gunawan-maryanto

Gunawan Maryanto

Gunawan “Cindil” Maryanto (Yogyakarta, 10 April 1976-06 Oktober 2021) pada mulanya mendapatkan keharuman namanya dalam bidang sastra dan teater—baru kemudian: film.

Sastra dan teater ditempuhnya dalam waktu yang hampir bersamaan—sebagaimana umumnya para sastrawan di negeri ini. Kecintaannya pada teater tumbuh sejak ia duduk di bangku SMA 6 Yogyakarta, sementara kegemarannya kepada sastra mengantarkannya kepada studi Sastra Jawa di Universitas Gadjah Mada. Jika teater mengantarkannya bergabung dengan kelompok Teater Garasi, maka studi sastra Jawa secara akademis memberikan kepekaan tersendiri kepada puisi dan fiksi yang ditulis Cindil.

Fiksi gubahan Cindil mengolah kembali dunia keseharian masyarakat Jawa yang tampaknya sederhana, padahal rumit. Sesekali, dengan modal pengetahuan sastra Jawa itu, fiksi Cindil juga masuk kepada kisah-kisah dalam khazanah sastra Jawa yang selama ini hanya dikenal melalui legenda, dongeng dan serat. Ia bermain-main bentuk modern dengan khazanah kisah tradisional dengan sangat lincahnya sebagaimana sejumlah cerpennya yang terkumpul dalam Bon Suwung (2005) dan Galigi (2007).

Puisi Cindil menempuh jalan yang hampir serupa dengan fiksinya. Dunia keseharian masyarakat Jawa yang berhadapan dengan dunia modern dan tegangan di antaranya adalah tema yang kerap digarap Cindil. Buku puisinya yang mengolah tema ini Sejumlah Perkutut buat Bapak (2010) meraih Kusala Sastra Khatulistiwa 2010.

Sesungguhnya, teater telah menempatkan Cindil sebagai aktor dan sutradara yang bukan hanya khatam akan lakon-lakon realis, semisal Tuk karya Bambang Widoyo SP, tetapi juga sangat memikat ketika mementaskan bentuk-bentuk non-realis semisal Repertoar Hujan (2001-2005). Teater pula yang mengantarkannya ke dunia film yang lebih gemerlap. Mulai sebagai pelatih akting untuk pemain film hingga sebagai bintang film itu sendiri.

Ia membintangi sejumlah film Indonesia. Perannya sebagai penyair Widji Thukul dalam film Istirahatlah Kata-kata (2017) karya Yosep Anggi Noen membuat Cindil meraih penghargaan Usmar Ismail Awards 2017. Sementara perannya sebagai Siman dalam film Hiruk Pikuk si Alkisah (2020) juga besutan Yosep Anggi Noen membuat ia meraih Piala Citra, penghargaan tertinggi perfilman di Indonesia.

Gunawan Maryanto telah berpulang dengan sangat tiba-tiba bersama segala prestasinya yang bisa kita kenang. Kita sungguh kehilangan.

Menimbang Asal-Usul Seni Rupa Modern Indonesia: Di Seberang Persagi dan Mooi Indië

Gesyada Siregar

Tulisan ini adalah tanggapan terhadap sesi tujuh program Zoom In Seni Rupa Modern dan Nasionalisme (di) Indonesia (2021).

Apa saja mitos-mitos penokohan seni rupa Indonesia pada masa kolonial yang masih merebak dan perlu kita telisik ulang? Peristiwa manakah yang sesungguhnya menjadi asal usul seni modern Indonesia? Mengapa selama ini sejarah sosial-politik seni rupalah yang banyak melenakan perbincangan kita, alih-alih sejarah rupanya? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi sebuah pekerjaan rumah yang belum tuntas, yang dicoba dipantik pada penghujung seri Zoom In webinar oleh Komunitas Salihara, “Menimbang Asal-Usul Seni Rupa Modern Indonesia: Di Seberang Persagi dan Mooi Indië”, pada Rabu, 31 Maret 2021.

Pembicara Aminudin T.H. Siregar, Dikdik Sayahdikumullah, dan moderator Nirwan Dewanto menjadi pengisi sesi webinar yang berlangsung selama dua jam. Sesi ini membahas drama klasik seni rupa Indonesia: pertentangan Persatuan Ahli Gambar Indonesia atau Persagi (1938) dengan kecenderungan seni lukis yang dinamai Mooi Indië (dari bahasa Belanda yang berarti Hindia Molek). Perseteruan ini kerap dirujuk sebagai diskursus awal perkembangan seni rupa modern Indonesia menjelang 1945. Diskusi ini membongkar persepsi umum akan perseteruan kelompok dengan gejala estetik tersebut.

Apabila Mooi Indië sering diasosiasikan hanya dengan para pelukis Eropa di masa kolonial, Dikdik Sayahdikumullah mengenalkan beberapa pelukis Jepang yang turut berkiprah dalam kecenderungan estetik itu. Berangkat dari disertasi S3-nya di Kyūshū Sangyō Daigaku, Fukuoka, Jepang, Dikdik yang merupakan pelukis, pengajar dan peneliti di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (FSRD ITB) ini juga menyampaikan pemahaman mendasar tentang apa itu Mooi Indië serta faktor sentimental akan alam yang menjadi pemicu kepopulerannya di Indonesia, baik itu dari bangsa asing hingga masyarakat Indonesia sendiri.

Pentingnya melihat warisan piktorial (gambar) untuk mendedah karya-karya Mooi Indië dan anggota Persagi, bahkan merunut dari visual candi-candi di Indonesia, menjadi sudut pandang segar yang dibagikan oleh Aminudin T.H. Siregar. Selain dikenal sebagai kurator, seniman, pengajar, dan kandidat doktor di Universiteit Leiden, Belanda, Aminuddin pun juga menulis buku Sang Ahli Gambar: Sketsa, Gambar & Pemikiran S. Sudjojono. (S.Sudjojono Center dan Galeri Canna, 2010). Ia membagikan temuan kontroversialnya akan peristiwa-peristiwa mikroskopis di Batavia (Jakarta) pada masa pendudukan Belanda dan Jepang yang mempereteli ulang penokohan Persagi yang tampak “heroik” dan “nasionalistik”.

***

Mooi Indië adalah sebutan untuk karya seni lukis yang menampilkan bentang alam di Indonesia. Umumnya, karya-karya ini menampilkan gunung, sawah dan pohon, yang kerap dirujuk sebagai “trimurti”. Menurut Dikdik, Mooi Indië merangkum berbagai aktivitas seni lukis, baik itu pendokumentasian (Naturalisme), pemikiran (Realisme) hingga pengamatan komponen alami (Impresionisme). Kompleksitas ini menyebabkan Mooi Indië kadang masih sulit dikategorikan sebagai gaya seni lukis.

Seturut Dikdik, sejak tahun 1600-1950, ada lebih dari 3000 pelukis, juru gambar, pengrajin dan peneliti alam asing, baik itu orang Eropa dan Jepang, pergi ke Indonesia. Seniman dan peneliti ini kemudian membuat karya-karya mengenai alam Indonesia, baik itu untuk kebutuhan pemetaan secara administratif dari Vereenigde Oostindische Compagnie (V.O.C), penelitan alam maupun untuk kebutuhan ekspresi artistik pribadi sang pelukis.

Sebagai contoh, Dikdik menampilkan karya gambar tinta di atas kertas karya Johannes Rach, Ciremai mountain near Cirebon, 1783; lukisan cat minyak A.A.J Payen, The Great Postal Road near Rajapolah (Sumedang), West Java, 1828; dan litografi F.W Junghuhn dan F.W Mieling, Gunung Merapi Jawa Tengah, 1853, dan Gunung Guntur Jawa Barat, 1853. Rach merupakan pegawai dari V.O.C; sementara Junghuhn adalah peneliti alam, dan Payan (yang nantinya akan menjadi jadi guru Raden Saleh)  merupakan pelukis yang ditugaskan oleh Natural Sciences Commission dibawah Prof. C.G.C. Reinward. Ketiganya membuat karya gambar, grafis dan lukis bentang alam dengan kebutuhan pendokumentasian.

Dari perwartaan karya-karya tersebut, muncul ketakjuban dan keinginan untuk mengungkapkan perasaan eksotis yang tidak didapat di negerinya bagi pelukis-pelukis Eropa. Objek lukisan bentang alam ini menyebabkan mereka meninggalkan ketidakpastian iklim bagi mereka yang berada di belahan dunia utara. Dari sanalah, lukisan bentang alam mulai menjadi komoditas pasar seni di masa itu, dan menjadi kecenderungan yang kita kenal sekarang.

Akan tetapi, keterlenaan akan alam ini bukan hanya dimiliki bangsa Eropa. Dikdik mengutip surat Kartini, puisi Muhammad Yamin, hingga memoar Machida Keiji, mantan tentara Jepang, yang sama-sama mencurahkan keterpesonaannya akan keindahan alam Indonesia. Kesenduan ini bisa jadi memang sudah mendarah daging, sehingga apa yang ditangkap lewat lukisan bentang alam bisa jadi semacam penawar rasa bagi realita yang getir di tengah perang dan ketidakstabilan kondisi yang ada dan mereka alami di Indonesia saat itu.

Dikdik menyebutkan bahwa sebelum Perang Dunia II, ada beberapa pelukis Jepang yang juga membuat lukisan bentang alam di Hindia Belanda. Berbeda dengan pelukis Jepang yang dibahas pada sesi “Seni Rupa Indonesia pada Era Pendudukan Jepang” bersama Antariksa dan Gadis Fitriana, pada 18 Maret 2021, di mana seniman-seniman itu secara spesifik melukis tentang suasana perang dan kampanye politik. Mereka-mereka ini adalah para seniman petualang. Beberapa di antaranya yang tercatat adalah Mori Kinsen (1888-1959), Kojyo Kokan (1891-1988) dan Yazaki Chioji (1872-1947). Kojyo Kokan yang menggunakan gaya nihonga pada karya seni lukisnya, merupakan salah satu pelaku awal seni lukis bentang alam dari Jepang di Indonesia, jauh sebelum maraknya istilah Mooi Indië. Ia pernah membuat karya dua gunung Fuji di Jawa, yang menampilkan gunung Sumbing dan Sindoro. Selain dia, ada juga Yazaki Chioji, yang dikenal lewat lukisan pastelnya dengan pendekatan impresionis. Yazaki nantinya juga akan menjadi guru S. Sudjojono, juru bicara dari Persagi. Adapula Kinsen, pelukis dengan corak impresionis. Ia pernah membuat lukisan Gunung Merapi yang juga menyerupai Gunung Fuji, sebagai bentuk imajinasi kerinduan akan Jepang. Selain sebagai pelukis Kinsen, juga membuat studio foto di Wonosobo serta pernah mengajar seni lukis kepada Soekarno, yang nantinya menjadi Presiden Indonesia pertama serta patron aktif yang mempopulerkan lukisan Hindia Molek di masyarakat Indonesia.

Dikdik menampilkan lukisan bentang alam yang pernah dibuat Soekarno pada masa pengasingannya di Flores. Lukisan cat air ini menurut Dikdik menampilkan kepedihan Soekarno dan juga pesona akan pantai Flores. Adapun Soekarno kemudian meminta pelukis Basoeki Abdullah, untuk membuat replikanya ke medium cat minyak di atas kanvas. Fragmen kisah ini menjadi sedikit penjelas akan kegemaran Soekarno dengan lukisan bentang alam dan peng-anak emas-an Basoeki Abdullah olehnya.

Basoeki Abdullah, yang merupakan anak dari pelukis bentang alam Abdullah Suriosubroto, adalah figur seniman yang kerap disasar S.Sudjojono terkait kritiknya akan Mooi Indië. Tulisan Sudjojono mengenai Basoeki Abdullah ini kemudian menjadi salah satu pemicu mulainya kesan buruk akan apa itu Mooi Indië, baik secara istilah maupun estetik dalam perwacanaan seni rupa Indonesia.

Istilah Mooi Indië, sebagaimana dipaparkan oleh Aminuddin, pertama kali dikenal lewat buku kompilasi karya pelukis Fredericus Jacobus van Rossum du Chattel (1856-1917) di tahun 1930 yang berjudul Mooi Indië door Fred. J. Du Chattel. Adapun buku ini juga dipromosikan oleh J.E. Jasper yang merupakan rekan Pirngadie. Pirngadie kemudian dikenal sebagai salah satu eksponen pelukis Mooi Indië yang berasal dari masyarakat Hindia Belanda, bersama Abdullah Suriosubroto, Wakidi dan Wahdi Sumanta. Adapun buku portofolio cat air du Chattel ini dipromosikan di mana-mana dan laku keras, sehingga istilah ini lantas populer di kalangan pegiat seni.

Aminuddin juga mencatat, bahwa ada sebuah tulisan penting dari seorang guru bahasa Prancis di Surabaya dan Jakarta bernama Johannes Tielrooy, yang berada di satu lingkaran dengan komite seni rupa Bataviasche Kunstkring, galeri seni di Jakarta yang berpengaruh pada perkembangan seni rupa masa itu. Tulisan itu merupakan debat terbuka kepada pelukis Henry van Velthuysen (yang nanti juga menjadi guru Mochtar Apin) terhadap kecenderungan seni lukis di Batavia yang hanya menggambar pemandangan untuk jual beli. Ia menyebut karya-karya Gerard Pieter Adolfs, W.J.F Imandt, Romualdo Locatelli, dan Ernest Dezentje yang semarak di pasar seni masa itu sebagai “souvenirs van Indië”. Tulisan ini pun diduga menginspirasi S. Sudjojono, yang juga merupakan sekretaris dari Persagi, untuk membuat kritik yang senada dan menggunakan istilah Mooi Indië dengan konotasi pejoratif sebagai seni lukis borjuis untuk dilawan pada tahun 1939.

Tulisan itulah kemudian yang membuat mitos perdebatan sejarah antara Persagi versus Mooi Indië. Menurut Aminuddin, adalah Drs. Sudarmadji dan Kusnadi, yang membuat periodisasi sejarah seni rupa di mana Mooi Indië yang merupakan gejala estetik dikontraskan dengan Persagi, sehingga melanggengkan mitos ini. Namun, “apakah Persagi muncul hanya karena mengkritik Mooi Indië?” tukas Aminuddin.

Dari penelusuran Aminuddin, diketahuilah bahwa Persagi berdiri sederhana, sebagai tempat untuk mengakomodir orang-orang untuk belajar mengenai seni lukis, yang waktu itu, jika memungkinkan, hendak membuat cabang-cabang di tempat lain. Berdiri pada 23 Oktober 1928, di sana terdapat studio dan ceramah rutin yang mengundang tokoh-tokoh seperti Ki Hadjar Dewantara, Sanusi Pane, dan Jeanne Maria Cornelia de Loos-Haaxman, seorang sejarawati seni yang saat itu juga menjabat di Bataviasche Kunstkring untuk penyelenggaraan pameran. Kesederhanaan niat dan keberagamaan penceramah di sana ini yang kemudian menunjukkan bahwa tidak ada diskriminasi tertentu pada masa itu menurut Aminuddin.

Asumsi diskriminasi terhadap pelukis Hindia Belanda seringkali dikaitkan dengan dengan penolakan Bataviasche Kunstkring terhadap proposal pameran Persagi yang diajukan oleh Agus Djaja, ketua Persagi. Aminuddin menjelaskan bahwa penolakan itu lebih kepada persoalan kurasi komite seni rupa mereka yang digawangi oleh Haaxman. Sebagai gambaran, pameran-pameran yang dikelola oleh Haaxman sebelumnya merupakan pameran koleksi pinjaman P. A. Regnault, pemilik pabrik cat P.A.R dan kolektor seni, yang terdiri dari karya-karya Pablo Picasso, Paul Gauguin, Vincent van Gogh, James Ensor, Jan Sluijters, dan Marc Chagall. Tentulah karya-karya ini dianggap sebagai representasi mutakhir dari kemajuan seni modern Eropa. Pameran ini pula yang dulunya menggugah praktik kekaryaan Sudjojono dan kawan-kawannya. Ada praduga bahwa orang Indonesia dilarang masuk Kunstkring pada masa itu. Namun, Aminuddin mengatakan bahwa pameran-pameran ini sesungguhnya terbuka untuk umum, karena jika kita melihat katalog-katalog Kunstkring, mereka mempunyai tiket masuk dan jam buka seperti layaknya museum atau galeri. Dari sini, dapat dibayangkan bagaimana kurasi ketat yang dijaga oleh Haaxman akan standar kualitas karya-karya yang bisa ditampilkan di Bataviasche Kunstkring, yang bahkan jika Perang Dunia II tidak terjadi, galeri ini digadang-gadang menjadi museum seni modern Hindia Belanda.

Bukan berarti tidak ada karya seniman Hindia Belanda yang kemudian bisa dipamerkan di sana. Karya Kinderen met kat oleh S.Sudjojono tercatat sebagai lukisan pertama yang mampu lolos seleksi ini. Lukisan itu menjadi sampul selebaran Indische Bondscollection 1938 yang mengumumkan pameran yang akan diselenggarakan oleh Kunstkring, dan dikurasi oleh Haaxman serta tiga seniman Belanda avant-garde masa itu: Jan Frank, Dolf Breetvelt dan Piet Ouborg. Tembusnya karya Sudjojono inilah kemudian yang membuka pemahaman dan optimisme Persagi bahwa penolakan ini bukanlah persoalan diskriminasi tertentu, apalagi mengingat komentar pahit dari Kunstkring yang tersebar pada saat penolakan proposal itu adalah “bangsa Indonesia lebih cocok jadi petani ketimbang pelukis.”

Momentum selanjutnya setelah penolakan itu ditandai dengan pameran anggota Persagi di Kunstzaal Kolff & Co. yang dianggap sukses dan memuaskan dari surat kabar yang ditelusuri Aminuddin. Dalam pengakuan Sudjojono pun, Haaxman berkali-kali datang dan mengapresiasi pameran mereka. Pameran itu kemudian menjadi pemantik bagi Haaxman untuk kemudian membawa karya-karya Persagi ke Kunstkring pada tahun 1941, beberapa saat sebelum Jepang datang. Aminuddin juga menambahkan bahwa pameran ini dibawa berkeliling ke cabang-cabang Kunstkring di berbagai kota, seperti Cirebon, Tegal, Kediri, Surabaya, dan Malang. Pameran panjang itu sepenuhnya didukung dan dikelola oleh Haaxman dan Kunstkring. Bagi Aminuddin, tur lanjutan pameran Persagi oleh Kunstkring itu setidaknya cukup sebagai bukti ketoleransian lembaga mereka untuk “meredam emosi kita sebagai orang yang nasionalistik.”

Sebelum pameran keliling ini, Aminuddin mengatakan bahwa ada satu pameran yang dapat melumerkan keyakinan kita bahwa Persagi itu nasionalis. Pada tahun 1940, tercatat ada sebuah pameran penggalangan dana berjudul Indische Werkbaar (Hindia Dapat Dipertahankan), di mana karya-karya tersebut akan dijual dan menjadi dana bagi pasukan-pasukan yang bersiap melawan Jepang. S. Sudjojono, Lee Man Fong dan Agus Djaja menjadi peserta Hindia Belanda yang terlibat di pameran itu. Dari sana, Aminuddin mengatakan, “istilah Indonesia di Persagi bisa kita tawar.”

Mitos lain yang dicoba dibongkar oleh Aminuddin adalah mengenai bubarnya Persagi yang belum terlalu banyak dibahas. Beberapa versi yang menyebutkan bahwa Persagi dibubarkan oleh Jepang adalah keliru bagi Aminuddin. Sebagai sebuah organisasi kesenian kecil, Jepang tidak memiliki urusan langsung dengan mereka. Adapun yang menjadi dampak langsung dari pendudukan Jepang adalah organisasi politik. Menurut pengakuan Sudjojono, Persagi “bubar begitu saja”, setelah diminta oleh Soekarno untuk dibekukan dahulu sementara waktu dan bersiap-siap karena Jepang akan masuk. Untuk itu, di sejumlah berita mewartakan bahwa pameran Persagi di 8 Desember 1942 merupakan “pameran Persagi yang terakhir.”

Aminuddin mengatakan bahwa terdapat “dosa” warisan wacana yang digariskan oleh Persagi, terutama S. Sudjojono, yang kemudian menjadi menistakan Mooi Indië. Kesalahan S. Sudjojono yang pertama adalah pemutusan silaturahmi terang-terangan dengan kesenian tradisi. S. Sudjojono tampaknya terinspirasi dari puisi Sutan Takdir Alisjahbana pada tahun 1933 berjudul Di Candi Prambanan. Di puisi itu, Takdir menulis: “… Hatiku tiada rindu kepadamu masa, ketika pendeta meniarap di hadapan Syiwa, ketika jiwa berbakti menjelma candi berarca. Tidak! Tidak! Tidak! […]  Dan aku akan melahirkan seni baru, tidak serupa bentuk ini……., abadi selaras dengan gelora sukma dan zamanku.

Dari penuturan Aminuddin, Sudjojono sepertinya lupa bahwa pemerihalan seni rupa bukanlah persoalan politik, melainkan rupa. Ada warisan imaji gambar dari leluhur yang kemudian tidak selesai di perkembangan lanjutan seni rupa modern Indonesia. Padahal, sepenemuan Aminuddin, kita memiliki warisan trimurti Mooi Indië di relief Candi Prambanan dan tablet di Trowulan, di mana terdapat gambar petani membajak sawah, gunung, sungai dan pohon kelapa, yang bahkan telah ada jauh sebelum Eropa mengalami Renaisans.

Pertanyaan pemancing dari Aminuddin kepada hadirin yang cukup menggelitik adalah: “Bagaimana membuat Mooi Indië dan Persagi jadi persoalan sejarah? Bagaimana warisan piktorial menjadi sejarah? Kalau itu tidak dilakukan, itu hanya jadi sejarah sosial seni, bukan sejarah seni rupa.”

***

Menjadi pengagum S.Sudjojono dan Persagi dengan semangat anti-Baratnya adalah semacam rite of passage/ritual akil balig bagi para seniman, kurator, mahasiswa, mahasiswi dan pemerhati seni rupa Indonesia di mana pun. Sembari ia bertumbuh kembang di medan seni, ia akan mendapati referensi lain, yang bisa menguatkan atau meruntuhkan kekagumannya kepada sang SS101 ini. Webinar ini menjadi salah satu buldozer yang menghamburkan tatanan keyakinan itu lewat pemaparan Dikdik mengenai keberadaan pelukis Mooi Indië dari bangsa selain Belanda dan utamanya, Aminuddin, yang menerabas tonggak kepahlawanan Persagi yang selama ini diusung-usung.

Apabila diumpamakan sebagai sebuah “rehab” pemikiran seni, webinar yang berlangsung selama dua jam tentu tidak bisa menuntaskan pertanyaan-pertanyaan pemirsa yang selama ini telah bertahun-tahun dicandu oleh dongeng-dongeng Persagi serta ke-Eurosentris-an Mooi Indië. Selain kendala teknis dan koneksi di tengah webinar yang mengurangi ketersediaan waktu para penceramah dan hadirin untuk bertanya, artikulasi materi-materi bersejarah dari Dikdik dan Aminuddin yang berlimpah dari segala segi belum bisa memenuhi potensinya untuk dengan khidmat dicerna oleh peserta webinar. Ini bisa menjadi peluang sesi webinar berikutnya untuk melanjutkan elaborasi mengenai Persagi dan pelukis Mooi Indië Jepang, yang mungkin secara spesifik, bisa dirampingkan pada perspektif piktorial alih-alih sejarah sosial-politiknya, sebagaimana yang dipantik oleh Aminuddin.

Alasan kebablasan kita untuk banyak membahas sejarah sosial politik seni rupa dibanding sejarah rupanya bisa jadi terkait dengan alasan kepopuleran Mooi Indië: kita menyukai melodrama, keterpesonaan, kesenduan dan sisi sensasional yang dibawa olehnya. Itu pula mungkin yang menyebabkan penokohan Persagi menjadi begitu heroik oleh beberapa penulis seni rupa. Kita membutuhkan pahlawan di sejarah seni rupa kita, yang serasi dengan perjuangan Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, Pangeran Diponegoro dan Thomas Matulessy. Kendati seperti itu, mengapa kita memiliki kerikuhan untuk membahas rupa dalam seni rupa? Apakah bahasan itu terlalu kaku, membosankan dan memandekkan diskusi? Apakah bisa bahasan mengenai rupa menghasilkan greget yang sama dengan membaca lika-liku biografi senimannya atau teori sosial-politik yang mengitarinya?

Dalam drama Persagi versus Mooi Indië pun, kita mendapati salah satu pelintiran alur (plot twist) mencengangkan dalam babak sejarah seni rupa kita, yakni lukisan banting setir Sudjojono, Corak Seni Lukis Indonesia Baru, 1986. Lukisan itu jelas-jelas merupakan Mooi Indië dengan penggambaran gunung, sawah dan pohonnya. Dari penjudulan yang dibuat Sudjojono sendiri, hal ini tentu bertolak belakang dengan segala makiannya pada tahun 1939. Mungkinkah kita membahas drama kegemparan ini secara rupa, layaknya penggemar film pahlawan super menganalisa bingkai-bingkai perdetik dari film untuk mencari petunjuk kehadiran penjahat supernya?

S. Sudjojono, Corak Seni Lukis Indonesia Baru, cat minyak di atas kanvas, 100 cm x 150 cm, 1986. Sumber: archive-ivaa.org

 

Perjalanan pada sesi terakhir webinar Salihara Rupa Bangsa: Seni Rupa Modern dan Nasionalisme (di) Indonesia ini bagi penulis meninggalkan sedimen gagasan mengenai keperluan untuk melihat kesenian tradisi yang ada di Indonesia. Sedimen ini pun tampaknya telah terbawa semenjak sesi pertama, “Melihat Kembali Masa 1950-1970-an: Pasang Naik Perebutan Keindonesiaan” bersama Agus Burhan dan Jean Couteau pada 10 Februari 2021. Persoalan identitas keindonesiaan yang dipaparkan para penceramah pada saat itu telah memberikan jejak-jejak warisan piktorial dari tiap pembabakan dialektika keIndonesiaan. Pembabakan ini dirangkum oleh Agus dari nasionalisme kerakyatan pada tahun 1950-an, kerakyatan revolusioner pada 1960-an, hingga seni rupa lirisisme (humanisme universal) pada 1970-an, serta perubahan dari estetika tradisional, pemodernan bentuk rupa, pemfokusan keeksotisan, simbolisme religius dan ragam modern “tradisi” pada seni lukis Bali oleh Jean. Perendaan diskusi lanjutan dari seri ini mungkin saja menghadirkan pelaku tradisi di berbagai daerah di Indonesia, arkeolog, antropolog, atau etnolog, untuk kemudian dihadapkan dengan pegiat seni rupa modern dan kontemporer. Bagaimanakah pengamat tradisi ini melihat kekontemporeran dan modernitas seni rupa, dan bagaimana pula sebaliknya? Bagaimanakah pendapat arkeolog di Trowulan mengenai lukisan bertrimurti Basoeki Abdullah misalnya? Bagaimana seniman performans kontemporer melihat pertunjukan kuda lumping? Seri webinar berikutnya bisa menjadi arena untuk menantang sesama pegiat seni dan budaya ini untuk saling membaca praktik dan risetnya di luar zona amannya masing-masing.

 

Gesyada Siregar adalah seorang kurator, penulis dan pengurus kegiatan seni. Ia bekerja sebagai koordinator subyek Artikulasi & Kurasi di Gudskul: Studi Kolektif dan Ekosistem Seni Rupa Kontemporer, Jakarta. Beberapa pameran yang ia kuratori adalah pameran tunggal Syaiful “Jahipul” Ardianto Corak Klise Bererot (RURU Gallery, 2020), Festival Seni Media Internasional “Instrumenta”: Sandbox & Machine/Magic (Galeri Nasional Indonesia, 2018-2019) dan pameran koleksi Dewan Kesenian Jakarta karya Nashar, Oesman Effendi, Rusli dan Zaini: Lukisan Tanpa Teori (Galeri Cipta III, 2017).

Ia menulis tentang lukisan Cap Go Meh karya S. Sudjojono untuk seri buku Pusaka Seni Rupa Indonesia (Direktorat Kesenian, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2017). Ia telah berceramah dan dilibatkan di berbagai bincang publik seperti Simposium Equator Biennale Jogja (2016), Art Jakarta (2019), serta di Art Gallery of York University (Toronto, 2019), Monash University (Melbourne, 2020), dan Festival sur le Niger (Ségou, 2021).

 

 

 

 

esai-template-

Seni Rupa Indonesia pada Era Pendudukan Jepang dan Aspek Materialitas di Balik Aspirasi Ketimuran

Syam Terrajana

Tulisan ini adalah tanggapan terhadap sesi keenam dalam program Zoom In Seni Rupa Modern dan Nasionalisme (di) Indonesia (2021).

Seni Rupa Indonesia pada Era Pendudukan Jepang oleh Antariksa (Pembicara Pertama)

Antariksa, kurator, seniman dan periset yang menekuni sejarah seni rupa di Asia Tenggara pada masa pendudukan Jepang, menjabarkan seniman Jepang yang membawa semangat seni rupa modern ke Indonesia. Praktik propaganda Jepang, turut memberi warna terhadap perkembangan seni rupa di Indonesia. Ini tidak lepas dari latar belakang seniman Jepang yang bekerja di dalam mesin propaganda tersebut. 

Seni rupa di Indonesia dikembangkan seturut strategi propaganda Jepang. Praktik ini berlangsung pada “Perang Besar” (1931-1945), sejak Jepang menduduki Manchuria, Cina. Sekitar 3.000 seniman profesional Jepang dilibatkan.

Pada 1944, jaringan propaganda itu mencapai Indonesia. Jepang membuat tiga jalur administrasi militer seturut jaringan propaganda. Pertama, meliputi Malaysia dan Sumatra. Kedua Jawa dan Madura. Ketiga Bali, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku. Itu sebabnya, seniman antar wilayah berbeda tidak bisa berkomunikasi satu sama lain.

Kurun masa itu ada dua organisasi besar penggerak seni rupa. Pertama, Poesat Tenaga Rakjat (Poetera) dengan empat serangkai pemimpinnya: Sukarno, Hatta, Mas Mansyur dan Ki Hajar Dewantara. Poetera membawahi empat bagian: pertama, perencanaan dan pengembangan; kedua, kebudayaan; ketiga, propaganda; dan terakhir kesejahteraan rakyat. Seni rupa masuk dalam bagian kebudayaan.

Organisasi kedua adalah Keimin Bunka Shidōsho (KBS) atau Poesat Keboedajaan. Pengurusnya adalah gabungan bumiputera dan orang Jepang. Struktur KBS terbagi lima bagian: Film, Sastra, Seni lukisan dan ukiran, Sandiwara dan Musik. KBS berpusat di Jakarta, punya cabang di Bandung, Semarang, Malang dan Surabaya.

Berbeda dengan masa Belanda yang sangat elitis, pada masa pendudukan Jepang, seni rupa menjadi sangat inklusif. Jepang memberikan banyak dukungan material: kanvas, cat minyak, studio model dan guru. Bahkan memberikan bantuan keuangan secara rutin kepada seniman Indonesia. Tak heran ada banyak sekali pameran digelar seniman Indonesia dan Jepang. Skalanya mulai di tingkat lokal, nasional maupun internasional.

Tercatat sejumlah seniman dan penulis terkemuka Indonesia terlibat di dalam KBS: Affandi, S. Sudjojono, Agus Djajasoeminta dan Otto Djajasoentara, Barli, Hendra Gunawan, Emiria Soenassa, Basuki Abdullah, Oetojo dan Armijn Pane.

Seniman Jepang di Indonesia dan Pengaruhnya

Fujita Tsuguharu adalah seniman terpenting Jepang pada paruh pertama abad 20. Pada 1913 ia hijrah ke Prancis. Pada era 1920-an, Fujita (kelak berganti nama sebagai Léonard Tsuguharu Foujita) menjadi bagian École de Paris atau aliran Paris, bersama Amedeo Modigliani, Piet Mondrian dan Pablo Picasso. Salah satu lukisannya yang terkenal adalah Nu couché à la toile de Jouy (Reclining Nude with Toile de Jouy, 1922). Sebelum dilibatkan dalam propaganda Jepang, lukisannya didominasi warna putih. Para kritikus menyebutnya “Putih Fujita”. Asato Ikeda, pengajar sejarah seni di Fordham University, New York, dalam tulisannya “Fujita Tsuguharu Retrospective 2006: Resurrection of a Former Official War Painter” (2009) menyebutkan bahwa Fujita kembali ke Jepang pada 1933 dan menjadi salah satu seniman produktif di senső-ga, organisasi propaganda lukisan perang bentukan militer Jepang.

Fujita dikirim oleh militer Jepang ke Cina. Di sana ia meriset dan membuat lukisan bertema perang. Salah satunya adalah Battle on the bank of the Halha, Nomonhan (1941). Kontras dengan warna lukisan sebelumnya, pada era ini, karya-karyanya didominasi warna yang lebih gelap. Fujita mendapatkan komisi terbanyak dari militer Jepang. Ada 14 komisi di berbagai tempat dan negara pendudukan Jepang. Lukisannya terkait pendudukan Jepang di Indonesia, memiliki dua judul: “Japanese Soldiers Rescue Indonesian Civilians/Sacred Soldier to the Rescue (1944). Karya ini sebenarnya dibuatnya di Singapura.

Keterlibatan Fujita pada propaganda pendudukan Jepang, tak lepas dari sosok bernama  Jirohachi Satsuma, seorang miliarder Jepang. Satsuma, merupakan patron dan pendana seniman-seniman Jepang di Eropa. Satsuma berasal dari keluarga pebisnis kain. Dia memberikan bantuan sangat besar kepada militer Jepang untuk proyek-proyek perang. Kesadaran akan hubungan seni dengan perang dibangunnya dengan sadar.

Pada 1922 Fujita dan Satsuma bertemu di Paris. Satsuma meminta Fujita mendirikan perkumpulan seniman-seniman Jepang di Paris. Fujita sendiri yang menjadi presidennya. Fujita kemudian menjadi seniman paling penting pada masa perang Jepang. Dia juga menjabat presiden asosiasi pelukis kerajaan bentukan militer Jepang.

Saburō Miyamoto adalah salah satu seniman pelopor yang menggambarkan peperangan, dengan suasana sekumpulan orang yang sedang bermusyawarah. Gaya semacam ini, kelak diikuti seniman-seniman perang Jepang lainnya. Salah satu lukisannya yang terkenal adalah The Meeting of General Yamashita and general Percival (1942) yang menggambarkan suasana pertemuan saat Inggris menyerah di Singapura. Miyamoto sempat dikirim dan berkarya di Manado dan Makassar. Ia pun pernah menggelar pameran di Makassar.

Tsuruta Gorō adalah tokoh kunci dari Gunju Seisan Bijutsu Suishintai (unit seni rupa untuk mempromosikan industri persenjataan). Berbeda dengan KBS yang berpusat di Jawa, organisasi ini bergerak di beberapa kota di luar Jawa. Pameran seni rupa antara lain digelar di Aceh, Medan, Banjarmasin, Manado. Ia adalah kritikus dan pelukis modern Jepang. Ketika pusat pemerintahan angkatan ke-25 di Singapura pindah ke Bukittinggi, ia juga ikut pindah. Salah satunya karyanya yang paling terkenal adalah lukisan berjudul Japanese Paratroops Descending on Palembang (1942) menggambarkan suasana pasukan terjun payung. Ia kemudian jadi pelopor lukisan terjun payung.

Selaku kritikus, ia membuat konsep produksi seni yang dipilah dalam tiga bagian: Seni Propaganda (Senso Bijutsu), Seni Murni (Junsui Bijutsu) dan terakhir seni untuk produktivitas (Seisan Bijutsu), yaitu aktivitas artistik dan karya seni untuk meningkatkan produktivitas pertanian dan industri berat. Untuk mempraktikannya, ia menganjurkan metode “Genba-Shugi” (berbasis lokasi): seniman hadir secara fisik di lokasi-lokasi kerja, menghabiskan waktu bersama para pekerja dan memamerkan karya-karya mereka di tempat itu.

Arsip Kantor Berita Domei bentukan Jepang mencatat pada tahun 1943, KBS mengirimkan anggota mereka ke Pasuruan, Jawa Timur untuk membuat karya dan menghabiskan waktu bersama para pekerja setempat. Disebutkan bagaimana dalam waktu singkat, komposer Cornel Simanjuntak membuat lagu tentang perkebunan kapas yang bisa dinyanyikan bersama. Sayang, arsip yang mencatat praktik “Genba Shugi” untuk seni rupa, belum ditemukan. Metode ini juga dipraktikkan sekelompok seniman Jepang di Indonesia. Sementara di Indonesia sendiri, pada tahun 1950-an kita mengenal metode ini sebagai Turba (turun ke bawah), dipraktikkan oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA).

Yōnosuke Natori adalah fotografer Jepang yang berkarir sebagai jurnalis foto di majalah Life untuk Jerman sejak akhir 1920-an. Pada 1931 ia mendapat tugas mendokumentasikan suasana pendudukan Jepang di Manchuria, Cina. Tak puas, ia kemudian mendirikan majalah sendiri bernama Nippon. Majalah ini tidak memakai bahasa Jepang, melainkan bahasa Inggris, Jerman, Prancis, Spanyol dan dipasarkan secara internasional. Tujuan majalah ini adalah untuk menunjukkan kemajuan desain grafis dan seni rupa Jepang. Direktur artistik majalah itu adalah Takashi Kono seorang desain grafis yang kemudian aktif di KBS. Kono lalu membuat majalah Djawa Baroe dan juga membuat desain logo baru untuk 106 surat kabar di Indonesia.

Saseo Ono adalah karikaturis Jepang yang memperkenalkan mural politik dan animasi di Indonesia. Saseo Ono adalah orang yang dibicarakan oleh S. Sudjojono, Affandi dan beberapa pelukis indonesia.

Aspek Materialitas di Balik Aspirasi Ketimuran oleh Gadis Fitriana Putri (Pembicara Kedua)

Gadis adalah penekun konservasi seni lukis yang baru saja merampungkan studi magister di University of Melbourne pada bidang konservasi dan studi material seni lukis. Ia menawarkan pendekatan studi material dan technical art history untuk meneropong seni rupa pada masa pendudukan Jepang. Kedua metode pendekatan ini berfokus kepada narasi yang terekam dalam benda dan material pembangunnya. Metode ini tidak mengarah pada perdebatan filosofis dan isme-isme seni rupa, melainkan menelisik faktor dan alasan seniman menggunakan bahan tertentu.

Bermula dari pertanyaan sederhana; dari mana dan bagaimana pelukis bumiputera mendapatkan material berkarya? Lukisan seniman pada era pendudukan Jepang, umumnya didominasi warna tanah, gelap dan kotor. Karakter ini sering diasosiasikan oleh para sejarawan dengan pendekatan naturalisme. Semangat zaman seniman angkatan 1940-an, seolah ingin menggambarkan realisme periode perang secara intensional. Ada perbedaan kontras, jika dibandingkan dengan karya-karya Mooi Indië. Benarkah hipotesis itu, atau adakah faktor lain yang lebih teknis? Lalu adakah andil aparatur propaganda seperti Poesat Tenaga Rakjat (Poetera) dan Keimin Bunka Shidōsho (KBS) dalam konteks ini?

Babak Sejarah Teknis Seni Rupa di Indonesia

1. Periode masuknya pengaruh barat dan konsep modern pada era kolonialisme Belanda (1900-1942)

Ada dua kategori produk dalam analisis material. Yakni produk kualitas seniman (artists colorman) dan produk rumahan atau industrial seperti cat tembok, cat interior dan eksterior. Di era ini, akses para pelukis bumiputera terhadap art material kualitas seniman sangat terbatas. Selain mahal dan produknya terbatas, ada relasi kuasa, stratifikasi kelas antara seniman Eropa yang tergabung di lingkar seni Hindia Belanda (Bataviasche Kunstkring) dengan para pelukis pribumi.

Sejak akhir 1800-an cat minyak seperti Rembrandt, Royal Talens dan Winsor & Newton tersedia di beberapa toko spesialis di kota besar di Hindia Belanda. Di Batavia, Royal Talens pernah menaja kompetisi gambar untuk amatir. Karya yang diikutkan harus menggunakan produk Royal Talens. Kurang jelas apakah pihak penyelenggara memberikan fasilitas art material. Tapi terselip nama S. Sudjojono, Surono, Kartono Yudhokusumo di antara peserta. Fakta ini menunjukkan, ada akses terhadap material itu, meskipun terbatas.

Pada akhir 1930-an menuju awal 1940-an, muncul eksperimentasi bahan oleh anggota kelompok lima di Bandung (Affandi, Barli Sasmitawinata, Wahdi Sumanta, Sudarso dan Hendra Gunawan). Semangat ini seturut perkembangan pengolahan bahan mentah cat sintetis yang tersebar luas di Hindia Belanda.

Pelukis era ini memanfaatkan cat kaleng bermerek P.A.R buatan Belanda. Sudarwoto, anak pelukis Sudarso bertutur cat industri itu dipilih karena relatif lebih murah dari cat tube bermerk. Cat diendapkan semalam (tidak diaduk). Setelah itu minyaknya dibuang, hanya endapannya yang kemudian dicampur dengan Terpentin atau minyak tanah. Affandi, Sudarso, Hendra Gunawan juga dulu memakai cat itu. Tren penggunaan cat industrial meningkat di kalangan seniman di seluruh penjuru dunia, seiring dengan depresi global, akibat meletusnya perang dunia I dan II. Kita bisa menafsirkannya sebagai sikap dan tumbuhnya ide protonasionalisme di kalangan seniman bumiputera. Mereka kian vokal dan gerah terhadap sikap kolonial dan elitisme, jelang berakhirnya politik etis Belanda.

2. Babak Perang Dunia II (1942-1945)

Untuk memenangkan hati pribumi, militer Jepang melancarkan propaganda Asia bersaudara. Kunci keberhasilan Jepang terletak pada artikulasi propaganda perangnya, bukan pada kekuatan militer. Dalam praktiknya, strategi memenangkan hati rakyat Indonesia itu diterapkan lewat pembentukan badan dan propaganda militer di bawah kendali Gunseikanbu atau departemen administrasi militer. Talenta-talenta lokal bermunculan. Budaya dan industri massa tumbuh.

Keimin Bunka Shidōsho bertugas mempromosikan dan memobilisasi kesenian Indonesia, memperkenalkan kesenian dan kebudayaan Jepang, melatih keterampilan teknis penggiat seni dan budaya Indonesia. Bentuk dukungan Keimin Bunka Shidōsho kepada seniman, antara lain fasilitas kelas belajar terbuka dan pelatihan teknis khusus antar seniman dan masyarakat umum, fasilitasi kegiatan pameran kelompok, tunggal dan keliling, pemasokan alat dan bahan berkarya dan studio kerja.

Akses art material yang terbuka, kemungkinan jadi sebab para seniman berbondong-bondong menyambut imperialisme berkedok transnasionalisme ala Jepang. Barli Sasmitawinata, kepala Keimin Bunka Shidōsho cabang Bandung turut memberikan kesaksian, betapa situasi itu mendatangkan keuntungan tersendiri baginya selaku seniman.

Saat menduduki Indonesia pada 1942, Jepang membubarkan organisasi Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) dan Kelompok Lima. Jepang membatasi kemungkinan pergerakan perlawanan. Mereka kemudian diserap lewat Poetera dan Keimin Bunka Shidōsho. Masuknya Jepang ke Indonesia dianggap membawa angin segar. S. Sudjojono misalnya pernah menyatakan “Pemerintah militer Jepang memberi saya segala fasilitas untuk itu, gedung yang cukup besar, cat berkilo-kilo dan aliran listrik yang tak terbatas.” Ada situasi paradoksal pada era itu, antara kontrol militer dan kebebasan kreatif.

Baik seniman Jepang di Indonesia maupun bumiputera, begitu tergantung pada bahan yang disediakan militer Jepang. Terkait kualitas art material, besar kemungkinan yang diberikan adalah kualitas industrial. Ini mengingat sanksi dan embargo pihak sekutu kepada Jepang. Membatasi importasi bahan berkualitas seniman atau barang tersier.

State control militer Jepang begitu terstruktur. Jepang mengambil alih aset industri dan produksi peninggalan kolonial Belanda di Indonesia. Kondisi ini turut menunjang suplai seperti cat, kertas, kanvas dan sebagainya kepada para seniman. Lembaga yang menyokong penyediaan art material adalah Sangyobu (Departemen Perusahaan, Industri dan Kerajinan Tangan) di bawah kendali Departemen Administrasi Militer Jepang di Indonesia. Salah satu aset industri yang diambil alih Sangyobu dan jadi benang merah penting adalah pabrik cat kaleng P.A.R di Surabaya dan Batavia. Ada kemungkinan, cat berkilo-kilo sebagaimana yang disebutkan S. Sudjojono itu tidak lain adalah P.A.R.

3. Babak Pengukuhan Identitas Nasional dan Narasi Kenegaraan (1945-1950-an)

Setelah hengkang dari Indonesia, artikulasi strategi kebudayaan yang ditinggalkan Jepang diadopsi oleh Belanda yang kembali ke Indonesia bersama sekutu. Strategi ini kembali dimainkan oleh badan kebudayaan Belanda Stichting voor Culturele Samenwerking (Sticusa). Seperti dukungan program pameran, belajar dan juga promosi profil seniman-seniman lokal, pemberian insentif. Yang berbeda dari Keimin Bunka Shidōsho, Sticusa memberikan art material kualitas seniman. Di situ mungkin ada aspek identitas juga. Tapi ada indikasi, kedekatan seniman terhadap cat industrial seperti P.A.R tetap langgeng sampai setidaknya paruh awal 1950-an.

Diskusi 

Dalam kurun 3,5 tahun pendudukannya, bisa dikatakan Jepang tidak meninggalkan gaya atau corak yang mempengaruhi seni rupa Indonesia. Pengayaan seniman Jepang, dalam konteks seni lukis perang, tidak ditransfer ke seniman Indonesia. Ada kelonggaran luar biasa, bukan hanya terjadi pada seniman indonesia, juga pada seniman Jepang. Karya komisi lukisan perang―pesanan resmi militer Jepang―hanya berjumlah 150-an. Di luar itu jauh lebih banyak dengan tema lebih bervariasi. Militer Jepang jauh lebih banyak menggelar lomba poster propaganda perang, ketimbang pameran lukisan.

Gaya dan corak seni rupa yang dibawakan Jepang kurun 15 tahun perang besar, pada umumnya mengusung semangat modernisme. Itu tidak bisa dikatakan sebagai gaya khas Jepang. Desain grafis pada majalah Nippon, misalnya, merupakan gaya modern yang tengah tren di dunia dan bisa disandingkan dengan majalah Life. Sejak abad 19, perkembangan seni rupa di Jepang mulai menunjukkan hendak melampaui gaya tradisional.

Jepang bersemangat memajukan modernisme dalam upaya ekspansionis untuk menguasai dunia. Modernisme itu disematkan dalam ide-ide dan imajinasi ketimuran. Semacam mengambil yang baik dan membuang buruknya. Misalkan individualisme, untuk digantikan dengan semangat gotong royong dalam melawan barat. Meskipun demikian, Jepang tidak melarang tradisionalisme. Mereka hanya membiarkannya. Modernisme dalam seni rupa Jepang sangat kental aroma realismenya.

Strategi dan artikulasi kebudayaan yang dilancarkan Jepang di Indonesia, menjadi semacam latihan dan eksperimentasi bagi para seniman Indonesia untuk merumuskan identitas Indonesia. Adopsi strategi ini matang sepanjang masa agresi militer Belanda sesudah Jepang hengkang. Ketika itu para seniman berbondong-bondong ikut ketika ibu kota dipindahkan ke Yogyakarta. Para pemimpin nasional secara proaktif menggunakan seniman secara politis untuk mengobarkan nasionalisme. ****

Syam Terrajana lahir di Gorontalo, 03 Juni 1982. Ia menyelesaikan studi perbandingan agama di Universitas Muhammadiyah Surakarta (2005). Ia pernah bekerja sebagai jurnalis di Kantor Berita Antara dan koresponden The Jakarta Post untuk wilayah Gorontalo. Kini ia menjadi editor di tabloid Jubi, media daring dan cetak yang berbasis di Jayapura, Papua. Ia juga salah satu pendiri jurnal kebudayaan Tanggomo dan DeGorontalo.

Ia mulai belajar menggambar secara otodidak pada 2013. Ia kerap berpartisipasi di banyak pameran kolektif, beberapa di antaranya Art Jakarta (2019 & 2020), Kembulan#3: Nguwongke (Yogyakarta, 2019) dan lain-lain. Finalis UOB Painting of the Year 2019 ini juga telah mengadakan pameran tunggal: Pada Ruang yang Bercerita di Ruang Dalam Art House (Yogyakarta, 2021).

esai-template-

Melihat Koleksi Negara: Upaya Membangun Historiografi Seni Rupa Nasional

Syam Terrajana

Tulisan ini adalah tanggapan terhadap sesi kelima dalam program Zoom In Seni Rupa Modern dan Nasionalisme (di) Indonesia (2021).

 

Tentang Koleksi Negara dan Historiografi Seni Rupa Modern Indonesia: Sebuah Pengantar oleh Pembicara Pertama Bayu Genia Krishbie (Kurator Galeri Nasional Indonesia)

Koleksi negara adalah kumpulan produk kebudayaan yang dimiliki dan dikelola oleh lembaga negara. Ia diperoleh lewat berbagai macam akuisisi; pembelian, pertukaran koleksi, pesanan (commission) atau temuan. Karya seni rupa akuisisi harus diregistrasi dan diinventarisasi sebagai aset.

Koleksi negara tersebar di banyak instansi dan lembaga pemerintahan. Ada yang dikelola pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Ada juga yang dikelola lembaga pemerintah nonstruktural seperti Dewan Kesenian, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Bank Indonesia (BI) dan lain-lain. Untuk koleksi milik BUMN, saat ini masih diperdebatkan. Apakah koleksi tersebut dapat dikatakan masuk dalam koleksi negara atau bukan. Tapi saya kira beberapa BUMN memiliki koleksi yang sangat bagus, seperti yang bisa kita lihat di koleksi Bank Mandiri, Bank Nasional Indonesia (BNI) dan PT. Pelindo.

 

Koleksi Istana Kepresidenan

Sebagian besar karya koleksi negara tersebar di Istana Merdeka (Jakarta), Istana Cipanas (Cianjur, Jawa Barat), Istana Bogor (Bogor, Jawa Barat), Gedung Agung (Yogyakarta) dan Istana Tampaksiring (Bali). Bermula sekitar 1942, total koleksi Presiden Sukarno mencapai 3.000 karya seni, mencakup lukisan, patung, porselen dan kriya. Status beberapa koleksi belum jelas, apakah masih milik Sukarno pribadi atau sudah menjadi koleksi negara.

Sukarno sendiri pernah menganjurkan agar para seniman dapat melukis adegan-adegan revolusi. Hal ini nampak pada karya Affandi Laskar Rakyat Mengatur Siasat (1946) atau karya terkenal S. Sudjojono Sekko (Perintis Gerilya) (1949) yang menggambarkan suasana perjuangan saat agresi militer Belanda ke II di Yogyakarta. Sekko dalam Bahasa Jepang berarti prajurit lini depan yang membuka jalan bagi seluruh pasukan.

Tema perjuangan masih diminati oleh para seniman bahkan ketika revolusi telah usai. Rustamadji me-reka ulang adegan perjuangan lewat Tak Seorang Berniat Pulang Walau Maut Menanti (1963). Fenomena ini jadi kecenderungan pada era 1960-an.

Sukarno adalah patron seni rupa Indonesia yang paling penting. Ia adalah inisiator pengoleksi karya-karya seni rupa. Kurator Mikke Susanto dalam “Bung Karno Sang Tutor Patronis” menyebut bahwa Sukarno tidak terlalu dekat dengan pelukis lingkar seni Hindia Belanda (Bataviasche Kunstkring) pada era kolonial Belanda. Sukarno mulai mengoleksi karya-karya seni rupa pada zaman pendudukan Jepang, tepatnya ketika Pusat Tenaga Rakyat (Putera) berdiri. Ia mulai dekat dengan seniman, salah satunya S. Sudjojono.

Karya-karya seni rupa koleksi Sukarno punya beragam subyek. Dari koleksi karya-karya romantisme Mooi Indië: Walter Spies dan Rudolf Bonnet. Tak ketinggalan karya seniman Bumiputera: Abdullah Suriosubroto dan Wakidi.

Kegemaran Sukarno terhadap karya dengan subject matter perempuan dapat dijumpai pada lukisan Dalam Sinar Bulan (1950-1964) karya Basoeki Abdullah, Njonja Badju Kuning (1953) karya Subanto Suriosubandrio dan Gadis Melayu dengan Bunga (1955) karya seniman Meksiko Diego Rivera.

 

Setelah Sukarno Lengser

Historiografi seni rupa Indonesia mengalami titik balik setelah Sukarno lengser. Pada tahun 1970, Ratu Belanda Juliana mengembalikan lukisan Antara Hidup dan Mati (1870) karya Raden Saleh Syarif Bustaman (1807-1880). Presiden Soeharto menyatakan, sejarah seni rupa Indonesia harus ditulis ulang. Karya ini dipamerkan pada Pameran Besar 100 Tahun Seni Rupa Indonesia di Balai Seni Rupa Jakarta, 1976.

Baharuddin Marasutan lantas menulis buku Raden Saleh 1807-1880: Perintis Seni Lukis di Indonesia (Dewan Kesenian Jakarta, 1973). Nama Raden Saleh juga tercatat pada buku Sejarah Seni Rupa Indonesia (Jakarta: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1979) susunan Kusnadi dan kawan-kawan. Saya kira buku ini adalah teks resmi dari negara dan sampai saat ini belum pernah direvisi.

Saat itu ada tiga lukisan karya Raden Saleh yang dikembalikan oleh Belanda ke Indonesia. Menteri Luar Negeri Adam Malik meminta karya Raden Saleh yang lebih penting: Penangkapan Pangeran Diponegoro (1857). Karya ini diberikan Raden Saleh kepada Raja Belanda Willem III. Pada tahun 1975 lukisan itu akhirnya dikembalikan sebagai bentuk realisasi perjanjian kebudayaan Indonesia dan Belanda (1969). Setelah itu, historiografi seni rupa Indonesia lebih jelas karena sebelumnya sejarah seni rupa Indonesia berpusat pada S. Sudjojono.

 

Koleksi Galeri Nasional Indonesia

Total koleksi Galeri Nasional Indonesia (GNI) mencapai 1.898 karya:  lukisan, patung, seni grafis, keramik, instalasi, kriya dan seni media baru. Koleksi itu bersumber dari tiga satuan kerja: Direktorat Kesenian, Sekretariat Direktorat Jenderal Kebudayaan dan Museum Nasional. Pada 1998 koleksi ketiga lembaga itu dilebur di bawah pengelolaan Galeri Nasional Indonesia.

Koleksi karya-karya seni rupa milik negara bermula sejak tahun 1948. Sukarno kala itu ingin membangun Museum Kesenian Nasional. Pada 13 Juli 1946 Sukarno mengeluarkan surat perintah kepada Kolonel Agoes Djajasoeminta (1913-1994) untuk mengumpulkan, membeli dan menyelidiki benda-benda seni untuk kepentingan persiapan Museum Kesenian Nasional. Agoes Djaja juga adalah seorang pelukis yang pernah berkarir di bidang militer. Ia adalah salah satu orang terdekat Sukarno.

Pada 07 Juni 1948 Antara mewartakan Kementerian Pendidikan membeli 27 lukisan seniman-seniman terkemuka untuk mengisi Museum Nasional yang akan segera didirikan di Solo, Jawa Tengah. Di antaranya terdapat karya S. Sudjojono, Affandi, Basuki Resobowo, M. Hadi, Suromo, Sularko dan Siaw Tek Wi. Sularko juga mengulas peristiwa tersebut lewat artikel “Koleksi Nasional” di majalah Mimbar Indonesia No 37, 10 September 1949.

Galeri Nasional Indonesia pernah mengakuisisi Kapal Karam Dilanda Badai (1840) karya Raden Saleh yang dibeli dari kolektor swasta di Den Haag, Belanda. Karya Raden Saleh lainnya, Potret Adolphe Jean Phillipe Hubert Desire Bosch (1867) dibeli di Balai Lelang Christie Singapura. Sebelumnya karya ini pernah hilang.

Galeri Nasional Indonesia memiliki koleksi karya dengan beragam aliran dan era. Kita juga bisa menengok karya-karya perupa Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) Indonesia pada tahun 1975-1979, seperti karya Bonyong Munni Ardhi dan Jim Supangkat. Ada pula koleksi karya “Surealisme Yogyakarta” antara lain milik seniman Ivan Sagita dan Lucia Hartini. Ada juga koleksi karya hibah dari perupa Perancis, 1959.

Pada tahun 1995 pemerintah Indonesia kembali menerima hibah dari perupa peserta Pameran Seni Rupa Kontemporer negara-negara nonblok. Galeri Nasional Indonesia juga mengoleksi karya-karya perupa kontemporer, antara lain karya Heri Dono, Mella Jaarsma, Anusapati dan Tisna Sanjaya.

 

Koleksi Lainnya

Koleksi karya-karya seni rupa milik negara juga tersebar di banyak museum dan instansi. Museum Nasional Jakarta, misalnya, memiliki koleksi karya Mas Pirngadi berupa lukisan 78 panel berjudul Suku Bangsa di Nusantara (1930). 123 karya di Museum Basoeki Abdullah pun telah dihibahkan kepada negara.

Koleksi Kementerian Luar Negeri tersebar di berbagai lokasi: Gedung Pancasila, Kantor Pusat Kementerian Luar Negeri dan sejumlah kantor perwakilan Republik Indonesia.

Di museum dan kompleks Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) terdapat beberapa karya patung: Ikatan dan Gotong Royong karya But Muchtar dan mural Kesaksian karya Ahmad Sadali. Di Museum DPR RI terpajang pula lukisan Volksraad (1978) berukuran 2×3 meter karya S. Sudjojono.

Di Museum Seni Rupa dan Keramik Jakarta: ada lukisan Bupati Cianjur (1852) karya Raden Saleh beserta sejumlah karya Hendra Gunawan dan S. Sudjojono. Selain itu terdapat juga karya Subanto Suriosubandrio, Sudarso, Dullah, Henk Ngantung, Itji Tarmizi, Amri Yahya, Ahmad Sadali, Emilia Sunassa hingga Dede Eri Supria.

Di Museum Sejarah Jakarta: lukisan potret sejumlah Gubernur Jenderal Hindia Belanda karya Raden Saleh. Terdapat pula lukisan triptych gigantik 3×10 meter berjudul Penyerangan Pasukan Mataram ke Batavia Tahun 1628-1629 karya S. Sudjojono dan mural karya Harijadi Sumadidjaja.

Di Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) terdapat 393 koleksi karya seni yang diperoleh dari pembelian, hibah, sumbangan dari seniman, barter dan pesanan. Di sana dapat kita jumpai karya-karya Hendra Gunawan, S. Sudjojono, Baharuddin M.S., Mulyadi,  Batara Lubis, Popo Iskandar dan karya eksponen GSRB Indonesia.

Koleksi seni rupa di Bank Indonesia tersebar di kantor-kantor pusat dan sejumlah perwakilan di kota-kota besar Indonesia. Mencakup sejumlah karya terbaik Raden Saleh, Wakidi, Affandi, Sudjono Abdullah, Hendra Gunawan, Otto Djaja, Rustamadji, Zaini, Nasjah Djamin, Popo Iskandar, Srihadi Soedarsono, Rita Widagdo, Lucia Hartini, Hening Purnamawati dan lain-lain.  Museum Negeri Lambung Mangkurat, Banjarbaru, Kalimantan Selatan juga mengoleksi 64 lukisan Gusti Sholihin.

 

Koleksi Negara, Tata Kelola dan Historiografi Seni Rupa Indonesia oleh Pembicara Kedua Suwarno Wisetrotomo (Kurator Galeri Nasional Indonesia, pengajar di Fakultas Seni Rupa dan Pascasarjana ISI Yogyakarta)

Galeri Nasional Indonesia mengembangkan koleksi negara dengan membawa visi sejarah seni rupa modern dan (kemudian) kontemporer. Ketika institusi pemerintah (termasuk BUMN) membeli karya-karya seni dengan uang rakyat, sejak itulah karya-karya tersebut menjadi koleksi negara.

Mari beri apresiasi tinggi kepada Sukarno. Mimpinya tentang Indonesia “bagai taman bunga” diwujudkan melalui selera personal seninya. Virus keindahan romantik Sukarno kemudian menyebar ke masyarakat. Kita ingat bagaimana lukisan-lukisan Basoeki Abdullah menjadi ikonik dan direproduksi banyak orang. Hal itu tak lepas dari model komunikasi Sukarno dengan para seniman. Ia tak sekadar menempatkan seniman dan karya-karya mereka sebagai aksesoris, melainkan juga aspek penting dalam sarana pergaulan antar bangsa.

Koleksi negara tidak hanya terdapat di berbagai lembaga negara, kementerian, perbankan dan kedutaan besar, tapi juga tersebar di banyak tempat di ruang publik. Misalkan Monumen Selamat Datang (1962) yang rancangan awalnya dibuat oleh Henk Ngantung, kemudian dikerjakan oleh pematung Edhi Sunarso; patung Tugu Muda di Semarang dan patung Jenderal Soedirman di halaman gedung DPRD DIY karya Hendra Gunawan yang dikerjakan pada era Pelukis Rakyat tahun 1950. Patung tersebut terdiri dari batu andesit utuh. Patut disayangkan bahwa patung ini malah dicat: niat baik untuk merawat patung yang sesungguhnya keliru. Persoalan ini perlu dipercakapkan agar terjadi interaksi dan kolaborasi antar institusi untuk menghindari insiden serupa.

Koleksi negara di ruang publik termutakhir adalah relief di lantai dasar gedung Sarinah Jakarta yang baru saja ditemukan. Sejauh ini belum diketahui siapa perancang dan pembuatnya.

Institusi dan tata kelola seni rupa di Indonesia tumbuh amat lambat. Sampai hari ini tidak ada model rujukan ideal. Tapi upaya terus dilakukan, salah satunya dengan berdirinya Galeri Nasional Indonesia pada 1998, ditandai dengan pameran koleksi Melacak Garis waktu dan Peristiwa. Untuk pertama kalinya karya-karya seni rupa koleksi Direktorat Jenderal Kebudayaan dipamerkan. Pameran ini digelar di Gedung Seni Rupa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kini jadi gedung Galeri Nasional Indonesia.

Bagaimana hubungan negara dan seni rupa di tanah air? Kita bisa melihatnya dari berbagai hal. Pertama, aspek  strategi dan kebijakan negara dalam menghimpun berbagai koleksi seni rupa. Dari infrastruktur, fasilitas dan anggaran termasuk untuk kepentingan konservasi kita sebenarnya masih serba terbatas. Sampai hari ini kita belum memiliki konservator definitif. Sejauh ini konservasi karya-karya seni rupa masih menggunakan ahli-ahli impor. Selain itu kedudukan Galeri Nasional Indonesia,  dalam bahasa pemerintah masih berstatus sebagai “Unit Pelaksana Teknis”. Hal ini berdampak pada penganggaran. GNI menyandang nama “nasional” tapi kewenangan dan anggarannya terbatas. Ironis.

Kedua, keterpautan antar koleksi dan antar institusi. Seharusnya terjadi hubungan mesra antar institusi yang menyimpan koleksi negara. Koordinasi dan kolaborasi butuh dilakukan secara terbuka semata-mata untuk kepentingan publik. Misalnya dengan mengadakan pameran koleksi nasional, sebagai awal membangun pertautan dan penyusunan narasi “seni, kebangsaan dan nasionalisme”. Perlu ada tata kelola bersama untuk menunjukkan bahwa Indonesia punya jejak peradaban, sejarah panjang seni rupa.

Ketiga, Galeri Nasional Indonesia dengan segala keterbatasannya telah menjalankan tugasnya dengan baik, misalnya upaya-upaya mengakuisisi karya. Tugas berikutnya adalah memproduksi pengetahuan dan membangun narasi tentang koleksi negara.

Mulanya proses akuisisi koleksi negara tidak bertumpu pada konsep bentang historis yang matang, melainkan berpijak pada selera pejabat dan hubungan baik mereka dengan para seniman. Akuisisi dengan kajian historis baru dilakukan Galeri Nasional Indonesia pada 2013. Tujuannya untuk menimbang celah kosong dari fase peristiwa seni rupa. Pasalnya, sejak berdiri pada 1998, Galeri Nasional Indonesia belum punya satu pun karya perupa eksponen Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) Indonesia. Padahal karya-karya itu penting karena mewakili satu fase sejarah yang relatif pendek (1975-1979). GSRB Indonesia menekankan keragaman gagasan, visual, meleburkan “seni rupa atas” dengan “seni rupa bawah” dan desain sebagai upaya turut serta dalam percaturan global. Peran GSRB Indonesia wajib disebut sampai hari ini.

 

Keindonesiaan dalam Seni Rupa

Para pematung, pelukis dan pegrafis angkatan 1930-1940-an mengalami keindonesiaan. Yakni kesadaran berbangsa, bernegara, berdaulat, bersolidaritas yang melibatkan diri secara langsung dalam revolusi fisik, menyuarakan dan mempertahankan kemerdekaan melalui kesenian. Dalam sejarah nasional, hampir tidak kita temukan peran-peran itu sehingga persoalan ini menjadi ruang kosong yang begitu serius.

Seniman memaknai nasionalisme dengan berbagai sudut pandang, pengalaman, cara dan bentuk-bentuk pilihan masing-masing. Nasionalisme dalam pandangan seniman tidaklah tunggal, tergantung ide dan realitas faktual. S. Sudjojono, juru bicara Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi), memproklamirkan “Jiwa Ketok” dan menekankan identitas kebangsaan. Ia juga membuat tulisan panjang pada 1946 mengenai bagaimana mencari corak seni lukis Indonesia Baru. Dua puluh tahun kemudian, Oesman Effendi melontarkan pernyataan provokatif  bahwa “tidak ada seni rupa Indonesia”. Saya menduga, pernyataan itu terlontar karena Oesman Effendi membayangkan ada identitas tunggal tentang keindonesiaan dalam seni rupa.

Pada akhirnya, tidak ada karya-karya koleksi negara yang lengkap di institusi mana pun. Tapi karya-karya tersebut sesungguhnya dapat saling melengkapi apabila kita mempertautkannya. Historiografi bisa dibangun dengan mengamati dari dekat proses kreatif, latar sosial, politik dan ekonomi seniman, termasuk kecenderungan ungkapannya.

Nasionalisme dan historiografi seni rupa Indonesia tidak tunggal. Hal ini  adalah tantangan menarik dalam kerangka membangun historiografi seni rupa nasional. Kita perlu memahami Indonesia melalui karya seni rupa.

 

Diskusi

Nirwan Dewanto (moderator): Apakah ada cetak biru (kebijakan negara) dalam menentukan koleksi negara? Ataukah itu diserahkan sepenuhnya pada kurator Galeri Nasional Indonesia? Juga, apakah ada koleksi seni rupa di luar negara yang ambisinya membangun historiografi seni rupa Indonesia? Bagaimana kemampuan (anggaran) GNI untuk mengakuisisi karya?

Bayu Genia Krishbie & Suwarno Wisetrotomo: Negara belum punya cetak biru. Ini juga dipengaruhi cita rasa dan preferensi pimpinan. Apa yang dilakukan Sukarno bisa dibilang cetak biru. Pasca Sukarno hal itu terputus. Dirjen Kebudayaan yang paham seni rupa, baru ada pada 2015- sekarang (Hilmar Farid). Ia punya visi besar tentang koleksi nasional. Museum Nasional dibayangkan jadi Badan Layanan Umum (BLU), naik jadi eselon satu. Sementara GNI menjadi eselon dua. GNI seharusnya punya ruang pamer dan penyimpanan karya standar. Dirjen paham persoalan ini tapi tidak mudah mengeksekusinya karena juga terkait kepada institusi lain.

Tidak ada lembaga swasta yang berambisi membangun historiografi seni rupa Indonesia. Tapi kita bisa menyebut koleksi di museum swasta Indonesia (OHD Museum, Deddy Kusuma, Sunaryo, House of Sampoerna). Meskipun bertolak dari selera pribadi, koleksi mereka saling beririsan dengan koleksi negara. Koleksi swasta ini cukup menarik apabila dibikin historiografinya.

Anggaran untuk akuisisi cukup tipis. Misalnya, saat kita hendak memburu karya eksponen GSRB Indonesia dan karya itu ternyata berada di Museum Singapura. Secara ekonomi mereka lebih mampu, tapi ada juga eksponen GSRB Indonesia yang menghibahkan karyanya. Ada seniman maestro yang memberikan potongan harga. Kita terharu juga. Kami punya anggaran hingga Rp1 Miliar dan punya target untuk mengakuisisi 10 karya, misalnya.

Sabila Juwita Dwiyono: Bagaimana mengaitkan sejarah nasional dengan sejarah seni rupa kita?

Suwarno Wisetrotomo: Karya-karya Soetopo (Sanggar Pelukis Rakyat) pada era 1930-40an adalah artefak menarik tentang transaksi barter di pasar tradisional ketika uang mulai hadir. Kita bisa melihat latar ekonomi, sosial, kecenderungan gaya. Karya Agus Djaya Dunia Anjing (1965) mewakili karya berlatar peristiwa 1965. Melihat angka tahun pembuatannya, kita punya pintu masuk untuk membaca dan menafsir apa yang dibayangkan.

Karya-karya pada tahun 1960, terutama  pasca 1965 punya visual yang sangat kontras. Bentuk abstrak dan dekoratif muncul pada tahun 1970-80an. Lukisan realis pun seakan tenggelam. Tidak muncul tema sosial yang reflektif, kecuali setelah kita melihat karya Semsar Siahaan atau Kolektif Taring Padi.

Materi sejarah yang cepat saji belum ada, kecuali inisiatif kecil misalnya Indonesian Visual Art Archive (IVAA) yang menyajikan arsip dan dokumen seni rupa Indonesia. Kita juga patut gembira, sekarang publikasi tulisan-tulisan Sanento Yuliman bisa dibaca kembali.

Chabib Duta Hapsoro: Apakah GNI pernah berkompetisi dengan galeri negara tetangga dalam membangun koleksi nasional? 

Suwarno Wisetrotomo:  Sesungguhnya ada persaingan tapi kita juga mengukur kepentingan. Saat GNI dipimpin Tubagus Andre, ada program pameran di negara-negara Asia Tenggara. Itulah cara kita mengambil peran karena ada sesuatu yang bisa kita tawarkan. Itulah bagian dari kontestasi. Kita tahu diri untuk tidak bersaing dengan Singapura. Maka kita berpameran di Filipina dan Bangladesh. Di sana kita bisa katakan bahwa kita punya kemiripan sejarah. Kita pun punya kelebihan karena pameran kita lebih tertata.

Kita punya South East Asia Plus (SEA+) yang pertama kali diselenggarakan pada 2013. Itu forum sangat baik tapi  patah di jalan, lagi-lagi karena menyangkut anggaran. Kalau sudah politik anggaran, kita tidak bisa bicara banyak.

Sabila Duhita Drijono: Masih banyak yang perlu kita benahi. Konten dan penyusunan sejarah perlu banyak dibenahi. Animo masyarakat sudah mulai ada. Ada potensi yang bisa dikembangkan agar lebih mudah dicerna. Kita bisa mulai eksplorasi konten agar lebih personalized untuk audiens yang berbeda-beda. GNI bisa merangkul swasta yang sudah terbiasa melakukannya. Tapi konten harus disiapkan terlebih dahulu.***

 

Syam Terrajana lahir di Gorontalo, 03 Juni 1982. Ia menyelesaikan studi perbandingan agama di Universitas Muhammadiyah Surakarta (2005). Ia pernah bekerja sebagai jurnalis di Kantor Berita Antara dan koresponden    The Jakarta Post untuk wilayah Gorontalo. Kini ia menjadi editor di tabloid Jubi, media daring dan cetak yang berbasis di Jayapura, Papua. Ia juga salah satu pendiri jurnal kebudayaan Tanggomo dan DeGorontalo.

Ia mulai belajar menggambar secara otodidak pada 2013. Ia kerap berpartisipasi di banyak pameran kolektif, beberapa di antaranya Art Jakarta (2019 & 2020), Kembulan#3: Nguwongke (Yogyakarta, 2019) dan lain-lain. Finalis UOB Painting of the Year 2019 ini juga telah mengadakan pameran tunggal: Pada Ruang yang Bercerita di Ruang Dalam Art House (Yogyakarta, 2021).

esai-template-

Melihat Kembali Masa 1950-1970-an: Pasang Naik Perebutan Keindonesiaan

Gesyada Siregar

Tulisan ini adalah tanggapan terhadap sesi empat program Zoom In Seni Rupa Modern dan Nasionalisme (di) Indonesia (2021).

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan seni rupa Indonesia? Bagaimana kita bisa melacak identitas keindonesiaan dalam perkembangan seni rupa di negara ini? Dalam usaha memetakan gagasan-gagasan terdahulu untuk menjawab perihal ini, Komunitas Salihara menyelenggarakan rangkaian webinar Zoom In Rupa Bangsa: Seni Rupa Modern dan Nasionalisme (di) Indonesia, yang merupakan kelanjutan dari Seni Rupa Indonesia dan Internasionalisme Baru pada Oktober-November 2020.  

Pada sesi diskusi keempat (10 Februari 2021), mengangkat tema “Melihat Kembali Masa 1950-1970-an: Pasang Naik Perebutan Keindonesiaan”, para pembicara mencoba melihat kembali berbagai gelora keindonesiaan dalam seni rupa ketika masyarakat Indonesia mengalami transisi dari era pranata kolonial, kemerdekaan, hingga menuju puncak Orde Baru, yang mengandung berbagai dinamika ideologi, tantangan zaman, kekaryaan dan generasi seniman.

Pada webinar yang berlangsung selama dua jam ini, Nirwan Dewanto bertindak sebagai penengah diskusi antara dua narasumber yakni Agus Burhan dan Jean Couteau, serta pemirsa yang mengikuti sesi tanya-jawab secara daring. Agus Burhan yang merupakan seorang akademisi, kurator, Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta periode 2019-2023, dan penulis buku Perkembangan Seni Lukis: Mooi Indië sampai Persagi di Batavia, 1900-1942 (Galeri Nasional Indonesia, 2008) membagikan rangkuman pernak-pernik sejarah mental keindonesiaan dalam seni rupa dalam rentang waktu dua puluh tahun pasca kemerdekaan. Jean Couteau, seorang akademisi dan sejarawan yang telah menerbitkan berbagai buku mengenai seni dan budaya Bali, di antaranya Bali Inspires: The Rudana Art Collection (Tuttle Publishing, 2011), menyajikan amatannya akan perkembangan seni rupa di Bali pada cakupan tahun yang sama. 

Pembicara Pertama

Agus Burhan mengawali pemaparan pertama dengan pokok Seni Lukis Modern dan Dialektika Keindonesiaan (1950-1970). Ia menyajikan pemikiran-pemikiran yang melatarbelakangi dialektika keindonesiaan serta contoh-contoh karya yang menggambarkannya. Babak-babak yang digarisbawahi oleh Agus Burhan adalah nasionalisme kerakyatan pada tahun 1950-an, kerakyatan revolusioner pada 1960-an, hingga seni rupa lirisisme (humanisme universal) pada 1970-an.

Pada babak 1950-an pasca kemerdekaan, visi estetik yang beredar dalam medan seni kita memiliki muatan nasionalisme: bercorak antikolonialisme, mencari keindonesiaan, dan menampilkan realitas yang kontekstual dengan kerakyatan. Nasionalisme kerakyatan yang bertumbuh sejak digagas oleh anggota-anggota Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) pada 1938 menjadi kian matang pada masa Jepang, dengan berkembangnya lokus-lokus pendidikan kesenian seperti Keimin Bunka Shidōsho dan Poesat Tenaga Rakyat (Poetera). Dalam perkembangannya, jiwa kerakyatan dengan pandangan sosialis itu membentuk paham kerakyatan revolusioner yang didukung Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).

Nasionalisme kerakyatan menjadi visi estetik masuk akal jika melihat gambaran situasi pada masa itu yang disampaikan oleh Agus Burhan. Penggagas awalnya, Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi), hidup dengan bekerja serabutan, ini hal wajar pada kondisi krisis akut sosial ekonomi dan infrastrukturnya. Ide seniman bohemian yang dekat dengan masyarakat bawah lantas terlukis dan menjadi citraan yang melegenda hingga hari ini di kalangan umum.  

Akan tetapi, tahun 1950-an, seni lukis yang merakyat ini naik ke permukaan kalangan atas karena Presiden Soekarno menjadi patron aktif bagi kalangan seniman. Hal ini juga kemudian menggerakkan Dinas Penerangan RI, kolektor Mayjen Bambang Sugeng, Raka Sumichan, Wen Peor, beberapa perusahaan, dan ekspatriat untuk mengoleksi karya-karya seni tersebut. Peran Soekarno sebagai pencipta tren seni lukis pada masa itu juga nantinya berdampak dalam seni lukis Bali, sebagaimana yang dipaparkan oleh Jean Couteau di sesi berikutnya. 

Visi estetik nasionalisme kerakyatan juga kian merebak pada generasi pelukis angkatan baru berkat munculnya berbagai sanggar yang dipimpin penggagas-penggagas visi tersebut. Sanggar-sanggar itu di antaranya adalah Seniman Indonesia Muda atau S.I.M (Madiun 1946, Solo 1947, Yogyakarta 1948), Pelukis Rakyat (1947) dan Sanggar Bumi Tarung (1959/1960) di Yogyakarta, serta sanggar lainnya di Bandung, Medan, Surakarta dan Surabaya.

Beberapa contoh karya yang disajikan untuk menggambarkan dialektika ini di antaranya: “Kawan-Kawan Revolusi” (1947) karya S. Sudjojono, “Laskar Rakyat Mengatur Siasat” (1946) karya Affandi, “Persiapan Gerilya” karya Dullah, “Pengantin Revolusi” (1955) karya Hendra Gunawan.  Di samping itu ada pula karya-karya yang mengusung tema kerakyatan humanis seperti “Pertemuan” (1947) karya Otto Djaya, “Kethoprak” (1956) karya Soerono, “Doger” (1956) karya Djoni Sutrisno dan “Awan Berarak, Jalan Bersimpang” (1957) karya Harijadi.

Memasuki babak kedua, kerakyatan revolusioner pada 1960-an, visi estetik kerakyatan pada seni lukis menjadi sangat dominan. Agus Burhan menandai bahwa kondisi itu dipertegas ketika kesenian menjadi alat persaingan lembaga-lembaga politik praktis. Visi realisme sosialis merupakan ide kesenian yang dipropagandakan Lekra, yang sejalan dengan Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis) dan Manipol (Manifesto Politik) di masa “Demokrasi Terpimpin”.

Salah satu figur yang dikenal vokal pada babak ini adalah S. Sudjojono, yang sewaktu di S.I.M mencanangkan perubahan gaya lewat pernyataan “kembali ke realisme.” Setelah sebelumnya dikenal dengan gaya ekspresionistik dengan garis-garis yang kasar, lukisan S. Sudjojono periode realisme dimulai dengan: “Potret Seorang Tetangga” (1950), “Mengungsi” (1957) dan “Seko (Perintis Gerilya)” (1957). Perubahan karya S. Sudjojono menuju―yang ia beri istilah sebagai―“realisme nasi” lebih dimaksudkan untuk fungsi komunikatif dan mudah dicerna masyarakat.

Perubahan tersebut membuka jalan pada wacana menuju realisme sosialis (kerakyatan revolusioner). Agus Burhan mencatat bahwa ciri visualnya memperlihatkan ekspresi rakyat yang mengeras, potensi perlawanan dan konflik sosial. Seperti karya Amrus Natalsya: “Pekerja yang Membangun Kota” (1960/1961), karya Itji Tarmizi: “Lelang Ikan” (1964), karya Misbach Tamrin: “Gejolak” (1960/1961), karya Batara Lubis: “Mengganyang Macan Kertas” (1960/1961), karya Djoko Pekik: “Tuan Tanah Kawin Muda” (1964), karya Kusmulyo: “Bojolali” (1965), dan karya-karya ilustrasi Delsy Syamsumar di majalah Bintang Timur pada tahun 1961. Selain lukisan, poster dan patung pun juga berperan dalam menyebarluaskan ideologi tersebut. 

Babak terakhir yang dipaparkan Agus Burhan adalah seni rupa lirisisme (humanisme universal) pada 1970-an, yang cikal bakalnya ditandai dengan dibentuknya pernyataan Manifes Kebudayaan. Pernyataan ini dulunya dicemooh secara tajam dari pihak Lekra dengan memberikan akronim Manikebu yang berarti sperma kerbau, sehingga penggunaan singkatan ini bersifat pejoratif. Reaksi dan perlawanan kelompok Manifes Kebudayaan memakai landasan paradigma humanisme universal, yang menekankan kesadaran kebebasan manusia dan kreativitas penciptaan kesenian. Dalam perkembangannya, visi estetik kesenian di masa awal Orde Baru ini menjadi tesis baru yang menggeser kecenderungan langgam kerakyatan revolusioner.

Pandangan estetik ini melahirkan ungkapan yang menitikberatkan perasaan dan emosi (lirisisme), yang mengandung sifat-sifat abstrak, intuitif, imajinatif, dekoratif, nonformal, improvisatoris, serta adanya sintesis idiom bentuk tradisi. Dalam sesi tanya jawab, pembicara menambahkan bahwa kecenderungan ini telah mulai digagas oleh Oesman Effendi (OE), Zaini, Nashar dan Rusli sejak masanya di S.I.M. Namun, gerakan ini kian pesat pasca 1965 dengan berkembangnya komponen pendukung kesenian di medan seni Indonesia, yakni program-program pemerintah dengan mendirikan akademi dan pusat-pusat kesenian (Taman Budaya), serta adanya konsensus kultural di mana pelukis harus mempertahankan identitas lokal-nasional.

Beberapa contoh di antaranya: Amang Rahman―pelukis Surabaya, dengan ungkapan yang surealistis, Ahmad Sadali dan OE menggarap bentuk abstrak dengan muatan mistis-religius, Abas Alibasyah, Fadjar Sidik, Widayat, Amri Yahya, Suparto, Rusli, Zaini, Nashar, A.D. Pirous, dan Srihadi Soedarsono membuat bentuk-bentuk abstraksi dari transformasi elemen alam dan tradisi. Langgam ini juga diteruskan oleh generasi seniman baru pada masa itu, yakni: Umi Dahlan, Sunaryo, Haryadi Suadi, Aming Prayitno, Nyoman Tusan, Nyoman Gunarsa,  Suwaji, Subroto S.M., Irsam, Mulyadi W., dan Made Wianta.

Menjawab pertanyaan moderator Nirwan Dewanto pada akhir sesi, Agus Burhan pun menambahkan bahwa karya-karya yang ia sebutkan dalam presentasi tersebut sebagian besar merupakan koleksi yang ada di Istana Negara dan Galeri Nasional Indonesia, sehingga hadirin yang ingin menelusuri lebih jauh dapat mengakses karya-karya ini di ruang publik tersebut.

Pembicara Kedua

Jean Couteau memaparkan materi bertajuk Nasionalisme di dalam Seni Rupa di Bali. Ia mengurai isu nasionalisme dan kebhinnekaan dalam ragam seni rupa Bali, di mana akar tradisi, spiritualitas dan situasi politik saling bersinggungan dalam membentuk kemodernan seni di Bali. Pembicara membagi babak periode ini dengan melacak perubahan dari estetika tradisional, pemodernan bentuk rupa, pemfokusan keeksotisan, simbolisme religius, dan ragam modern “tradisi”.

Di Bali, evolusi ke realisme dan modernisme lebih baru dan bersifat ganda; merujuk kesenian yang ada di desa dan di kota. Perkembangan seni rupa modern yang tercatat di desa dimulai pada tahun 1910-an, ditandai dengan pembukaan sekolah dasar pertama. Hal ini dicermati lewat perubahan dunia visual pada karya-karya senimannya; yang sebelumnya cenderung bersifat peniruan dari memori visual. Masyarakat Bali umumnya memiliki perhatian dan ketertarikan yang tinggi terhadap visual sehari-hari, seperti membuat sesajen, melihat tari, pertunjukan hingga melakukan ritual. Kebiasaan ini terlihat pada karya Kamasan yang ada di masa prakolonial, di mana sistem rupa terdiri dari peniruan pola pewayangan. 

Di daerah perkotaan pasca 1945-an, Jean Couteau mengamati bahwa evolusi ini dipercepat di bawah pengaruh pelukis Eropa seperti Walter Spies dan Rudolf Bonnet yang membawa paham-paham modernisme. Namun, evolusi pada gaya gambar di kota ini mempertahankan estetika tradisional (ruang penuh, penggunaan motif, simbolisme). Jika melihat di Jawa, peralihan dari seni simbolis Jawa menuju seni yang mengamati kenyataan terjadi sedini pertengahan abad ke-19; ditandai dengan karya-karya Raden Saleh dan perkembangan seni lukis Mooi Indië.

Untuk melihat cikal-bakal seni Bali yang “nasionalis”, Jean Couteau menampilkan lukisan Ida Bagus Grebuak dan I Nyoman Ngendon. Pada karya Ida yang menampilkan suasana pertandingan bola, tampak bahwa tubuh digambarkan dengan lebih natural, adegan lebih kekinian, tetap dengan aspek pemenuhan ruang, pengulangan figur, dan interaksi yang bercerita. Lukisan Ida ini menunjukkan ambiguitas antara seni rupa yang modern dengan yang tradisional. Sedangkan karya I Nyoman Ngendon, seniman yang juga merupakan pejuang revolusi, menunjukkan fase lanjutan yang mempelopori representasi yang semakin modern. Karya yang ditampilkan menggambarkan seorang pria yang duduk sembari merokok dan menatap selembar potret. Ada upaya realis dengan menunjukkan pakaian non-tradisional serta hanya menghadirkan satu figur, alih-alih serangkaian kelop (sesuai) figur yang memenuhi bidang gambar. Karya keduanya mengindikasikan potensi nasionalis pada perkembangan seni rupa di Bali, dengan menampilkan visual-visual keseharian, yang bisa jadi sejalan dengan kecenderungan kerakyatan humanis yang dipaparkan oleh Agus Burhan.

Perkembangan seni rupa modern Bali selanjutnya ditandai dengan berdirinya organisasi Pita Maha (1937). Titik ini diambil karena munculnya pemodernan bentuk rupa, seperti yang terlihat pada karya I Gusti Nyoman Lempad dan Anak Agung Gde Sobrat. Lewat pengajaran dari referensi yang dibawakan Spies dan Bonnet, para seniman Bali ini meramunya dengan gaya Bali di mana ada representasi anatomi tubuh yang proporsional dan ruang yang realistis, serta menampilkan adegan-adegan keseharian manusia.

Situasi politik Bali juga mempengaruhi kecenderungan pada masa itu. Pada zaman pendudukan Jepang, pameran-pameran yang ada konon sangat mengakomodir jati diri tradisional para seniman, karena di satu sisi, karya-karya yang bersifat “nasionalis” lebih direm. Namun Jean Couteau mengatakan belum ada bukti formal yang mendukung hal tersebut. Peran puri dan istana juga kuat dalam mengarahkan identitas karya, karena kebanyakan seniman berasal dari desa yang diwajibkan patuh pada perintah raja. Ada pula trauma kolektif dengan revolusi kemerdekaan di Batuan, Jatasura yang memakan banyak korban, di antaranya Ngendon sendiri. Menurut pembicara, faktor-faktor tekanan politik inilah kemudian yang mendasari bahwa gaya seni rupa Bali lebih banyak merepresentasikan tradisi, namun bukan berarti seniman-seniman ini tidak nasionalis.

Pertukaran budaya dari diaspora pelajar Bali di pulau Jawa beserta kedatangan seniman-seniman dari Jawa seperti Affandi, Srihadi Soedarsono, Rusli, Barli dan Dullah pun turut mempengaruhi perkembangan identitas keindonesiaan di dalam seni rupa Bali. Hal ini memantik perkembangan neo-impresionis dan neo-ekspresionis, salah satunya pada lukisan-lukisan Raka Swasta.

Pengaruh inipun kemudian turut mengembangkan tema keeksotisan yang dipersepsikan sebagai kecenderungan nasionalis pada seniman lukis di Bali, seperti figur perempuan bertelanjang dada di sawah dan pasar, yang kemudian pun didukung oleh patron aktif Presiden Soekarno. Penggambaran keeksotisan Bali menjadi titik negosiasi seniman Bali masa itu untuk mengangkat identitas keindonesiaan pada kekaryaannya.

Pasca Oktober 1965,  dengan situasi seperti yang terjadi di Jawa di mana wacana realisme sosialis ditekan, langgam modern Barat pun kian dirangkul secara formal ditandai dengan dibukanya Institut Seni Indonesia (ISI) Bali pada tahun 1967. Hal ini juga memantik kecenderungan abstraksi dari simbolisme religius Bali sebagai ungkapan identitas lokal yang kelak menjadi dominan, di antaranya adalah karya-karya A.A Rai Kalam dan Nyoman Tusan.

Perkembangan selanjutnya ditandai dengan terbentuknya Sanggar Dewata di Yogyakarta, 1967, yang merangkul diaspora seniman Bali. Sanggar ini mengadopsi corak-corak di Yogyakarta dan kemudian turut menyebarluaskan ragam seni lukis berdasarkan tafsir kebangsaan: Bhinneka Tunggal Ika. Ragam ini dengan sadar mengedepankan anasir ikonik Bali (tari dan wayang). Nyoman Gunarsa menjadi pelopor kecenderungan ini lewat sketsa-sketsa cepat dengan pendekatan semi-abstrak dan kaya warna pada lukisannya.

Ragam Bhinneka ini kemudian memunculkan pemfokusan ke ikonografi agama Hindu pada seni lukis Bali periode 1970-1980an. Seniman-seniman ini menciptakan karya-karya pseudo-abstraksi dari prinsip alam semesta Hindu, seperti Wayan Sika, Nyoman Erawan, I Made Djirna. Ragam ini juga sejalan dengan kecenderungan abstrak liris di Jawa, seperti pada karya A.D. Pirous dan Amri Yahya yang disebutkan oleh Agus Burhan, di mana seniman mencoba menggali kembali khazanah tradisi dan ikon-ikon spiritualitasnya.

Ada pula Ragam Tunggal, yang dikenal lewat karya Made Wianta. Ragam ini menolak acuan ikon-ikon pariwisata budaya Bali dalam seni rupa, yang dapat dibaca sebagai pernyataan non-politik namun bernafas sosial. Mereka menomorduakan identitas kesukuan untuk menggali abstraksi geometris dengan corak baru yang lebih mengglobal. Ragam ini terlihat pada karya instalasi dan performance Wianta dengan eksplorasi medium knalpot. 

Di saat yang sama, tradisi lukis dari Pita Maha tetap berkembang dan menghasilkan ragam modern “tradisi”, yang menjadi babak ragam terakhir yang dipaparkan Jean Couteau. Seniman-seniman ini mengikuti arus rupa yang religius untuk dipadukan dengan estetika pasca-Pita-Maha yang realis. Dua maestro dari ragam ini di antaranya Dewa Nyoman Batuan dan Ketut Budiana.

Jean Couteau menekankan bahwa dengan adanya tradisi visual di Bali yang masih dipertahankan hingga hari ini bersamaan dengan kaidah realis yang diajarkan di akademi seni, perkembangan seni lukis Bali ini bukanlah sesuatu yang berjalan secara linear. Kemunculan kesadaran nasionalisme yang berbeda di Bali membuat perkembangan seni rupa Bali memiliki ciri yang khas, sehingga andai ditanya kapan modern dan kapan tradisi, kita akan sedikit kesulitan untuk meletakkan di mana kursornya. Ambiguitas memang menjadi ciri khas perkembangan seni rupa modern Bali, dan bisa jadi, ciri seni rupa Indonesia secara keseluruhan yang selalu memiliki sentuhan ganda.

Kedua bahasan ini memancing hadirin pada sesi tanya jawab untuk mengingat kembali permasalahan tanpa titik terang yang dibawa oleh kritikus dan seniman Oesman Effendi (OE) pada tahun 1969 mengenai “Seni Lukis Indonesia Tidak Ada” serta kritikus Dan Soewardjono di tahun-tahun berikutnya. Di tengah semarak konsensus kultural masa itu, para kritikus itu mensinyalir bahwa karya-karya itu belum bisa memperlihatkan jati diri keindonesiaan yang kuat dengan masih terlacaknya pengaruh “Barat”. Isu ini pun melanda bukan seni lukis aja, namun juga sastra, pertunjukan, tari serta bentuk kesenian modern lainnya.

Perlakuan kata “di” pada judul program ini: Seni Rupa Modern dan Nasionalisme (di) Indonesia, mengingatkan penulis pada pemerihalan OE dalam pernyataannya pada tahun 1969 tersebut. Ia mengatakan bahwa seni lukis Indonesia tidak atau belum ada, yang ada hanyalah seni lukis “di” Indonesia. Bicara soal keindonesiaan, berbagai risalah sejarah seni rupa yang tersedia secara umum cenderung masih memiliki bias Jawa-sentris. Risalah itu mengasumsikan letupan-letupan pergerakan kesenian yang ada di sekitar pulau itu, terutama yang berada di Bandung, Jakarta dan Yogyakarta, menjadi monumen gagasan yang diamini sebagai perwakilan identitas keindonesiaan. Seturut antropolog Yunus Melalatoa di Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia (1995), identitas kita bersifat plural atau jamak, sebab identitas bangsa Indonesia yang disebutkan dalam UUD 1945 adalah identitas tiap-tiap suku di seluruh Indonesia.  Kejamakan ini menghasilkan perundingan tiada akhir antara pewacana seni rupa Indonesia demi menutup celah-celah akan ketidakterwakilan ini. Untuk mengimbangi bias geografis ini, seri webinar Salihara kali ini menjadi menarik dengan menghadirkan beragam perspektif dari kesejarahan seni rupa, baik yang terjadi di Jawa hingga yang muncul di Bali. Peluang pencarian keindonesiaan sangat bisa dan perlu diteruskan pada titik-titik geografis lain di Indonesia, yang dapat menjadi catatan bagi pemerhati seni dalam menggalang wacana seni rupa di kemudian hari.  

Kita melihat bagaimana pada periode 1950-1970, pemerintah berandil dalam mengarahkan arus corak seni yang bernafas keindonesiaan. Peran Soekarno dalam mempopulerkan seni lukis bertema kerakyatan dan keeksotisan Bali, hingga polemik Lekra versus Manifes Kebudayaan menjadi bukti keotoriteran masa itu dalam membentuk wacana seni rupa yang tersebar. Keberagaman bentuk dan wacana seni hari ini, selain sebagai penanda kekontemporeran, juga dapat menandakan bagaimana kekuasaan kini tersebar di berbagai rumpun masyarakat.

Apabila melihat situasi seni kontemporer dunia hari ini, bentuk-bentuk seni seperti seni pelibatan (participatory art) atau seni keterkaitan (relational art) dari Barat sebenarnya bisa menjadi hal yang amat ketinggalan zaman apabila kita membandingkannya dengan praktik berkehidupan di berbagai budaya Indonesia. Ilustrasi berkehidupan Bali yang diceritakan Jean Couteau menunjukkan bagaimana seni selalu menjadi bagian keseharian masyarakat, jauh sebelum penahbisan galeri kubus putih akan apa yang dianggap seni dan bukan. 

Cara berpikir seni modern membuat seniman Indonesia harus merepresentasikan ulang kesehariannya secara dwimatra ataupun trimatra. Keharusan merepresentasikan ini menghasilkan berdekade-dekade kecanggungan di para pewacana seni ketika mencoba menafsirkan keindonesiaan pada medium seni yang sangat membatasi naluri manusia Indonesia untuk hadir dan beraksi langsung di lapangan (present alih-alih represent)

Perihal ini setali dengan kritik kurator Asep Topan pada sesi diskusi, menyoal: “Bagaimana kita dapat membuktikan bahwa lukisan-lukisan realisme sosial yang dijelaskan tadi mampu “mengobarkan semangat rakyat?” Apakah rakyat yang dilukiskan di dalam karya-karya tersebut juga aktif menjadi penontonnya?” Dewasa ini, berbagai praktik seniman, kolektif dan ruang alternatif seni di Indonesia pascareformasi mengindikasikan semangat pembebasan dari kungkungan seni modern dan pengaruh Barat. Generasi seniman baru ini dengan menghasilkan identitas keindonesiaan lewat karya, proyek, dan program yang langsung bersentuhan dengan masyarakat, tanpa mengatasnamakan gerakannya sebagai seni pelibatan ataupun seni keterkaitan.  

Peran lokus-lokus pendidikan seni dalam membentuk keindonesiaan ini pun menjadi butir penting dari pembahasan ini. Baik lewat sanggar, kelompok hingga kampus seni seperti Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dan Institut Seni Indonesia (ISI), mazhab keindonesiaan dalam seni rupa coba diformulakan dan didakwahkan dalam pengajarannya. Pengaruh Barat yang diperdebatkan di atas itu tak lepas karena referensi dan kurikulum pengajaran kampus modern yang memang mengadopsinya dari sana.  Lokus pendidikan seni, formal maupun informal, dapat menjadi wahana penerang bagi dialektika keindonesiaan, apabila sumber pengetahuan yang diajarkan tidak melulu dari luar, namun dari dalam Indonesia.  

Diskusi ini mengantarkan pada peluang pencarian keindonesiaan, di mana metode artistik seniman mestilah berjangkar pada konteks lokal di mana dia berada. Pada tiap ragam seni keindonesiaan yang dicontohkan oleh kedua pembicara, kita bisa melihat bagaimana situasi keseharian yang melingkupi seniman tercermin dalam karyanya. Dari figur-figur pejuang kemerdekaan pada masa kerakyatan revolusioner, hingga ragam modern “tradisi” di Bali yang menggambarkan ikonografi agama mayoritas masyarakatnya; kesemuanya mencoba memvisualkan ulang situasi yang ada di depan matanya saat itu. Sebagaimana catatan Nirwan Dewanto pada akhir diskusi, penelusuran ini memperlihatkan bagaimana Indonesia mencerna modern. Keindonesiaan itu kualitas yang plural, dan berlapis-lapis; sesuatu yang tak pernah final, sebab zaman terus berganti dan tantangan keseharian seniman di setiap generasi tak akan pernah sama.***

Gesyada Siregar adalah seorang kurator, penulis dan pengurus kegiatan seni. Ia bekerja sebagai koordinator subyek Artikulasi & Kurasi di Gudskul: Studi Kolektif dan Ekosistem Seni Rupa Kontemporer, Jakarta. Beberapa pameran yang ia kuratori adalah pameran tunggal Syaiful “Jahipul” Ardianto Corak Klise Bererot (RURU Gallery, 2020), Festival Seni Media Internasional “Instrumenta”: Sandbox & Machine/Magic (Galeri Nasional Indonesia, 2018-2019) dan pameran koleksi Dewan Kesenian Jakarta karya Nashar, Oesman Effendi, Rusli dan Zaini: Lukisan Tanpa Teori (Galeri Cipta III, 2017). 

Ia menulis tentang lukisan Cap Go Meh karya S. Sudjojono untuk seri buku Pusaka Seni Rupa Indonesia (Direktorat Kesenian, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2017). Ia telah berceramah dan dilibatkan di berbagai bincang publik seperti Simposium Equator Biennale Jogja (2016), Art Jakarta (2019), serta di Art Gallery of York University (Toronto, 2019), Monash University (Melbourne, 2020), dan Festival sur le Niger (Ségou, 2021).

esai-template-

Dari Pusat Pusaran Medan yang Tersendiri dan Memikirkan Ulang “Internasionalisme”

Yacobus Ari Respati

Tulisan ini adalah tanggapan terhadap sesi ketiga program Zoom In Seni Rupa Indonesia dan Internasionalisme Baru (2020).

Bagaimana kita bisa mendefinisikan aturan pertukaran, refleksi percakapan dan peran seni rupa Indonesia di pergaulan mancanegara? Seni Rupa dan Internasionalisme Baru, seri webinar dari Komunitas Salihara mendiskusikan persoalan tersebut lewat curahan pengalaman di arena seni global yang berdaulat (sesi I: Ade Darmawan & Alia Swastika) dan ketika kurator dunia pinggir mendapat giliran bicara sebagai suara dan kuasa utama (sesi II: Farah Wardani & Jim Supangkat). Sesi ketiga “Internasionalisasi dari Institusi-Institusi di Indonesia” mencoba untuk menyoroti keadaan sirkuit dan kantong seni rupa lokal: melihat kembali caranya bekerja serta membangun percakapan sendiri.

Sesi pertama berbicara soal bagaimana seni rupa Indonesia dapat “dipandang” dari luar. Sesi kedua soal perundingan dan angin yang membawa kesempatan untuk suara seni rupa Indonesia didengar dan diuji. Sesi ketiga menguji pandangan soal kenyataan dan motif seni rupa Indonesia dari dalam. Agung Hujatnikajennong dan Asep Topan adalah dua tokoh yang bicara pada kesempatan ini. Agung Hujatnikajennong adalah kurator independen dan pengajar di Institut Teknologi Bandung. Asep Topan adalah kurator Museum MACAN di Jakarta dan pengajar di Institut Kesenian Jakarta.

 

“Baru” dan “Lama”, Cair dan Baku secara Lebih Terkutub

Agung Hujatnikajennong mengawali paparan pertama dengan mengajukan pemahaman lagi tentang “internasionalisme” dan seni rupa. Ia menembak “Internasionalisme Baru” sebagai istilah yang lebih sering dibingkai dari terminologi “kosmopolitanisme” (kosmopolites yang artinya “penduduk dunia”).

Agung Hujatnikajennong menyebut fenomena yang dibahas sebagai “Internasionalisme Baru” adalah kejadian yang khas dan baru, juga berkaitan erat dengan fenomena seni rupa kontemporer—mengikat refleksi pengalaman Jim Supangkat yang lalu. Fenomena itu menyertakan pertumbuhan “bienalisasi” yang menyerabut di kota-kota di berbagai penjuru dunia sejak akhir 1980-an sampai belakangan. Ia lain dengan pameran-pameran lama yang bisa ditarik hingga pada pameran-pameran besar internasional pada akhir abad 19 dan awal abad 20. Perbedaannya ada pada skala, cakupan, konsep pertimbangan keikutsertaan serta artikulasi perannya dalam konstelasi mancanegara.

Agung Hujatnikajennong merefleksikan perbedaan kedua gelombang “lama” dan “baru” itu, misalnya antara La Biennale di Venezia dan The Asia-Pacific Triennial of Contemporary Art (APT) yang penyelenggaraan pertamanya terpaut hampir satu abad. La Biennale di Venezia mewakili gaya pameran internasional yang lebih formal dalam memandang hubungan antarnegara (nation state). Bermula dari sebuah bentuk pekan dan perayaan terpusat dwitahunan, La Biennale di Venezia kemudian membuka kesempatan bagi negara-negara dunia untuk ikut mengadakan pameran dengan anjungannya masing-masing. Pemusatan itu berkembang di tingkat dunia hingga jadi pusat dan barometer kemutakhiran. Model La Biennale di Venezia sendiri adalah bagian dari sejarah pameran-pameran besar dan model pekan raya seperti World’s Fair, Colonial Expo, Foire. Mereka menarik garis batas di antara peristiwa kebudayaan, pameran teknologi, perdagangan, hiburan warga, serta pendorong ekonomi kreatif lokal. Anjungan atau paviliun negara di La Biennale di Venezia sendiri tampil dalam presentasi khusus oleh pembuat seni yang punya identitas warga negara itu. Presentasinya diatur, dikelola, diproyeksikan oleh aras kebudayaan dari patronase negara masing-masing.

Agung Hujatnikajennong melihat perkembangan kesejarahan yang menggeser dasar hubungan formal itu yang mengubah bentuk pameran menjadi lain. Bienale-bienale akhir abad 20 tidak lagi menonjolkan segi keterwakilan secara formal, serta dapat dilihat lebih cair sebagai identifikasi basis percakapan, pertukaran, titik tolak tema dan isu. Ini didorong oleh adanya konstelasi teori baru setelah 1968. The Asia-Pacific Triennial of Contemporary Art (APT) dalam menyertakan perupa-perupa Indonesia (dan Asia-Pasifik) secara konsisten menjadi seperti itu. Ada kadar asal negara yang dipertahankan namun secara muatan lebih lepas, bisa jadi hanya sebagai “teks” yang dimasuki dan diterjemahkan. Politik identitas jadi lebih mengemuka dan bienale-bienale maupun pameran-pameran besar jadi dibayangkan sebagai forum percakapan dari satu dunia global—maka kosmopolites

Tesis Agung Hujatnikajennong kemudian adalah bahwa istilah “Internasionalisme Baru” bisa meleset apabila konsisten diterapkan di atas keadaan dan kecenderungan-kecenderungan ini. Dan medan seni atau art world Indonesia punya kenyataan praktiknya sendiri yang juga lain. Satu yang Agung Hujatnikajennong ketengahkan adalah model “seniman sebagai patron.” Kecenderungan ini marak di bentang kebudayaan Indonesia modern lewat tempat-tempat seperti Selasar Sunaryo, Sangkring, hingga Cemeti dan ruangrupa. Seniman mendirikan ruang, merancang, memimpin dan membiayai program pameran. Kerjanya menyerabut dari jangkauan jejaring sang seniman dan modal hubungan-hubungannya. Mereka tersambung dengan model museum seniman-seniman mapan yang secara mandiri membuat ruang untuk memamerkan, menyimpan karya, dan menyediakan ruang percakapan bagi medan kebudayaan di wilayahnya. Kemandirian seperti jadi syarat untuk maju dan memperbarui kebudayaan dan seni rupa di Indonesia yang minim dukungan dan proyeksi jangka panjang dari negara.

Model itu tentu punya irisan dengan ruang gagas seniman (artist-run space dan model artist-initiative) di dunia, namun bekerja dengan skala dan pola sebaran yang berbeda di Indonesia. Agung Hujatnikajennong mencontohkan Galeri Nasional Indonesia yang bisa diakses untuk berpameran oleh siapa saja, tidak seperti ruang pamer nasional di negara lain. Juga bienale-bienale dan pameran besar seperti Art Jog, yang dapat diupayakan oleh kelompok atau bahkan sejumlah individu—berbeda dengan di negara lain yang hampir selalu adalah kegiatan dengan patron pemerintah atau model art fair yang mapan. 

Secara tipologi, menurut Agung Hujatnikajennong jenis-jenis pameran di Indonesia bisa jadi berbeda. Pembagian umum untuk model pameran di dunia seperti pameran blockbuster dan do-it-yourself, atau antara bienale, art fair dan festival bisa tidak berlaku secara ketat dan dikotomis. Kebiasaan kerja, organisasi dan kelembagaan yang cair ini bersambut dengan latar konstelasi dan kosmopolitanisme seni rupa dunia yang baru, terbuka bagi pelaku dan dunia seni rupa Indonesia. Menyambung paparan Ade Darmawan pada webinar pertama, hal ini berkait dengan kecenderungan besar seni rupa global yang sedang membuka dan membalik cara-cara kerja lamanya sendiri secara sistematis.

Agung Hujatnikajennong menutup paparannya dengan mengetengahkan contoh kasus Undisclosed Territory (UT), festival internasional seni performans yang rutin diadakan di Solo sejak 2007 di bawah asuhan perupa Melati Suryodarmo. Undisclosed Territory bekerja dengan semacam sikap keramahtamahan internasional. Terutama, dalam dua konsep Jawa: sesrawungan—bergaul dengan manusia lain seluas-luasnya. Dan dalam berkumpul bertukar cakap lewat konsep sambatan—mengungkapkan dengan mengaduh, mengadu, dalam pengertian tertentu, mengeluh. Orang-orang dalam festival Undisclosed Territory dihimpun lewat kontak-kontak dari jejaring pribadi Melati Suryodarmo secara informal dan sukarela. Sifatnya tanpa syarat, perencanaan dan administrasi yang baku. Undisclosed Territory menjadi bentuk ruang percakapan mandiri yang didekati secara eksperimental, dan lebih jadi soal sumbangsih kolektif yang ada di atas asas berkumpulnya.

 

Pemain Dunia dalam Aturan Lokal

Asep Topan merespon tema Internasionalisme Baru dengan melihat itu sebagai sebuah fenomena berlanjut. Setelah 1968, dalam iklim kapitalisme transnasional dan ekonomi global, muncul pameran-pameran yang jadi wadah bagi seni rupa di luar sirkuit internasional utama. Mengutip Okwui Enwezor, sifatnya adalah berupa inisiasi-inisiasi yang menawarkan rasa baru seni rupa kontemporer meski tidak tentu memiliki fungsionalitas warisan kelembagaan seni tertentu yang kukuh.

Kelembagaan baru atau new institutionalism dibaca Asep Topan jadi puncak yang memotong arah sikap dari kecenderungan di atas. Istilahnya muncul menyimpulkan pola sejumlah museum Skandinavia dan Eropa yang sejak akhir 1990-an sampai awal 2000-an merancang program baru. Mereka mengetengahkan agensi museum lewat pendidikan seni. Rata-rata adalah museum-museum kelas sedang yang menggolongkan dirinya sebagai “pinggir” dan membangun dialog dan kerja sama dengan sesamanya. Ini menghasilkan praktik kekuratoran yang meluas (expanded curatorial practice) dengan rumusan dan pertanyaan yang dipengaruhi tradisi kritik kelembagaan (institutional critique). Ia jadi tawaran atau alternatif yang secara sadar bekerja di sekitar pusat seni rupa dan cara-cara kerja kelembagaan seni mapan di arus utama. 

Pengaruh kelembagaan baru terasa dan diteruskan oleh sejumlah kurator dan lembaga hingga ke perkembangan “educational turn” serta segala bentuk keterbukaan akses dan keterlibatan pengunjung, khalayak, terhadap interpretasi, pameran, dan koleksi museum. Upaya untuk merumuskan ulang medan seni—sebagai playing field dalam bahasa penulis seni Irit Rogoff—dan aturan-aturannya, untuk bisa tetap bekerja secara vital dan hakiki. Supaya berfungsi tanpa dipengaruhi untung-rugi hegemoni industri kebudayaan. Ide dan sikap padanan dan dekonstruksi kerja ruangrupa bagi documenta Fifteen adalah tawaran tercanggih dari perkembangan kesejarahan itu. 

Asep Topan memperbandingkan gagasan kerja new institutionalism dengan bagaimana Jakarta Biennale (2017) dan Museum Modern and Contemporary Art in Nusantara (MACAN) melembaga. Keduanya bertolak belakang. MACAN adalah museum yang bekerja secara mapan sebagaimana tolok ukur museum-museum seni rupa utama di Barat. Sifatnya terstruktur dengan program-program besar dan target pengunjung dalam artikulasi apresiasi yang umum dan luas. Meski ini “kuno” dalam khazanah dunia, tapi ia baru bagi medan seni rupa Indonesia, terutama untuk membangun tradisi kepenontonan baru. Dan di atas standar itu hadir peluang kerja sama internasional dengan institusi lain secara sebahasa dan setara.

Soal pengalaman baru itu berjalan berdampingan dengan pendekatan Jakarta Biennale (JB). Jakarta Biennale sejak awalnya pada 1974 adalah gabungan antara bagian besar inisiatif aktor medan seni dengan sebagian agenda kebudayaan pemerintahan. Paparan Asep Topan menarik sebab melingkupi Jakarta Biennale 2017 yang melibatkan Melati Suryodarmo sebagai direktur artistik.

Menurut Asep Topan, Jakarta Biennale 2017 meminjam metode Undisclosed Territory yang ketika itu sudah 10 tahun berjalan. Perupa luar di Jakarta Biennale 2017 untuk pertama kalinya berjumlah lebih banyak dibanding dari Indonesia. Produksi karya dilakukan di Indonesia dan diwadahi secara lokal, di samping juga banyak seni performans yang tampil terjadwal. Artikulasi sumber daya lokal dilakukan untuk mengakali biaya pengiriman dan asuransi. Meski menariknya lagi itu dilakukan dengan menyertakan seniman-seniman bienale “biasa” yang a la blockbuster, serta kurator Philippe Pirotte dan Vít Havránek. Jakarta Biennale dalam skema itu mencangkok dan membalik model bienale untuk jadi lain secara baru (beda). Gagasan institusionalisme ala Undisclosed Territory digabungkan dengan bagaimana sebuah lembaga bienale bekerja, dengan Melati Suryodarmo.

 

Pusaran Tersendiri

Persoalan cair dan tidak mapan dari cara kerja medan seni kita menjadi aras yang diamati moderator dalam diskusi. Muncul pertanyaan apakah cara-cara kerja yang khas kantong lokal kita itu hasil niscaya dari keterbatasan dan bisa saja punah ketika berubah jadi mapan. Juga, bagaimana mereka dibedakan dengan identifikasi cara kerja kolektif perupa dan model-model kolaborasi yang cair.

Asep Topan melihat tarik-menarik dengan upaya memapankan itu ada, dan bisa jadi jebakan lain. Struktur dan organisasi yang banyak ada, seperti Jakarta Biennale, terbentuk musiman dengan rancangan jangka pendek atau menengah. Jakarta Biennale ada di bawah Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta yang tritahunan. Agung Hujatnikajennong menekankan bahwa pola seniman sebagai patron berbeda dengan kegiatan kolektif, sebab jadi pendukung medan kerja mereka sendiri dan jadi terlembagakan secara khusus dalam tipologi ruang seni kita. Alur ini jadi berbeda dengan keinternasionalan sezaman. Meski kadang terinspirasi oleh model dari luar, kegiatan-kegiatan kesenian di Indonesia ketika ditempuh dalam terjemahannya malah berbeda. Ini misalnya terjadi pada Art Jog yang hendak jadi art fair dan jadi pameran besar yang lain kemudian. Kutub pameran blockbuster juga tidak banyak terterapkan di Indonesia. Hanya Museum MACAN, menurut Agung, yang bisa bekerja pada skala itu, meski banyak yang ramai.

Perbincangan juga membahas soal pola bienale dan pameran besar secara lebih umum di kota-kota di Indonesia. Leonhard Bartolomeus bertanya tentang pemanfaatannya sebagai strategi untuk perkembangan ekonomi di daerah tertentu. Agung Hujatnikajennong memaparkan riak ekonomi itu ada—yang bak Bilbao Effect sejak kehadiran Museum Guggenheim di Kota Bilbao. Ia jadi tren dan tolok ukur gengsi dalam kompetisi visibilitas antarkota. Walaupun di Indonesia bienale bukan didorong sebagai kebijakan kota, tapi lebih kepada semangat komunitas seni di daerahnya. Terlepas dari bagaimana bienale mereka definisikan secara format dan muatan. Hubungan tontonan, hiburan dan ekonomi pariwisata tetap dekat dan niscaya dengan pameran besar sebagai kegiatan khalayak, dan “kemeriahan” semangat medan seni.

Maka dapat dibaca bahwa semangat itu yang selalu ada dan mendorong-menembus dari tingkat pelaku di Indonesia, hingga ke atas. Keterlibatan dan kebijakan kebudayaan yang sedikit membangun karakter medan seni dan kelembagaannya dengan ketergantungan yang lebih kecil. Ia juga ikut didukung oleh situasi informal yang ada pada lingkungan sosialnya untuk bisa mendukung penyelenggaraan pameran secara berjenjang hingga terhimpun ke skala internasional.

Keadaan ini menciptakan kantong lokal sebagai wadah dengan sifatnya yang tersendiri dalam melakukan negosiasi ke seni rupa dunia sebagai penduduk dunia kosmopolit. Prinsip-prinsip ini—yang kekeluargaan, ramah-tamah, sesrawungan, sambatan, hingga konsep lumbung pada ceramah Ade Darmawan—menemukan konvergensi dengan keadaan pencarian kebaruan, atau model baru di medan seni dunia. Medan yang wacana progresif belakangan mendapat kritik sebab bekerja dalam cara-cara yang tertahbiskan secara kapitalistis, neoliberal, dan memingit dirinya dari akses pengetahuan, nilai dan representasi khalayak. Keadaan itu juga dimungkinkan dari perbincangan-perbincangan, perlintasan kekuasaan, dan warisan dari tatanan geopolitik dunia dari sejak industrialisasi, perdagangan, penjajahan, dan hingga konstelasi teori pada dunia mutakhir dengan informasi dan perkembangan teknologisnya. 

Webinar ketiga mencapai kesimpulan ini dengan menelusur kesejajaran; mencari aras kantong lokal kita terhadap yang global. Sehingga tampak karakter, kekhasan, hibriditas dalam divergensi dan konvergensinya dengan dunia. Baik itu terjemahan, adaptasi, dan juga patahan-patahan yang mulai bisa kita perjelas. Bagaimanapun, tampak masih banyak persoalan dan kekhususan lagi yang perlu dibongkar tentang jalan, endapan, dan cara seni rupa kita bekerja. Ini untuk membangunnya secara progresif sesuai perkembangannya yang kepalang nirada (abstrak).

 

Yacobus Ari Respati adalah bagian dari staf ajar dan penelitian Seni Rupa Institut Teknologi Bandung untuk kekuratoran, sejarah pameran dan sejarah seni rupa sejak 2016. Ia pernah menjadi asisten kurator dalam Pameran Arsitektural Indonesialand (Selasar Sunaryo, 2016) dan “Seteleng to Biennale: Exhibition Histories of 20th Century Indonesia” bagian dari Art Turns, World Turns (Museum MACAN, 2017). Ia juga pernah menjadi kokurator Akal Tak Sekali Datang, Runding Tak Sekali Tiba; anjungan Indonesia di La Biennale di Venezia (Venice Biennale) pada 2019.

esai-template-

Kilas Balik dan Titik-Titik Sambung Seni Rupa dan Internasionalisme Baru dari Farah Wardani dan Jim Supangkat

Yacobus Ari Respati

 

Tulisan ini adalah tanggapan mengenai tiga sesi program Zoom In Seni Rupa Indonesia dan Internasionalisme Baru (2020).

Sesi kedua ceramah dan wicara webinar Seni Rupa dan Internasionalisme Baru diselenggarakan secara daring oleh Komunitas Salihara pada 11 November 2020. Acara ini menyoroti keterlibatan aktor-aktor seni rupa Indonesia dalam kegiatan-kegiatan seni rupa besar mancanegara.

Sebelumnya, Alia Swastika dan Ade Darmawan telah bicara tentang peran dan sikap kekuratoran dan kelembagaan mereka di tengah kelindan cara kerja dan wacana mutakhir medan seni dunia. Sesi kedua “Kehadiran Indonesia di Pusat-Pusat Baru” bergerak ke belakang untuk melihat bagaimana seni rupa Indonesia sampai pada Internasionalisme Baru. Dua pembicara yang hadir ialah Farah Wardani dan Jim Supangkat. Keduanya adalah kurator, pencatat sejarah seni rupa, dan organisator yang terpaut generasi. Bahkan, Farah Wardani menyebut “Pak Jim” sebagai “guru”.

Ada peta besar yang hendak digambar dari sudut pandang kedua pembicara ini. “Peta” jadi salah satu kata kunci pada webinar ini. Farah Wardani dalam salindianya menampilkan peta yang menjelaskan keadaan seni rupa kita sekarang ini berdasarkan peristiwa-peristiwa dan pameran-pameran penting di dunia. Keadaan “Internasionalisme Baru” dipaparkan dan dibedah lagi, mundur dari yang canggih dan terapan, kepada dasar-dasar dan refleksi nilai dari pengalaman. Refleksi datang dari Jim Supangkat sebagai salah satu kurator pelopor dan kurator Indonesia yang terlibat di kancah internasional pada tahun 1990-an. Masa itu jadi titik untuk menarik pembacaan mundur bagi Farah Wardani, dan sedikit refleksi maju. Ini menjadi refleksi percakapan tentang seni global.

Peta dunia dan kelanjutan peristiwa yang dipaparkan Farah Wardani mengenali adanya perubahan paradigma. Gambaran yang dilacak olehnya adalah sejarah pameran di dunia yang melibatkan peserta global. Jejak ini terhubung lewat keadaan penjajahan. Gagasan dunia dan global hadir di sana dalam cerminan kesuksesan ekonomi dan imperialisme budaya. Sejak pertengahan abad 19 muncul pameran-pameran World’s Fair, Exposition Universelle, World Expo dan Exposition Coloniale yang pada intinya merupakan pameran perdagangan. Pameran-pameran besar ini menghadirkan produk industri, penemuan-penemuan dan kebaruan teknologi. Negeri jajahan turut hadir sebagai pamer ladang dan iklan kesempatan. Imajinasi dan rasa ingin tahu juga turut bercampur di situ. Antara lain, ada “kebun binatang manusia” (human zoo) yang menampilkan orang-orang asli dan suku-suku dari tanah jajahan. Riuh, meriah, canggih, pertemuan antara yang mutakhir dan ilham dari yang liyan. Kebudayaan Bali, misalnya, jadi salah satu fokus pada presentasi Belanda di Exposition Coloniale Paris 1931, dengan anjungan sebagai museum dadakan kecil lengkap dengan arsitektur, artefak, penampil dan seni rupa.

Model pameran besar berkala ini beririsan dengan pameran-pameran besar seni rupa yang sering disederhanakan sebagai model bienale. Sesi webinar pertama sampai pada bagaimana model bienale menjadi ruang pamer lingkup dunia—”global white cube”—yang berkuasa dan serbabisa. Bebas menyertakan dan mempertukarkan kebaruan-kebaruan global lain sebagai bagian dari perkembangan, dalam bayang-bayang kekuasaan penentu selera, modal dan peraturannya yang adalah warisan seni rupa Eropa Barat-Amerika Utara. Hal ini tak ubahnya sebagai bayang-bayang dari expo-expo dunia itu, juga dalam motif perdagangannya yang teknologis, eksploitatif, birokratis dan meliyankan. Dari sesi pertama kita dapat menyimpulkan mengapa ketika agensi disebar di luar pusat-pusat seni rupa, kecenderungan umum dan gerakan untuk membuka akses, identifikasi, pengetahuan jadi lumrah. Hal ini merupakan pembalikan kerja seni secara menyeluruh dalam skema rancangan ruangrupa bagi documenta Fifteen.

Farah Wardani dalam ceramahnya menekankan titik-titik yang menandai perubahan spektrum menuju ke sana. Ia mengenali pertukaran kebudayaan internasional abad 20 melibatkan peristiwa-peristiwa penting misalnya Konferensi Asia-Afrika. Tumbuhkembang modernitas lokal (negara) jadi latar dan perkembangan pascakolonial. Percakapan internasional melalui seni rupa ada dalam latar itu dan negosiasinya. Terutama pada 1950-an ketika terjadi perebutan pengaruh atas negara-negara nonblok. Banyak perupa dan budayawan terlibat pada lawatan-lawatan, belajar, berpameran pada masa ini melalui bermacam-macam lembaga kebudayaan dari satu blok dan yang lain. Paling terkemuka adalah Affandi yang singgah di Shantiniketan, India; berpameran di Inggris, dan paviliun Indonesia pertama di Venice Biennale 1954. Gelombang ini surut pada 1960-an dan setelah peristiwa 1965, seiring perubahan dunia, perubahan geopolitik, perang dingin dan dampak-dampaknya. Bagaimanapun, kepemimpinan negara-negara nonblok juga yang―pada kasus Kuba―menggabungkan daya politik, keaslian dan agensi modernitasnya untuk mendirikan Bienal de la Habana (lihat International Contemporaneity and the Third Havana Bienal (1989) oleh Amy Bruce di jurnal Canadian Art Review, Vol. 43 No. 12, 2018). Bienal de la Habana sengaja jadi bienale “pinggir” karena latar nonbloknya. Edisi ketiganya di bawah kurator Gerardo Mosquera sering jadi contoh purwarupa bienale global yang kita kenal sekarang, meski berubah dan surut setelah itu.

Perubahan pada 1989 jadi titik lain yang disampaikan Farah Wardani. Tercermin pada pameran The Other Story yang dibuat Rasheed Araeen, dan Magiciens de la Terre yang dikuratori Jean-Hubert Martin. Alia Swastika pada sesi pertama juga menyebut Magiciens de la Terre sebagai pembuka kesetaraan seni rupa avantgarde-is—kontemporer—yang dibuat di Barat waktu itu, dengan seni rupa yang seperti tidak terjamah modernitas. Praktik asli dari sejumlah tradisi sebagaimana dari Tibet dan seni aborigin Australia. Sikap ini menyatukan belahan makna kontemporer di antara makna “sezaman” dan “mutakhir” seni rupa kontemporer sejak 1989 pada lapangan di tengah-tengah gang-gang itu, untuk jadi meriah, global, dan bisa bertemu banyak sikap, hal, agen.

Sedikit menyuruk ke masa sebelumnya, Farah Wardani menggarisbawahi adanya pergerakan avantgarde paralel pada 1970-an, termasuk di Asia Tenggara. Pergerakan-pergerakan ini menarik garis perkembangan dari modernitas tersendiri, hingga tiba kemudian pada seni rupa kontemporer pada dekade 1990-an sebagai kemutakhiran “lain”. Jim Supangkat adalah bagian dari peristiwa itu sebagai perupa dan juru bicara Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (GSRBI). Di Malaysia ada Redza Piyadasa dan Sulaiman Esa, di Filipina Roberto Chabet dan Ray Albano. Lewat GSRBI itulah Jim Supangkat mengikuti Australia and Regions Artists’ Exchange (ARX) pada 1989. Ia bertemu banyak tokoh-tokoh di museum-museum, forum regional dan mengikuti program di sana. Ini membuatnya menjadi kokurator Indonesia bagi Asia Pacific Triennial of Contemporary Art (APT) pertama pada 1993 bersama kritikus-akademisi Sanento Yuliman. Keduanya dari situ memutuskan untuk menjadi kurator untuk meneruskan hubungan seni rupa yang terjalin dan mengembangkannya. Sanento Yuliman meninggal dunia pada tahun 1992.

Farah Wardani kemudian memaparkan situasi dekade 1990-an. Pameran internasional menjadi titik dialog, dengan kurator menjadi ahli utama di tengahnya. Di samping pergeseran geopolitik, datang suatu pergantian iklim kebudayaan yang mengglobal. Ini didorong oleh wacana teoretis baru: postmodernisme, postrukturalisme, subaltern yang mendorong perubahan paradigma dan menjadikan seni rupa kontemporer sebuah kompetisi terbuka.

Jim Supangkat terlibat di sana lebih awal. Ia juga berjejaring dengan Japan Foundation dan Fukuoka Asian Art Museum sejak 1991. Hingga akhir dekade, Australia dan Jepang aktif membuat pameran-pameran yang menyertakan seniman-seniman Indonesia dan membuat mereka terlibat di jejaring internasional yang meluas. Jim Supangkat sebagai satu-satunya kurator dengan relasi internasional Indonesia waktu itu otomatis terlibat di banyak proyek, forum, dan menjadi penghubung di tengah segala perhatian dan pencarian yang mendadak ada.

Jim Supangkat menyambung webinar dengan ceramah tentang keterlibatannya dari akhir 1980 hingga selepas dekade 2000 dalam refleksi yang lebih luas. Bila Farah Wardani memaparkan fenomena, latar, dan gejala paradigmatik dari internasionalisme; Jim Supangkat bicara secara lebih abstrak dan dari sisi prinsip tentang pengalamannya. Terutama, dalam pandangannya untuk meletakan konsep-konsep kesejarahan seni rupa Indonesia dalam refleksi post-factum. Refleksi setelah irisan persilangan, risiko, dan dorongan maju dari fenomena 1990-an.

Jim Supangkat menulis esai berjudul “Multiculturalism/Multimodernism” untuk katalog pameran Contemporary Art in Asia: Traditions/Tensions di New York, Amerika Serikat yang diselenggarakan oleh Asia Society pada tahun 1996. Esai ini dapat kita tunjuk sebagai suatu penanda gagasan Jim Supangkat tentang perkembangan modernitas paralel di negara-negara “pinggir” dan adanya seni rupa modern yang “lain”. Wacana modernitas jamak atau multiple modernities secara lebih luas diadopsi dalam perbincangan seni rupa global sejak dekade 2000 hingga sekarang. Refleksi Jim Supangkat muncul dari divergensi dan paradoks kesezamanan seni rupa kontemporer, yang serupa dengan Magiciens de la Terre. Bedanya, ia datang dari sisi mutakhir-pinggir yang ketika itu tak diketahui alamnya.

Pada globalitas yang sekarang kita bisa melihat ini sebagai sesuatu yang biasa saja, apalagi dibanding capaian jejaring dan kepercayaan yang teraih pada paparan Ade Darmawan dan Alia Swastika. Masa-masa awal “internasionalisme” dalam pengalaman Jim Supangkat adalah permulaan pertemuan kenyataan-kenyataan itu dalam wawasan seni rupa dunia.

Jim Supangkat menyebut tiga macam tanggapan dari aktor-aktor medan seni rupa “pusat” terhadap kehadiran baru seni rupa kontemporer “pinggir” itu. Pertama adalah mereka yang kaget dan dibayangi keraguan. Kedua, adalah yang bersikap terbuka dan egaliter namun menurunkan standar dan harapan. Sementara kelompok ketiga tampak adalah yang disoroti Jim Supangkat, yaitu mereka yang secara serius mencoba mendudukkan persoalan seni rupa global secara ekshaustif dalam kesejarahan seni rupa. Jim Supangkat secara pribadi, selepas dekade 2000 hingga kini, juga mengalur ke sana. Ia menyoroti persoalan ”common ground” atau “landasan bersepakat” sebagai suatu inti dari perundingan dan percakapan dalam gerak internasionalisme untuk jadi bermakna. Sayangnya sambungan Jim Supangkat terputus ketika memasuki pembahasan ini dan terpaksa dilanjutkan dalam sesi perekaman terpisah.

Moderator Nirwan Dewanto melanjutkan wicara bersama Farah Wardani dengan membahas segi kesadaran dari dunia seni rupa “pinggir” setelah semua itu. Perihal “landasan bersepakat” dipadankan dengan homogenisasi cara kerja, tampak, dan bahasa dari pameran-pameran dan karya-karya internasional yang seperti mengikuti pola dan rumus tertentu. Ini mencerminkan apa yang disebut Ade Darmawan sebelumnya sebagai “jebakan” dalam permainan ikutserta seni rupa internasional. Bienale tumbuh menjamur setelah dekade 1990-an dan bahkan menjadi bagian dari industri kebudayaan.

Meski begitu, Farah Wardani yang menjabat sebagai direktur Jakarta Biennale 2021 tetap percaya pada suara asli dan tawaran kemeriahan yang kita punya. Pun dengan pertimbangan seni rupa sebagai tontonan, sebagai salah satu titik tumpunya yang niscaya sekarang. Bagaimanapun, “pekerja seni tetap bagian dari kehidupan,” tuturnya. “Kita sendiri senang-senang saja meskipun kita tidak betul-betul dimengerti” orang-orang dari “pusat” yang tertarik dan menginginkan seni rupa Indonesia ikut andil. Moderator menyambung pembahasan ini kepada pertanyaan tentang bagaimana merumuskan teori kita sendiri dan apakah “landasan bersepakat” itu sendiri bisa tercapai.

Pada perekaman terpisah, Jim Supangkat meneruskan paparan tentang tiga tanggapan “pusat,” dan bagaimana penjabaran sejarah seni rupa global terjadi secara berkembang dalam tanggapan ketiga. Kita bisa melihat perhatian Jim Supangkat merumuskan seni rupa di Indonesia—sesuatu yang dapat dilacak hingga pada sikap-sikap dan pandangan GSRBI pada medio 1970-an. Kerjanya selalu dilandasi upaya mencatat, mengembangkan, dan ada pada bangunan pengetahuan dan kesejarahan seni rupa Indonesia yang masih minim deskripsi.

Dorongan merumuskan ini mungkin dan berlanjut sebab konvergensi dalam internasionalisme telah menerangi eksistensi seni rupa lokal yang patut diyakini. Jim Supangkat menyebut “munculnya seniman dan karya-karyanya yang tidak ragu.” Cenderung kabur, namun bisa kita bayangkan senada dengan pendapat Farah Wardani.

Mimpi Jim Supangkat tentang “common ground” bagaimanapun, pada titik ini dengan pencatatan sejarah seni rupa Indonesia yang sekarang, masih tampak sebagai rimba teori yang ada di luar stamina calon penggunanya untuk menaklukkan hal tersebut.

Kita bisa melihat perbedaan dengan perkembangan mutakhir yang diungkapkan Alia Swastika dan Ade Darmawan pada webinar pertama. Sikap dan gubahan berkegiatan yang baru lebih menubuh secara refleksif terhadap kelembagaan seni sendiri dan politiknya. Hal ini berkaitan dengan tuntutan dan latar Jim Supangkat ketika terlibat dalam internasionalisme 1990-an. Kerja kekuratoran ketika itu adalah suatu rintisan yang diwarnai kesempatan, kejutan dan menuntut penyelarasan aktif. Sesuatu yang diakui Jim Supangkat tetap banyak mengikuti “formula” Barat. Jim Supangkat menjadikannya apropriasi dan ekspansi. Paling tidak baginya seni rupa dunia harus lebih muncul daripada seni rupa dari pusat lama. Gagasan documenta ruangrupa sebagai yang tercanggih, sementara itu, punya padanan-padanan sikap yang jauh berkembang lebih kritis, praktis, dan terintegrasi.

Gagasan Jim Supangkat dalam membuat dan mempromosikan pameran membuatnya “menang” dan menjadikan itu sebagai salah satu pemeran utama seni rupa Indonesia dan Asia Tenggara pada 1990-an. Pada perkembangan setelahnya, pameran internasional perupa-perupa Indonesia sudah jadi hal biasa. Didorong pertumbuhan internet dan teknologi digital, Farah Wardani mengenali adanya dinamika baru. Jejaring internasional semakin menyerabut dengan aktor-aktor baru yang bertambah. Ruang-ruang alternatif tumbuh, kolektif-kolektif dengan cara dan tawaran ketahanannya mulai menjadi pendukung kelangsungan medan seni rupa. Ini ditambah dengan banyak kesempatan pertukaran dan hibah dari lembaga-lembaga kebudayaan asing serta lembaga swadaya masyarakat. Galeri komersial dan pasar seni rupa kontemporer Indonesia bertumbuh pesat dan jadi terlembagakan. Di atas keadaan itu, seni rupa global sudah menjadi relasi institusionalisasi di skala dunia. Ini menutup sekaligus menyambung ceramah dan wicara dengan seri webinar pertama dari belakang.

 

Yacobus Ari Respati adalah bagian dari staf ajar dan penelitian Seni Rupa Institut Teknologi Bandung untuk kekuratoran, sejarah pameran dan sejarah seni rupa sejak 2016. Ia pernah menjadi asisten kurator dalam Pameran Arsitektural Indonesialand (Selasar Sunaryo, 2016) dan “Seteleng to Biennale: Exhibition Histories of 20th Century Indonesia” bagian dari Art Turns, World Turns (Museum MACAN, 2017). Ia juga pernah menjadi kokurator Akal Tak Sekali Datang, Runding Tak Sekali Tiba; anjungan Indonesia di La Biennale di Venezia (Venice Biennale) pada 2019.

esai-template-

Internasionalisme Baru dan Pameran sebagai Percakapan

Yacobus Ari Respati

 

Tulisan ini adalah tanggapan mengenai tiga sesi program Zoom In Seni Rupa Indonesia dan Internasionalisme Baru (2020).

Webinar Seni Rupa Indonesia dan Internasionalisme Baru oleh Komunitas Salihara dimulai pada 21 Oktober 2020. Wicara, ceramah, dan diskusi tiga sesi ini melibatkan aktor-aktor seni rupa Indonesia mutakhir dalam kegiatan-kegiatan seni rupa besar mancanegara—utamanya: pameran. Sesi pertama adalah “Sejak Venice Biennale 2013 hingga documenta 15 2022” yang menghadirkan pembicara Alia Swastika dan Ade Darmawan.

“Internasionalisme Baru” dihadapkan dengan “internasionalisme lama” dalam kerangka tatanan dunia dan kiblat kebudayaannya yang berubah. Orientasi budaya yang pada awalnya memusat dan hanya menghadirkan mutu pada karya-karya dan pameran-pameran Eropa Barat dan Amerika Utara perlahan-lahan mulai bergeser. Lebih kurang sejak 1980-an hingga hari ini, bermunculanlah pusat-pusat baru yang melongok untuk mencari dan mengikutsertakan perbincangan dan praktik seni rupa dari negara-negara belahan dunia Selatan, negara dunia ketiga, juga “pinggir-pinggir” lainnya.

Ade Darmawan dan Alia Swastika mewakili orang-orang dari Indonesia yang terlibat pada beberapa ruang kerja seni rupa yang terglobalkan. Spektrumnya, bagaimanapun beragam dan berada di antara lapisan-lapisan keterwakilan gagasan, praktik, ideologi, politik, juga pendekatan yang berbeda-beda.

Alia Swastika—kurator, penulis, dan direktur Biennale Jogja—telah berjejaring dan bekerja pada pameran-pameran internasional seperti Gwangju Biennale 2012 (kodirektur artistik), penggagas pendekatan kerjasama antarnegara Selatan-Selatan “Equator” pada Biennale Jogja (kurator 2009, direktur sejak 2018), dan pameran seni rupa kontemporer di festival seni Indonesia Europalia 2017 (kurator). Kerjanya menempatkan sudut pandang runding kebudayaan yang mewakili keindonesiaan melalui posisi memimpin, terutama pada arahan artistik, juga pilihan dan muatan pesannya dalam menggubah pameran.

Ade Darmawan adalah perupa, pendiri kelompok ruangrupa, dan—sebagai bagian darinya—menjabat direktur artistik kolektif bagi documenta Fifteen 2022 mendatang. Sebagai pribadi, melalui ruangrupa, jejaring dunia seni global, dan upaya-upaya organisasinya Ade Darmawan membuat kegiatan-kegiatan yang jadi diseminasi gagasan tentang seni rupa yang ekosistemik dan mandiri. Ini antara lain terlihat pada festival seni media baru OK Video, pusat studi Gudskul, Sonsbeek 2016 (dikuratori ruangrupa), Jakarta Biennale 2009 & 2013 (direktur artistik), dan Yayasan Jakarta Biennale. Kerja itu menempatkan gagasan Ade Darmawan dan ruangrupa tentang seni rupa mutakhir ke dalam forum-forum mancanegara dengan jarak penglihatan yang kritis.

 

Ceramah
Nirwan Dewanto sebagai moderator membuka webinar dengan pengenalan tema dan pengantar, juga kiprah kedua pembicara pada medan seni rupa internasional. Ade Darmawan membawakan ceramah pertama, dan Alia Swastika kedua.

Materi yang disampaikan kedua pembicara memiliki irisan yaitu identifikasi Internasionalisme Baru sebagai bagian dari gelombang pertumbuhan ekonomi regional dan upaya-upaya diplomasi lintas negara melalui bidang kebudayaan dan pameran-pameran besar seni rupa. Alia Swastika menyebutnya “dunia pasca 1989.” Ade Darmawan secara lebih luas menjelaskan adanya fenomena umum yang lahir dari arus ini, yang sekaligus ada dalam perubahan wacana seni rupa global.

Posisi Alia Swastika dalam ceramahnya merefleksikan jalinan hubungan kerja yang dimotori gagasan inisiatif negara “pinggir”. Ini tampak pada kerjasama dua negara dalam konsep ekuator Biennale Jogja, dan pengalamannya berbagi peran direktur artistik pada Gwangju Biennale 2012 bersama kurator-kurator perempuan Asia.

Alia Swastika melihat kerangka kerja pameran internasional sebagai diplomasi skala besar yang memang harus ditangani pada tingkat pemerintahan. Keterlibatan dan sumbangsih aktor-aktor seni rupa Indonesia di mancanegara bersifat tetap dan terus bertumbuh. Ini tidak diimbangi pemahaman pemerintah tentang kedudukan seni rupa Indonesia di sana. Dukungan, bila ada, sifatnya jarang dan berjauhan. Pada pameran La Biennale di Venezia (Venice Biennale) yang mensyaratkan keterlibatan pemerintah secara resmi: paviliun seni rupa Indonesia hadir pada 1954, kemudian baru kembali pada 2003 dan setiap dua tahun dari 2013 hingga sekarang.

Ia menjelaskan pula dinamika penyelenggaraan pameran besar berkala sekelas bienale sebagai acara budaya yang menarik perhatian. Gwangju menjadi contoh pameran besar “blockbuster”. Pada gelaran-gelaran sebelum 2012, Gwangju mengambil poros kurator bintang yang dapat mengundang perupa masyhur dan—bersamanya—rasa penasaran khalayak. Poros ini menjadikan pameran-pameran internasional dan bienale yang pada dekade 1990-an hingga 2010-an jumlahnya berjubel sebagai cabang baru. Pendar satelit kebudayaan dunia yang pantas ditilik. Sebagai panggung bergengsi dengan potensi yang besar ia layak disikapi dengan tata kelola yang baik.

Paradigma penyelenggaraan pameran-pameran besar yang mengglobal itu menjadi satu titik masuk bagi amatan Alia Swastika dan Ade Darmawan. Prosesnya dalam menyertakan, menampilkan karya-karya secara tercerabut dari konteks lokal. Sebuah “global white cube”—mengutip teoretikus kekuratoran Paul O’Neill. Di baliknya, ada pergeseran geopolitik, kepentingan ekonomi, dan mekanisme kerja neoliberal pada seni rupa kontemporer dalam kapitalisme global. Pertumbuhan ekonomi dibuktikan lewat jalan kebudayaan. Satelit yang menyelidiki perluasan jaringan.

Ade Darmawan menyebutnya sebagai “jebakan” dalam rayuan keikutsertaan Internasionalisme Baru itu. Prinsip perluasan jaringan mensyaratkan akses dan amplifikasi pesan, dan kuasa, kepada wilayah sekitar yang lebih luas. Kaitan wilayah memainkan unsur narasi identitas sebagai picunya. Politik identitas dan nasionalisme jadi gaung yang cocok. Gaung yang menyederhanakan hubungan-hubungan dengan keadaan medan seni yang sebenarnya secara utuh.

Ini menjadi eksploitasi yang perlu dibongkar untuk mendefinisikan ulang pentingnya pameran-pameran internasional. Dalam hubungan ini wilayah lokal tidak mendapat keuntungan dan tidak melihat dirinya sendiri dengan “benar”—sebagai apa adanya dan berkembang dari riwayatnya sendiri. Keterbatasan medan seni yang ada, dalam pertemuan dengan daya ini menyulitkan adanya lingkungan yang baik untuk menguji dan melatih gagasan-gagasan yang asli dan mandiri.

Ade Darmawan memproyeksikan peran negara—senada dengan Alia Swastika—dalam skema atas ke bawah (top-down). Untuk menetapkan kebijakan, menerapkan kebudayaan kepada lingkup khalayak luas. Tapi ia menekankan pentingnya untuk selalu berinisiatif dan bagi semua bagian dari medan seni dan kebudayaan untuk melakukan upaya sendiri. Upaya yang mendorong praktik dan nilai dari bawah ke atas (bottom-up).

Beberapa kegiatan lokal muncul dan berjejaring dalam mekanisme ini. Terutamanya, mereka dimungkinkan oleh pertumbuhan teknologi informasi dan internet. Kontribusi gagasan dari penyelenggaraan kegiatan-kegiatan seperti O.K. Video, Cellsbutton oleh House of Natural Fiber, dan Street Dealin’ dari Garduhouse diambil Ade Darmawan sebagai contoh model-model yang berhasil. Kredo dan praktik artistik bertumbuh, begitu juga dalam kolaborasi dan perkembangannya yang berkelanjutan. Ini melahirkan sifat, aturan, dan lapisan baru dalam medan seni.

Ceramah Ade Darmawan diakhiri dengan pemaparan rencana dasar arahan artistik untuk documenta Fifteen 2022. Pendekatan ruangrupa sebagai direktur artistik bermula dari upaya mendefinisikan ulang dan melakukan reorientasi pada hubungan-hubungan antarpihak bagi penyelenggaraan documenta.

Tatanan yang biasanya struktural, top-down, terpusat dan termampatkan pada kuasa direktur artistik sekarang diimbuhi dengan gagasan untuk memecahnya. Rencana ini adalah bagian dari kerja lebih besar ruangrupa yang sedang berlangsung dalam konsep “lumbung.” “Lumbung” berbicara dalam makna tentang ruang simpan bagi sumber daya bersama—secara tradisional padi sebagai pangan—yang dipelihara bersama-sama bagi kepentingan dan keberlanjutan masyarakatnya.

Gagasan ini membayangkan komunitas yang otonom serta fasih menyuarakan artikulasinya lewat pengelolaan sumber daya dan kerja yang bertanggung jawab, adil, berkelanjutan. Unit-unit komunitas dengan pemahaman dan perkembangannya masing-masing dipertemukan dalam jejaring aktif yang berbagi temuan, nilai, dan perputaran kepada masa depan. Satu idealisme yang meniadakan eksploitasi satu tempat atau pihak bagi kebutuhan yang lainnya.

Undangan untuk memimpin arahan artistik documenta memberi kesempatan bagi ruangrupa untuk mengalirkan gagasan ini kepada waktu dan skala yang utama di tingkat dunia. Documenta jadi bagian dari rencana besar ini. Ia mengalur dari cerminan terhadap praktik ruangrupa sendiri dan wacana seni rupa internasional 20 tahun terakhir. Trayek ini berupaya mengungkah dan mengubah pola medan seni rupa kontemporer yang mengandung kekuasaan struktural. Mekanisme yang tidak bisa bebas diakses dan dibayangkan keberlanjutannya sebagai situs produksi kebudayaan kepunyaan khalayak.

Documenta dibayangkan ulang sebagai percakapan setara yang dibangun sebagai gagasan besar dari inisiatif, diskusi, dan kolaborasi antarkomunitas secara intensif. Gagasan tumbuh dan berkembang dan akhiran terbuka yang belum bisa digambarkan jelas pada wicara webinar ini. Hanya penyikapan dan bayangan aturan-aturannya, janji yang dapat kita bayangkan.

 

Diskusi
Kedua pembicara menyentuh pembahasan yang terpusat pada wacana kekuratoran, meski juga dengan melintasi dan melampauinya. Suatu wujud “panggung” tercipta dari cara pameran internasional dan jejaringnya bekerja. Sebagai bagian dari jangkauan struktural dan proyeksi ideal penggeraknya, hadir sebuah bentuk publikasi—atau cara menjadikan seni rupa dan muatan nilainya untuk menjadi publik—yang diatur tatanan nilai khusus. Seni rupa kontemporer hadir dan disebarluaskan secara terkondisikan. Ade Darmawan dan Alia Swastika telah mengutarakan sikap mereka dalam mengimbangi dan menantangnya.

Moderator mengarahkan diskusi lewat simpulan internasionalisme sebagai suatu medan percakapan. Bagi Ade Darmawan ini menjadi pertanyaan tentang format kegiatan documenta yang akan datang. Ia menjelaskannya sebagai suatu upaya perombakan mendasar: sikap baru, pendidikan baru, kemungkinan relasi kuasa, organisasi, hingga model ekonomi. Langkah-langkah mewujudkan pameran sebagai suatu peristiwa budaya dipikirkan kembali dalam kerangka ini.

Perundingannya, bagaimanapun, masih panjang dengan banyak tatanan yang harus dipertanyakan ulang pada tingkatan praktis. ruangrupa bersama kolektif-kolektif, komunitas-komunitas seni rupa dari berbagai wilayah dan organisasi documenta menyasar proyek eksperimentasi yang berkelanjutan. Proyek yang harus menjalar, yang memberi sumbangsih bagi ekosistem dan praktik dari tiap komunitas yang terlibat. Proyeksinya menjadi tentang bagaimana documenta bisa bekerja dengan konsep waktu yang berbeda. Bagaimana pula, documenta bisa jadi bagian dari ekosistem-ekosistem lain yang lebih besar.

Bagi Alia Swastika pembahasan tentang proyeksi sikap yang lebih lanjut dan bagaimana ide-ide dari kalangan medan seni rupa kita sendiri dapat dirundingkan secara internasional. Bagaimana cara menyelenggarakan pameran besar menarik dan mengelola massa baginya tetap merupakan pertimbangan penting. Menumbuhkan kepenontonan (spectatorship) lokal yang berdaya tampak jadi salah satu perhatiannya.

 

Tikungan Internasionalisme Baru
Semua hal ini mengalur pada perkembangan perhatian pameran internasional kepada medan seni di luar Eropa-Amerika sejak akhir 1980-an. Dan kecenderungannya belakangan untuk jadi semakin nonhegemonik, nonhierarkis, serta dikerjakan dalam kerangka kekuratoran kolektif-kolaboratif. Dalam diskusi juga diungkapkan bagaimana kuratorial yang betul-betul nonhierarkis sulit ditemukan. Ceramah Ade Darmawan dan Alia Swastika jadi tawaran-tawaran bagi medan seni dunia dan ekosistem seni rupa yang mencari bentuk baru.

Pencarian ini sejalan dengan apa yang dapat kita temukan pada wacana terakhir seperti “tikungan pendidikan” (educational turn), “kelembagaan baru” (new institutionalism), “globalisasi pascademokratis” (post-democratic globalization), dan politik seni rupa yang melampaui kekuratoran.

Irit Rogoff pada tulisannya yang berpengaruh, “Turning” (e-flux journal, terbitan #0, November 2008) mengungkapkan tentang fenomena dan gagasan perubahan bagi kelembagaan seni rupa sebagai sebuah institusi sosial. Latarnya terletak pada sifat tertanam (embeddedness) dari cara kerja medan seni. Tatanan nilai medan seni rupa kontemporer yang elit itu bekerja di atas ekonomi neoliberal yang kompleks dan dominan. Maka hadir suatu urgensi untuk bergeser dan menilai kembali prinsip serta aktivitas apa saja yang vital untuk kinerjanya.

Rogoff menyimpulkan pentingnya langkah untuk merumuskan “pertanyaan sendiri” demi menciptakan medan (playing field) baru, tersendiri. Prinsipnya, mengumpulkan praktik dan refleksinya supaya pengetahuan dapat diakses lebih luas. Ini menjadi jalaran yang diemban dan telusur yang dibagi oleh Ade Darmawan dan Alia Swastika dalam webinar ini. Rogoff menyebut fenomena “menikung” itu sebagai catatan tentang bagaimana memproduksi dan menyuarakan artikulasi kebenaran. Menjadi logis melaluinya untuk kemudian melepas kepemilikan dalam kelembagaan itu atas kedudukan dan kuasa tertentu. Ini supaya seluruhnya betul-betul ada dalam tikungan menuju urgensi dari produksi kebudayaan.

Turning” mengilustrasikan kesempatan dan risiko untuk membuka diri lalu menyebarkan suara. Suara yang ditunggu untuk didengar selagi seni rupa didedah—dibuka kepada jamaknya kenyataan dunia, kebudayaan, dan kemungkinan ekspresinya. Risiko ini besar bagi pusat internasionalisme lama dengan tatanan bakunya serta warisan keuntungan dan tata acuan nilai yang berkuasa. Tapi risiko ini mungkin untuk sama dijinjing secara ringan dalam “kesederhanaan” dan konvergensi dari kelembagaan serta ekosistem-ekosistem seni rupa yang ada di sekitarnya. Maka “Internasionalisme Baru” dalam pemaparan Alia Swastika dan Ade Darmawan menjadi masuk akal untuk mengambil hati, perhatian, dan komitmen dunia seni rupa lebih luas.

Jejaring dan tawaran ini, bagaimanapun, masih memerlukan banyak deskripsi dan penyikapan yang tepat. Rogoff menyebut model spekulatif dalam “turning” menjadi utama, dan kemungkinan untuk salah (fallibility) harus diterima sebagai bentuk penciptaan pengetahuan. Reorientasi jadi latar bagi Internasionalisme Baru dan ia menuntut pengkondisian ulang.

Seni rupa menuju reorientasi dengan meminta eksistensinya yang bersyarat dan terkondisikan, untuk didudukkan ulang. Perkembangan ini jadi latar bagi Internasionalisme Baru, bagi akses, agensi, jejaring, dan sorotan yang tampil pada kedua penceramah. Dunia berubah dan seni berubah. Pada satu sisi sikap besar ini menyederhanakan dan membuka, namun juga sebagai bagian dari perkembangan punya sifat teknologis dan evolutif. Ia patut dipahami sebagai sebuah penyikapan juga dan padanan terhadap aturan-aturan dan tata acuan sebelumnya.

Webinar pertama Seni Rupa dan Internasionalisme Baru membuka perbincangan untuk mengenali dan memahami langkah yang telah bergerak dari medan seni rupa kita sendiri lewat kerja Alia Swastika dan Ade Darmawan. Ceramah dan wicara kedua akan menyoroti kerja internasional kurator pelopor Jim Supangkat, dan Farah Wardani. Webinar ketiga akan menyoroti keadaan dan gerak kantong-kantong lokal di hadapan Internasionalisme Baru lewat pandangan Agung Hujatnika dan Asep Topan.***

Yacobus Ari Respati adalah bagian dari staf ajar dan penelitian Seni Rupa Institut Teknologi Bandung untuk kekuratoran, sejarah pameran, dan sejarah seni rupa sejak 2016. Ia pernah menjadi asisten kurator dalam Pameran Arsitektural Indonesialand (Selasar Sunaryo, 2016), “Seteleng to Biennale: Exhibition Histories of 20th Century Indonesia”, bagian dari Art Turns, World Turns (Museum MACAN, 2017). Ia juga pernah menjadi kokurator Akal Tak Sekali Datang, Runding Tak Sekali Tiba; anjungan Indonesia di La Biennale di Venezia (Venice Biennale) pada 2019.

tri

Obituari Trisutji Kamal

Kanjeng Raden Ayu Trisutji Djuliati Kamal, atau lebih dikenal dengan Trisutji Kamal, memadukan musik tradisional dan modern, gamelan dan anasir musik Islami. Ia memainkan musik daerah di Indonesia dengan instrumen Barat. Musiknya yang bernada Islami sangat dipengaruhi oleh pilihan hidupnya dalam menekuni Islam secara intens sejak 1990-an.

Trisutji adalah musikus perempuan pertama yang terjun ke kancah musik Indonesia kontemporer. Kiprahnya dimulai pada 1950-an sebagai pianis. Untuk pertama kalinya ia memainkan piano secara tunggal pada pembukaan Balai Budaya di Jakarta pada 1955. Semula ia belajar piano pada guru piano berkebangsaan Jerman: Dora Krimke dan L. Remmert. Selanjutnya ia menekuni piano dan komposisi pada Henk Badings di Konservatorium Amsterdam, Belanda, di Ecole Normale de Musique, Paris, Prancis, dan Konservatorium Santa Cecilia, Roma, Italia.

Dalam kariernya selama kurang-lebih 60 tahun, Trisutji Kamal telah menggubah kurang-lebih 200 komposisi musik. Karya-karyanya berupa musik opera, musik orkestra, musik kamar, choral, piano solo, musik balet dan musik film. Karya-karyanya yang terpenting, antara lain, opera Loro Jonggrang (1957), Gunung Agung (1963-1970), Menara Masjid Nabawi (1971) dan Prayer of Redemption (2004).

Trisutji Kamal menerima sejumlah penghargaan seni, di antaranya, Bintang Budaya Parama Dharma dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2010 dan Anugerah Yayasan Pendidikan Musik pada 2012.

Pada Minggu dini hari (21/3) ia berpulang di Jakarta pada usia 84 tahun. Indonesia kehilangan salah satu komponis musiknya yang terbaik. Selamat jalan, Trisutji Kamal

Desain tanpa judul (2)

Mengenal Remy Sylado dan Sejarah Puisi Mbeling

Puisi tak selamanya harus indah. Adakalanya para sastrawan ingin mengungkapkan kejengkelan dan protes. Jika puisi liris identik dengan balutan kata yang indah, puisi non liris berlaku lain. Ia melepaskan diri dari kungkungan kaidah estetika penulisan yang ada.

Kali ini kita akan berkenalan dengan Remy Sylado, sastrawan kelahiran Makassar yang mempelopori sebuah istilah dan gerakan dalam dunia sastra pada 1970-an, yaitu puisi mbeling. Apa itu puisi mbeling?

Sebelum ada istilah mbeling, penyair W.S Rendra pernah mengatakan bahwa kemapanan budaya harus dibongkar dengan sikap urakan. Tapi bagi Remy, istilah yang lebih tepat bukanlah itu, melainkan dengan sikap mbeling, yang dalam bahasa Jawa berarti nakal atau kurang ajar. Ide besar mbeling di sini adalah untuk menanggapi kemapanan budaya yang berlaku pada masa itu. Kritik, kelakar dan sindiran menggunakan bahasa sehari-hari adalah ciri khas puisi mbeling. Salah satunya, coba intip satu bait di bawah ini:

 

Menyingkat Kata

karena
kita orang Indonesia
suka
menyingkat kata wr. wb.
maka
rahmat dan berkah Ilahi
pun
menjadi singkat
dan tak utuh buat kita.

 

Nah, mau tahu seperti apa kisah seluk-beluk lahirnya puisi mbeling ini? Yuk simak empat poin menarik ini untuk mengetahui kilas sejarahnya.

 

Bermula di Teater

Sebelum muncul sebagai istilah sastra, kata mbeling mulanya terdengar di seni teater, tepatnya di kelompok Dapur Teater 23761 yang didirikan Remy Sylado di Bandung. Benih gerakan ini mulai bergaung pada 1972 ketika ia mementaskan drama berjudul Genesis II.

Dalam pementasan teater itu Remy Sylado banyak menerima tanggapan mengenai penggunaan kata mbeling. Kata mbeling dirasa terlalu berani dan berkonotasi negatif. Gara-gara pementasan itu Remy diinterogasi polisi Bandung selama hampir dua minggu. Tapi berkat pementasan itu pula, makna kata mbeling tak melulu diasosiasikan dengan perilaku anarkis dan onar, melainkan juga cerdas dan bertanggung jawab.

 

Mbeling ke Ranah Sastra

Istilah mbeling kemudian beralih ke dunia sastra ketika Remy Sylado berkarir di majalah Aktuil. Masih pada tahun yang sama ketika Remy Sylado mementaskan drama Genesis II, Puisi Mbeling muncul sebagai salah satu rubrik di majalah tersebut. Ia sendiri yang mengelola rubrik itu. majalah Aktuil adalah majalah budaya populer yang punya banyak pembaca pada 1970an. Sejak itu pula istilah puisi mbeling kian populer dan menjadi peristiwa baru dalam dunia sastra Indonesia.

 

Fenomena Sosial dan Budaya di Bandung

Ketika istilah puisi mbeling muncul, Bandung (kota bermukim Remy Sylado) sering disebut sebagai kota para hippies-nya pulau Jawa. Para perupa mulai memenuhi tembok-tembok jalan dengan grafiti-grafiti. Mungkin anak-anak muda Bandung pada masa itu terpengaruh kaum hippies dari Amerika Serikat. Kita sering mendengar slogan “Make love not war” yang dilontarkan kaum hippies Amerika Serikat sebagai kritik perang di Vietnam.

Belum lagi kenakalan remaja, seks bebas dan lain-lain yang menjadi fenomena sosial dan budaya di kota Bandung pada 1970an. Bahkan lagu populer “San Francisco (Be Sure to Wear [Some] Flowers in Your Hair” dari Scott McKenzie diganti liriknya oleh anak-anak muda di kota Bandung menjadi:

 If you’re going to Bandung, be sure to wear some flowers in your hair.

 

Menginspirasi Generasi Muda

Majalah Aktuil sejatinya adalah majalah musik, budaya pop dan gaya hidup anak muda pada era 70an. Apa yang dikerjakan Remy Sylado ternyata menarik perhatian banyak penulis. Puisi mbeling menjadi sebuah gerakan. Secara tak langsung Remy Sylado mengajak anak-anak muda pada masa itu untuk menulis dan memperkenalkan bahwa sastra tak melulu “berat”. Ada ratusan sajak-sajak mbeling yang masuk meja redaksi. Penulis seperti Seno Gumira Ajidarma, Noorca M. Massardi, Yudhistira A.N.M. Massardi pernah mengirim sajak-sajak mbeling mereka ke majalah Aktuil.

Itu dia empat kilas sejarah menarik tentang puisi mbeling. Kalau menurutmu, puisi yang bagus itu seperti apa sih? Selain Remy Sylado, kita juga punya sastrawan lain yang juga gemar menulis puisi tanpa gaya liris. Ada yang bisa tebak siapa saja sastrawan itu? Yuk tonton Peta Sastra Indonesia episode 11 untuk berkenalan dengan mereka. Klik di sini untuk menonton ya!