan pegawai dari V.O.C; sementara Junghuhn adalah peneliti alam, dan Payan (yang nantinya akan menjadi jadi guru Raden Saleh)  merupakan pelukis yang ditugaskan oleh Natural Sciences Commission dibawah Prof. C.G.C. Reinward. Ketiganya membuat karya gambar, grafis dan lukis bentang alam dengan kebutuhan pendokumentasian.

Dari perwartaan karya-karya tersebut, muncul ketakjuban dan keinginan untuk mengungkapkan perasaan eksotis yang tidak didapat di negerinya bagi pelukis-pelukis Eropa. Objek lukisan bentang alam ini menyebabkan mereka meninggalkan ketidakpastian iklim bagi mereka yang berada di belahan dunia utara. Dari sanalah, lukisan bentang alam mulai menjadi komoditas pasar seni di masa itu, dan menjadi kecenderungan yang kita kenal sekarang.

Akan tetapi, keterlenaan akan alam ini bukan hanya dimiliki bangsa Eropa. Dikdik mengutip surat Kartini, puisi Muhammad Yamin, hingga memoar Machida Keiji, mantan tentara Jepang, yang sama-sama mencurahkan keterpesonaannya akan keindahan alam Indonesia. Kesenduan ini bisa jadi memang sudah mendarah daging, sehingga apa yang ditangkap lewat lukisan bentang alam bisa jadi semacam penawar rasa bagi realita yang getir di tengah perang dan ketidakstabilan kondisi yang ada dan mereka alami di Indonesia saat itu.

Dikdik menyebutkan bahwa sebelum Perang Dunia II, ada beberapa pelukis Jepang yang juga membuat lukisan bentang alam di Hindia Belanda. Berbeda dengan pelukis Jepang yang dibahas pada sesi “Seni Rupa Indonesia pada Era Pendudukan Jepang” bersama Antariksa dan Gadis Fitriana, pada 18 Maret 2021, di mana seniman-seniman itu secara spesifik melukis tentang suasana perang dan kampanye politik. Mereka-mereka ini adalah para seniman petualang. Beberapa di antaranya yang tercatat adalah Mori Kinsen (1888-1959), Kojyo Kokan (1891-1988) dan Yazaki Chioji (1872-1947). Kojyo Kokan yang menggunakan gaya nihonga pada karya seni lukisnya, merupakan salah satu pelaku awal seni lukis bentang alam dari Jepang di Indonesia, jauh sebelum maraknya istilah Mooi Indië. Ia pernah membuat karya dua gunung Fuji di Jawa, yang menampilkan gunung Sumbing dan Sindoro. Selain dia, ada juga Yazaki Chioji, yang dikenal lewat lukisan pastelnya dengan pendekatan impresionis. Yazaki nantinya juga akan menjadi guru S. Sudjojono, juru bicara dari Persagi. Adapula Kinsen, pelukis dengan corak impresionis. Ia pernah membuat lukisan Gunung Merapi yang juga menyerupai Gunung Fuji, sebagai bentuk imajinasi kerinduan akan Jepang. Selain sebagai pelukis Kinsen, juga membuat studio foto di Wonosobo serta pernah mengajar seni lukis kepada Soekarno, yang nantinya menjadi Presiden Indonesia pertama serta patron aktif yang mempopulerkan lukisan Hindia Molek di masyarakat Indonesia.

Dikdik menampilkan lukisan bentang alam yang pernah dibuat Soekarno pada masa pengasingannya di Flores. Lukisan cat air ini menurut Dikdik menampilkan kepedihan Soekarno dan juga pesona akan pantai Flores. Adapun Soekarno kemudian meminta pelukis Basoeki Abdullah, untuk membuat replikanya ke medium cat minyak di atas kanvas. Fragmen kisah ini menjadi sedikit penjelas akan kegemaran Soekarno dengan lukisan bentang alam dan peng-anak emas-an Basoeki Abdullah olehnya.

Basoeki Abdullah, yang merupakan anak dari pelukis bentang alam Abdullah Suriosubroto, adalah figur seniman yang kerap disasar S.Sudjojono terkait kritiknya akan Mooi Indië. Tulisan Sudjojono mengenai Basoeki Abdullah ini kemudian menjadi salah satu pemicu mulainya kesan buruk akan apa itu Mooi Indië, baik secara istilah maupun estetik dalam perwacanaan seni rupa Indonesia.

Istilah Mooi Indië, sebagaimana dipaparkan oleh Aminuddin, pertama kali dikenal lewat buku kompilasi karya pelukis Fredericus Jacobus van Rossum du Chattel (1856-1917) di tahun 1930 yang berjudul Mooi Indië door Fred. J. Du Chattel. Adapun buku ini juga dipromosikan oleh J.E. Jasper yang merupakan rekan Pirngadie. Pirngadie kemudian dikenal sebagai salah satu eksponen pelukis Mooi Indië yang berasal dari masyarakat Hindia Belanda, bersama Abdullah Suriosubroto, Wakidi dan Wahdi Sumanta. Adapun buku portofolio cat air du Chattel ini dipromosikan di mana-mana dan laku keras, sehingga istilah ini lantas populer di kalangan pegiat seni.

Aminuddin juga mencatat, bahwa ada sebuah tulisan penting dari seorang guru bahasa Prancis di Surabaya dan Jakarta bernama Johannes Tielrooy, yang berada di satu lingkaran dengan komite seni rupa Bataviasche Kunstkring, galeri seni di Jakarta yang berpengaruh pada perkembangan seni rupa masa itu. Tulisan itu merupakan debat terbuka kepada pelukis Henry van Velthuysen (yang nanti juga menjadi guru Mochtar Apin) terhadap kecenderungan seni lukis di Batavia yang hanya menggambar pemandangan untuk jual beli. Ia menyebut karya-karya Gerard Pieter Adolfs, W.J.F Imandt, Romualdo Locatelli, dan Ernest Dezentje yang semarak di pasar seni masa itu sebagai “souvenirs van Indië”. Tulisan ini pun diduga menginspirasi S. Sudjojono, yang juga merupakan sekretaris dari Persagi, untuk membuat kritik yang senada dan menggunakan istilah Mooi Indië dengan konotasi pejoratif sebagai seni lukis borjuis untuk dilawan pada tahun 1939.

Tulisan itulah kemudian yang membuat mitos perdebatan sejarah antara Persagi versus Mooi Indië. Menurut Aminuddin, adalah Drs. Sudarmadji dan Kusnadi, yang membuat periodisasi sejarah seni rupa di mana Mooi Indië yang merupakan gejala estetik dikontraskan dengan Persagi, sehingga melanggengkan mitos ini. Namun, “apakah Persagi muncul hanya karena mengkritik Mooi Indië?” tukas Aminuddin.

Dari penelusuran Aminuddin, diketahuilah bahwa Persagi berdiri sederhana, sebagai tempat untuk mengakomodir orang-orang untuk belajar mengenai seni lukis, yang waktu itu, jika memungkinkan, hendak membuat cabang-cabang di tempat lain. Berdiri pada 23 Oktober 1928, di sana terdapat studio dan ceramah rutin yang mengundang tokoh-tokoh seperti Ki Hadjar Dewantara, Sanusi Pane, dan Jeanne Maria Cornelia de Loos-Haaxman, seorang sejarawati seni yang saat itu juga menjabat di Bataviasche Kunstkring untuk penyelenggaraan pameran. Kesederhanaan niat dan keberagamaan penceramah di sana ini yang kemudian menunjukkan bahwa tidak ada diskriminasi tertentu pada masa itu menurut Aminuddin.

Asumsi diskriminasi terhadap pelukis Hindia Belanda seringkali dikaitkan dengan dengan penolakan Bataviasche Kunstkring terhadap proposal pameran Persagi yang diajukan oleh Agus Djaja, ketua Persagi. Aminuddin menjelaskan bahwa penolakan itu lebih kepada persoalan kurasi komite seni rupa mereka yang digawangi oleh Haaxman. Sebagai gambaran, pameran-pameran yang dikelola oleh Haaxman sebelumnya merupakan pameran koleksi pinjaman P. A. Regnault, pemilik pabrik cat P.A.R dan kolektor seni, yang terdiri dari karya-karya Pablo Picasso, Paul Gauguin, Vincent van Gogh, James Ensor, Jan Sluijters, dan Marc Chagall. Tentulah karya-karya ini dianggap sebagai representasi mutakhir dari kemajuan seni modern Eropa. Pameran ini pula yang dulunya menggugah praktik kekaryaan Sudjojono dan kawan-kawannya. Ada praduga bahwa orang Indonesia dilarang masuk Kunstkring pada masa itu. Namun, Aminuddin mengatakan bahwa pameran-pameran ini sesungguhnya terbuka untuk umum, karena jika kita melihat katalog-katalog Kunstkring, mereka mempunyai tiket masuk dan jam buka seperti layaknya museum atau galeri. Dari sini, dapat dibayangkan bagaimana kurasi ketat yang dijaga oleh Haaxman akan standar kualitas karya-karya yang bisa ditampilkan di Bataviasche Kunstkring, yang bahkan jika Perang Dunia II tidak terjadi, galeri ini digadang-gadang menjadi museum seni modern Hindia Belanda.

Bukan berarti tidak ada karya seniman Hindia Belanda yang kemudian bisa dipamerkan di sana. Karya Kinderen met kat oleh S.Sudjojono tercatat sebagai lukisan pertama yang mampu lolos seleksi ini. Lukisan itu menjadi sampul selebaran Indische Bondscollection 1938 yang mengumumkan pameran yang akan diselenggarakan oleh Kunstkring, dan dikurasi oleh Haaxman serta tiga seniman Belanda avant-garde masa itu: Jan Frank, Dolf Breetvelt dan Piet Ouborg. Tembusnya karya Sudjojono inilah kemudian yang membuka pemahaman dan optimisme Persagi bahwa penolakan ini bukanlah persoalan diskriminasi tertentu, apalagi mengingat komentar pahit dari Kunstkring yang tersebar pada saat penolakan proposal itu adalah “bangsa Indonesia lebih cocok jadi petani ketimbang pelukis.”

Momentum selanjutnya setelah penolakan itu ditandai dengan pameran anggota Persagi di Kunstzaal Kolff & Co. yang dianggap sukses dan memuaskan dari surat kabar yang ditelusuri Aminuddin. Dalam pengakuan Sudjojono pun, Haaxman berkali-kali datang dan mengapresiasi pameran mereka. Pameran itu kemudian menjadi pemantik bagi Haaxman untuk kemudian membawa karya-karya Persagi ke Kunstkring pada tahun 1941, beberapa saat sebelum Jepang datang. Aminuddin juga menambahkan bahwa pameran ini dibawa berkeliling ke cabang-cabang Kunstkring di berbagai kota, seperti Cirebon, Tegal, Kediri, Surabaya, dan Malang. Pameran panjang itu sepenuhnya didukung dan dikelola oleh Haaxman dan Kunstkring. Bagi Aminuddin, tur lanjutan pameran Persagi oleh Kunstkring itu setidaknya cukup sebagai bukti ketoleransian lembaga mereka untuk “meredam emosi kita sebagai orang yang nasionalistik.”

Sebelum pameran keliling ini, Aminuddin mengatakan bahwa ada satu pameran yang dapat melumerkan keyakinan kita bahwa Persagi itu nasionalis. Pada tahun 1940, tercatat ada sebuah pameran penggalangan dana berjudul Indische Werkbaar (Hindia Dapat Dipertahankan), di mana karya-karya tersebut akan dijual dan menjadi dana bagi pasukan-pasukan yang bersiap melawan Jepang. S. Sudjojono, Lee Man Fong dan Agus Djaja menjadi peserta Hindia Belanda yang terlibat di pameran itu. Dari sana, Aminuddin mengatakan, “istilah Indonesia di Persagi bisa kita tawar.”

Mitos lain yang dicoba dibongkar oleh Aminuddin adalah mengenai bubarnya Persagi yang belum terlalu banyak dibahas. Beberapa versi yang menyebutkan bahwa Persagi dibubarkan oleh Jepang adalah keliru bagi Aminuddin. Sebagai sebuah organisasi kesenian kecil, Jepang tidak memiliki urusan langsung dengan mereka. Adapun yang menjadi dampak langsung dari pendudukan Jepang adalah organisasi politik. Menurut pengakuan Sudjojono, Persagi “bubar begitu saja”, setelah diminta oleh Soekarno untuk dibekukan dahulu sementara waktu dan bersiap-siap karena Jepang akan masuk. Untuk itu, di sejumlah berita mewartakan bahwa pameran Persagi di 8 Desember 1942 merupakan “pameran Persagi yang terakhir.”

Aminuddin mengatakan bahwa terdapat “dosa” warisan wacana yang digariskan oleh Persagi, terutama S. Sudjojono, yang kemudian menjadi menistakan Mooi Indië. Kesalahan S. Sudjojono yang pertama adalah pemutusan silaturahmi terang-terangan dengan kesenian tradisi. S. Sudjojono tampaknya terinspirasi dari puisi Sutan Takdir Alisjahbana pada tahun 1933 berjudul Di Candi Prambanan. Di puisi itu, Takdir menulis: “… Hatiku tiada rindu kepadamu masa, ketika pendeta meniarap di hadapan Syiwa, ketika jiwa berbakti menjelma candi berarca. Tidak! Tidak! Tidak! […]  Dan aku akan melahirkan seni baru, tidak serupa bentuk ini……., abadi selaras dengan gelora sukma dan zamanku.

Dari penuturan Aminuddin, Sudjojono sepertinya lupa bahwa pemerihalan seni rupa bukanlah persoalan politik, melainkan rupa. Ada warisan imaji gambar dari leluhur yang kemudian tidak selesai di perkembangan lanjutan seni rupa modern Indonesia. Padahal, sepenemuan Aminuddin, kita memiliki warisan trimurti Mooi Indië di relief Candi Prambanan dan tablet di Trowulan, di mana terdapat gambar petani membajak sawah, gunung, sungai dan pohon kelapa, yang bahkan telah ada jauh sebelum Eropa mengalami Renaisans.

Pertanyaan pemancing dari Aminuddin kepada hadirin yang cukup menggelitik adalah: “Bagaimana membuat Mooi Indië dan Persagi jadi persoalan sejarah? Bagaimana warisan piktorial menjadi sejarah? Kalau itu tidak dilakukan, itu hanya jadi sejarah sosial seni, bukan sejarah seni rupa.”

***

Menjadi pengagum S.Sudjojono dan Persagi dengan semangat anti-Baratnya adalah semacam rite of passage/ritual akil balig bagi para seniman, kurator, mahasiswa, mahasiswi dan pemerhati seni rupa Indonesia di mana pun. Sembari ia bertumbuh kembang di medan seni, ia akan mendapati referensi lain, yang bisa menguatkan atau meruntuhkan kekagumannya kepada sang SS101 ini. Webinar ini menjadi salah satu buldozer yang menghamburkan tatanan keyakinan itu lewat pemaparan Dikdik mengenai keberadaan pelukis Mooi Indië dari bangsa selain Belanda dan utamanya, Aminuddin, yang menerabas tonggak kepahlawanan Persagi yang selama ini diusung-usung.

Apabila diumpamakan sebagai sebuah “rehab” pemikiran seni, webinar yang berlangsung selama dua jam tentu tidak bisa menuntaskan pertanyaan-pertanyaan pemirsa yang selama ini telah bertahun-tahun dicandu oleh dongeng-dongeng Persagi serta ke-Eurosentris-an Mooi Indië. Selain kendala teknis dan koneksi di tengah webinar yang mengurangi ketersediaan waktu para penceramah dan hadirin untuk bertanya, artikulasi materi-materi bersejarah dari Dikdik dan Aminuddin yang berlimpah dari segala segi belum bisa memenuhi potensinya untuk dengan khidmat dicerna oleh peserta webinar. Ini bisa menjadi peluang sesi webinar berikutnya untuk melanjutkan elaborasi mengenai Persagi dan pelukis Mooi Indië Jepang, yang mungkin secara spesifik, bisa dirampingkan pada perspektif piktorial alih-alih sejarah sosial-politiknya, sebagaimana yang dipantik oleh Aminuddin.

Alasan kebablasan kita untuk banyak membahas sejarah sosial politik seni rupa dibanding sejarah rupanya bisa jadi terkait dengan alasan kepopuleran Mooi Indië: kita menyukai melodrama, keterpesonaan, kesenduan dan sisi sensasional yang dibawa olehnya. Itu pula mungkin yang menyebabkan penokohan Persagi menjadi begitu heroik oleh beberapa penulis seni rupa. Kita membutuhkan pahlawan di sejarah seni rupa kita, yang serasi dengan perjuangan Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, Pangeran Diponegoro dan Thomas Matulessy. Kendati seperti itu, mengapa kita memiliki kerikuhan untuk membahas rupa dalam seni rupa? Apakah bahasan itu terlalu kaku, membosankan dan memandekkan diskusi? Apakah bisa bahasan mengenai rupa menghasilkan greget yang sama dengan membaca lika-liku biografi senimannya atau teori sosial-politik yang mengitarinya?

Dalam drama Persagi versus Mooi Indië pun, kita mendapati salah satu pelintiran alur (plot twist) mencengangkan dalam babak sejarah seni rupa kita, yakni lukisan banting setir Sudjojono, Corak Seni Lukis Indonesia Baru, 1986. Lukisan itu jelas-jelas merupakan Mooi Indië dengan penggambaran gunung, sawah dan pohonnya. Dari penjudulan yang dibuat Sudjojono sendiri, hal ini tentu bertolak belakang dengan segala makiannya pada tahun 1939. Mungkinkah kita membahas drama kegemparan ini secara rupa, layaknya penggemar film pahlawan super menganalisa bingkai-bingkai perdetik dari film untuk mencari petunjuk kehadiran penjahat supernya?

S. Sudjojono, Corak Seni Lukis Indonesia Baru, cat minyak di atas kanvas, 100 cm x 150 cm, 1986. Sumber: archive-ivaa.org

 

Perjalanan pada sesi terakhir webinar Salihara Rupa Bangsa: Seni Rupa Modern dan Nasionalisme (di) Indonesia ini bagi penulis meninggalkan sedimen gagasan mengenai keperluan untuk melihat kesenian tradisi yang ada di Indonesia. Sedimen ini pun tampaknya telah terbawa semenjak sesi pertama, “Melihat Kembali Masa 1950-1970-an: Pasang Naik Perebutan Keindonesiaan” bersama Agus Burhan dan Jean Couteau pada 10 Februari 2021. Persoalan identitas keindonesiaan yang dipaparkan para penceramah pada saat itu telah memberikan jejak-jejak warisan piktorial dari tiap pembabakan dialektika keIndonesiaan. Pembabakan ini dirangkum oleh Agus dari nasionalisme kerakyatan pada tahun 1950-an, kerakyatan revolusioner pada 1960-an, hingga seni rupa lirisisme (humanisme universal) pada 1970-an, serta perubahan dari estetika tradisional, pemodernan bentuk rupa, pemfokusan keeksotisan, simbolisme religius dan ragam modern “tradisi” pada seni lukis Bali oleh Jean. Perendaan diskusi lanjutan dari seri ini mungkin saja menghadirkan pelaku tradisi di berbagai daerah di Indonesia, arkeolog, antropolog, atau etnolog, untuk kemudian dihadapkan dengan pegiat seni rupa modern dan kontemporer. Bagaimanakah pengamat tradisi ini melihat kekontemporeran dan modernitas seni rupa, dan bagaimana pula sebaliknya? Bagaimanakah pendapat arkeolog di Trowulan mengenai lukisan bertrimurti Basoeki Abdullah misalnya? Bagaimana seniman performans kontemporer melihat pertunjukan kuda lumping? Seri webinar berikutnya bisa menjadi arena untuk menantang sesama pegiat seni dan budaya ini untuk saling membaca praktik dan risetnya di luar zona amannya masing-masing.

 

Gesyada Siregar adalah seorang kurator, penulis dan pengurus kegiatan seni. Ia bekerja sebagai koordinator subyek Artikulasi & Kurasi di Gudskul: Studi Kolektif dan Ekosistem Seni Rupa Kontemporer, Jakarta. Beberapa pameran yang ia kuratori adalah pameran tunggal Syaiful “Jahipul” Ardianto Corak Klise Bererot (RURU Gallery, 2020), Festival Seni Media Internasional “Instrumenta”: Sandbox & Machine/Magic (Galeri Nasional Indonesia, 2018-2019) dan pameran koleksi Dewan Kesenian Jakarta karya Nashar, Oesman Effendi, Rusli dan Zaini: Lukisan Tanpa Teori (Galeri Cipta III, 2017).

Ia menulis tentang lukisan Cap Go Meh karya S. Sudjojono untuk seri buku Pusaka Seni Rupa Indonesia (Direktorat Kesenian, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2017). Ia telah berceramah dan dilibatkan di berbagai bincang publik seperti Simposium Equator Biennale Jogja (2016), Art Jakarta (2019), serta di Art Gallery of York University (Toronto, 2019), Monash University (Melbourne, 2020), dan Festival sur le Niger (Ségou, 2021).

 

 

 

 

menulis-berbobot-home

Siaran Pers: Kelas Menulis Kreatif yang Berbobot

Pengajar: Ayu Utami
Setiap Sabtu, 12, 19, 26 Juni; 03, 10, 17 Juli 2021, 15:00 WIB
Zoom Komunitas Salihara

Menulis dengan bagus tidak hanya bergantung pada bakat. Kita juga perlu latihan yang rutin untuk mengembangkan tulisan. Dan dari sekian banyak karya yang pernah kita baca dan tulis ketika berlatih, bagaimana kita tahu seperti apa tulisan kreatif dan berbobot itu? Tapi sebelumnya, apa itu kreatif? Apa itu bobot?

Tahun ini Komunitas Salihara kembali membuka kelas Menulis Kreatif yang Berbobot yang diajar langsung oleh Ayu Utami via daring. Berbeda dari kelas langsung Ayu Utami terdahulu, kelas online kali ini memberi penekanan khusus pada bobot tulisan, yaitu muatan intelektual dan artistik suatu karya.

Para peserta akan mempelajari: bagaimana memberi bobot yang kritis dan kreatif ke dalam karya mereka; bagaimana memberi muatan intelektual dan artistik ke dalam karya mereka; dan seperti apa karya-karya penting di sastra Indonesia. Dengan demikian para peserta bisa meningkatkan wawasan melalui contoh-contoh yang ada dalam sejarah sastra Indonesia, dan menerapkan wawasan itu dalam karya mereka sendiri.

Di akhir kelas, para peserta diharapkan bisa menyelesaikan tulisan penting dan berbobot. Paket yang didapatkan dari kelas adalah buku Menulis Kreatif dan Berpikir Filosofis (2020) karya Ayu Utami, sesi latihan dan ulasan langsung dari pengajar, beserta sertifikat digital di akhir kelas.

Ayu Utami adalah salah satu penulis yang dianggap sebagai pendobrak kemapanan, khususnya masalah seks dan agama yang ia angkat dalam karya-karyanya. Karya-karya yang ditulisnya mengangkat wacana seksualitas dari sudut pandang perempuan.

Novel pertamanya Saman (1998) memenangkan Sayembara Penulisan Roman Terbaik Dewan Kesenian Jakarta tahun 1998. Beberapa karyanya yang lain yaitu: Larung (2001), Si Parasit Lajang (2003), Bilangan Fu (2008) yang beroleh Khatulistiwa Literary Award 2008, Manjali dan Cakrabirawa (2010), Cerita Cinta Enrico (2012), Soegija: 100% Indonesia (2012), Lalita (2012), Pengakuan Eks Parasit Lajang (2013) dan Anatomi Rasa (2019). Ayu Utami meraih Prince Claus Award pada tahun 2000 dari Prince Claus Fund (Belanda), sebuah yayasan yang memberi penghargaan kepada individu dan organisasi yang berkontribusi dalam kebudayaan.

Ayu Utami juga ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan ikut membangun Komunitas Utan Kayu, sebuah pusat kegiatan seni, pemikiran, dan kebebasan informasi sebagai kurator. Ia juga pernah menjadi anggota redaktur Jurnal Kalam dan peneliti di Institut Studi Arus Informasi. Saat ini Ayu Utami aktif sebagai kurator sastra dan Direktur Literature and Ideas Festival (LIFEs) di Komunitas Salihara serta Direktur Program Teater Utan Kayu.

Kelas Menulis Kreatif yang Berbobot bisa diikuti setiap hari Rabu, 12, 19, 26 Juni dan Kamis 03, 10, 17 Juli 2021 Melalui Zoom Salihara. Info dan pendaftaran lebih lanjut kunjungi www.salihara.org.

__________________________________________________________________

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________

Untuk mengetahui detail pertunjukan sila kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara atau hubungi: media@salihara.org/0821-1252-0568 (Muhammad Ridho)

Universal

Siaran Pers: Universal Iteration

“Festival Media Berkala dalam Jaringan”

22 Mei – 06 November 2021

Seniman:  Bandu Darmawan, Blanco Benz Atelier, Farhanaz Rupaidha, House of Natural Fiber & Institut Teknologi Telkom Purwokerto, Mira Rizki Kurnia, Natasha Tontey, Riar Rizaldi, Tromarama

Kurator: Bob Edrian

Bagaimana seni rupa hari ini dipamerkan melalui ruang virtual? Apakah pameran virtual hanya semata memindahkan karya-karya fisik ke ruang maya?

Pameran Universal Iteration menampilkan karya-karya seni rupa yang sepenuhnya memang diproduksi dan hendak ditujukan untuk ditonton para pemirsa secara daring. Pameran virtual ini mengajak kita menikmati pengalaman baru dalam mengapresiasi bentuk seni rupa berbasis digital.

Kita bisa menyaksikan karya-karya berbasis digital dari para seniman seperti Bandu Darmawan, Blanco Benz Atelier, Farhanaz Rupaidha, House of Natural Fiber & Institut Teknologi Telkom Purwokerto, Mira Rizki Kurnia, Natasha Tontey, Riar Rizaldi, Tromarama.

Pameran Universal Iteration dilatarbelakangi oleh pemanfaatan teknologi mutakhir yang telah melebar sampai ke kebutuhan tersier manusia, misalnya dalam ranah artistik. Beragam individu dan kelompok berlomba-lomba menampilkan pameran, pertunjukan, festival seni sampai diskusi dan seminar secara daring.

Bob Edrian selaku kurator pameran ini mengatakan bahwa “iterasi (perulangan) yang dilakukan secara bersama-sama untuk membuka alternatif-alternatif terbaik atas segala bentuk upaya artistik yang sebelumnya hampir selalu dilakukan dalam dunia fisik. Iterasi dengan harapan mencapai kesepakatan universal.”

Spektrum karya-karya para seniman berbasis digital yang dipamerkan dalam Universal Iteration tidak hanya mengangkat isu-isu yang luas, tetapi juga akan memantik pembicaraan terkait teknologi dan kesadaran internet itu sendiri. Para seniman yang akan berpameran adalah:

Bandu Darmawan beberapa kali menggunakan idiom dan cara kerja video game dalam beberapa karyanya. Ia pernah menampilkan karya interaktif dalam Pekan Kebudayaan Nasional akhir tahun lalu. Dengan memanfaatkan platform Unity, ia menawarkan karya interaktif yang memungkinkan pengunjung untuk memilih sendiri “jalan cerita’ di dalam karyanya.

Blanco Benz Atelier terdiri atas tiga seniman muda: Jeffi Manzani, William Samosir, dan Yura Kenn Kusnar. Blanco Benz Atelier menyelenggarakan pameran bersama yang mengangkat pemanfaatan manipulasi digital, kemampuan algoritma generatif dan kecerdasan buatan (artificial intelligence) untuk menciptakan karya seni pada tahun 2018. Dalam pameran tersebut mereka memandang bahwa perkembangan dan pemanfaatan algoritma dapat memicu keterbukaan beragam kemungkinan artistik yang baru.

Farhanaz Rupaidha adalah seorang seniman yang banyak mengeksplorasi algoritma generatif berbasis interaksi. Salah satu karyanya pernah dipresentasikan dalam Festival Seni Media Internasional Instrumenta #2: Machine/Magic. Khas karyanya adalah mempertanyakan hubungan “tidak terlihat” antara perkembangan teknologi digital dengan lingkungan. Bagaimana transaksi dan sirkulasi data digital menciptakan gangguan-gangguan fisik bagi alam sekitar.

House of Natural Fiber & Institut Teknologi Telkom Purwokerto adalah kolektif yang membangun sebuah instalasi tentang kemungkinan terjadinya ekosistem kehidupan yang organik. Karya instalasi ini akan ditanggapi oleh beberapa seniman dalam format pertunjukan yang disorot dan ditampilkan dalam fitur kamera 360 Youtube, sehingga pengunjung dapat leluasa menjelajahi keseluruhan instalasi beserta pertunjukan dan area di sekitar karya.

Mira Rizki Kurnia meraih gelar sarjananya di Fakultas Seni Rupa dan Desain studio Seni Intermedia di Institut Teknologi Bandung. Ia memulai karier sebagai seniman media baru yang kerap kali menggunakan medium bunyi beserta interaktivitas bunyi-bunyi keseharian. Selama pandemi, ia menelusuri beragam obyek untuk dibunyikan dan dikomposisikan. Pengalaman mengolah bebunyian tersebut ia bagikan melalui website di mana pengunjung bisa memilih sendiri bebunyian mana yang akan dimainkan, dan diharmonisasikan dengan bunyi lainnya.

Natasha Tontey  adalah seorang seniman yang juga berprofesi sebagai desainer grafis dan pengembang situs web. Karya-karyanya banyak menekankan aspek spekulatif dan imajinatif pada masa depan melalui penelusuran-penelusuran yang bersifat lokal. Dalam sebuah karyanya ia mengumpulkan ramalan-ramalan dari pertemuannya dengan dukun atau paranormal. Ramalan-ramalan tersebut kemudian ia tuangkan dalam karya instalasi dan gambar bergerak.

Riar Rizaldi adalah seorang seniman yang banyak memanfaatkan media film sebagai karyanya. Salah satu karyanya mengangkat material timah sebagai unsur alam yang menopang teknologi. Adapun karya terbarunya mengangkat peran penting Stasiun Radio Malabar pada masa lalu dalam memahami peran alam terhadap akselerasi teknologi. Eksplorasi medium film yang ia kerjakan banyak ditampilkan dalam format film dokumenter.

Tromarama banyak mengangkat gagasan algoritma media sosial dan perilaku penggunanya dalam karya-karya instalasi. Mereka mengumpulkan dan mempresentasikan ulang data-data yang disaring dengan menambahkan konteks spesifik. Mulai dari menyaring tagar di platform Twitter hingga data prakiraan dan perubahan cuaca untuk menghasilkan visualisasi-visualisasi tertentu.

Pameran Universal Iteration akan dimulai 22 Mei hingga 06 November 2021 dan bisa dinikmati bersama di website: galeri.salihara.org.

__________________________________________________________________

Tentang Komunitas Salihara Arts Center
Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________

Untuk mengetahui detail pertunjukan sila kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara atau hubungi: media@salihara.org/0821-1252-0568 (Muhammad Ridho)

debatsastra2021

Press Release: Kompetisi Debat Sastra Tingkat SMA 2021

Pendaftaran: 02 Mei – 04 Juni 2021

Setahun sudah pandemi COVID-19 sudah melanda dunia, namun semangat kami tidak pernah surut dalam menjaga regenerasi literatur Indonesia tetap berjalan dengan mengajak putra-putri terbaik bangsa Indonesia merayakan semangat kesusastraan dalam adu cerdas dan berpikir pada Kompetisi Debat Sastra 2021.

Melalui kompetisi ini, kami menantang para siswa-siswi SMA/K dalam untuk beradu wawasan dalam membandingkan karya sastra dalam negeri dan luar negeri. Tahun ini karya yang diperbandingkan adalah novel “Lusi Lindri” karya Y.B. Mangunwijaya (Indonesia) dan memoar “Perempuan di Titik Nol” karya Nawal El Saadawi (Mesir).

Kedua karya ini berbeda genre tetapi memiliki kedekatan, yaitu dalam menggambarkan tokoh perempuan yang berhadapan dengan situasi zaman dan masyarakatnya. Membaca dua karya ini secara berdampingan akan memberi kita kesempatan untuk memahami masalah yang mirip sekaligus berbeda dalam perspektif yang lebih luas dan kaya.

Para juri akan menilai karya tulis berdasarkan mutu argumen, pendalaman dan penggalian masalah serta ketertiban dan keindahan bahasa Indonesia yang digunakan dan juga menilai keterampilan para peserta dalam menyampaikan gagasan secara lisan dan kekuatan argumen dalam perdebatan. Peserta yang lolos menuju babak final akan beradu kembali melalui debat daring yang diadakan pada Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2020.

Pendaftaran kompetisi ini dibuka mulai dari 02 Mei hingga 04 Juni 2021. Pengumpulan makalah paling lambat 14 September 2020. Hadiah yang kami siapkan berupa: Juara 1 sejumlah Rp20.000.000, Juara 2 sejumlah Rp10.000.000, dan tiga makalah favorit masing-masing Rp3.000.000.

Para peserta dapat melihat syarat serta ketentuan yang disediakan oleh Komunitas Salihara melalui web: tiket.salihara.org. Segera jadi bagian dalam sejarah edukasi dan menangkan total hadiah sebesar Rp44.000.000!

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

Untuk mengetahui detail pertunjukan sila kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara atau hubungi: media@salihara.org/0821-1252-0568 (Muhammad Ridho)

1350-helateater2021

Siaran Pers: Helateater Salihara 2021: Ulang Alih Teater

20 & 27 Maret; 03 & 04 April 2021
Studio Patodongi (Makassar) | Teater Petra (Jakarta) | Komunitas Sakatoya (Yogyakarta) | Fortuna Creative Collective (Meksiko)

Helateater Salihara kembali lagi tahun ini. Festival mini dua tahunan (pertama diselenggarakan pada 2013) ini telah menampilkan seniman-seniman teater Indonesia dengan tema dan bentuk pertunjukan yang beraneka ragam. Kelompok teater seperti Teater Mandiri (Jakarta), Teater Satu (Bandar Lampung), Teater Garasi (Yogyakarta) pernah meramaikan Helateater Salihara. Sejak 2018, kami pun mulai mengadakan Undangan Terbuka (Open Call) untuk memberi kesempatan bagi perkembangan generasi baru seni teater di Indonesia.

Helateater Salihara 2021 mengusung tema “Ulang Alih Teater”. Melalui proses Undangan Terbuka, kami menawarkan wacana kepada calon penampil untuk menggarap kembali secara digital karya-karya mereka yang pernah tersaji secara luring maupun daring. Tema “Ulang Alih Teater” sesungguhnya mengajak calon penampil untuk mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan penampilan teater yang memperhitungkan perspektif virtual, bukan sekadar menayangkan hasil rekaman.

Melalui proses Undangan Terbuka kami telah memilih empat kelompok terbaik untuk tampil di Helateater Salihara 2021 dari 20 proposal yang kami terima dari seluruh Indonesia. Mereka adalah: Studio Patodongi (Makassar), Teater Petra (Jakarta), Komunitas Sakatoya (Yogyakarta). Satu penampil adalah bintang tamu dari Meksiko, yaitu Fortuna Creative Collective.

Berani Beradaptasi

Studio Patodongi (Makassar) mengangkat narasi sosio-politik sosok Kahar Muzakkar dengan konsep alam arwah dalam penggalan singkat I Lagaligo, naskah epik dalam bahasa Bugis Kuno. Menggunakan anasir teknologi dalam pemanggungan, karya yang berjudul [Revisi: 3 Februari 1965]_Gugatan-Gugatan Dari Dalam Tudung Saji_Final_FIX ini memperlihatkan tegangan antara sejarah dan mitos, Islam dan agama lokal, kebulatan dunia dan fragmentasi, masa kini dan masa silam, dan lain-lain.

Teater Petra (Jakarta) mengalih-wahanakan Domba-Domba Revolusi karya B. Soelarto menjadi sebuah karya film hitam putih. Dengan mempertahankan kekuatan seni peran, mereka juga memanfaatkan teknik pengambilan gambar sekali bidik dengan beberapa kamera, serta menyusun wujud visual karya dengan proses penyuntingan yang ketat.

Komunitas Sakatoya (Yogyakarta) menampilkan The Happy Family, pertunjukan teater site-specific yang membutuhkan partisipasi penonton sebagai dramaturgi. Mereka memanfaatkan platform media sosial sebagai bagian dari pentas teater; mencoba memberi makna baru pada diktum “kini dan di sini” yang telah menjadi klasik dalam teater.

Adapun bintang tamu Fortuna Creative Collective (Meksiko) menampilkan La Alacena (The Cupboard) atau dalam bahasa Indonesia berarti Lemari. Karya ini adalah sebuah miniatur dokumenter tentang María Izquierdo, pelukis penting Meksiko. Mengeksplorasi bahasa visual dan teater boneka dari benda sehari-hari, kertas, bayangan (wayang) hingga mainan, pertunjukan ini sekaligus memperkenalkan kita kepada tokoh inklusif, sejarah, gerakan seni muralisme, revolusi, konstruksi seni baru di Meksiko.

Kangen Suasana Teater

Kita pasti kangen menonton teater di ruang pertunjukan, kangen suasana intim yang dibangun dalam sebuah pentas, merasakan komedi dan ironi, dan mendengar suara tawa dan kesunyian yang menegangkan. Tapi kita belum kehilangan hal-hal tersebut, karena empat penampil Helateater Salihara 2021 sebenarnya hendak memberikan sensasi baru dalam menikmati teater dalam masa pandemi hari ini. Meskipun dari layar, Helateater Salihara tetap memberikan kita sebuah suasana menonton teater.

Helateater Salihara 2021 bisa kita saksikan pada Sabtu, 20 & 27 Maret 2021 dan Sabtu-Minggu 03-04 April 2021, di kanal YouTube: Salihara Arts Center.

__________________________________________________________________

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________

Untuk mengetahui detail pertunjukan sila kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara atau hubungi: media@salihara.org/0821-1252-0568 (Muhammad Ridho)

Salihara-Jazz-Buzz-2021-800x533_c

Siaran Pers: Salihara Jazz Buzz 2021: Joyous Metamorphosis

Sabtu-Minggu, 20-21, 27-28 Februari 2021, 19:00 WIB

Adra Karim dan Wahono | Daniel Dyonisius, Hanhan & Qadra Shakuhachi | Ferdy & Friends | Jason Mountario • Rupa Baru

 

16 Februari 2021

Sejak Komunitas Salihara Arts Center berdiri (2008), salah satu acara yang paling diminati penonton adalah Salihara Jazz Buzz, sebuah festival jazz tahunan yang menampilkan komposisi dan presentasi sebuah konsep musik baru. Jazz Buzz telah menampilkan deretan musisi seperti Dewa Budjana, Indra Lesmana dan Tohpati, sampai musisi terkini seperti Adra Karim, Gerald Situmorang, Sri Hanuraga dan masih banyak lagi yang sudah memberikan pembaruan terhadap musik jazz.

Walaupun sampai saat ini situasi belum memungkinkan bagi kami untuk membuka ruang pertunjukan, Salihara Jazz Buzz tetap menemani Anda Februari 2021 dengan tema, konsep dan penampil segar.

Tahun ini, tiga dari empat penampil adalah musisi-musisi terpilih dari program Undangan Terbuka (Open Call) Salihara Jazz Buzz 2021 yang kami adakan tahun 2020. Pertama kalinya Jazz Buzz mengadakan open call, kami ingin membuka ruang partisipasi  bagi para musisi gagasan dan konsep bermusik baru dalam ranah musik jazz di Indonesia.

Para musisi dan grup terpilih itu adalah: trio Daniel Dyonisius, Hanhan & Qadra Shakuhachi; Ferdy & Friends; dan Jason Mountario • Rupa Baru.

Hembusan Napas Baru Musik Jazz


Trio Daniel Dyonisius (gitar/komponis), Hanhan (bas) dan Qadra Shakuhachi (drum) menampilkan konsep musik minimalis dengan improvisasi yang maksimal melalui perpaduan unsur genre jazz, rock dan blues.

Ferdy & Friends adalah Ferdian Wahyu Satria (komponis) bersama M. Chevin Chaniago (tiup/vokal), Yoga Ardiyanto (biola/keyboard), Wikal Usny (bas), Vindo Alhamda Putra (piano/keyboard), Rafi Mahaldi (talempong) dan Avantgarde Dewa Gugat (drum). Mereka akan menggabungkan jazz fusion, funky, pop,juga unsur musik tradisi Minangkabau dalam konser yang berjudul Minanga Metamorfosa.

Lalu Jason Mountario • Rupa Baru melalui pertunjukan Nomenasia menampilkan komposisi yang ditulis utuh dan ketat, hingga komposisi yang mengambil idiom free-jazz. Melalui konser ini pula si komposer hendak mengungkapkan kegelisahan pribadinya terhadap berbagai fenomena terkini.

Ada juga satu penampilan spesial dari Adra Karim (keyboards dan electronics) yang akan berkolaborasi dengan Wahono (perkusi dan electronics). Kolaborasi ini mengeksplorasi dan menggabungkan suara sintetis dari synthesizer analog dengan hasil manipulasi suara akustik piano.

Joyous Metamorphosis


Salihara Jazz Buzz 2021 membawa tema Joyous Metamorphosis. Tema ini menawarkan gagasan dalam situasi pandemi yang sudah dan sedang mengubah perilaku dan gaya hidup kita, terutama ketika menonton seni pertunjukan melalui ruang virtual. Perubahan seperti ini sudah seharusnya kita tanggapi dengan sikap terbuka dan gembira, joyous, sebagai alternatif dari pesimisme dan sikap menutup diri.

Metamorphosis adalah kenyataan yang harus kita terima dalam menghadapi “dunia atau kehidupan yang tidak pernah sama lagi seperti sebelumnya”. Selain bermetamorfosa, kita juga bisa mengadaptasi sifat musik jazz yang mengeksplorasi genre musik lain, selalu mencari pembaruan, sekaligus gairah untuk mengolah presentasi dengan cara baru dalam hal ini,digital.

Salihara Jazz Buzz 2021 bisa kita saksikan setiap Sabtu-Minggu pada 20-21 dan 27-28 Februari 2021, pukul 19:00 WIB.

__________________________________________________________________

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________

Untuk mengetahui detail pertunjukan sila kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara atau hubungi: media@salihara.org/0821-1252-0568 (Muhammad Ridho)

Suara Lantang dari Pinggir

Siaran Pers Penutupan Program Peduli: Suara Lantang dari Pinggir

29 Januari-06 Februari 2021

DSS Music (Konser 7 Ruang): Andre Hehanussa, Alena Wu, Rian (D’Masiv), Ophie Danzo, Prass Audiensi | Voice of Baceprot | Sakdiyah Ma’ruf | Papermoon Puppet Theatre | Ucu Agustin (100% Manusia) | Ayu Utami | Soimah Pancawati

 

Jadikan perbedaan sebuah kekuatan bersama!

Suara Lantang dari Pinggir adalah sebuah acara persembahan mengiringi penutupan Program Peduli. Program Peduli: Suara Lantang dari Pinggir menggagas gerakan “Indonesia Inklusif, Indonesia Setara, Indonesia Semartabat.” Kami mengajak semua pihak berpartisipasi dalam membangun gerakan sosial yang inklusif ini.

Program Peduli dari The Asia Foundation adalah gerakan kolaborasi antara pemerintah dan organisasi masyarakat yang tergabung untuk mendorong gerakan inklusi sosial. Program ini merangkul bagian-bagian masyarakat yang belum bisa merasakan dampak dari pembangunan ekonomi dikarenakan persoalan “identitas”. Misalnya anak dan remaja rentan; masyarakat adat dan lokal yang terpinggirkan; korban diskriminasi, intoleransi dan kekerasan berbasis agama; orang dengan disabilitas; korban pelanggaran hak asasi manusia masa lalu; restorasi sosial; LGBTQ dan masih banyak lagi.

Program Peduli percaya bahwa kemiskinan yang dialami kelompok terpinggirkan dapat berkurang apabila mereka bisa mengakses peluang ekonomi itu tanpa diskriminasi sosial. Dan melalui acara penutupan ini, Program Peduli hendak memperluas dan memperbesar kesadaran masyarakat terhadap isu inklusivitas ini.

Untuk menutup program ini, selama satu minggu nanti, bersama Program Peduli dan Komunitas Salihara Arts Center, kita akan menyaksikan acara diskusi dan percakapan mengenai isu inklusivitas, konser musik daring dengan lagu-lagu persatuan, film, teater boneka sampai sastra.

Program musik menampilkan Konser 7 Ruang oleh DSS Music, dan band metal dari tiga perempuan berhijab, Voice of Baceprot. Kita juga bisa menyaksikan obrolan bersama Soimah Pancawati bersama penerima manfaat (beneficiary) program Peduli mengenai “Anak yang Dilacurkan” (AYLA) dan “Anak Masyarakat Adat”. Juga diskusi tentang agama minoritas dan penghayat kepercayaan di Indonesia.

Di samping itu, kita diajak tertawa bersama komika Sakdiyah Ma’ruf; menonton teater boneka Papermoon Puppet Theatre yang mempertanyakan identitas manusia; menonton film Sejauh Kumelangkah (2019) karya Ucu Agus (100% Manusia); juga mengenal Peta Sastra Perempuan oleh Ayu Utami.

Masing-masing pertunjukan ini sesungguhnya menawarkan isu-isu inklusivitas yang penting untuk kita pelajari bersama. Semua acara bisa kita nikmati selama delapan hari di berbagai kanal-kanal Program Peduli.

Acara ini mendapat dukungan dari The Asia Foundation.

Informasi: https://suaralantangdaripinggir.id/

___________________________________________________________________

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________

Untuk mengetahui detail pertunjukan sila kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara atau hubungi: media@salihara.org/0821-1252-0568 (Muhammad Ridho)

esai-template-

Seni Rupa Indonesia pada Era Pendudukan Jepang dan Aspek Materialitas di Balik Aspirasi Ketimuran

Syam Terrajana

Tulisan ini adalah tanggapan terhadap sesi keenam dalam program Zoom In Seni Rupa Modern dan Nasionalisme (di) Indonesia (2021).

Seni Rupa Indonesia pada Era Pendudukan Jepang oleh Antariksa (Pembicara Pertama)

Antariksa, kurator, seniman dan periset yang menekuni sejarah seni rupa di Asia Tenggara pada masa pendudukan Jepang, menjabarkan seniman Jepang yang membawa semangat seni rupa modern ke Indonesia. Praktik propaganda Jepang, turut memberi warna terhadap perkembangan seni rupa di Indonesia. Ini tidak lepas dari latar belakang seniman Jepang yang bekerja di dalam mesin propaganda tersebut. 

Seni rupa di Indonesia dikembangkan seturut strategi propaganda Jepang. Praktik ini berlangsung pada “Perang Besar” (1931-1945), sejak Jepang menduduki Manchuria, Cina. Sekitar 3.000 seniman profesional Jepang dilibatkan.

Pada 1944, jaringan propaganda itu mencapai Indonesia. Jepang membuat tiga jalur administrasi militer seturut jaringan propaganda. Pertama, meliputi Malaysia dan Sumatra. Kedua Jawa dan Madura. Ketiga Bali, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku. Itu sebabnya, seniman antar wilayah berbeda tidak bisa berkomunikasi satu sama lain.

Kurun masa itu ada dua organisasi besar penggerak seni rupa. Pertama, Poesat Tenaga Rakjat (Poetera) dengan empat serangkai pemimpinnya: Sukarno, Hatta, Mas Mansyur dan Ki Hajar Dewantara. Poetera membawahi empat bagian: pertama, perencanaan dan pengembangan; kedua, kebudayaan; ketiga, propaganda; dan terakhir kesejahteraan rakyat. Seni rupa masuk dalam bagian kebudayaan.

Organisasi kedua adalah Keimin Bunka Shidōsho (KBS) atau Poesat Keboedajaan. Pengurusnya adalah gabungan bumiputera dan orang Jepang. Struktur KBS terbagi lima bagian: Film, Sastra, Seni lukisan dan ukiran, Sandiwara dan Musik. KBS berpusat di Jakarta, punya cabang di Bandung, Semarang, Malang dan Surabaya.

Berbeda dengan masa Belanda yang sangat elitis, pada masa pendudukan Jepang, seni rupa menjadi sangat inklusif. Jepang memberikan banyak dukungan material: kanvas, cat minyak, studio model dan guru. Bahkan memberikan bantuan keuangan secara rutin kepada seniman Indonesia. Tak heran ada banyak sekali pameran digelar seniman Indonesia dan Jepang. Skalanya mulai di tingkat lokal, nasional maupun internasional.

Tercatat sejumlah seniman dan penulis terkemuka Indonesia terlibat di dalam KBS: Affandi, S. Sudjojono, Agus Djajasoeminta dan Otto Djajasoentara, Barli, Hendra Gunawan, Emiria Soenassa, Basuki Abdullah, Oetojo dan Armijn Pane.

Seniman Jepang di Indonesia dan Pengaruhnya

Fujita Tsuguharu adalah seniman terpenting Jepang pada paruh pertama abad 20. Pada 1913 ia hijrah ke Prancis. Pada era 1920-an, Fujita (kelak berganti nama sebagai Léonard Tsuguharu Foujita) menjadi bagian École de Paris atau aliran Paris, bersama Amedeo Modigliani, Piet Mondrian dan Pablo Picasso. Salah satu lukisannya yang terkenal adalah Nu couché à la toile de Jouy (Reclining Nude with Toile de Jouy, 1922). Sebelum dilibatkan dalam propaganda Jepang, lukisannya didominasi warna putih. Para kritikus menyebutnya “Putih Fujita”. Asato Ikeda, pengajar sejarah seni di Fordham University, New York, dalam tulisannya “Fujita Tsuguharu Retrospective 2006: Resurrection of a Former Official War Painter” (2009) menyebutkan bahwa Fujita kembali ke Jepang pada 1933 dan menjadi salah satu seniman produktif di senső-ga, organisasi propaganda lukisan perang bentukan militer Jepang.

Fujita dikirim oleh militer Jepang ke Cina. Di sana ia meriset dan membuat lukisan bertema perang. Salah satunya adalah Battle on the bank of the Halha, Nomonhan (1941). Kontras dengan warna lukisan sebelumnya, pada era ini, karya-karyanya didominasi warna yang lebih gelap. Fujita mendapatkan komisi terbanyak dari militer Jepang. Ada 14 komisi di berbagai tempat dan negara pendudukan Jepang. Lukisannya terkait pendudukan Jepang di Indonesia, memiliki dua judul: “Japanese Soldiers Rescue Indonesian Civilians/Sacred Soldier to the Rescue (1944). Karya ini sebenarnya dibuatnya di Singapura.

Keterlibatan Fujita pada propaganda pendudukan Jepang, tak lepas dari sosok bernama  Jirohachi Satsuma, seorang miliarder Jepang. Satsuma, merupakan patron dan pendana seniman-seniman Jepang di Eropa. Satsuma berasal dari keluarga pebisnis kain. Dia memberikan bantuan sangat besar kepada militer Jepang untuk proyek-proyek perang. Kesadaran akan hubungan seni dengan perang dibangunnya dengan sadar.

Pada 1922 Fujita dan Satsuma bertemu di Paris. Satsuma meminta Fujita mendirikan perkumpulan seniman-seniman Jepang di Paris. Fujita sendiri yang menjadi presidennya. Fujita kemudian menjadi seniman paling penting pada masa perang Jepang. Dia juga menjabat presiden asosiasi pelukis kerajaan bentukan militer Jepang.

Saburō Miyamoto adalah salah satu seniman pelopor yang menggambarkan peperangan, dengan suasana sekumpulan orang yang sedang bermusyawarah. Gaya semacam ini, kelak diikuti seniman-seniman perang Jepang lainnya. Salah satu lukisannya yang terkenal adalah The Meeting of General Yamashita and general Percival (1942) yang menggambarkan suasana pertemuan saat Inggris menyerah di Singapura. Miyamoto sempat dikirim dan berkarya di Manado dan Makassar. Ia pun pernah menggelar pameran di Makassar.

Tsuruta Gorō adalah tokoh kunci dari Gunju Seisan Bijutsu Suishintai (unit seni rupa untuk mempromosikan industri persenjataan). Berbeda dengan KBS yang berpusat di Jawa, organisasi ini bergerak di beberapa kota di luar Jawa. Pameran seni rupa antara lain digelar di Aceh, Medan, Banjarmasin, Manado. Ia adalah kritikus dan pelukis modern Jepang. Ketika pusat pemerintahan angkatan ke-25 di Singapura pindah ke Bukittinggi, ia juga ikut pindah. Salah satunya karyanya yang paling terkenal adalah lukisan berjudul Japanese Paratroops Descending on Palembang (1942) menggambarkan suasana pasukan terjun payung. Ia kemudian jadi pelopor lukisan terjun payung.

Selaku kritikus, ia membuat konsep produksi seni yang dipilah dalam tiga bagian: Seni Propaganda (Senso Bijutsu), Seni Murni (Junsui Bijutsu) dan terakhir seni untuk produktivitas (Seisan Bijutsu), yaitu aktivitas artistik dan karya seni untuk meningkatkan produktivitas pertanian dan industri berat. Untuk mempraktikannya, ia menganjurkan metode “Genba-Shugi” (berbasis lokasi): seniman hadir secara fisik di lokasi-lokasi kerja, menghabiskan waktu bersama para pekerja dan memamerkan karya-karya mereka di tempat itu.

Arsip Kantor Berita Domei bentukan Jepang mencatat pada tahun 1943, KBS mengirimkan anggota mereka ke Pasuruan, Jawa Timur untuk membuat karya dan menghabiskan waktu bersama para pekerja setempat. Disebutkan bagaimana dalam waktu singkat, komposer Cornel Simanjuntak membuat lagu tentang perkebunan kapas yang bisa dinyanyikan bersama. Sayang, arsip yang mencatat praktik “Genba Shugi” untuk seni rupa, belum ditemukan. Metode ini juga dipraktikkan sekelompok seniman Jepang di Indonesia. Sementara di Indonesia sendiri, pada tahun 1950-an kita mengenal metode ini sebagai Turba (turun ke bawah), dipraktikkan oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA).

Yōnosuke Natori adalah fotografer Jepang yang berkarir sebagai jurnalis foto di majalah Life untuk Jerman sejak akhir 1920-an. Pada 1931 ia mendapat tugas mendokumentasikan suasana pendudukan Jepang di Manchuria, Cina. Tak puas, ia kemudian mendirikan majalah sendiri bernama Nippon. Majalah ini tidak memakai bahasa Jepang, melainkan bahasa Inggris, Jerman, Prancis, Spanyol dan dipasarkan secara internasional. Tujuan majalah ini adalah untuk menunjukkan kemajuan desain grafis dan seni rupa Jepang. Direktur artistik majalah itu adalah Takashi Kono seorang desain grafis yang kemudian aktif di KBS. Kono lalu membuat majalah Djawa Baroe dan juga membuat desain logo baru untuk 106 surat kabar di Indonesia.

Saseo Ono adalah karikaturis Jepang yang memperkenalkan mural politik dan animasi di Indonesia. Saseo Ono adalah orang yang dibicarakan oleh S. Sudjojono, Affandi dan beberapa pelukis indonesia.

Aspek Materialitas di Balik Aspirasi Ketimuran oleh Gadis Fitriana Putri (Pembicara Kedua)

Gadis adalah penekun konservasi seni lukis yang baru saja merampungkan studi magister di University of Melbourne pada bidang konservasi dan studi material seni lukis. Ia menawarkan pendekatan studi material dan technical art history untuk meneropong seni rupa pada masa pendudukan Jepang. Kedua metode pendekatan ini berfokus kepada narasi yang terekam dalam benda dan material pembangunnya. Metode ini tidak mengarah pada perdebatan filosofis dan isme-isme seni rupa, melainkan menelisik faktor dan alasan seniman menggunakan bahan tertentu.

Bermula dari pertanyaan sederhana; dari mana dan bagaimana pelukis bumiputera mendapatkan material berkarya? Lukisan seniman pada era pendudukan Jepang, umumnya didominasi warna tanah, gelap dan kotor. Karakter ini sering diasosiasikan oleh para sejarawan dengan pendekatan naturalisme. Semangat zaman seniman angkatan 1940-an, seolah ingin menggambarkan realisme periode perang secara intensional. Ada perbedaan kontras, jika dibandingkan dengan karya-karya Mooi Indië. Benarkah hipotesis itu, atau adakah faktor lain yang lebih teknis? Lalu adakah andil aparatur propaganda seperti Poesat Tenaga Rakjat (Poetera) dan Keimin Bunka Shidōsho (KBS) dalam konteks ini?

Babak Sejarah Teknis Seni Rupa di Indonesia

1. Periode masuknya pengaruh barat dan konsep modern pada era kolonialisme Belanda (1900-1942)

Ada dua kategori produk dalam analisis material. Yakni produk kualitas seniman (artists colorman) dan produk rumahan atau industrial seperti cat tembok, cat interior dan eksterior. Di era ini, akses para pelukis bumiputera terhadap art material kualitas seniman sangat terbatas. Selain mahal dan produknya terbatas, ada relasi kuasa, stratifikasi kelas antara seniman Eropa yang tergabung di lingkar seni Hindia Belanda (Bataviasche Kunstkring) dengan para pelukis pribumi.

Sejak akhir 1800-an cat minyak seperti Rembrandt, Royal Talens dan Winsor & Newton tersedia di beberapa toko spesialis di kota besar di Hindia Belanda. Di Batavia, Royal Talens pernah menaja kompetisi gambar untuk amatir. Karya yang diikutkan harus menggunakan produk Royal Talens. Kurang jelas apakah pihak penyelenggara memberikan fasilitas art material. Tapi terselip nama S. Sudjojono, Surono, Kartono Yudhokusumo di antara peserta. Fakta ini menunjukkan, ada akses terhadap material itu, meskipun terbatas.

Pada akhir 1930-an menuju awal 1940-an, muncul eksperimentasi bahan oleh anggota kelompok lima di Bandung (Affandi, Barli Sasmitawinata, Wahdi Sumanta, Sudarso dan Hendra Gunawan). Semangat ini seturut perkembangan pengolahan bahan mentah cat sintetis yang tersebar luas di Hindia Belanda.

Pelukis era ini memanfaatkan cat kaleng bermerek P.A.R buatan Belanda. Sudarwoto, anak pelukis Sudarso bertutur cat industri itu dipilih karena relatif lebih murah dari cat tube bermerk. Cat diendapkan semalam (tidak diaduk). Setelah itu minyaknya dibuang, hanya endapannya yang kemudian dicampur dengan Terpentin atau minyak tanah. Affandi, Sudarso, Hendra Gunawan juga dulu memakai cat itu. Tren penggunaan cat industrial meningkat di kalangan seniman di seluruh penjuru dunia, seiring dengan depresi global, akibat meletusnya perang dunia I dan II. Kita bisa menafsirkannya sebagai sikap dan tumbuhnya ide protonasionalisme di kalangan seniman bumiputera. Mereka kian vokal dan gerah terhadap sikap kolonial dan elitisme, jelang berakhirnya politik etis Belanda.

2. Babak Perang Dunia II (1942-1945)

Untuk memenangkan hati pribumi, militer Jepang melancarkan propaganda Asia bersaudara. Kunci keberhasilan Jepang terletak pada artikulasi propaganda perangnya, bukan pada kekuatan militer. Dalam praktiknya, strategi memenangkan hati rakyat Indonesia itu diterapkan lewat pembentukan badan dan propaganda militer di bawah kendali Gunseikanbu atau departemen administrasi militer. Talenta-talenta lokal bermunculan. Budaya dan industri massa tumbuh.

Keimin Bunka Shidōsho bertugas mempromosikan dan memobilisasi kesenian Indonesia, memperkenalkan kesenian dan kebudayaan Jepang, melatih keterampilan teknis penggiat seni dan budaya Indonesia. Bentuk dukungan Keimin Bunka Shidōsho kepada seniman, antara lain fasilitas kelas belajar terbuka dan pelatihan teknis khusus antar seniman dan masyarakat umum, fasilitasi kegiatan pameran kelompok, tunggal dan keliling, pemasokan alat dan bahan berkarya dan studio kerja.

Akses art material yang terbuka, kemungkinan jadi sebab para seniman berbondong-bondong menyambut imperialisme berkedok transnasionalisme ala Jepang. Barli Sasmitawinata, kepala Keimin Bunka Shidōsho cabang Bandung turut memberikan kesaksian, betapa situasi itu mendatangkan keuntungan tersendiri baginya selaku seniman.

Saat menduduki Indonesia pada 1942, Jepang membubarkan organisasi Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) dan Kelompok Lima. Jepang membatasi kemungkinan pergerakan perlawanan. Mereka kemudian diserap lewat Poetera dan Keimin Bunka Shidōsho. Masuknya Jepang ke Indonesia dianggap membawa angin segar. S. Sudjojono misalnya pernah menyatakan “Pemerintah militer Jepang memberi saya segala fasilitas untuk itu, gedung yang cukup besar, cat berkilo-kilo dan aliran listrik yang tak terbatas.” Ada situasi paradoksal pada era itu, antara kontrol militer dan kebebasan kreatif.

Baik seniman Jepang di Indonesia maupun bumiputera, begitu tergantung pada bahan yang disediakan militer Jepang. Terkait kualitas art material, besar kemungkinan yang diberikan adalah kualitas industrial. Ini mengingat sanksi dan embargo pihak sekutu kepada Jepang. Membatasi importasi bahan berkualitas seniman atau barang tersier.

State control militer Jepang begitu terstruktur. Jepang mengambil alih aset industri dan produksi peninggalan kolonial Belanda di Indonesia. Kondisi ini turut menunjang suplai seperti cat, kertas, kanvas dan sebagainya kepada para seniman. Lembaga yang menyokong penyediaan art material adalah Sangyobu (Departemen Perusahaan, Industri dan Kerajinan Tangan) di bawah kendali Departemen Administrasi Militer Jepang di Indonesia. Salah satu aset industri yang diambil alih Sangyobu dan jadi benang merah penting adalah pabrik cat kaleng P.A.R di Surabaya dan Batavia. Ada kemungkinan, cat berkilo-kilo sebagaimana yang disebutkan S. Sudjojono itu tidak lain adalah P.A.R.

3. Babak Pengukuhan Identitas Nasional dan Narasi Kenegaraan (1945-1950-an)

Setelah hengkang dari Indonesia, artikulasi strategi kebudayaan yang ditinggalkan Jepang diadopsi oleh Belanda yang kembali ke Indonesia bersama sekutu. Strategi ini kembali dimainkan oleh badan kebudayaan Belanda Stichting voor Culturele Samenwerking (Sticusa). Seperti dukungan program pameran, belajar dan juga promosi profil seniman-seniman lokal, pemberian insentif. Yang berbeda dari Keimin Bunka Shidōsho, Sticusa memberikan art material kualitas seniman. Di situ mungkin ada aspek identitas juga. Tapi ada indikasi, kedekatan seniman terhadap cat industrial seperti P.A.R tetap langgeng sampai setidaknya paruh awal 1950-an.

Diskusi 

Dalam kurun 3,5 tahun pendudukannya, bisa dikatakan Jepang tidak meninggalkan gaya atau corak yang mempengaruhi seni rupa Indonesia. Pengayaan seniman Jepang, dalam konteks seni lukis perang, tidak ditransfer ke seniman Indonesia. Ada kelonggaran luar biasa, bukan hanya terjadi pada seniman indonesia, juga pada seniman Jepang. Karya komisi lukisan perang―pesanan resmi militer Jepang―hanya berjumlah 150-an. Di luar itu jauh lebih banyak dengan tema lebih bervariasi. Militer Jepang jauh lebih banyak menggelar lomba poster propaganda perang, ketimbang pameran lukisan.

Gaya dan corak seni rupa yang dibawakan Jepang kurun 15 tahun perang besar, pada umumnya mengusung semangat modernisme. Itu tidak bisa dikatakan sebagai gaya khas Jepang. Desain grafis pada majalah Nippon, misalnya, merupakan gaya modern yang tengah tren di dunia dan bisa disandingkan dengan majalah Life. Sejak abad 19, perkembangan seni rupa di Jepang mulai menunjukkan hendak melampaui gaya tradisional.

Jepang bersemangat memajukan modernisme dalam upaya ekspansionis untuk menguasai dunia. Modernisme itu disematkan dalam ide-ide dan imajinasi ketimuran. Semacam mengambil yang baik dan membuang buruknya. Misalkan individualisme, untuk digantikan dengan semangat gotong royong dalam melawan barat. Meskipun demikian, Jepang tidak melarang tradisionalisme. Mereka hanya membiarkannya. Modernisme dalam seni rupa Jepang sangat kental aroma realismenya.

Strategi dan artikulasi kebudayaan yang dilancarkan Jepang di Indonesia, menjadi semacam latihan dan eksperimentasi bagi para seniman Indonesia untuk merumuskan identitas Indonesia. Adopsi strategi ini matang sepanjang masa agresi militer Belanda sesudah Jepang hengkang. Ketika itu para seniman berbondong-bondong ikut ketika ibu kota dipindahkan ke Yogyakarta. Para pemimpin nasional secara proaktif menggunakan seniman secara politis untuk mengobarkan nasionalisme. ****

Syam Terrajana lahir di Gorontalo, 03 Juni 1982. Ia menyelesaikan studi perbandingan agama di Universitas Muhammadiyah Surakarta (2005). Ia pernah bekerja sebagai jurnalis di Kantor Berita Antara dan koresponden The Jakarta Post untuk wilayah Gorontalo. Kini ia menjadi editor di tabloid Jubi, media daring dan cetak yang berbasis di Jayapura, Papua. Ia juga salah satu pendiri jurnal kebudayaan Tanggomo dan DeGorontalo.

Ia mulai belajar menggambar secara otodidak pada 2013. Ia kerap berpartisipasi di banyak pameran kolektif, beberapa di antaranya Art Jakarta (2019 & 2020), Kembulan#3: Nguwongke (Yogyakarta, 2019) dan lain-lain. Finalis UOB Painting of the Year 2019 ini juga telah mengadakan pameran tunggal: Pada Ruang yang Bercerita di Ruang Dalam Art House (Yogyakarta, 2021).